Suara yang amat keras, menerobos sunyinya malam ini. Sebuah mobil sedan berwarna hitam, menabrak pohon yang sangat besar. Cahaya lampu menerangi tempat itu, keadaan mobil pun tak terlihat baik. Remuk, terdapat pecahan kaca di mana-mana. Pintu sebelah kanan terbuka, terlihat seorang laki-laki paruh baya tergeletak berlumuran darah. Dibagian depan sendiri, terdapat seorang laki-laki bersandar, yang juga berlumuran darah.
Malam ini, menjadi sangat ramai akibat kecelakaan itu. Mobil ambulance melaju dengan sangat cepat. Demi menyelamatkan seseorang yang sepertinya sangat penting. Semua perawat dan dokter di rumah sakit itu, mempersiapkan semua peralatan di ruang operasi. Kasur pasien siap menunggu untuk menjalankan tugasnya.
Semua bergegas saat seketika ambulance itu datang, laki-laki itu segera dilarikan ke ruang operasi. Darah segar terus mengalir dari kepalanya, membasahi jas dan kemeja yang sepertinya sangat mahal. Matanya terbuka, sangat sayu melihat sekeliling orang yang sedang mendorongnya saat ini. Namun itu hanya sesaat, sebelum dia kembali tertidur.
"UCHIHA FUGAKU dari SHARINGAN CORP. mengalami kecelakaan besar malam ini."
Berita sangat cepat tersebar, bahkan semua surat kabar, koran dan televisi sudah mengabarkan tentang hal itu.
"Malam ini, Fugaku-sama dari Sharingan corp. mengalami kecelakaan besar. Keadaannya sangat kritis. Dan supir setianya meninggal dunia seketika. Belum diketahui penyebab kecelakaan. Polisi masih mencari penyebabnya. Apakah itu asli kecelakaan, atau ada unsur kesengajaan," jelas seorang wartawan di tempat kejadian yang memberi laporan langsung di televisi.
Tidak hanya itu, di kantor pusat kepolisian pun tampaknya sedang sangat ramai. Para polisi sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Ada yang turun langsung di tempat kejadian, ada yang memantau dari dalam, dan masih banyak lagi.
"Bagaimana? apa ada keganjilan dari kecelakaan itu?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar yang baru saja keluar dari ruangannya.
"Belum Komandan, kita belum menemukan sesuatu yang ganjil," jawab seorang pegawainya, sembari memberikan laporan yang ada di tangannya.
Laki-laki itu membaca satu persatu laporan yang baru saja pegawainya berikan. Dia juga melihat surat kabar yang baru saja terbit. Dia mengernyitkan dahinya seperti sedang memikirkan sesuatu, sambil memegang dagunya.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Who is Sasuke? © Nagisa Yuuki
.
.
Suana malam yang menegangkan menjadi pagi yang cerah. Dimana sang surya menyinari seluruh alam. Semua orang menyambut pagi ini dengan senyuman untuk menjalani hari menjadi lebih baik. Tapi tidak untuk tiga pemuda ini. Di sebuah kamar rumah sakit yang sangat besar, mereka sedang menunggu sang ayah yang tak kunjung bangun. Adik bungsu mereka tak kuat menahan air mata ketika melihat sang ayah yang dibalut beberapa perban, terbaring lemah diatas blankar rumah sakit.
"I-Ita-Itachi..." Suara yang sangat lirih, membuat mereka membuka mata, dan mendekat ke arah sang ayah.
"Ya, Tousan?" Pemuda itu menggenggam tangan ayahnya dengan sangat erat. Dia menatap sang ayah dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ka-kau anak sulung, Tousan. K-kau harus me-menjaga Shisui dan Sai de-dengan baik," Satu persatu kata coba beliau ungkapkan. Dadanya yang sesak membuatnya sulit untuk bicara.
"Tousan jangan bilang seperti itu. Tousan akan sembuh dan kita akan bersama-sama lagi," Satu butir air mata jatuh dari pelupuk matanya, seakan merasakan apa yang sang ayah rasakan.
"T-tidak... Kau h-harus janji... Pada Tousan... Hhh... Kau harus menjaga mereka Itachi…."
"Tanpa Tousan menyuruhku, aku akan selalu menjaga mereka. Aku sangat menyayangi mereka dan aku berjanji tidak akan membiarkan mereka terluka."
Sejenak mereka terdiam. Terlihat senyum di wajah yang penuh luka itu. Sai si bungsu terus menangis. Ini yang dia takutkan selama ini. Dia takut jika dia akan kehilangan ayahnya. Shisui yang ada di sampingnya, terus memeluknya berusaha untuk menenangkannya.
"S-sudah 16 tahun," kata Fugaku melanjutkan pembicaraannya.
