Rona mentari yang masih jingga sudah menyapa kota Konoha beserta penduduknya. Aktivitas berupa toko-toko di pinggir jalan yang baru saja terbuka menambah suasana akrab di belahan kota tersebut.

Segerombolan gadis dewasa yang berlari ringan dengan mengenakan pakaian olahraga mini dan sapaan menggoda dari pria-pria yang kebetulan berjalan berlawanan arah sudah menjadi sebagian aktivitas yang tidak mengherankan bagi warga.

Nuansa tersebut jelas sangat terasa di dalam ruangan persegi yang tidak terlalu besar—tidak jauh dari tempat orang-orang yang sedang melakukan aktivitas rutin di luar. Namun ternyata, sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi ruangan dan menembus tirai tipis tidak mampu membangunkan si empunya apartemen.

Bahkan suara ponsel yang sedari tadi berdering nyaring tidak dihiraukan olehnya. Bisa ditebak bahwa sang pemilik tempat itu memiliki sifat pemalas yang kentara.

Buku, minuman kaleng, baju, sandal, dan benda lainnya sama sekali tidak tertata rapi di tempatnya masing-masing—tersebar tak beraturan di seluruh sudut ruangan seakan perabotan di dalam rumah itu tidak berfungsi sama sekali.

Tidak cukup di situ saja kekacauan tersebut, di atas kasur—tepatnya di samping selimut yang bergunduk—juga terdapat berbagai bungkus makanan yang sudah kosong.

Ponsel yang sudah berhenti berdering, kini kembali bersuara seakan tidak menyerah untuk membangunkan seorang yang ada di dalamnya hingga terdengar erangan gusar dari dalam gundukan di balik selimut itu.

"Hallo…?"

Beberapa detik, pemilik suara serak itu masih terdiam di balik selimutnya. Hingga—mungkin—seseorang di seberang sana memberinya perintah atau peringatan, apa pun itu, pemilik apartemen tersebut terbangun dengan sangat tiba-tiba seraya mengerjapkan mata.

Helai-helai merah mudanya bergerak cepat seirama gerakan kepalanya yang terkejut mendengar lawan bicaranya di ponsel. Mata gadis—dia memiliki wajah cantik dan itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah seorang gadis—itu masih buram karena penerangan yang sedikit minim tidak mampu menembus irisnya.

Sekali lagi, dia mengerjap. Lalu, gerakan selanjutnya, gadis itu mengangguk meskipun sadar manusia di sana tidak dapat melihatnya.

"Tentu saja aku mau!" serunya tegas namun dengan suara yang masih sedikit serak karena bangun tidur.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

AU, OOC, Typo, etc

-M for Language and Bloody-

(Terispirasi dari sebuah film Hollywood yang aku sendiri lupa judulnya. Kalau tidak salah, Runaway Midnight, atau Midnight Runaway?)

oOo

Gadis bernama Sakura itu menguap lebar di dalam truck kecil butut berwarna coklat gelapnya. Sebenarnya dia masih mengantuk, tentu saja. Itu bisa terlihat jelas dari mata hijaunya yang sedikit memerah, bahwa dia pasti hanya tidur tidak lebih dari tiga jam, malam tadi.

Telpon pagi ini sangat merugikannya namun juga menguntungkannya kelak; telpon itu sangat mengurangi jadwal istirahatnya yang memang tidak teratur, namun memiliki bayaran yang menggiurkan jika dia menurutinya.

Yah, biarkan dia merasakan pusing untuk sesaat namun akan mendapat ganjaran yang lebih dengan menjalankan misi yang terlampau gampang. Ya, misi yang terlampau gampang. Gadis bernuansa musim semi itu menyeringai, mengingatnya.

Misinya kali ini adalah: Menculik bocah yang bandel dan licin seperti belut.

Oh, yeah! Hanya seorang bocah? Seorang bocah melawan penjahat kelas menengah namun cukup tersohor macam dirinya?

That's so funny. Itu lucu sekali, bukan? Selicin-licinnya seorang bocah, sama sekali tidak akan lebih licin dan licik dari dirinya.

Baiklah, Sakura sama sekali bukan seorang gadis yang memiliki otak jahat tingkat tinggi seperti mafia, pembunuh bayaran, atau semacamnya. Namun dia juga bukan penjahat kelas rendahan seperti pencuri uang senilai seratus dollar. Itu terlalu rendahan.

Setidaknya gadis berparas ayu itu sering mendapatkan misi mencuri benda-benda mahal dan bernilai yang disimpan di dalam museum dengan penjagaan ketat, dan sebagainya. Itu membuktikan bahwa dia sama sekali bukan penjahat rendahan yang tidak menggunakan otak. Kerjanya benar-benar menyerupai seorang detektif namun dengan modus kejahatan.

Dan kali ini—sekali lagi—dia hanya ditugaskan menculik bocah ingusan.

Ck! Dalam prediksinya, dia hanya membutuhkan waktu setengah jam setelah sampai di rumah bocah itu, nanti. Tentu saja terlepas dari jarak yang harus dia tempuh yaitu tiga belas jam dari kota tempat tinggalnya.

Merasa harus melepaskan rasa pusing yang menjalar di kepalanya, Sakura menyalakan radio dalam truck-nya dengan volume keras. Sedetik kemudian dia mengangguk-angguk menikmati musik seraya mengembangkan senyum dan mengunyah permen karet favoritnya.

Rambut berwarna merah mudanya terayun dimainkan angin dikarenakan jendelanya dibiarkan terbuka. Tanpa terasa truck berkecepatan santai itu sudah mulai keluar dari kota bersamaan dengan masuknya sang pengendara di kawasan perkebunan gandum, sebentar lagi akan sampai di perbatasan untuk menyelesaikan misi.

