Suara musik pop kesukaan Hinata mengalun memenuhi kamar biru miliknya dengan volume sedang.
Hari sudah menggelap, dan bahkan ini sudah hampir tengah malam. Pukul 23:21.
Tapi Hinata masih terjaga, menemani seseorang yang memang sedang membutuhkan teman. Beruntunglah ayahnya sedang pergi ke keluar kota, jadi dia tidak perlu repot-repot dimarahi karena belum tidur selarut ini.
Hinata tersenyum kecil pada Naruto yang duduk disampingnya. Mereka kini duduk di karpet sambil melihat pemandangan luar malam melalui jendela.
Safir Naruto tampak meredup, dia kelihatan lesu sambil meminum cairan dari gelasnya.
Senyum Hinata yang semula terkembang memudar saat pria itu tidak melihatnya. Tatapan pengertian miliknya juga berubah sedih.
Hingga Naruto kembali menoleh padanya, dan entah sejak kapan berada tepat didepan wajah Hinata hingga Hinata dapat merasakan dengan jelas deru nafas pemuda itu.
"Na-Naruto!"
Hinata terkejut, dan hendak memundurkan tubuhnya menjauh tetapi tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang menahan punggungnya untuk pergi. Hinata panik, tapi saat irisnya kembali pada wajah Naruto... Hinata langsung terdiam.
Safir itu meneteskan air mata.
Membuat Hinata merasa sakit untuk satu alasan yang naif.
Dia tidak bisa melihat Naruto menangis.
"Hinata..." suara parau yang Hinata sangat hafal memanggil. Membuat lamunan gadis itu terenggut dalam sekejap.
Hinata tidak menjawab, hanya membalas tatapan kosong Naruto untuk menandakan bahwa dia mendengarkannya. Selalu mendengarkan.
Hinata melihat satu senyuman kecut dari bibir pria itu, lalu tanpa diduga pria itu mengatakan sesuatu yang tidak pernah Hinata sangka.
"Aku mau menciummu. Boleh ya..."
Bahkan belum sempat Hinata mencerna perkataan Naruto, pria itu sudah menghentakkan wajahnya pada Hinata.
Hingga bibir keduanya bertemu dengan cukup keras.
Hinata memekik kecil. Mata bulannya melebar, dan dia seketika berontak saat bibir Naruto menempel padanya untuk beberapa detik.
Dan saat Hinata tidak mampu mendorong tubuh itu menjauhinya, Naruto justru sudah ambruk duluan. Wajah pria itu tiba-tiba saja jatuh ke bahu Hinata. Lalu dia... mendengkur pelan.
Naruto tertidur. Di bahu Hinata.
Setelahnya Hinata masih menahan nafas untuk semua yang baru terjadi. Dia bahkan sudah berkeringat dingin.
Hinata hanya membiarkan Naruto tertidur dipelukannya—dengan wajah bersandar pada bahunya yang kecil untuk sementara.
Mengabaikan Naruto yang mungkin saja sudah ngiler dibahunya, Hinata justru tengah menatap dengan kecewa pada botol-botol wine kosong yang berserakan pada meja didepannya.
"Hmm... Sakura..." Naruto mengigau pelan, kemudian dia bergerak menyamankan dirinya pada tubuh Hinata.
Sedangkan Hinata, dia hanya mampu menghela nafas lirih sambil menelan rasa sakit hatinya sekali lagi.
Lalu setetes air mata jatuh melewati pipi Hinata.
"Ya, tidak apa-apa..."
.
.
Give Me Love
Naruto © Masashi Kishimoto
[ Dksfgxo © 2015 ]
AU, Typo(s), twoshot! NoEdit.
Angst/Friendship/Drama and littleRomance
Rated T
NARUTO x HINATA
~ooOoo~
.
.
.
Sejak kapan?
Aku juga tidak tahu. Tapi... aku menikmati setiap perasaan yang kusimpan rapi ini untukmu.
Entah sampai kapan.
Mungkin sampai suatu saat nanti, ketika aku mulai menyerah.
(Hinata Hyuuga)
.
.
.