"16 tahun?" Itachi mengernyitkan dahinya, dia tidak mengerti apa maksud dari 16 tahun itu. Tidak hanya dia. Shisui dan Sai pun sangat bingung mendengar hal itu.
"D-Dia sudah… 16 tahun."
Itachi, Shusui, dan Sai saling bertatapan mendengar itu. Mereka tambah tidak mengerti.
"Dia siapa Tousan?" tanya Shisui memastikan.
"Sasuke…," Fugaku merasakan dadanya semakin sesak. Dia menggenggam erat tangan Itachi, berusaha keras untuk menghela nafas. "I-Itachi... Tousan ingin k-kau menuruti permintaan T-Tousan. B-bawa... Sasuke pulang ke...rumah. T-Tousan mohon," Fugaku menelan ludahnya sembari menahan sakit yang mendera tubuhnya saat ini.
"Sasuke itu siapa Tousan?"
"D-dia... A-adik kali...an…," Sebutir air mata itu menetes dari pelupuk mata sang ayah. Tapi itu justru membuat Itachi, Shusui, dan Sai semakin bingung. Apa yang dimaksud dengan adik? Selama ini mereka tidak pernah tahu tentang itu. Ada sedikit perubahan di wajah Sai saat mendengarnya. Dia ingin bertanya, siapa itu Sasuke. Tapi semua percuma karena keadaan sang ayah yang tidak memungkinkannya untuk menjawab hal itu. Dia ingin marah, tapi tidak ada gunanya marah di saat seperti ini.
"M-Maaf…," Setelah menghela nafas panjang, laki-laki itu menghembuskan nafas terakhirnya. Dia pergi meninggalkan berjuta pertanyaan, tentang siapa itu Sasuke.
Itachi, Shisui, dan Sai pun sangat shock, ketika mereka harus kehilangan sang ayah. Itachi menangis sembari mencium tangan ayahnya. Dia mencoba kuat, meskipun itu sakit.
"Tousan... Tousan tidak pergi kan? Tousan hanya tertidur kan kak?" tanya Sai. Suaranya bergetar, semua tubuhnya bergetar. Dia menangis saat itu. Sama seperti Itachi, tak ada yang bisa Shisui lakukan selain tetap kuat, meskipun hatinya sakit. Dia juga tidak kuat menahan air matanya melihat kepergian sang ayah.
"TOUSAN!" Tangis Sai semakin pecah saat itu. Dia memeluk tubuh ayahnya yang sudah menjadi kaku. Shisui yang berada di sampingnya, mencoba untuk memeluk adik bungsunya. Ia mengangkat tubuh Sai yang masih memeluk tubuh ayahnya. Dia menatapnya sambil mengisyaratkan sesuatu untuk tetap tenang. Seketika Sai langsung memeluk tubuh sang kakak.
Untuk kedua kalinya mereka kehilangan orang yang mereka cintai.
.
Semua orang berpakaian hitam-hitam hari ini. Satu persatu dari mereka meninggalkan tempat itu. Dan kini hanya ada Itachi, Shisui, dan Sai yang masih bersujud di depan gundukan tanah merah itu. Dari kejauhan ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Senyum bahagia terpapar di bibir laki-laki itu. Itachi merangkul kedua tubuh adiknya, dia hanya mengangguk pelan agar mereka dapat mengikhlaskan semuanya. Sai melirik nama yang tertulis di batu nisan. Apakah dia harus sedih atau membenci ayahnya sekarang. Perasaanya bercampur menjadi satu. Berjuta pertanyaan masih ada di dalam benaknya saat ini.
.
Itachi duduk, sambil memutar-mutar kursinya di ruang kerja ayahnya. Dia memegang dahinya sambil terus melirik ke sebuah kertas yang ada di atas meja. Kertas tersebut bertuliskan sebuah alamat, entah alamat siapa itu.
Itachi masih mengingat percakapannya dengan seorang dokter yang menangani kecelakaan ayahnya kemarin setelah operasi.
"Bagaimana keadaan ayah saya dokter?"
"Kita harus menerima apapun kemungkinan yang akan terjadi."
Itachi menunduk ketika mendengarnya. Bukan itu yang mau dia dengar. Tapi jikapun itu terjadi, tak ada yang bisa dia lakukan selain menerimanya.
"Jika nanti ayahmu meminta sesuatu, kau harus menuruti apapun yang dia minta."
"Ya pasti, saya akan memberikan apapun yang Tousan minta," Ia menjawabnya dengan nada yang sangat sendu.
Itachi memejamkan matanya ketika mengingat permintaan sang ayah sebelum beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.