Dia akan kaya raya jika dia berhasil menyelesaikannya.

.

.

.

"Jadi bagaimana, Sasori?" tanya seorang pria tua kepada salah satu partner-nya dari ponsel.

"Tentu saja saya berhasil, Tuan. Dia hanya gadis bodoh yang membutuhkan uang," jawab pria satu lagi yang dipanggil Sasori.

Pria berkeriput itu menyeringai lebar. Lalu tanpa mengucapkan salam atau ucapan pertanda selesainya percakapan, dia menutup flip ponsel.

Sebelah mata pria itu yang tertutup sama sekali tidak mengurangi tatapan nakal pada wanita berpakaian terbuka yang duduk di sebelahnya. Bahkan dia sama sekali tidak tahu diri dengan usianya yang sudah lebih dari setengah abad untuk meniduri wanita yang sedang menggodanya, tadi.

Uang memang membutakan segalanya sehingga wanita itu mau ditiduri oleh lelaki hidung belang macam pria bernama Danzou tersebut.

.

.

.

Sakura mengeratkan mantel besar yang menempel di tubuhnya ketika dia memasuki ruangan ber-AC yang akan ditempatinya untuk makan. Mata gadis itu menari-nari tanpa irama untuk mencari tempat duduk di dalam kedai ramen yang dia temui setelah menempuh perjalanan lama tanpa mengisi perut—hanya beberapa roti yang dibelinya di dalam minimarket.

Setelah yakin bahwa gadis itu menemukan meja kosong yang baru saja ditinggalkan oleh seorang pengunjung, dia melangkah cepat. Rasa lapar sudah menguasainya sehingga bisa saja dia tidak akan menjadi dia jika sedang lapar. Itu bahaya, bukan?

"Paman, buatkan aku satu mangkuk ramen dan segelas occha!" teriaknya pada seorang pria tua yang sedang mencatat sesuatu, mungkin bon karena kebetulan sekali dia sedang berhadapan dengan salah seorang pelanggan.

Mendengar teriakan Sakura yang sama sekali tidak kecil—juga tidak pantas dilakukan oleh seorang gadis, kontan semua perhatian pengunjung tertuju padanya. Hening.

Sakura hanya memasang wajah sok tidak berdosa seraya memandang ke luar jendela besar di sampingnya, mengawasi kemerlip lampu kendaraan yang melintas dan orang-orang yang berlalu-lalang menuju tempat tujuan masing-masing. Tangan gadis itu tidak tinggal diam, memainkan sepasang sumpit dan sesekali memasukkannya ke dalam mulut. Gadis itu juga bersenandung pelan menikmati aroma masakan yang terhidang di setiap meja dalam ruangan.

'Benar-benar tidak sopan,' pikir hampir semua pengunjung yang menatap Sakura.

Masih memasang tampang tidak tahu malunya, tatapan Sakura yang sebelumnya tertuju pada luar jendela kini beralih pada sekeliling ruangan. Nuansa Jepang jelas terasa di dalam kedai sederhana itu. Bambu hijau berbatang kecil terhias di sudut ruangan dan beberapa yang lainnya berhiaskan replika bunga sakura dan pohon maple setinggi satu meter.

Keramaian khas kedai jelas terasa di dalamnya karena jam makan malam memang sudah tiba. Tampak beberapa pelayan merasa kewalahan karena ada saja beberapa pengunjung yang tidak sabar menunggu giliran ditawarkannya pesanan.

Saat mata Sakura tertuju pada sebuah kaligrafi berhuruf kanji yang menempel di dinding, seorang pelayan tiba-tiba saja datang dengan senyum ramah menghiasi wajahnya. "Ini pesanan Anda," katanya seraya memindahkan semangkuk ramen dan segelas occha dari atas nampan ke atas meja. Sakura tersenyum sekilas kepada pelayan wanita tadi—membalas keramahannya.

Gadis itu lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan produksi saliva yang meningkat karena perutnya sudah menagih asupan karbohidrat. Namun baru saja dia akan menyantap makanannya, tiba-tiba dia teringat akan sesuatu—bertepatan dengan melenggangnya si pelayan. Tanpa membuang banyak waktu lagi, dia melambai dan memanggil pelayan yang tadi mengantar pesanannya.

Setelah pelayan itu kembali mendekat dengan tanda tanya memenuhi wajahnya, Sakura kembali tersenyum seraya menunjukkan selembar kertas kecil pada pelayan berambut coklat itu.

"Nona, apa kau tahu alamat ini?" tanyanya.

Pelayan wanita itu menunduk seraya merebut pelan kertas yang tadi dipegang Sakura. Dahinya mengernyit saat matanya menangkap sebuah tulisan nama keluarga yang tidak asing baginya. Bahkan tidak asing bagi semua orang di kota tersebut. Bisa ditebak bahwa nama yang tertulis di atas secarik kertas itu adalah nama keluarga yang sangat disegani.

Selesai membaca tulisan itu, si pelayan menatap Sakura dengan seksama, lalu kembali menatap kertas. Menatap Sakura lagi, lalu menatap kertas. Tak urung sikap wanita itu membuat Sakura mengernyit heran. Ada yang salah dengan dirinya?

"Sebaiknya kau tidak ke sana jika kau tidak ingin sakit hati karena tidak diterima," kata wanita itu seraya mengembalikan kertas. Sama sekali tidak memuaskan pertanyaan Sakura.