Suasana kedai siang itu cukup tenang. Hinata bersyukur karena dia bisa menikmati makan ramen siang ini dengan damai. Mengingat kedai ini berada di dekat Universitas, jadi memanglah hal yang sangat langka kedai ini sepi pengunjung.
Tapi meski begitu, Hinata juga tidak begitu menyukai suasana sepi. Jadi, beruntunglah dia karena Naruto selalu ikut serta makan bersamanya.
Karena Naruto selalu penuh semangat berbicara disetiap saat. Meramaikan suasana. Menghilangkan kehampaan yang Hinata takutkan.
Hinata sangat menyukai bagaimana pria itu bercerita dengan banyak ekspresi.
Ah, mungkin Hinata menyukai segala dari pria itu.
Dan mencintainya dengan hati.
Hinata melahap sedikit ramen miliknya yang masih panas. Dirinya tertawa saat melirik Naruto yang tidak sabaran melahap ramennya banyak-banyak lalu berakhir dengan wajah memerah yang konyol karena kepanasan.
Hinata segera memberikannha segelas air, dan menepuk-nepuk punggung Naruto dengan pengertian.
"Hahaha. Makanlah pelan-pelan!" Ujar Hinata.
Naruto cemberut merasa Hinata meledeknya, tapi kemudian dia mengagguk setuju.
Naruto kembali memegang sumpit dan mengambil sesuatu dari mangkuk ramen miliknya lalu memindahkannya pada mangkuk Hinata.
Itu, kuning telur rebus.
Naruto tidak suka kuning telur rebus. Jadi Hinata akan selalu jadi orang yang memakan kuning telur rebus ramennya.
"Seperti biasa, itu untukmu."
Tapi kemudian kali ini Naruto mengambil putih telur dari mangkuk Hinata dan langsung melahapnya ke mulut.
"Dan ini milikku!" Ucapnya penuh canda.
Hinata hanya tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Hinata sangat senang menikmati saat-saat seperti ini dengan Naruto. Meski Hinata suka putih telur rebus, tapi dia tidak keberatan memberikannya untuk Naruto. Ah, bahkan mungkin apapun itu. Asal Naruto bisa tersenyum, Hinata akan rela memberikannya.
"Ah ya, Hinata bagaimana dengan novelmu?" Naruto bertanya setelah selesai menghabiskan kuah ramennya.
Alis Hinata terangkat, dia berpikir sebentar sebelum memberikan senyumnya.
"Mungkin beberapa minggu lagi selesai. Ada apa?" Kali ini wajah Hinata berubah curiga. Apalagi melihat Naruto yang cengengesan seperti itu.
"Baguslah! Aku menunggu untuk ditraktir olehmu. Hehehe!"
Tuhkan.
Wajah Hinata berubah masam. Tapi akhirnya Hinata ikut tertawa manis.
"Hah, kau ini..."
"Tenang saja, nanti jika aku sudah mendapatkan Sakura aku juga akan mentraktirmu!" Naruto berkata dengan sangat ceria.
...membuat Hinata merasa senang dan sakit disaat bersamaan.
Wajah cerah Hinata hampir saja memudar saat rasa sakit itu kembali menyesakkan dirinya. Tapi beruntunglah Hinata sudah terlatih untuk itu.
Dia masih tetap tersenyum meski perasaannya sedang kembali terluka. Tersenyum sangat baik hingga Hinata merasa telah menjadi penipu yang sangat handal.
"Ah, aku tidak sabar menunggunya..."
"Makanya, bantu aku ya."
~ooOoo~
Hinata benar-benar tidak merencanakan hal ini. Berada diantara Naruto dan Sakura pada saat jam makan siang di kantin kampus.
Hinata memang tidak merasa terganggu. Dia bahkan sudah melupakan rasa sakitnya ketika harus berada diantara mereka berdua.
Karena Naruto tetap memperlakukannya dengan baik, begitupun dengan Sakura Haruno, dia gadis yang cantik, baik dan punya senyum yang bagus.
Sakura selalu menebar senyum tulus pada semua orang. Dibanding Hinata harus sakit hati, Hinata lebih menjadi iri jika dia harus dibandingkan dengan Sakura.
Gadis itu baik dan punya batasnya sendiri. Sempurna untuk menjadi dambaan para lelaki.
Pantaslah jika Naruto sangat menyukainya.
