A/N : Halo salam kenal. Saya baru di fandom KHR ini jadi pertama-tama mohon maaf kalau ada sesuatu yang berasa ga sreg di fic ini dan mohon saran juga melalui review.

Terima kasih~


Our Goodbye Days

~First Memories~

.

Pairing : GokuFemTsuna

.

By Hibari A. BeenBin

.

Katekyo Hitman Reborn © Akira Amano-sensei

.

Acara televisi hari ini tidak ada yang menarik. Bosan, aku melirik keluar jendela kamar, menghela napas dan merasakan aroma musim semi yang sangat kusukai. Kulihat jalanan mulai nampak sepi, tentu saja karena ini sudah senja. Tapi masih ada dua anak perempuan berpakaian seragam SMP Namimori. Mereka terlihat sangat ceria, mengobrol satu-sama lain, saling berbisik dan tertawa. Jujur, aku sangat iri. Selama 16 tahun hidupku ini selalu kuhabiskan dengan berbaring di kasur karena kelumpuhan hampir 75% dari organ tubuhku. Ya, lebih jelasnya aku lumpuh. Bahkan untuk makan dan minum pun aku harus menyusahkan ibuku.

Sejak berumur 3 tahun aku sudah seperti ini. Bahkan aku tidak merasakan yang namanya menjadi siswi, menyedihkan bukan? Yang kulakukan setiap hari hanyalah berbaring, menonton televisi dan terkadang berkhayal ingin melakukan segala macam kegiatan entah itu bermain bola, menyanyi atau hal kecil seperti melihat tempat bernama taman ria dan kebun binatang. Jangan tertawa, aku memang tidak pernah pergi ke tempat seperti itu.

PRAANG!

Aku terkejut ketika sebuah benda berbentuk bulat memecahkan kaca jendela kamarku dan benda bulat yang ternyata adalah sebuah bola baseball itu mendarat di kepalaku.

"Auw!" ucapku spontan ketika bola itu mengenai kepalaku.

Aku melirik bola baseball yang sekarang telah berada di pangkuanku, aku tidak bisa memegangnya karena tanganku sudah tidak dapat digerakkan dengan bebas sesuai kemauanku. Ini pertama kalinya aku melihat bola baseball sungguhan. Biasanya aku hanya melihat dari televisi saat ada tournament atau semacamnya.

Tapi bola ini milik siapa? Pertanyaan itu yang memenuhi kepalaku. Dan tanpa kusadari perubahan terbesar dalam hidupku dimulai dari bola ini.


TLAANG!

"Lihat itu Ahodera! Lambo-san mencetak homerun!"

"Ahoushi! Kau memukulnya terlalu jauh! Baka, cepat ambil bolanya sana!"

"Tidak mau! Itu kan salahmu! Kau payah Ahodera! Kau saja yang ambil!"

Cih, si sapi bodoh itu menyebalkan sekali! Aku melepas sebuah sepatu sekolahku lalu melemparkannya dengan kerasa ke kepala anak sapi bodoh bernama Lambo itu. Bagus, dan sekarang ia menangis. Aku yakin nanti dia akan melapor pada Aneki, aku tidak takut dan tidak peduli.

Aku melirik langit yang telah berubah warna menjadi keorangean. Hari sudah mulai mendekati malam. Aku harus segera mengambil bola baseball tadi dan aku berharap bola pukulan Lambo tadi tidak memecahkan kaca rumah orang lain karena itu akan menambah masalah dalam hidupku.

Oh astaga, bahkan aku masih memakai seragam sekolah di waktu yang telah larut begini dan yang terpenting aku belum memakan sebutir nasipun hari ini. Aku cuma sempat memakan roti saat istirahat, itu juga roti yang diberikan si maniak baseball Yamamoto Takeshi itu.

Aku menghela napas beratku, melirik Lambo yang masih saja menangis lalu mengeluarkan sebungkus permen karet dalam saku seragamku. "Sudah, jangan menangis lagi. Ayo kita ambil bolanya lalu segera pulang." Aku menggendong Lambo yang sama sekali tidak mendengarkan perkataanku setelah mendapat permen karet rasa anggur favoritenya. Dasar anak-anak, aku menyesal sudah mau menemaninya bermain hari ini, sungguh melelahkan.