Oh, ayolah! Tadi Sakura tanya apa dan wanita berprofesi pelayan itu menjawab apa?

"Maksudmu?" tanya Sakura heran.

"Keluarga itu hanya membutuhkan pembantu yang berbakat, yang benar-benar sudah direkomendasikan oleh tenaga penyalur, dan yang sudah profesional. Sedangkan kau…. Kuakui kau memang memiliki wajah yang cantik—sedikit, namun penampilanmu sama sekali meragukan untuk diterima menjadi pembantu mereka," setelah mengucapkan kalimat itu, wanita tadi pergi begitu saja untuk kembali melakukan aktivitasnya.

Sakura mendengus kesal. Apa-apaan wanita tadi? Memangnya penampilan Sakura terlihat seperti gadis kelaparan yang benar-benar membutuhkan uang?

Ups! Ya … meskipun pernyataan tadi benar, hanya saja itu tidak benar-benar benar. Maksudnya, oh, lupakan! Sakura terlalu bingung untuk memaki pelayan tadi. Yang ada gadis itu malah kehilangan nafsu makannya.

Menaruh beberapa lembar uang—yang sekiranya cukup untuk membayar ramen utuh tadi, gadis itu melangkah dengan bibir yang dimanyunkan dan menggerutu pelan.

Baiklah! Dia memang gadis yang membutuhkan uang. Dia juga sedang kelaparan. Tapi bukan berarti dia harus terlihat seperti gadis yang ingin melamar menjadi pembantu. Demi Tuhan! Dia adalah seorang pencuri, seorang penjahat. Penjahat yang bisa menari menggunakan pedang, penjahat yang bisa mematahkan tulang, penjahat yang bisa mencuri benda-benda berkelas, dan penjahat yang lihai menanamkan peluru di tubuh lawan.

Yeah! Seharusnya dia mengumpat seperti tadi kepada pelayan wanita itu agar dia ketakutan. Namun, oh … baiklah, baiklah. Lupakan!

Sakura kembali menaiki truck dan menyalakan mesin. Gadis itu hendak menginjak gas namun dia kembali teringat akan sesuatu: Dia belum mendapatkan jawaban atas alamat yang ditanyakannya tadi.

Oh my…, betapa bodohnya dia. Kenapa Sakura tidak membenarkan perkataan wanita tadi dan berpura-pura untuk keukeuh menjadi pembantu demi mendapatkan alamat yang dicarinya?

Alamak! Poor, Cherry.

Sebaiknya aku melanjutkan misi, pikirnya seraya mulai menginjak gas truck.

.

.

.

Setelah berpuat-putar selama dua jam dan bertanya kepada beberapa orang yang terkadang tidak menjawab pertanyaan Sakura—parahnya orang-orang itu tidak menjawab dan-dengan-disertai-seringai-meremehkan-entah-atas -dasar-alasan-apa—akhirnya gadis itu berhasil menemukan kediaman seorang bocah yang dia incar.

Gadis Musim Semi itu keluar, lalu menutup pintu truck bututnya dengan keras, menimbulkan gebrakan yang jelas di malam yang sudah agak larut itu—tepatnya pukul setengah sebelas malam.

Sakura menyeringai menatap sebuah rumah besar yang beberapa meter berada di hadapannya. Lalu dia merogoh saku mantel untuk meraih ponsel. Memencet beberapa tombol dan menempelkannya di telinga, sahutan seorang perempuan sudah terdengar di sana. Sepertinya perempuan itu memang menunggu telpon darinya.

"Aku sudah menemukan rumah target," kata Sakura seraya mengunyah permen karet, kebiasaan yang disukainya.

"Bagus. Kau harus masuk melalui dinding pembatas bagian belakang rumah itu dengan sangat pelan dan hati-hati. Jangan sampai ketahuan oleh penjaganya," jawab seorang gadis dari seberang sana.

"Aku bisa saja memasuki rumah itu dari depan," kata Sakura seraya menatap rumah itu dengan waspada. "Tidak ada seorang penjaga pun di rumah itu, terlihat aman-aman saj—oh, tidak! Aku salah. Aku memang melihat dua orang penjaga, hanya saja … itu bukan masalah," dia melanjutkan dengan cepat. Pandangan matanya sama sekali tidak teralih pada rumah besar yang menjadi targetnya.

"Apa kaubilang?" seorang gadis di seberang sana nampak heran. "Hanya dua? Kau yakin kau tidak salah rumah?"

"Tentu saja tidak. Rumah yang menjadi target kita sangat besar, 'kan?"

"Benar."

"Dan memiliki … cat berwarna kuning, 'kan?"

"Ben—tidak!" gadis tadi menjawab cepat, membuat Sakura mengernyitkan alisnya. "Bukan. Yang kulihat di sini rumah target tidak berwarna kuning. Tapi berwarna putih, semuanya putih. Sakura, mungkin yang kaulihat adalah rumah yang salah."

Sakura berdecak sebal dan memutar bola mata. Gadis itu lalu membuang permen karet dalam mulutnya dan bersiap menggerutu pada partner-nya. "Ino, bisakah kau melacak sinyalku dan memberi tahu lokasiku sekarang? Belum apa-apa aku sudah melewati waktu yang kuprediksikan. Apa-apan misi kali ini? Menyebalkan." gerutunya.

Gadis yang dipanggil Ino tadi tidak menjawab dan keheningan terasa untuk beberapa saat. Namun Sakura sangat mengerti bahwa dia sama sekali sedang tidak mengacuhkannya.

"Kau sudah kutemukan," ucap Ino tiba-tiba, setelah sekian lama gadis itu menunggu. "Sakura, kau sudah berada di hadapan rumah target," lanjutnya.