Mereka bertiga kini duduk disebuah meja panjang dekat jendela. Hinata duduk sendiri, sedangkan Naruto dan Sakura duduk bersampingan diseberang Hinata.
"Jadi kalian bersahabat?" Sakura bertanya dan melihat kearah Hinata.
Hinata yang sedang melamunkan gadis itupun tersentak, kaget. Membuat Sakura dan Naruto tertawa dan Hinata menjadi sedikit malu.
"Ah—ya, begitulah." jawab Hinata kacau.
Naruto menyodorkan sebotol air putih pada Hinata, lalu dia nyengir, "Minumlah. Kau melamun terus dari tadi."
Hinata tersinggung dan jadi terlihat kesal pada satu-satunya pria di meja ini. Tapi justru wajah merengutnya itu mengundang Naruto dan Sakura untuk kembali tertawa.
"Kalian kompak sekali..." Hinata mendecih dan tetap mengambil air mineral itu dan meminumnya dengan sedotan.
Hinata menyedot air itu sambil kembali melirik pada Naruto dan Sakura yang akrab lalu berpikir.
Mereka cocok sekali...
"Kami berteman sejak Sekolah Dasar. Saat pertama kali aku pindah dan jadi tetangganya." Kali ini Naruto yang bercerita.
Sakura berbinar kagum menatap Hinata dan Naruto bergantian, "Wah, itu sudah lama sekali!"
Naruto mengangguk sembari tertawa bangga, sedangkan Hinata hanya tersenyum kalem melengkapinya.
Tiba-tiba saja Hinata menepuk tangan Naruto yang terulur untuk menyendok sambal pada mie yang baru Naruto pesan. Naruto meringis sakit, lalu menoleh dan mendapati Hinata yang mendelik seram padanya.
"Jangan terlalu banyak makan pedas, nanti kau akan sakit perut lagi lalu—hmmph!"
Ceramahan Hinata sontak saja terpotong saat tangan Naruto datang membekap mulutnya dengan cepat, sebelum sahabatnya itu membeberkan kebiasaan apabila Naruto makan makanan yang terlalu pedas.
Tentu saja kebiasaan itu adalah aib.
Apalagi jika dikatakan didepan Sakura. Dia tidak boleh tahu!
Tapi terlambat, suara tawa Sakura lagi-lagi pecah diantara mereka. Sakura yang pintar tampaknya sangat mengerti apa yang akan Hinata katakan selanjutnya.
Wajah Naruto seketika memerah, antara merasa malu dan marah juga.
Dia mendelik pada Hinata yang masih dia bekap mulutnya. Tapi gadis itu juga tak mau kalah dan membalas tatapan Naruto dengan sengit.
Mereka berdua akhirnya perang tatapan membunuh dan membiarkan Sakura menjadi penonton setia.
Gadis musim semi itu tampak menikmatinya dengan terus terkekeh, lalu dia menghela nafasnya untuk berhenti tertawa agar bisa berbicara.
"Kalian menyenangkan sekali." Kata Sakura, membuat Naruto dan Hinata menoleh padanya secara bersamaan.
"Aku juga ingin berteman denganmu Hinata, minta nomor teleponmu ya!" Sakura berseru dengan semangat.
Sedangkan Hinata... Dia hanya mampu terpana mendengarnya.
.
~ooOoo~
.
Hinata menatap isi ponselnya dan merenung. Itu adalah dari Sakura.
Gadis Haruno ini sudah dua hari mengiriminya pesan dan mengakrabkan diri dengannya.
Hinata sendiri senang. Dia adalah tipe orang yang sulit memiliki teman. Mungkin satu-satunya sahabat yang dia punya memang Naruto, dan sisanya hanyalah sebatas teman kuliah, teman sekolah dan lain-lain.
Jadi Hinata bersyukur ada seseorang seperti Sakura yang mau lebih dulu menawarkan pertemanan padanya. Apalagi Sakura gadis yang ceria, mudah bergaul.
Itu mengingatkan Hinata pada seseorang. Seseorang yang kini tengah asyik berbaring diatas kasurnya.
Naruto. Sakura itu mirip seperti Naruto.