"I-Itachi... Tousan ingin k-kau menuruti permintaan T-Tousan. B-bawa... Sasuke pulang ke...rumah. T-Tousan mohon,"
Ia mendongakkan wajahnya ke atas, melihat langit-langit kamar itu. Kepalanya mendadak pusing karena memikirkan banyak hal yang tidak ia mengerti apa jawabannya. Dia menyatukan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya. Dia bingung , apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia terus berfikir dan berfikir.
Perlahan dia kembali melihat alamat itu. Dia meyakinkan keputusannya sendiri, meskipun itu mengorbankan semuanya. Itachi mengambil smartphone nya diatas meja kerja, mengetik satu persatu nomor. Entah nomor siapa itu. Dia meneleponnya, seperti ingin membicarakan hal yang sangat serius.
"Cari alamat itu secepatnya," Kata-kata singkat itu segera diakhirinya dengan sebuah helaan nafas berat.
Dia sudah bertekat untuk mengetahui semuanya. Tentang siapa itu Sasuke? Dan apa hubungannya anak itu dengan keluarganya.
Itachi melihat ke arah pintu , yang ternyata sudah ada Shisui yang sedang menatapnya. Shisui mendekat dan duduk berhadapan dengan Itachi.
"Kakak serius mau membawa anak itu kesini?" tanya Shisui tanpa basa-basi lagi. Dan hanya dibalas dengan anggukan singkat dari Itachi.
"Tapi Sai tidak akan menyetujuinya."
"Kau sendiri? Apa kau juga tidak akan menyetujuinya?" tanya Itachi, menatap Shisui dengan serius dan dengan nada suara yang sangat santai.
"Saat ini kita harus memperhatikan Sai. Aku tidak mau kalau dia sampai kecewa kak."
"Tousan bilang Sasuke itu adik kita. Meskipun kakak juga tidak tahu dia siapa. Tapi kakak tetap percaya pada Tousan. Suatu saat, kita juga pasti tahu siapa itu Sasuke. Jadi tolong... Kakak butuh dukunganmu Shisui."
Shisui memejamkan matanya sejenak, lalu tak lama ia mengangguk menyetujui permintaan sang kakak. "Baiklah... Aku akan tetap mendukung keputusan kakak," Meskipun kecewa, tapi itulah Shisui. Dia selalu mendukung apapun keputusan yang Itachi buat.
.
Pagi ini, mereka kembali menjalankan hari seperti biasa. Itachi, Shisui dan Sai duduk bersama di meja makan untuk sarapan pagi. Beda dari sebelumnya, mereka tidak banyak bicara, terutama Sai.
"hmm, kalian sudah mau berangkat kuliah hari in?" Pertanyaan Itachi membuka pembicaraan mereka.
"Ya kak, sama seperti kakak yang sudah mulai ke kantor kan?" jawab Shisui, karena saat itu Sai tidak merespon sama sekali.
"Sai—" Belum selesai Itachi melanjutkan pembicaraan, Sai sudah meletakkan sendok dan garpunya diatas piring dengan suara yang sedikit dikeraskan. Kemudian ia beranjak dari kursinya untuk segera berangkat ke kampus.
"Aku pergi duluan ya kak," Sai berbicara tanpa memandang wajah Itachi dan Shisui. Dia meraih tasnya, dan akan segera pergi. Tapi kata-kata Itachi berhasil menahan langkahnya.
"Kakak akan membawa Sasuke pulang ke rumah ini," Dengan keberaniannya, Itachi beranjak dari kursi. Dia terus menatap Sai yang sedang membelakanginya.
Sai yakin kalau Itachi pasti akan membicarakan hal ini. Maka dari itu dia ingin menghindar. Tapi semua percuma karena Itachi sudah memberitahu apa yang tidak ingin dia dengar. Sai menghela nafas, dan perlahan berbalik menatap Itachi.
"Silahkan... itu hak kakak. Tapi aku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiran anak haram itu disini."
"Sai... Tidak sepantasnya kau berbicara seperti itu. Karena kita semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," Itachi sedikit menekankan kata-katanya.
"Dari dulu kita hanya bertiga kak. Kaasan dan Tousan tidak pernah bercerita tentang Sasuke. Tapi sekarang? Kenapa harus sekarang? Kenapa Tousan harus memberitahu itu sekarang? Kenapa kak?!" Sai meninggikan suaranya, bertubi-tubi pertanyaan dia lontarkan. Tapi Itachi sama sekali tak bisa menjawabnya. Hatinya sakit, saat adiknya yang dulu sangat menghormatinya kini menatapnya dengan penuh kebencian. Dia memalingkan wajahnya dari Sai. Sejujurnya Sai juga tidak ingin melakukan hal ini, dia tidak ingin menyakiti kakaknya sendiri. Dia kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi.