Kini Sakura menggeram marah. "Apa kubilang? Bisa saja rumah yang kita maksud itu sama, 'kan? Cat bisa saja berganti dalam waktu beberapa jam, mengerti?" umpatnya marah.

"Tidak, Sakura. Rumah yang kulihat di sini berwarna putih. Mungkin…," Ino terdiam sejenak, "bagaimana jika kau berbalik?" perintahnya.

Sakura menuruti perintah sahabat sekaligus partner kerjanya. Setelah tubuh gadis itu berbalik sempurna, matanya dibuat terbelalak oleh sebuah rumah yang agak jauh dari tempatnya dan terlihat sangat besar bahkan menjulang tinggi. Atap rumah itu bisa terlihat dari jarak Sakura yang tidak bisa dibilang dekat.

Sesudah pintu gerbang yang berdiri kokoh—menjelma menjadi satu-satunya akses masuk ke rumah itu, masih terbentang sebuah taman luas yang benar-benar luas bertumbuhkan pepohonan yang berjejer rapi mengiringi jalan. Sepertinya istana adalah sebutan yang pantas untuk tempat megah itu.

Oh, pantas saja Sakura dibayar mahal hanya untuk menculik seorang bocah. Ternyata bocah itu adalah anak dari pemilik rumah yang sangat besar. Seperti di film-film saja.

Dan juga … pantas saja pelayan yang ditemuinya tadi di dalam kedai ramen menyebutkan bahwa hanya tenaga profesional yang dapat bekerja di sana. Juga beberapa orang yang memberinya senyum meremehkan ketika ditanya mengenai alamat rumah itu. Sakura mengerti. Benar-benar mengerti, sekarang

"… Ra? Apa kau masih di sana?" suara Ino yang sedikit membentak, membuyarkan Sakura dari dalam ketakjubannya.

"Ya, aku di sini," Sakura menjawab seraya mengerjapkan mata.

"Kau tentu tidak merasa asing dengan misi seperti ini, 'kan? Sama seperti misi sebelumnya, kau diminta untuk mencuri sebuah benda. Anggap saja bahwa benda yang harus kaucuri sekarang adalah benda hidup berbentuk manusia," kata Ino.

Sakura mengangguk meskipun Ino tidak melihatnya. "Tentu. Ini hanya misi rendahan. Hanya saja…," Sakura merasa ragu.

"Apa?"

"Hanya saja aku merasa misi ini akan sangat berarti—entahlah!"

"Hey, sekarang bukan saatnya kau untuk curhat. Cepat lancarkan aksimu dan dapatkan bocah itu. Aku akan menjadi mata keduamu dari sini. Aku baru saja berhasil meng-hack sistem yang ada di dalam rumah itu sore tadi. Sekarang, kendali ada di tanganku."

Sakura kembali mengangguk lalu memasuki truck-nya. Gadis itu melepas mantel dan menggantinya dengan jaket kulit hitam ketat. Celana jeans tetap melekat di kaki jenjangnya. Berbagai persiapan dia teruskan seperti memasang earphone, menyelipkan belati di tempatnya yang sudah terpasang di paha kanan, dan memasukkan glock-17shot gun yang selalu dia gunakan—di saku celananya.

Terakhir, dia menyiapkan borgol dan obat bius berbentuk cair untuk memudahkannya membawa target, nanti.

"Hey, Bocah. Aku tidak tahu apa dosamu, hanya saja … aku benar-benar membutuhkan uang, sekarang," gumamnya.

"Kalaupun kau akan mati nantinya, itu sudah bukan urusanku karena aku…," Sakura mengambil pistol bermerk lain yang sebelumnya berada di dalam tasnya, "… hanya bertugas…," dia mencopot bagian bawah pistol tersebut lalu memasukkan amunisi, "… untuk menculikmu."

Trep!

Pistol sudah berhasil diisi dan dia mulai beraksi, berjalan mendekati bagian belakang rumah yang agak jauh dari truck-nya terparkir.

.

.

.

"Gadis itu sudah beraksi, Tuan," Sasori melapor saat matanya tertuju pada sebuah monitor berbentuk peta. Suatu titik merah yang berkedip dan bergerak menggambarkan bahwa gadis yang dia bicarakan memang sedang beraksi.

"Bagus," sahut Danzou. "Teruslah beri laporan perkembangannya padaku. Dengar. Aku tidak menerima laporan buruk," lanjutnya seraya tertawa pelan.

"Tenang saja, meskipun dia sangat mudah ditipu, namun gadis itu memiliki otak yang cerdas saat bekerja dan dia tidak akan menyerah. Dia selalu berhasil dalam misinya."

"Terserah apa katamu. Yang jelas, misi ini harus berhasil dengan cepat. Semakin cepat misi selesai, semakin banyak uang yang akan kuberikan padamu." Dan seperti biasa, tanpa salam dan tanda-tanda, pria yang menjadi majikan Sasori saat ini menutup sambungan dengan tiba-tiba.

"Ino," panggil Sasori. Pria muda itu mendekati gadis berambut pirang yang sedang bekerja di dekatnya, lalu memeluk leher milik gadis itu dari belakang. "Tekankan pada Sakura agar misi ini tidak sampai gagal," perintahnya.

"Kau tahu Sakura tidak akan gagal," jawab Ino seraya melirik pria yang tengah memeluknya.

"Tentu."

.

.

.

Sakura berlari dari pohon cemara ke cemara yang lain—setelah berhasil memanjat tembok tinggi yang mengelilingi rumah besar itu—menghindari lampu besar yang terus bergerak mengawasi pergerakan mencurigakan.