Aku mulai berjalan meninggalkan lapangan –atau lebih tepatnya tanah kosong tersebut. Sepertinya bola tadi jatuh di daerah yang jaraknya sekitar dua blok dari sini. Tidak terlalu jauh, aku mempercepat langkah kakiku sambil tetap menggendong Lambo yang sekarang mulai berisik meminta peremen karet lagi.

Langkahku terhenti di sebuah rumah bertingkat. Aku melirik papan nama bertuliskan 'Sawada' pada pagar rumah tersebut. Beberapa detik kemudian mataku teralih pada kaca jendela di lantai dua yang pecah. Oh, sepertinya bola tadi benar-benar memecahkan kaca rumah ini.

"Lambo! Lihat itu, gara-gara bola yang kau pukul kaca jendela rumah ini pecah!" teriakku pada Lambo yang sama sekali tidak menghiraukanku.

"Itu salahmu yang payah!" balasnya dengan nada yang meremehkanku.

Aku harus sabar. Aku harus bisa menahan emosi. Aku menghela napas yang dalam lalu menghembuskannya perlahan dan mempersiapkan mental. Sepertinya aku akan kena ceramah gratis dari pemilik rumah ini dan sepertinya lagi mereka akan menuntut ganti rugi. Apa boleh buat, akhirnya aku mengetuk pintu rumah itu. Suara lembut seorang wanita menyambutku dari dalam. Pintu rumah itu terbuka, aku segera menunduk minta maaf dan menjelaskan semuanya. Wanita berusia sekitar 35 tahunan itu mempersilahkanku masuk dengan ramah, sepertinya dia tidak marah padaku. Dan, siapa kira satu langkah kakiku masuk ke dalam rumah ini dapat merubah kehidupanku di hari selanjutnya.


Everything happened when I met you

Pemuda itu mengikuti wanita yang tadi menyambutnya di pintu masuk. Dengan kikuk pemuda itu menaiki tangga rumah yang sederhana namun terasa sunyi itu. Sang pemuda bahkan bertanya-tanya apakah rumah ini hanya dihuni oleh wanita itu seorang.

"Nah, Gokudera-kun mungkin bola yang kau cari ada di dalam kamar Tsuna. Masuk saja, aku akan membuatkan teh dan kue," ucap wanita itu.

"Kue! Aku ikut, Mama!" teriak Lambo. Pemuda bernama Gokudera Hayato itu benar-benar malu sekarang. Ia telah memecahkan kaca jendela di rumah ini tetapi malah diperlakukan layaknya tamu bahkan Lambo mulai memanggil wanita pemilik rumah ini dengan sebutan 'Mama'.

"Ahoushi, jangan seenaknya memanggil orang dengan 'Mama'!" tegur Gokudera.

Wanita itu tersenyum. "Tidak apa-apa, aku malah senang punya anak laki-laki," ucapnya dengan ramah lalu mengajak Lambo ke dapur meninggalkan Gokudera.

Gokudera berdiri di depan pintu kamar itu selama beberapa saat. Hanya berdiri di sana tanpa mengetuk pintu itu, entah kenapa ia menjadi nervous.

"Kau yang ada di luar, kenapa tidak masuk?"

Suara itu terdengar tepat ketika Gokudera hendak menyentuh gagang pintu kamar tersebut. Pemuda bermata emerald itu menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal lalu memberanikan diri memasuki kamar tersebut.

"Se-selamat malam, namaku Gokudera Hayato—apa ada yang lucu?"

Gokudera melirik gadis berambut cokelat sepunggung dengan piyama berwarna cream yang sedang duduk dan tertawa kecil di kasur samping jendela yang pecah. Ia melihat bola baseball miliknya ada di pangkuan gadis itu dan hal yang mengganggunya adalah wajah pucat gadis itu beserta sebuah infus yang tergantung dan terhubung ke nadinya.