Hinata melirik Naruto yang sedang serius main game di ponsel sambil tiduran, tatapan Hinata seketika melembut saat memikirkan satu hal.
Mereka benar-benar cocok.
Hinata melihat pesan yang dikirim Sakura sekali lagi,
From : Sakura
Hinata, aku ingin meneleponmu. Jika kau sedang dengan Naruto, aku akan meneleponmu nanti saja. Aku ingin cerita sesuatu, boleh ya :)
Hinata membuang nafasnya lelah. Lalu dia kembali beralih pada Naruto yang masih nyaman bermain game.
Bahkan kini si Uzumaki itu mulai selimutan diatas kasurnya.
Hinata segera saja mendekat.
Naruto terperanjat saat tiba-tiba selimutnya ditarik dari tubuhnya. Si pemilik kamar yang melakukannya. Naruto menatap Hinata bingung, tapi gadis itu tidak menjawab dan hanya memberikan wajah serius.
"Kau tidak berpikir untuk menginapkan?" Sindir Hinata, dia mulai melipat tangan.
Naruto menggaruk lehernya dengan kikuk lalu cengengesan pada Hinata.
"Ya Tuhan... Cepat pulang, ini sudah malam." Kali ini Hinata mulai menarik tangan Naruto dan menyeretnya keluar kamar.
"Auw, iya iya! Aku akan pulang!" Ujar Naruto sewot. Wajahnya kusut sekali pada Hinata.
Tapi gadis itu tidak peduli dan langsung menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Hinata masih terdiam didepan pintunya sambil mendengarkan komat-kamit Naruto yang semakin menjauh dari kamarnya. Hingga suara Naruto dan ayahnya yang saling menyapa, sebelum akhirnya suara pintu rumah yang dikunci menandakan pria itu sudah pergi dari rumahnya.
Hinata menghela nafas lega.
Lalu dia mengetikkan pesan untuk Sakura.
To : Sakura
Aku siap mendengarkan :) Teleponlah jika itu soal Naruto.
Setelah selesai mengirimkannya, Hinata tersenyum miris.
Hei—Apa yang coba dia lakukan? Ingin menyatukan Sakura dan Naruto melalui dirinya?
Apa Hinata sedang menggores lukanya sendiri sekarang?
Hinata rasa saat ini adalah saat yang tepat untuknya menangis.
Tapi meski ingin, Hinata tidak bisa. Entahlah.
Rasanya jahat sekali jika Hinata bersedih untuk kebahagiaan dua orang yang baik padanya.
Ponsel miliknya kembali bergetar. Panggilan masuk, tentunya dari Sakura.
Hinata sekali lagi membuang nafasnya. Mempersiapkan diri untuk mengangkat panggilan tersebut sebagai seorang teman.
"Halo Sakura..."
~ooOoo~
Sebenarnya aku sudah lama ingin bercerita. Tapi aku tidak punya begitu banyak teman yang bisa aku percaya.
Hinata, sebenarnya aku punya orang yang aku sukai.
Aku tahu dengan jelas jika Naruto memiliki perasaan padaku. Aku sudah menyadarinya sejak dulu, tapi... Kau tahu, aku masih menunggu seseorang.
Tapi kupikir, ini saatnya aku melupakan orang itu. Naruto pria yang baik. Aku rasa, aku harus mulai membuka diriku untuk orang lain.
Emm Hinata—Naruto, apa dia masih menyukaiku?
Hinata menghentikan langkahnya sebentar saat seluruh percakapan teleponnya dengan Sakura beberapa hari yang lalu kembali berputar di otaknya.
Hinata tentu punya banyak ekspresi keterkejutan saat Sakura membicarakan perasaannya secara gamblang malam itu.
Tapi dia mempertahankan nada bicaranya dengan terus berpura-pura antusias.
Aku mencintai Naruto, Naruto mencintai Sakura, dan gadis itu berharap pada pria lain.
Hinata ingin tertawa untuk fakta yang satu itu. Mereka bertiga itu sama!
Tapi kenapa diantara semuanya, tetap dia yang terdengar paling menyedihkan?
Berharap pada pria yang bahkan tidak pernah menyadari perasaan miliknya sama sekali. Dan malah, dia kini sedang berusaha membantunya mendapatkan gadis lain.