"Aku sudah sampai di dekat tembok rumah. Aku harus ke mana lagi?" tanya Sakura pada earphone yang melekat di telinganya.

"Tunggu dulu. Jangan gegabah. Ada seorang bodyguard di dekatmu yang sedang berkeliling. Teruslah bersembunyi di balik pohon dan tunggu perintah dariku."

Sakura tidak menjawab lagi. Sementara itu Ino melihat monitor dari sebuah kamera pengintai yang berhasil di-hack olehnya. Tidak ada gambar Sakura di dalam monitor namun dia tahu bahwa Sakura sedang bersembunyi di balik pohon. Ino terus mengawasi seorang pria bertubuh besar yang lama kelamaan berlalu.

"Baiklah, orang itu sudah menjauh dan kau sudah aman untuk memasuki pintu dapur," Ino memberi petunjuk dengan matanya yang sigap berpindah dari satu monitor ke monitor yang lain. "Tenang saja, aku sudah melihat dapur dan di sana sama sekali tidak ada siapa-siapa," tambahnya ketika dia tahu bahwa Sakura akan bertanya. "Pintu itu tidak jauh dari tempatmu sembunyi. Kau harus menjangkau dinding rumah dan kau bisa melihat pintu tersebut."

Sakura sedikit berlari dengan meringankan langkah untuk menghindari sorotan lampu. Ketika dia sudah berada di depan pintu dapur, gadis itu membuka jaket hitamnya. Dia bahkan sudah menyiapkan peralatan-peralatan untuk mereplika kunci dan membuka pintu.

Tidak diragukan lagi, dia adalah pencuri handal.

"Aku sudah memasuki dapur," katanya setelah pintu sudah terbuka. Gadis itu menggerayangi bagian belakang pantatnya dan meraih pistol untuk berjaga. Tentunya berada di dalam rumah lebih ketat dan berbahaya daripada di luar.

Setidaknya jika dia menimbulkan kebisingan atas suara peluru yang ditembakkannya, gadis itu sudah benar-benar terlatih untuk mengatasi musuh. Meskipun resiko yang ditimbulkan akan sangat besar.

Sakura terus berjalan mengendap atas instruksi yang diberikan oleh sahabatnya sementara Ino mengawasi. Terkadang dia merapat ke dinding, bersembunyi di balik vas atau guci besar, dan berbagai penyelinapan lainnya seperti memperlambat atau mempercepat langkah.

Sementara itu di ruangan lain yang juga terdapat berbagai sistem, komputer, dan peralatan elekrtonik canggih lainnya yang digunakan untuk mengawas, seorang pria berambut putih baru saja memasuki ruangan itu dan akan bertanya pada beberapa lelaki yang bertugas mengendalikan sistem tersebut.

"Apakah semuanya aman?" tanyanya penuh wibawa.

Salah seorang dari mereka melepaskan headset dan berpaling ke arah pria yang bertanya tadi. Dengan sopan dia menjawab, "Tidak ada gerakan mencurigakan di dalam rumah ini. Sejauh ini semuanya aman, Tuan Hatake. Kami akan dengan sigap melapor jika ada keanehan."

Merasa kurang puas—juga untuk memantapkan jawaban dari bawahannya, pria yang dipanggil Tuan Hatake itu mendekat dan ikut andil memandang layar monitor satu persatu.

Benar, tidak ada gerakan mencurigakan di dalam rumah milik majikan mereka.

Tanpa mereka sadari … seorang gadis jenius sudah berhasil merusak peralatan canggih milik mereka.

.

.

.

Setelah Sakura berhasil melewati berbagai lorong, tangga, dan ruangan tanpa jejak juga tanpa kesulitan, tibalah dia di sebuah ujung koridor yang Ino perintahkan dirinya untuk berhenti berjalan dan memerhatikan sebuah pintu besar bercat coklat elegan.

Pintu besar itu berada tepat di hadapan balkon dan lampu besar berbahan kristal yang menyinari ruang megah utama di bawahnya.

"Kau melihat ada sebuah pintu besar?" tanya Ino.

Sakura mangangguk dan menggumamkan jawaban bahwa dia melihatnya.

"Bagus. Kau harus memasuki pintu itu karena target berada di dalam sana."

"Baiklah."

"Tapi kau harus sangat berhati-hati. Ada sekitar lima orang berjas hitam di bawah sana yang sepertinya sedang bertugas mengawasi rumah. Kau akan sangat terlihat dengan jelas jika kau memasuki ruangan itu."

"Lalu aku harus bagaimana?" Sakura bertanya tak sabar. Baru kali ini dia memasuki sebuah rumah yang benar-benar diawasi dengan ketat melebihi museum.

"Mana aku tahu! Kau kan sudah sering melakukan hal seperti itu! Kenapa malah bertanya padaku?" Ino membentak dari sana.

Mendengar bentakan dari Ino, gadis itu terdiam. Benar juga. Dia sudah terbiasa melalukan kejahatan dan sekarang, dia harus berpikir keras untuk sukses di kejahatan ini.

"Sakura, di belakang!" Ino berteriak keras sehingga spontan mambuat Sakura menoleh ke belakang.

Emerald bulat gadis itu menemukan seorang gadis berseragam maid yang akan berteriak. Dengan sigap, Sakura mengacungkan glock-17 miliknya lurus, tepat di kepala gadis yang berjarak sekitar tiga meter darinya, lalu gadis bermata hijau itu menempelkan telunjuk di bibir tipisnya. "Jangan berteriak atau peluru dalam pistol ini akan menembus kepalamu," ancam Sakura dengan seringai.