"Haha, tidak kok. Hanya saja ini pertama kalinya ada orang yang seumuranku masuk ke dalam kamar ini. Maaf ya kalau kamar ini bau obat, Gokudera-kun," ucap gadis itu sambil tersenyum. Wajahnya sangat mirip dengan wanita tadi dan Gokudera segera mengambil kesimpulan kalau gadis ini adalah anak wanita tadi.

"Kau bilang ini pertama kalinya orang seumuranmu masuk ke kamar, apa teman-temanmu tidak pernah menjengukmu?" Gokudera bisa melihat ekspresi gadis itu berubah dan ia merasa bersalah telah menanyakannya.

"Aku tidak punya teman, sejak kecil aku sudah lumpuh jadi aku tidak bisa pergi keluar bahkan untuk sekolah. Ah ya, namaku Sawada Tsunahime, panggil saja aku Tsuna."

Ah, Gokudera merasa simpati sekarang. Tanpa sadar bahkan pemuda berambut silver itu mengucapkan 'maaf' walau hanya pelan. Ini pertama kalinya ia menemui orang seperti Tsuna, jadinya ia bingung harus membuat ekspresi seperti apa. Sepanjang hidupnya ini ia tidak pernah bertemu orang yang benar-benar memprihatinkan seperti Tsuna.

"Jangan meminta maaf, kau ke sini karena bola baseball ini kan? Ambil saja, maaf aku tidak bisa memegangnya." Tsuna tersenyum ketika Gokudera mengambil bola baseball itu dan duduk di kursi yang berada di samping kasurnya. Ia senang, Gokudera adalah teman pertama yang ia miliki, teman yang selama ini hanya bisa ia khayalkan dan dengan perasaan egoisnya ia ingin berbicara banyak dengan pemuda blasteran Italia-Jepang itu.

"Tanganmu tidak bisa digerakkan?" Tanya Gokudera hati-hati.

Tsuna mengangguk lalu menatap tangannya yang tertutupi selimut berwarna putih. "Hanya jarinya saja yang bisa bergerak," ucapnya kemudian sambil sedikit menggerakan jarinya.

Gokudera hanya terdiam. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan. Lumpuh, tidak memiliki teman dan tidak bisa keluar rumah. Apakah Tuhan tida terlalu kejam pada gadis ini? Pikir Gokudera. "Boleh aku memegang tanganmu?"

"Eh? Tentu saja." Gokudera membuka selimut yang menutupi tangan Tsuna lalu perlahan ia mengangkat kedua tangan mungil itu dan menggenggamnya. Dingin. Perasaan itulah yang pertama kali terasa di tangan Gokudera. Tangan Tsuna begitu dingin, pucat namun lembut.

"Hangat. Tanganmu hangat, Gokudera-kun." Semburat merah tiba-tiba tampak pada wajah Gokudera dan pemuda itu langsung mengalihkan pandangannya dari Tsuna ke televisi yang menyala sejak tadi.

"Gokudera-kun, kau siswa SMP Namimori ya?" Gokudera mengangguk namun masih tidak berani menatap Tsuna secara langsung lagi. "Semester berapa?"

"Tiga, sekitar enam bulan lagi aku lulus," jawabnya. Ketika ia memberanikan diri untuk menatap Tsuna lagi ia mendapati mata karamel gadis itu berbinar. Ia tahu Tsuna pasti sangat ingin sekolah seperti dirinya.

"Tsuna, kau bisa membaca?" Tsuna menggeleng. "Mau kuajari membaca?" tawar Gokudera. Ia melepaskan genggaman tangannya dari Tsuna dan mengambil sebuah buku dari dalam tasnya.

"Sungguh? Aku mau!" antusias Tsuna, ia melirik buku yang dipegang Gokudera. "Apa itu buku cerita?" tanyanya kemudian.

"Ya semacam itu, ini cerpen yang sedang populer di Namimori."

"Terima kasih Gokudera-kun, kau memang baik ya." Tsuna mulai menangis dan itu membuat Gokudera panik dan salah tingkah.