"Haaah..."
Pada akhirnya, Hinata hanya mampu mengeluh pada langit.
Memikirkan kalau sekarang Sakura mulai mau menerima Naruto rasanya... Hinata tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.
Ada rasa puas yang mengalir didalam hatinya, lalu ditempat lain dia juga merasa gelisah.
Merasa tidak adil untuk suatu hal.
Merasa sakit untuk banyak alasan.
Tapi Hinata tahu jika ini adalah kesalahannya sendiri. Yang tetap membatasi dirinya dengan tembok persahabatannya bersama Naruto.
Jikapun Hinata memiliki rasa benci saat melihat keduanya bersama... Maka saat itupula dia berbalik membenci dirinya sendiri.
Hinata hanya merasa menjadi pengecut. Yang membenci orang-orang yang bahkan tidak tahu masalahnya.
Bahkan bisa dibilang ini adalah masalahnya sendiri. Masalah yang Hinata ciptakan sendiri.
Hinata nyaris menangis lagi ketika dia memikirkan kembali semua itu. Dia mengeratkan genggamannya pada plastik belanjaan yang dia bawa.
Sebentar lagi sampai rumah... Dan setelah itu, Hinata boleh mengeluh sepuasnya di kamar.
Hinata mempercepat jalannya, dia merasa lega saat melihat tembok rendah pagar rumahnnya yang sudah di depan mata.
Tapi, tepat saat dia mencapai pintu rumahnya, rasa leganya hancur seketika.
Mata Hinata tiba-tiba saja terasa memberat. Pandangannya mengabur oleh sesuatu yang memaksa melesak keluar.
Hinata meremas plastik yang dia bawa. Dadanya... sesak sekali. Hinata bahkan merasa dia lupa bagaimana cara bernafas.
Dia melihat, tepat pada rumah disamping rumah miliknya, Naruto... Dia sedang bersama Sakura.
Mereka tampak bahagia sambil berpegangan tangan. Saling bertukar senyum saat bermain dengan Riri—anjing milik Naruto—dipekarangan rumah Uzumaki.
Hinata tersentak saat tiba-tiba safir Naruto menangkap keberadaannya. Tampak pemuda itu tersenyum lebar kearahnya, bersiap untuk menyapa Hinata.
Tapi Hinata segera menghapus semua jejak air matanya dengan cepat, lalu berbalik membuka pintu dan masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru.
Dia... Perlu menangis sekarang.
~ooOoo~
Malamnya Naruto tampak merenung di kamarnya yang dilantai dua. Dia hanya terdiam di balkon kamar, bersandar pada pagar pembatas sambil memandangi jendela kamar Hinata yang tertutup.
Tidak biasanya...
Tidak biasanya Hinata menutup jendela padahal ini masih jam 7 malam. Gadis itu punya kebiasaan yang sangat Naruto hafal, membiarkan jendela terbuka dan memandangi langit sampai dia mengantuk.
Tapi bahkan Hinata sudah menutup jendela kamarnya sejak sore tadi. Padalah Naruto ingin berbagi kebahagiaannya pada Hinata. Dia ingin bercerita tentang perkembangan hubungannya dengan Sakura yang kini makin membaik.
Memikirkan gadis berambut merah muda itu seketika membuat Naruto bersemangat. Dia dengan tidak sabar kembali mengirimi Hinata pesan untuk yang ke delapan kalinya. Dan kedelapan kali itu pula Naruto menunggu, tetap tidak ada balasan.
Naruto bahkan sudah meneleponnya berkali-kali sejak dirinya melihat Hinata saat bersama Sakura tadi. Niatnya ingin mengajak Hinata bergabung, tapi gadis itu bahkan tidak juga menjawab.
Terhitung yang kesembilan kalinya, Naruto akhirnya kembali mengetikkan pesan untuk Hinata.
To : Hiiinaaataaa
Apa kau sakit?
Beberapa menit menunggu, tetap saja tidak ada balasan yang Naruto inginkan.
Si pirang itu mendesah khawatir. Dia melirik jendela yang tertutup rapat itu lagi dengan penasaran.