Gadis berseragam maid yang ketakutan itu mengangguk dengan perasaan cemas.

"Ino, sepertinya aku mendapatkan ide yang cemerlang."

.

.

.

Sakura keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang berbeda. Gadis bersurai merah muda itu kini mengenakan seragam maid yang dia pinjam paksa—lebih tepat jika disebut merampas—dari maid yang tadi dipergoknya. Tentu saja dengan acungan pistol tepat di kepala gadis tidak tahu apa-apa itu agar dia mau menuruti perintah Sakura.

"Kau terlihat seperti gadis desa, Sakura," ledek Ino saat melihat penampilan Sakura dari kamera yang terpasang di dapur.

Mendengar ledekan dari sahabatnya, Sakura menatap tajam kamera dan mendekatinya. Gadis itu berkacak pinggang dan mengancam Ino, "Jika aku sudah bertemu denganmu, aku bersumpah akan membuatmu lebih parah dari ini."

Ino hanya terkekeh geli mendengarnya.

Sakura kembali bergerak. Gadis itu mengambil kereta dorong berisikan sebuah hidangan dan sebotol minuman untuk dibawanya ke kamar target.

"Setidaknya baju itu tidak kekecilan di tubuhmu," Ino berkata lagi.

"Bisakah kau diam, Ino?" pinta Sakura. "Daripada kau terus mengoceh tidak jelas, apakah ada seseorang di balik koridor itu?"

"Tentu saja ada. Dia adalah seorang pria bertubuh besar yang sangat menyeramkan."

"Apa? Ino! Kenapa kau baru mengatakannya?" Sakura hampir berteriak ketika menanyakan hal itu. Dan tepat setelah kalimat tadi selesai dilontarkan, pria yang Ino bicarakan muncul dari balik koridor.

Pria yang dikatakan Ino lebih menyeramkan dari yang Sakura duga. Kulitnya sedikit gelap dan tubuhnya besar penuh otot. Seketika, nyali Sakura menciut melihat pria itu. Apa lagi saat—sepertinya—dia sedang menatap tajam Sakura dari balik kacamata hitamnya.

Sebisa mungkin Sakura menyembunyikan kegugupannya.

'Awas kau, Ino,' umpatnya dalam hati.

"Kau mau ke mana malam-malam begini?" suara besar yang sepertinya tertuju pada Sakura terdengar dari mulut pria itu.

Sedikit kaku, Sakura menoleh dan memaksakan seulas senyum. Benar juga, tidak masuk akal jika malam-malam begini dia mengantarkan makanan. Bukankah waktu makan malam sudah lewat beberapa jam lalu?

Saat Sakura sedang berpikir keras untuk jawabannya, tiba-tiba dia teringat pada nama target yang akan diculiknya, yang tercantum di atas alamat. Hanya saja dia benar-benar lupa nama yang tercatat di dalam tulisan itu. Yang dia ingat, itu adalah nama seorang lelaki.

"Tu-tuan muda memintaku untuk mengantarkan makanan ini … karena dia masih kelaparan," jawab Sakura akhirnya. Dalam hatinya dia berdoa agar gelagatnya tidak mencurigakan.

"Kelaparan?" Pria itu balik bertanya.

"Benar. Saat makan malam tadi dia hanya makan sedikit karena masakannya tidak enak. Begitulah katanya."

Pria itu mengangguk paham, lalu kembali berjalan melewati Sakura. Akhirnya gadis pemilik bola mata emerald itu menghela napas lega dan kembali berjalan.

"Ino, apa acting-ku terlihat kaku?" tanyanya dengan suara lirih.

"Lupakan itu, Sakura. Pria tadi memandangmu dengan seksama dan dia seperti sedang berbicara pada seseorang melalui earphone. Itu pertanda yang buruk, bisa jadi dia mencurigaimu," kata Ino memperingatkan. "Oh, tidak! Dia bahkan sudah memasukkan tangannya ke dalam saku jas. Dia seperti akan mengambil sesuatu." Kini Ino terdengar sedikit panik.

Mendengar itu, Sakura menggigit bibir dan dengan perlahan, menggerakkan tangannya menggenggam tudung saji. "Dengar, Ino…," katanya. "Sepertinya setelah ini aku tidak terlalu membutuhkanmu."

"Hey, Pinkie! Senapanmu tertinggal," pria tadi berbicara memancing Sakura seraya mengacungkan sebuah pistol berwarna hitam.

Dengan sigap, Sakura berbalik dan melempar penutup hidangan ke arah pria bertubuh besar tadi, sehingga peluru yang ditembakkannya berbentur dengan besi yang dilempar Sakura.

Merasa ada kesempatan, Sakura mengambil kedua pistol yang ada di atas nampan—sengaja dia letakkan di situ—dan kembali berbalik untuk membereskan pengacau.

Tidak tinggal diam, pria tadi merapatkan tubuhnya di dinding agar lebih aman seraya kembali membidik lawannya.

"Cepatlah! Gadis ini sepertinya sudah sangat berpengalaman!" perintah pria itu kepada partner-nya melalui earphone bersamaan dengan melesatnya peluru berbentuk lonjong yang tertuju pada Sakura.

Sakura berlari cepat dan kakinya berpijak pada sebuah vas untuk melompat berbalik. Seperti sedang berdansa, Sakura berputar dengan kaki di atas sementara kepalanya berada di bawah, melewati kereta dorong yang ada di bawahnya sehingga pelurunya melesat tepat di samping tubuh gadis itu—tidak tepat sasaran.