"Ke-kenapa kau menangis?" Gokudera mengambil selembar tisu dari dalam saku seragamnya lalu menghapus airmata dari pipi Tsuna.

"Waktu pertama aku melihatmu dari jendela ini, kupikir kau seorang anak berandalan dan semacamnya. Habisnya anak berandalan yang sering kulihat di televisi memakai kalung-kalung dan cincin sepertimu," kata Tsuna.

"Astaga kau benar-benar mempelajari semuanya dari televisi ya, tapi kau tidak perlu sampai menangis, kan? Anggap saja ini permintaan maafku karena telah memecahkan jendela kamarmu." Gokudera tersenyum. Pemuda itu sangat jarang tersenyum, sangat jarang bahkan ia sendiri lupa kapan terakhir kali ia tersenyum tulus pada seseorang.

"Ararara~ Ahodera kalau kau tidak cepat semua kue ini akan kuhabiskan loh!"

Gokudera menghela napas pasrahnya. Ya, si berisik Lambo, adiknya telah datang. Anak kecil dengan rambut kribo dan pakaian bercorak sapi itu berlari kecil ke arah Gokudera dan Tsuna sambil membawa sepiring kue kering dan dengan dua kali lompatan dari lantai ke kursi yang diduduki Gokudera ke kasur Tsuna ia berhasil membuat Tsuna tertawa kecil.

"Gokudera-kun, dia adikmu?" Tanya Tsuna.

Gokudera melonggarkan dasi seragamnya dan makin menyadarkan badannya ke kursi. "Ya, sayangnya dia adikku," ucap Gokudera, agak tidak rela mengakui jika Lambo adalah adiknya.

Lambo mengejek Gokudera dengan mengeluarkan lidahnya dan tentu saja dengan cepat anak bungsu dari keluarga Gokudera itu mendapat jitakan keras dari Gokudera. Di mata Tsuna kedua kakak-beradiki ini terlihat sangat akrab dan sedikit membuatnya iri.

"Siapa namamu?" Tanya Tsuna pada Lambo.

"Namanya Ahoushibaka, jangan memakan semua kuenya sekaligus, rakus!" Gokudera segera mengelus punggung Lambo ketika anak itu tersedak karena memakan empat buah kue sekaligus.

"Namaku Lambo! Kau siapa?" Tanya Lambo setelah berhasil melewati masa-masa tersedaknya. Ia mengulurkan kue yang ada di tangannya ke Tsuna namun tentu saja Tsuna tidak bisa mengambilnya, kan.

"Aku Tsuna, salam kenal Lambo-chan," jawab Tsuna sambil tersenyum.

Gokudera mengambil kue di tangan Lambo lalu menyuapkannya ke Tsuna. Ia memperhatikan wajah Tsuna sambil terus menyuapinya. Ia menyadari Tsuna sepertinya sangat bahagia sekarang karena ia menjadi teman pertama gadis itu, karena ada Lambo yang bisa membuatnya tertawa dan entah kenapa melihat Tsuna seperti itu dia juga merasa senang.

"Ahodera-kun?"

"Ya, kena—hei, kau jangan ikut-ikutan memanggilku dengan itu donk!" Tsuna tertawa melihat ekspresi Gokudera yang kesal. "Maaf, jadi mengajariku membaca?" tanyanya masih sambil mengunyah kue yang tadi disuapkan Gokudera.

"Yup, ayo kita mulai dari bagian sini."

Dan begitulah awal pertemuan mereka. Sederhana, namun penuh dengan kehangatan. Tidak seistimewa dan seromantis pertemuan Cinderella dengan pangerannya namun penuh arti dan membawa perubahan diantara mereka berdua.

xXx

Little by little
I change, towards believing in this bond

Gokudera baru saja bangun dari tidur siangnya ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi. Sedikit menguap, ia mengambil tasnya dan langsung keluar dari kelas tanpa memperdulikan Yamamoto yang sejak tadi memanggilnya.