"Bersabarlah kak," Shisui beranjak dari kursinya dan berdiri di samping Itachi, dia mencoba menenangkan Itachi dengan menepuk-nepuk pundaknya. "Keputusan yang kakak ambil, pasti akan beresiko. Tapi kakak tenang saja, masih ada Shisui yang akan terus mendukung kakak," lanjutnya.
Itachi berusaha tersenyum dihadapan Shisui. "Terima kasih, Shisui."
Shisui mengangguk dan segera meraih tasnya untuk pergi menyusul Sai.
.
Itachi sedang berada di depan komputernya, dia sedang melihat grafik perusahaannya dalam satu bulan. Dan hasilnya cukup memuaskan, karena penjualan meningkat tajam. Pandangannya beralih saat seketika seseorang masuk membawakan beberapa Map merah di tangannya. Dia berjalan mendekati Itachi dan kini duduk di hadapannya.
"Maaf sebelumnya Itachi-sama jika saya mengganggu. Ini surat-surat yang belum sempat ditandatangani oleh Fugaku-sama," Pria itu memberikan surat-surat yang harus ditandatangani oleh Itachi sebagai pewaris Sharingan corp yang baru. Tanpa merespon perkataan orang itu, Itachi tetap terpaku pada layar komputernya.
"Kisame, di sini hanya ada kita berdua. Jadi kau tidak perlu memakai bahasa formal," jawab Itachi santai, tanpa menatap seseorang yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, Hoshigaki Kisame.
"Aku hanya berbicara sepantasnya kepada direktur utama," kata Kisame sembari tersenyum biasa.
"Tidak perlu berlebihan seperti itu. Begini kan lebih nyaman."
"Ya, ya, baiklah... Aku kesini juga membawa biodata calon karyawan yang sudah masuk kriteria perusahaan ini."
"Hanya 5?"
"Ini terbaik dari yang terbaik. Mereka mempunyai kemampuan yang cukup luar biasa. Dan salah satu dari mereka, diterima karena mempunyai bakat alami. Dia sangat pintar. Meskipun dia bukan dari keluarga kaya, tapi pengalaman bekerjanya cukup baik."
Itachi mengangguk mengerti, dia membuka biodata seseorang yang sedang dibicarakan Kisame. Meneliti profil nya sebentar lalu perhatiannya segera teralih oleh suara telfon yang berdering. Itachi segera mengangkatnya.
"Maaf Itachi-sama, Namikaze-san ingin bertemu Anda," kata seseorang yang menelepon dari luar ruang kerja Itachi.
"Suruh dia masuk," Itachi segera menutup telfonnya.
Kisame membalikkan tubuhnya, saat mendengar pintu yang terbuka. Dia tersenyum kepada seseorang yang lengkap dengan pakaian dinasnya. Dia terlihat sangat tampan, gagah, dan berkharisma. Laki-laki itu mendekat dan duduk di sebelah Kisame.
"Whoa, kepala polisi kita sudah datang," goda Kisame sembari tertawa kecil, diikuti dengan senyum tipis dari Itachi.
"Aku kesini hanya ingin memberikan laporan hasil kecelakaan kemarin."
Seketika raut wajah santai mereka berubah menjadi keseriusan menunggu penjelasan darinya.
"Kecelakaan ini bukan kecelakaan murni, rem mobil tidak berfungsi sama sekali."
"Jadi maksudmu ada yang memutuskan kabel rem secara sengaja?" selidik Itachi dengan menampilkan ekspresi yang sangat serius. Dibalas dengan anggukan Kurama yang raut wajahnya tak kalah serius.
Itachi memalingkan wajahnya. Dadanya kini terasa sangat sesak mendengar kenyataan itu. Siapa yang berniat membunuh ayahnya? Dia tidak tahu sama sekali. Dan kini dia harus kehilangan seorang ayah karena kekejaman seseorang yang mungkin iri dengan apa yang sudah didapatkan sang ayah.
"Jangan khawatir, aku dan semua anak buahku akan menyelidiki kasus ini sampai akhir," kata Kurama mencoba menenangkan Itachi.
Tak ada satu katapun keluar dari mulut Itachi. Dia menelan ludahnya, dan mencoba untuk menerima semuanya. Itachi sedikit mengangguk tanpa memberikan respon apapun. Kisame dan Kurama seakan ikut merasakan kesedihan sahabatnya ini. Mereka menatap Itachi yang tak melihat mereka sama sekali. Pandangannya kosong mengarah pada permukaan meja yang entah mengapa lebih menarik untuk dipandang.
Perlahan mereka beranjak dan pergi membiarkan Itachi sendiri. Mungkin sahabatnya membutuhkan kesendirian untuk menenangkan kekalutan serta dapat menerima informasi ini dengan sebaik-baiknya.