Saat Sakura berhasil mendarat di balik kereta dengan sempurna, satu dari dua bodyguard yang tiba-tiba datang seraya berlarian dari belokan terkena peluru dari pria bertubuh besar tadi.

Sakura menyeringai. Seraya kembali berdiri, dia mengacungkan pistol ke arah satu bodyguard yang masih hidup dan menembakkan amunisi tepat di kakinya bertepatan dengan gerakan Sakura menendang kereta dorong ke arah berlawanan untuk menghantam perut si pria besar.

Merasa ada celah, Sakura berlari cepat menuju tangga untuk memperdekat dirinya dengan target. Berkali-kali dia berhadapan dengan pengawas rumah dan berkali-kali juga dia berhasil menghindarinya dengan begitu apik.

Terkadang untuk menghemat amunisi, gadis itu melumpuhkan lawannya dengan tendangan, pukulan, atau melempar benda apa saja yang tertangkap indra penglihatannya. Bahkan tidak jarang Sakura mengerahkan segenap tenaganya untuk mengangkat lawan yang sudah lumpuh dan melemparnya ke lawan yang lain.

Dan tibalah saatnya Sakura berada di depan pintu yang sejak awal menjadi target misinya. Merasa tidak mau membuang waktu, dengan melawan musuhnya menggunakan pistol di tangan sebelah kiri, pistol sebelah kanannya dia gunakan untuk menembak tepat di kunci pintu agar bisa terbuka.

"Jangan bergerak!" Sakura berseru waspada ketika pintu sudah terbuka dan menampakkan seorang pria yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya dililit handuk. Pria itu hanya mengangkat tangannya waspada tanpa memperlihatkan emosi sedikit pun di wajahnya.

Entah disadari atau tidak, Sakura sedikit bersemu merah kala menyadari seorang di dalam ruangan target tersebut sedang memamerkan tubuh indah berbentuknya.

Beberapa bodyguard yang tadi sedang menodongkan pistolnya ke arah Sakura, kini menurunkan senjata saat melihat gadis licin itu sedang mengacungkan senjatanya kepada sang pemilik rumah sementara sebelahnya lagi sedang berayun pelan, menodong mereka.

Sakura berjalan ke samping kanan, semakin mendekati pria yang hanya mengenakan handuk itu. Pandangan matanya beralih awas dari para bodyguard dan kadang berpindah pada pria itu. "Kau pemilik rumah ini?" tanya Sakura.

Pria berwajah rupawan itu tidak menjawab.

Merasa gemas, Sakura berlari sigap mendekati pria itu hingga berada tepat di belakangnya. Gadis ayu itu melingkarkan tangan di leher pria yang lebih tinggi darinya tersebut dan menempelkan moncong pistol tepat di rahang keras milik si pria.

"Sedikit saja pergerakan dari kalian, maka peluru milikku akan menembus otak pria ini. Selesai dengannya, berikutnya adalah kalian," Sakura mengancam dengan wajah galak.

Berhasil. Satu per satu para bodyguard itu mundur selangkah demi selangkah.

Sakura menyeringai dan berbisik di telinga pria yang ada dalam sandraannya, "Perintahkan anak buahmu untuk menutup pintu dan meninggalkan kita berdua."

"Apa kau berniat memperkosaku?" tanya pria itu tanpa beban. Sama sekali tanpa beban.

Mendengar sahutan dari pria itu, sontak saja mata Sakura membesar. Apa-apaan dia? Jangan-jangan pria berambut hitam kebiruan tersebut bukannya merasa takut saat Sakura melingkarkan tangan di lehernya, malah merasa … err … keenakan?

"Lakukan saja perintahku!" Gadis pemilik tubuh sintal itu sedikit menggeram dan semakin menekankan moncong pistol di rahang sandranya.

"Kalian, tutup pintunya dan pergilah," perintah pria itu seraya mengibaskan tangan dengan tenang.

Dengan sedikit keraguan, akhirnya mereka menuruti perintah tuannya.

Setelah pintu tertutup dan menyisakan mereka berdua, tanpa sadar Sakura sama sekali belum melepaskan lingkaran tangannya di leher pria itu. Atau … gadis itu sengaja? Entahlah.

"Apakah kau benar-benar ingin memperkosaku?" pria dalam pelukan Sakura kembali menanyakan hal yang sama.

Dengan sangat tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan-nya dan berjalan menjauh dengan pistol yang masih ditodongkan kepada pria tampan tersebut. Jika diperhatikan, pria berkulit pucat itu benar-benar tampan. Dan Sakura sama sekali tidak menampik pendapat itu.

"Ino?" panggil Sakura kepada partner-nya. "Ino, apa kau mendengarku?" Sakura kembali memanggil sahabatnya saat dia tidak mendapat sahutan.

"I-iya, Sakura. Aku di sini," sahut Ino dengan suara gugup yang tidak bisa disembunyikannya. Gugup. Ya, Gugup. Entah gugup karena apa.

"Ino, kau bilang bahwa target kita berada di dalam kamar ini."

"Iya, benar. Target ada di dalam ruangan itu. Apa kau sudah memasukinya? Bukankah di situ ada orang?"

"Apa kau tidak bisa melihatku?" Sakura balik bertanya seraya menyentuh earphone-nya. Pandangan gadis itu awas, sama sekali tidak berpaling dari seseorang yang ada dalam ruangan yang sama dengannya.

"Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin ada sebuah kamera pengintai di dalam kamar pribadi, Sakura?"

Sakura terdiam seraya masih waspada pada pria di hadapannya.