"Gokudera, hari ini mau ikut ke game center?" Tanya Yamamoto, ketua klub baseball itu memang agak dekat dengan Gokudera, walau hanya terlihat sepihak.

"Tidak, aku sibuk," jawab Gokudera ia sama sekali tidak melihat ke arah Yamamoto dan terus berjalan hingga ke lokernya.

"Belakangan ini kau terlihat sibuk, memangnya apa yang kau kerjakan?"

Ya, belakangan ini Gokudera selalu mengunjungi Tsuna sepulang sekolah. Ia akan mengobrol dengan gadis itu, mengajarkannya membaca dan terkadang membawa beberapa film untuk ditonton bersama. Awalnya ia bingung mengapa ia melakukan semua itu tapi lama-kelamaan ia mulai menyadari sesuatu, ia sangat peduli dengan gadis itu. Entah itu perasaan suka atau apa ia tidak memikirkan hal itu. Yang terpenting baginya adalah bisa bersama gadis itu dan membuatnya tersenyum. Kalau begitu, mungkin kata suka tidaklah tepat untuk menggambarkan perasaannya. Perasaannya pada gadis itu jauh melampui sesuatu yang disebut suka, mungkin cinta?

"Bukan urusanmu," balas Gokudera.

Pemuda bermata emas bernama Yamamoto Takeshi itu hanya bisa menghela napas. Gokudera memang orang yang susah didekati tapi itu tak melunturkan semangatnya untuk berteman dengan teman sekelasnya itu. "Ah ya, kudengar kau mencari apotik yang menjual kursi roda? Kemarin aku lihat apotik di jalan Vongola menjualnya. Memangnya untuk apa?" Yamamoto melihat Gokudera berhenti sejenak dari langkahnya. Beberapa saat kemudian pemuda berambut silver itu menepuk pundah Yamamoto dan berkata, "terimakasih".

Yamamoto tertegun, ini pertama kalinya Gokudera mengucapkan terima kasih padanya. Ia memang menyadari belakangan ini ada sesuatu yang berubah dari Gokudera. Biasanya Gokudera selalu memperlihatkan wajah bosan dan suntuk saat di kelas tetapi belakangan ini ia beberapa kali melihat Gokudera tersenyum saat menatap sebuah buku ataupun film yang dipegangnya.

"Tapi.. Kursi roda untuk apa ya?" gumam Yamamoto.

xXx

Inside a lonely group
As much as time could give, I think of seeing you

Gokudera tidak bisa berhenti tersenyum ketika sampai di depan rumah Tsuna. Berkat informasi dari Yamamoto ia bisa membeli sebuah kursi roda yang pas untuk Tsuna. Ia sudah lama memikirkan hal ini bahwa ia ingin mengajak Tsuna ke beberapa tempat yang menurutnya menarik. Sebenarnya Tsuna dulu pernah memiliki kursi roda tapi karena terlalu jarang dipakai kursi roda itu menjadi berkarat dan sekarang menjadi sampah di gudang.

"Gokudera-kun, masuk saja, pintunya tidak dikunci kok," ucap ibu Tsuna dari jendela kamar Tsuna yang telah diperbaiki. Ia sudah menganggap Gokudera seperti anaknya sendiri jadi tidak perlu menggunakan basa-basi semacam membukakan pintu dan hal-hal formal lainnya.

Sesuai perkataan ibu Tsuna, Gokudera membuka pintu rumah dan langsung menaiki tangga menuju ke kamar Tsuna sambil mengangkat kursi roda seharga sebulan penuh uang jajannya dan membawa setoples kue yang dibuat Bianchi, walaupun ia meragukan rasanya.

"Selamat si-" Gokudera segera menutup pintu kamar Tsuna dengan wajah seperti kepiting rebus setelah melihat ternyata Tsuna sedang dimandikan oleh ibunya, dalam posisi berbaring. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan meyakinkan diri bahwa ia tidak melihat apapun.

"Gokudera-kun? Kenapa tidak jadi masuk?" suara Tsuna terdengar dari dalam.