Itachi memutar-mutar kursinya sembari memegang dahi. Entah apa yang harus dia lakukan saat ini. Rasa ingin berteriak, menangis, tapi semua itu tak bisa dilakukannya. Ingin sekali dia membunuh orang yang sangat kejam itu. Tapi sekarang, dia pun tak tahu siapa orang itu. Ia melirik ke arah ponsel yang berdering di atas meja. Ia meraihnya, tertera sebuah nama di layarnya. Seketika dia segera menjawabnya.
"Saya sudah menemukan alamat beserta dimana dia bersekolah," Suara yang sangat tegas terdengar dari seberang sana.
"Kerja yang sangat bagus," Kata-kata singkat itu mengakhiri pembicaraan mereka.
.
Malam ini, Itachi kembali menghabiskan waktunya di ruang kerja sang ayah. Dia melihat sebuah koran di atas meja. Nama sang ayah tertera sangat besar di koran itu. Bahkan berita tentang kecelakaan itu bukanlah kecelakaan murni, sudah tersebar di seluruh surat kabar dan semua media masa. Itachi menghela nafas panjang membaca kolom berita itu.
Shisui yang baru saja memasuki ruangan, melihat sang kakak yang sedang terpaku pada sebuah koran yang ada di tangannya. Ia pun mendekat dan duduk tepat di depan meja Itachi.
"Kakak sudah tahu tentang berita itu?" tanya Shisui langsung kepada Itachi.
"Ya," Itachi mengangguk membenarkan.
"Sebaiknya tidak perlu memikirkannya. Ini sudah malam. Kakak harus banyak istirahat."
"Besok kakak akan menjemput dia," Itachi menatap Shisui tanpa menghiraukan kekhawatiran sang adik.
"Aku akan menunggu kedatangannya dan aku akan menyiapkan kamar untuknya. Tapi sekarang kakak harus istirahat. Aku ke kamar dulu," Shisui berusaha membesarkan hatinya untuk mendukung segala keputusan sang kakak. Meskipun ada yang tersakiti, tapi dia tetap tidak mau mengecewakan sang kakak. Karena Shisui sangat tahu kondisi seperti apa yang dihadapi oleh Itachi. Jadi kalau bukan dia, Itachi tidak akan mampu bertahan.
Itachi tersenyum melihat kepergiannya. Dia melihat bingkai foto yang berisi fotonya, Shisui dan Sai di atas meja. Dia merasakan kehangatan dari sang adik, dan itu membuat hatinya sedikit lega.
"Kau memang adik yang terbaik Shisui," Itachi tersenyum memandang foto itu.
.
Malam yang panjang, membuat Itachi bangun saat matahari telah menampakan sinarnya. Alarm yang dia pasang, tampak mati. Sepertinya ada yang sengaja untuk mematikan alarm itu. Dia keluar dari kamarnya, tetapi tak melihat Shisui dan Sai. Ia pikir jam segini, pasti kedua adiknya sudah pergi ke kampus. Itachi hanya melihat beberapa pelayan yang sedang membersihkan rumah. Dan beberapa dari mereka sibuk menyiapkan makanan di meja makan. Itachi makan sendiri, tanpa di temani siapapun.
Seperti rencananya, hari ini ia akan pergi ke sebuah desa kecil tak jauh dari ibu kota. Hanya memerlukan waktu 2 jam untuk sampai di sana. Itachi memberikan nuansa yang berbeda dari pakaian yang dia pakai saat ini. Beda dari biasanya, Itachi yang selalu berpakaian formal, sekarang lebih santai. Bahkan tampak lebih tampan, dengan celana jeans berwarna biru, dipadukan dengan kaos dan jacket kulit. Terlebih lagi, dia pergi sendiri tanpa ditemani seorang supir dan pengawal yang selalu mengantarnya.
Dalam 2 jam perjalanan, ia memasuki sebuah desa yang sangat ramah lingkungan. Tumbuhan tertanam dimana-mana. Desa itu sangat bersih, jauh seperti yang ia pikirkan. Meskipun rumah warga tak ada yang semewah rumah di kota. Tapi di sini Itachi bisa merasakan kenyamanan. Itachi membuka kaca jendelanya, saat melihat sawah yang terbentang sangat luas, di bawah bukit-bukit yang sangat indah. Banyak petani yang sedang berkerja di sana.
Tempat pertama yang ia tuju adalah SMA Konoha, tempat dimana Sasuke bersekolah. Itachi melangkahkan kakinya masuk ke sekolah itu, sekolah yang tidak terlalu besar, suasana sunyi karena saat itu masih dalam waktu belajar dan mengajar. Ia menuju ke sebuah kelas, dengan perlahan Itachi melangkahkan kakinya.