Naruto masuk ke dalam kamarnya, menghampiri meja belajar lalu mengambil satu penghapus miliknya yang paling besar. Dia kembali keluar, mengambil ancang-ancang melempar hanya untuk mengetuk permukaan jendela itu menggunakan penghapusnya.
TUK!
Di dalam sana Hinata dapat mendengarnya dengan jelas. Dia menatap pesan yang dikirimkan Naruto barusan sekali lagi sebelum kemudian menghapusnya seperti pesan-pesan Naruto yang lain.
"Hinata, aku ke rumahmu ya!"
Hinata terperanjat mendengar Naruto berteriak. Apalagi mengatakan kalau dia akan kemari.
Hinata buru-buru bangkit dari kasurnya, menendang selimutnya asal dan berlari ke kamar mandi.
Ini masalah! Matanya bengkak dan Naruto tidak pernah bercanda jika dia bilang akan datang!
Ketukan di pintu terdengar tepat setelah Hinata membasuh mukanya dengan air. Selesai mengelapnya dengan baju yang dia pakai, Hinata segera menghampiri pintu sambil terus merutuki ayahnya yang terlalu membebaskan Naruto masuk ke rumah.
Hinata membuka pintu, dan saat itulah dia mendapati wajah Naruto yang penuh dengan cengiran.
Tapi seketika itu wajah cerahnya berubah terkejut saat melihat keadaan Hinata.
"Apa yang terjadi?!" Tanya Naruto over.
Hinata mendesah malas dan beringsut masuk kembali menaiki kasurnya.
Naruto tentu saja membuntutinya dari belakang.
"Aku hanya sedang pms. Sakit perut membuatku banyak menangis." Ujar Hinata berbohong. Dia kembali memakai selimutnya, terlihat menghindari Naruto.
Tentu saja Hinata menghindarinya. Dia tahu, niatan pria ini datang adalah untuk bercerita mengenai Sakura.
Ah, boleh saja sih... Tapi, tidak untuk sekarang. Tidak untuk malam ini.
Hari ini perasaannya sudah cukup terluka.
Mungkin besok? Mm, sepertinya bisa. Hinata akan mempersiapkan hatinya sebaik mungkin jika untuk besok.
Ingin sekali Hinata mengatakan semua itu pada Naruto sekarang. Tapi, tidak mungkinkan?
Jangan bodoh.
"Err jadi?" Naruto menjadi kikuk sendiri melihat Hinata yang cuek.
Hinata bergerak memiringkan posisi tidurnya membelakangi Naruto. "Jika mau bercerita soal Sakura, besok saja ya."
Entah kenapa Naruto menjadi tidak enak hati pada Hinata untuk alasan yang bahkan tidak dia ketahui. Naruto awalnya hanya diam, memperhatikan punggung Hinata yang tidak bergerak.
"Jika aku kemari karena aku ingin, bagaimana?" Tanya Naruto pelan. Dia sendiri tidak tahu apa yang dia bicarakan. Naruto hanya berpikir dia perlu mengatakannya karena pertanyaan itu terus saja berputar diotaknya.
Hinata terdiam, cukup lama mencerna pertanyaan Naruto yang memang tidak memiliki jawaban.
Hinata lalu memejamkan matanya dan mengatur nafasnya dengan tenang.
"Kau bisa berbaring di karpet jika mau. Aku ingin tidur."
Setelah itu, Hinata benar-benar mengabaikan keberadaan Naruto untuk pertama kalinya. Dia benar-benar pergi tertidur setelah mengatakan hal itu.
Hinata rasa, Hinata memang harus melakukannya sesekali.
Yah—Mengabaikan Naruto, untuk sedikit menghibur perasaannya.
~ooOoo~
Siang itu Hinata pergi ke kedai ramen untuk makan siang. Sebenarnya Hinata sudah disini sejak tadi, namun dia belum memesan apapun karena menunggu Naruto selesai kelas.
Hinata tentu bersemangat, meski dia harus menahan diri dari aroma ramen yang lezat hampir satu jam lamanya—tak apa! Karena hari ini Naruto akan makan siang bersamanya setelah beberapa hari belakangan mereka jarang bersama.
Bukan apa-apa, tentu saja belakangan ini Naruto banyak menghabiskan waktunya bersama Sakura. Merekakan sudah pada tahap semakin dekat.