"Kau sudah selesai?" Tanya Gokudera.

"Emm.. Masuk saja, sudah selesai kok."

Sekali lagi, Gokudera membuaka pintu kamar Tsuna. Ia melihat Tsuna hanya mengenakan kaus singlet berwarna putih dan untuk kedua kalinya ia menutupi matanya. "Kau bilang sudah selesai!" protesnya.

Samar, ia mendengar Tsuna tertawa kecil dan disusul dengan suara telepon yang berdering dari lantai bawah.

"Gokudera-kun tolong Tsuna memakai bajunya ya, aku akan mengangkat telepon." Ibu Tsuna berlalu, meninggalkan sang anak gadis dengan seorang pemuda yang sama sekali belum punya pengalaman macam ini dengan perempuan.

"Anoo.. Gokudera-kun, kalau tidak keberatan.."

Gokudera menatap resleting dress yang Tsuna pakai belum tertutup seluruhnya. Ia menghela napas, mendecik lalu meletakkan semua barang bawaannya dan mendekati Tsuna.

"Baiklah, apa boleh buat," ucap Gokudera. Ia menaikkan resleting bagian belakang dress Tsuna walau dengan mengalihkan pandangannya ke objek lain. Berada sedekat ini dengan Tsuna, ia mencium aroma segar anggur dari tubuh Tsuna. Mungkin pengaruh dari sabun yang dipakai Tsuna atau karena parfume, tapi ia menyukai aroma itu.

Setelah selesai dengan pakaian Gokudera merebahkan Tsuna ke kasurnya dan menyalakan televisi yang biasanya saat siang seperti ini didominasi oleh berita kriminal.

"Terima kasih, Gokudera-kun." Tsuna melirik kursi roda yang masih dalam keadaan terlipat di pojok kanan dinding kamarnya dengan heran. "Kau yang membelinya?" tanyanya kemudian.

Gokudera tahu yang dimaksud Tsuna pasti adalah kursi roda itu. Ia mengangguk lalu mencoba mengumpulkan keberaniannya dan setelah yakin ia berkata, "m-mau pergi kencan denganku?" Gokudera berani bertaruh pasti wajahnya sangat memerah sekarang.

"Eh?" Tsuna terdiam sebentar. Mencoba mencermati ajakan Gokudera dan beberapa saat setelahnya semburat merah muncul di kedua pipinya. "Tentu saja," jawabnya mantap dan membuat senyuman lebar menghiasi wajah pemuda di hadapannya.

Setelah mendengar jawaban itu Gokudera langsung membuka lipatan kursi roda dan dengan hati-hati menggendong tubuh mungil Tsuna untuk duduk di atasnya. Gokudera bahkan memakaikan sepatu, sarung tangan dan syal pada Tsuna, hal itu membuat sang gadis sangat senang. Ia menjadi sangat bersyukur bisa bertemu Gokudera. Pemuda itu sangat tulus dan baik hingga ia dengan egois ingin selalu bersama pemuda itu, ingin selalu bertemu pemuda itu.

"Aku baru sadar, hari ini kau menguncir rambutmu ya?" Tanya Tsuna setelah melihat kunciran kecil pada rambut Gokudera.

"Oh ini, rambutku mulai memanjang tapi aku malas ke barber shop. Kenapa?"

Tsuna menggeleng sambil tersenyum kecil. "Imut," ucapnya kemudian.

"I-imut?" Gokudera segera melepaskan kuncirannya, ia tidak terima dibilang imut oleh Tsuna. "Lupakan saja ini! Jadi, kau mau kita kemana?" Tanya Gokudera, ia menundukkan badannya agar sejajar dengan Tsuna yang duduk di kursi roda.

"Kebun binatang, boleh?" Tsuna ragu. Ia menatap lurus ke mata emerald Gokudera yang ia anggap sangat cantik.

Gokudera tersenyum lalu menempelkan dahinya ke dahi Tsuna dan mengusap rambut cokelat lembut gadis itu. "Tentu saja, kemanapun kau mau akan kutemani."

~Continued~