Dia melihat dari balik kaca tersebut. Matanya tertuju pada seorang anak laki-laki yang duduk di pojok nomor 2. Anak itu tersenyum pada teman sebangkunya, tanpa mengetahui ada sepasang mata yang memperhatikannya. Itachi mengangkat tangan kanannya, mencoba meraba wajah anak itu dari balik kaca menggunakan jari-jarinya. Matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Itukah anak yang bernama Sasuke? Kenapa rasanya sangat tidak asing jika ia memandanginya seperti ini. Senyumnya hampir sama. Melihatnya membuat tubuh ini bergetar. Ya tuhan... aku harus melindungi dia. Jika dia terluka aku juga akan ikut terluka.
"Dia hanya beberapa hari lagi di sini. Karena Sasuke memutuskan akan berhenti sekolah," kata seorang guru laki-laki yang tiba-tiba berdiri di samping Itachi.
"Berhenti sekolah?" tanya Itachi yang tak mengerti.
"Semenjak kepergian ibunya 1 bulan yang lalu, Sasuke membiayai hidupnya sendiri. Maka dari itu, sekarang waktunya hanya digunakan untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Sasuke anak yang cerdas. Dia sudah mendapatkan banyak prestasi di sekolah ini," jelas sang guru yang juga sangat mengagumi sosok Sasuke.
Pandangan Itachi kembali beralih ke arah jendela, melihat anak laki-laki itu dengan penuh arti.
.
Itachi duduk di sebuah kursi di taman tak jauh dari sekolah itu. Di hadapannya kini terbentang persawahan yang sangat luas. Pohon yang sangat rindang melindungi kulitnya dari panasnya sinar matahari.
"Maaf, Anda ingin bertemu saya?" Suara seseorang yang sangat halus dan sopan itu, membuyarkan lamunan Itachi. Ia berbalik menatap Anak itu. Seketika jantungnya berdetak kencang. Darahnya berdesir tanpa henti, melihat senyuman seorang anak laki-laki yang berada di hadapannya sekarang.
"Kau bisa duduk disini," Itachi bergeser, mempersilahkan anak itu duduk di sampingnya.
"Namamu Sasuke kan?" tanya Itachi, ketika Sasuke sudah duduk di sampingnya.
Anak itu mengangguk kecil. "Ya, saya Sasuke," katanya membenarkan. Sasuke terus menatap Itachi dengah ramahnya. Tapi entah kenapa itu justru membuat Itachi tampak resah. Apa itu karena hati Itachi belum siap menerima kehadiran Sasuke, atau ada sesuatu hal yang lain, yang tidak dia tahu. Entahlah, yang pasti sekarang dia meyakinkan keputusannya sendiri. Dia mencoba berbicara kepada Sasuke.
"Namaku Itachi, Uchiha Itachi," jelas Itachi, memperkenalkan dirinya. "2 hari yang lalu ayahku meninggal," lanjutnya dengan suara lirih membuka pembicaraan.
"Saya turut berduka cita," jawab Sasuke sembari menatap Itachi. Sesungguhnya dia merasa bingung kenapa Itachi tiba-tiba datang mencarinya.
"Kau tahu? Pesan terakhirnya adalah dia ingin aku membawamu pulang ke rumah."
Sasuke mengernyitkan dahinya dengan perasaan kaget yang tidak terlalu kentara. Dia selalu bisa mengendalikan emosi serta ekspresinya jika dihadapan orang lain. "Saya?" Ia menunjuk dirinya sendiri dan ia tidak mengerti apa maksud yang di bicarakan oleh Itachi.
"Ya kau, sulit dipercaya memang, beliau bilang kau adalah adikku dan aku harus membawamu pulang ke rumah."
.
"Sasuke..." panggil seorang wanita dengan nada yang sangat lirih. Wanita yang terbaring lemas di atas tempat tidur itu mencoba meraih tangan sang anak yang ada di sampingnya.
"Ya bu, ini Sasu," Sasuke menggenggam tangan ibunya yang sudah tak berdaya.
"Jangan takut nak, suatu saat pasti akan ada seseorang yang membawamu jauh dari kemiskinan ini, dan kau akan memulai hidup barumu yang serba berkecukupan disana," Wanita itu mengucapkan kata-kata yang tidak di mengerti oleh Sasuke, berat rasanya meninggalkan seorang anak yang sudah bersamanya selama 16 tahun. "Sasuke, hal terindah dalam hidup ibu adalah bisa merawatmu. Jangan menangis ya, kau harus menjadi anak yang kuat," 1 senyuman dan setetes air mata mengiringi kepergiaan sang ibu yang telah menutup matanya.