"Hey! Di mana anakmu?" tanya Sakura pada pria berambut raven di hadapannya. Dia mematikan sambungan sejenak agar Ino tidak mendengarkan percakapannya dengan pria itu.

"Hn? Anakku?" pria itu balik bertanya. Mendapat jawaban berupa anggukan dari Sakura, dia menyeringai seksi. Sangat seksi dan sensual. "Kau belum melahirkannya," jawabnya seraya menyilangkan tangan di depan dada. Benar-benar tidak ada ketakutan sama sekali di garis wajahnya.

"Aku serius! Di mana anakmu!?" Kali ini Sakura membentak.

"Aku juga serius."

Dengan sangat kesal Sakura menarik pelatuk pistol dan menembak atap tepat di atasnya. "Jawab!"

Kembali, pria tadi hanya menyeringai seraya berjalan santai menuju spring bed dan duduk di atasnya.

Kali ini Sakura merasa geram. Pria bertubuh atletis di hadapannya benar-benar membuat gadis itu marah karena sudah membuang waktunya. "Aku tanya sekali lagi, di mana anakmu?"

"Apa kau tidak salah rumah?" alih-alih menjawab, pria menyebalkan itu malah balik bertanya kepada Sakura dengan nada yang kelewat tenang dan dengusan meremehkan. "Gadis bodoh," lanjutnya lirih

"Aku mencari anakmu yang bernama…," gadis itu menghentikan kalimatnya dan membuka rok maid untuk merogoh saku hot pants-nya. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, dia kembali menodong si pria menyebalkan itu. "… Uchiha Sasuke," lanjutnya.

Pria tadi mendengus menahan tawa seraya menggeleng pelan tanpa menyahut pertanyaan Sakura—bahkan tidak ada niat menyahut sama sekali. Dan gerakan sederhana itu entah mengapa membuat pemilik sepasang emerald indah tersebut menelan saliva-nya gugup, benar-benar gugup. Oh, sebenarnya siapa yang berperan sebagai penjahat, di sini?

"Kau!" Sakura menggeram. "Aku sudah bersikap serius padamu sejak tadi dan kau hanya menganggapku badut?"

"Kau mencari Uchiha Sasuke? Benarkah kau mencarinya?" Kali ini pria itu berwajah serius. Entahlah ada sesuatu apa yang membuatnya mengubah raut wajah dengan tiba-tiba.

Sakura mendecih menanggapinya.

"Dia ada di sini."

"Kalau begitu keluarkan dia!" Sakura kembali membentak marah. Pria itu sepertinya benar-benar berniat membuat Sakura meledak.

"Hanya saja dia bukan anakku," pria itu mulai menjelaskan—menjelaskan dengan setengah-setengah—membuat Sakura mengernyit bingung karenanya. Apakah gadis itu salah memasuki rumah? Tapi pria itu baru saja berkata bahwa bocah yang menjadi target Sakura ada di ruangan ini. "Dia adalah anak ayahku," lanjut pria berambut mirip pantat ayam itu.

Sakura berjengit. Merasa dia hanya dipermainkan oleh lawan bicaranya, dengan sigap Sakura mengambil belati yang menempel di pahanya dan melemparkan belati itu hingga menancap dengan sempurna pada tembok yang ada di belakang pria tersebut. Naasnya, ternyata Sakura sengaja menggoreskan luka—yang panjang dan lumayan dalam—pada bahu kanan pria yang baru saja melecehkannya itu.

Demi apa pun yang ada di dunia ini, dia sedang dalam misi, bukannya sedang bermain ke rumah kawan lama.

Pria tadi menggeram menahan sakit seraya berusaha menghentikan pendarahan yang menimpanya. Ternyata gadis yang ada di dalam satu ruangan yang sama dengannya itu bukanlah gadis yang penakut dalam mengambil tindakan. Dia harus lebih berhati-hati setelah ini.

Sakura menyeringai melihat lawannya lumpuh. "Di mana bocah bernama Uchiha itu?" dia kembali bertanya.

"Ada perlu apa kau denganku?" Suara pria itu menyerupai desisan karena masih merasa sakit.

"Aku tidak ada perlu denganmu. Aku ada perlu dengan bocah bernama—"

"—Uchiha Sasuke. Itu aku," jawabnya. "Dan aku adalah seorang pria dewasa, bukan bocah seperti dalam dugaanmu, Bodoh."

"Kau..." Sakura menelan salivanya dengan susah payah. "... Uchiha Sasuke?"

"Apa pendengaranmu kurang bagus? Ya. Aku. Adalah. Uchiha. Sasuke," tegasnya kesal.

Selanjutnya, Sakura tidak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa.

.

.

.

Bersambung

.

.

.

Sophie's Note: Ini adalah draft yang hampir membusuk karena disimpan selama berbulan-bulan. Atau bahkan setahun? Intinya udah lama lah. Jadi, maaf karena tulisan dan deskripsinya nggak jelas. Aku males ngedit. #dibuang

Aku hanya mencoba peruntungan dengan menjamah genre baru setelah lama nggak nulis. Sebelumnya aku cuma berkutat di genre romance, humor, hurt/comfort, dan genre mainstream lainnya. Ini adalah pengalaman pertamaku nulis kaya gini. Jadi mohon dimaklumi.

Dan soal Sasuke ... maaf aku bikin dia keluar dari garis IC. Habisnya aku pengen bikin dia agak-agak gimanaaaaaa gituh! #halah.

Terakhir, barangkali ada yang mau ngasih kritik, saran, atau apa pun itu, bisa dituangkan ke dalam review.

Sankyuu vo Riding.