Hinata sendiri tahu semua itu dengan jelas. Tentu saja, mereka berduakan sama-sama curhat pada Hinata tentang hal yang sama.
Perasaan Hinata? Ah—siapa yang peduli? Bahkan selama ini tidak pernah ada yang bertanya bagaimana dengan perasaannya ini. Karena dia menyimpan semuanya sendiri. Dengan sangat rapi.
Tapi jika kalian ingin tahu, Hinata sudah sangat kebas dengan cerita kedekatan mereka. Toh—dia memakan itu setiap malam! Sakura akan meneleponnya dan Naruto akan datang ke kamarnya.
Bahkan mungkin Hinata sudah sangat siap jika mereka tiba-tiba saja memberi kabar soal resminya hubungan mereka. Dan Hinata akan memberikan selamat dengan suka cita, tanpa tangis.
Karena mereka... teman Hinata.
Mereka orang yang tulus pada Hinata. Akan sangat egois jika Hinata mengatakan sumpah serapah atas kebahagiaan Naruto dan Sakura.
Asalkan dia masih bisa bersama Naruto, semuanya akan baik-baik saja kan?
Hinata tersenyum mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Tiba-tiba saja ponsel disaku Hinata bergetar, dia segera mengambilnya. Pesan dari Naruto.
Senyum Hinata mengembang. Dia dengan semangat membuka pesan tersebut.
Namun...
From : Naru
Hinata maafkan aku! Aku bertemu Sakura dan kami pergi mendadak untuk kencan. Ya Tuhan, kami KENCAN HINATA! KENCAN! Doakan aku ya!
Belilah ramen yang enak. Aku janji besok aku yang traktir! Gomeeen(/-\)
Hinata membaca isi pesan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Untuk beberapa menit yang dia lakukan hanyalah mengamati setiap kata-kata ceria itu.
Lalu dengan perlahan Hinata mulai mengetikkan balasannya.
To : Naru
Tidak apa-apa! Kebetulan aku juga harus pergi membantu Kurenai-sensei hingga malam. Jadi jangan mencariku nanti malam ya!
Aku pegang janjimu!
Syukurlah :D sampaikan salamku untuk Sakura ya!
Setelah selesai mengirimkannya, Hinata hanya diam, kembali terpaku memandangi balasan yang dia kirim pada Naruto tadi.
Hingga akhirnya ponselnya kembali menampilkan pesan dari Naruto yang baru masuk. Hinata tidak membukanya, dia malah mematikan ponselnya dan menaruhnya kedalam tas.
Hinata lalu kembali terdiam. Menerawang memikirkan banyak hal.
Hingga akhirnya pikirannya sampai pada satu pertanyaan;
Apa dia masih bisa bersama Naruto seperti dulu?
.
.
.
.
.
.
Mencintai dengan cara seperti ini memang sangat sulit.
Tapi karena itu kamu, kurasa aku tidak apa-apa.
(Hinata Hyuuga)
.
.
.
.
.
.
TBC!
A/N : terganggu dengan typo dan kalimat-kalimat yang kepleset?
Satu-satunya pembelaan yang bisa aku kasih adalah; AKU KETIK SEMUA INI DI HAPE JADI SUSAH NGEDIT! /nangisSeketika/ ToT)
Bagaimana? Maaf ya ini semua masih banyak kekurangan. Terutama dalam hal kelebayan yang terlalu, karena aku bener2 sangat bawah kalau disuruh bikin fict angst. Kenapa aku coba? Ah, ini awalnya aku buat untuk event NaruHina Tragedy Day... tapiii, setelah beberapa pertimbangan, aku rasa ini ga cocok T-T) jadi aku batalin.
Awalnya aku mau buat ff ini oneshot loh. Tapi karena wordnya yg sudah mencapai 6k+ jd aku bagi dua. Untuk menghindari mood pembaca yang nantinya malah kebosanan baca tulisanku yang membosankan._.
Ada yang berminat? Aku sudah menyelesaikan chap 2 nya hampir 90% loh... Aku bakal update cepet kalau banyak yang memaksa hehe *modus*
Tolong sarannya di kotak review ya!
ditunggu,
150710
REVIEW