"Ibu... ibuuuu! Ibu tidak boleh meninggalkanku bu... Sasu tidak mau sendirian," Sasuke terus mengguncang-guncangkan tubuh ibunya. Dia menjerit histeris, air mata tak henti-hentinya mengalir, tubuhnya seakan ikut mati. Membayangkan bagaimana dia bisa hidup tanpa seorang Ibu.
.
"...suke... Sasuke…," Itachi mengayun-ayunkan tangannya di depan wajah Sasuke, yang sepertinya sedang menerawang jauh.
Sasuke tersentak mendengar panggilan itu. "Y-ya?"
"Ada apa?" tanya Itachi menyelidik, karena sepertinya Sasuke merahasiakan sesuatu.
"Tidak, tidak ada apa-apa."
"Jadi... kau mau kan ikut denganku?" tanya Itachi memastikan sembari mengerutkan dahinya.
"Tempat tinggal saya ada disini Uchiha-san. Hidup saya pun juga disini," jelas Sasuke menolak ajakan itu secara halus.
"Sasuke…," Itachi menggenggam tangannya. "Izinkan aku membawamu ke rumah, izinkan aku melindungi dan merawatmu sampai semuanya jelas," lanjut Itachi penuh permohonan.
"Maksud Anda?" tanya Sasuke yang masih tak mengerti.
"Tak ada yang perlu ku jelaskan di sini. Kau akan mengetahuinya sendiri setelah kau sampai disana."
Tak ada satupun respon yang diberikan Sasuke saat ini.
"Kau mau kan?" tanya Itachi lagi, mendesak.
Sasuke tampak sedang berfikir, berat baginya untuk meninggalkkan tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama 16 ini. Di sini banyak kenangannya bersama sang Ibu. Tapi di sisi lain, dari dulu Sasuke ingin tahu tentang siapa ayahnya. Dia sama sekali tidak membenci ayahnya yang telah menjauhkannya ataupun membuangnya.
Akhirnya setelah menimang-nimang banyak pertimbangan, Sasuke pun mengangguk menyetujui permintaan Itachi. Pria Uchiha itu lega mendengarnya. Ternyata kedatangannya ke desa ini tidak mengecewakan. Dia berhasil membawa Sasuke pulang ke ibu kota.
.
Ketika berada di dalam mobil, Sasuke melihat alam desanya dari balik kaca jendela. Itachi tersenyum melihat itu, dia menurunkan kaca jendela Sasuke, agar bocah itu dapat lebih jelas melihat keindahaan alam desanya yang sebentar lagi akan dia tinggalkan. Sasuke mengulurkan sebelah tangannya keluar, merasakan udara yang mungkin tak dapat lagi ia rasakan. Matanya terpejam, mengingat kenangan-kenangan yang tak akan pernah ia lupakan.
Itachi memperlambat laju mobilnya. Ia menatap Sasuke. Pakaian yang dipakai Sasuke tidak berbeda seperti anak-anak di kota. Itachi memperhatikan Sasuke dari atas sampai ke bawah.
'Ternyata Tousan selalu membiayai hidup Sasuke,' batin Itachi, seketika kembali fokus menyetir.
Itachi mulai tersenyum simpul. "Sasuke, selain kakak, kau akan memiliki 2 kakak lagi di Tokyo."
Lamunan Sasuke buyar. "Oh ya? Nama mereka siapa kak?" tanya Sasuke yang lantas menatap wajah Itachi dari samping.
"Shisui dan Sai. Tapi kau tahu kan? Kehadiranmu cukup membuat kami semua shock. Aku dan Shisui bisa menerimamu. Tapi Sai, ini semua berat baginya," jelas Itachi.
Sasuke menunduk, dia tidak berfikir kehadirannya akan membuat seseorang tersakiti.
"Apa itu pilihan yang baik? Jika aku ikut ke Tokyo?" tanya Sasuke ragu.
"Maaf Sasuke, mungkin mulai detik ini, kehidupanmu akan berubah sepenuhnya?" jawab Itachi dengan sangat pelan.
Sasuke mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Maksud kakak?"
"Kakak sudah pernah bilang, kau akan segera mengetahuinya setelah kita sampai disana."
Sasuke mengangguk pelan. Kedatangan Itachi masih menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya. Apa benar kehidupan dia akan berubah sepenuhnya? Seperti apa perubahan itu? Apa dia bisa menerimanya? Apa itu hanya akan membuat dia sakit? Entahlah... Matanya kembali tertuju pada pepohonan yang ada di pinggir jalan. Mungkin dia harus menyiapkan mentalnya untuk segala kemungkinan terburuk nanti.
.
Mobil mewah Itachi memasuki gerbang besar yang terbuka lebar. Mata onyx Sasuke membesar melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Rumah itu bagai istana, bahkan lebih besar dari apa yang dia bayangkan. Apa benar dia akan tinggal di rumah ini? Apakah ini bukan mimpi? Sasuke seakan tidak bisa mengedipkan matanya.
Seorang pengawal membukakan pintu mobil di sisi Sasuke. Ia Sempat terkejut, karena ia tidak pernah mendapatkan perlakuan yang seistimewa ini. Sasuke melihat sekeliling rumah itu yang di jaga ketat oleh para pengawal lebih dari 1 satpam menjaga di post dekat gerbang. Siapakah mereka? Apakah sebegitu penting hingga rumah ini harus dijaga ketat oleh para pengawal? Otak Sasuke penuh dengan pertanyaan yang belum ada jawabannya.
Itachi merangkul Sasuke yang masih terlihat bingung. Ia membawanya masuk ke dalam rumah. Mata Sasuke lagi-lagi mengelilingi setiap sudut ruangan. Terpajang foto sebuah keluarga yang sangat besar, di dampingi oleh foto masing-masing ketiga pemuda yang tak kalah besar.
Sasuke mengalihkan perhatiannya pada sekumpulan pemuda yang menyambut kedatangannya. Mendadak ia merasa sangat gugup. Hanya dirinya yang asing diantara mereka.
"Dia mirip seperti Sai," bisik Kisame pada Shisui ketika mereka melihat Sasuke dari jarak yang lumayan dekat.
Shisui terus menatap anak laki-laki itu. Memang benar yang dikatakan Kisame, sekilas Sasuke memang mirip dengan Sai. Hanya saja kulit Sai jauh lebih pucat dari Sasuke.
Sama halnya seperti apa yang di rasakan oleh Itachi, ketika melihat Sasuke jantung Shisui berdegup sangat kencang, perasaan itu timbul dengan sendirinya. Ia memberikan senyum terindahnya kepada Sasuke.
"Selamat datang," sambut Shisui yang sudah berdiri dihadapan Sasuke sembari tersenyum ramah.
Senyum di wajah mereka tiba-tiba saja pudar saat melihat Sai yang sedang menuruni tangga rumah. Seketika Sai langsung menatap Sasuke ketika ia berdiri di tangga terakhir. Tatapan yang sangat dingin, sangat menusuk, bahkan sangat tajam dan sinis membuat Sasuke tak berani bertatapan langsung dengan Sai. Ia hanya menunduk, layaknya seorang anak yang sangat polos.
Tanpa menyapa kedua kakaknya, Sai pergi begitu saja dengan langkah yang sangat cepat. Tak ada yang dapat dilakukan Itachi. Karena saat ini ia juga merasa sangat bersalah. Hatinya tak kuat melihat tatapan benci dari sang adik.
"Ya sudah, sekarang kita lihat kamarmu saja ya?" Shisui berhasil mencairkan suasana.
Itachi tersenyum sembari merangkul Sasuke. Mereka semua naik ke atas. Menuju sebuah kamar yang ada di ujung tak jauh dari kamar Sai. Shisui membuka pintu kamar itu perlahan-lahan. Benar-benar sudah dipersiapkan. Kamar yang sudah tertata sangat rapi, buku-buku, meja, semuanya lengkap di kamar itu. Sasuke semakin terperangah melihat kamar yang akan dia tempati. Begitu besar, sangat besar.
"Lusa kau sudah mulai sekolah," kata Shisui membuyarkan lamunan Sasuke.
"Sekolah?" tanya Sasuke yang masih bingung.
"Ya, kau akan sekolah di salah satu sekolah Internasional di Jepang. kau tidak perlu khawatir, kakak yakin kau pasti bisa menyesuaikan diri dengan baik," jelas Shisui meyakinkan.
Sasuke hanya mengangguk pelan, membayangkan dia akan sekolah di sekolah Internasional.
"Sebaiknya, kita biarkan Sasuke istirahat. Nah Sasuke kita keluar dulu ya..." kata Kisame sembari tersenyum dan lekas menggiring Itachi beserta Shisui keluar.
Setelah mereka bertiga keluar. Sasuke kembali mengedarkan pandangannya menyapu setiap sudut ruangan. Ia berjalan mendekati kasurnya, meraba permukaannya yang sangat halus dan empuk. Tidak hanya itu, dia juga membuka tirai jendela yang menutupi kaca yang sangat besar. Bahkan Sasuke bisa melihat keadaan kota tanpa keluar dari kaca tersebut. Sulit di percaya, dia mendongakkan wajahnya ke atas langit.
"Ibu, apa ini? Semua ini... Apakah ini mimpi? Ini bukan rumah bu. Ini istana. Dan siapa mereka? Apa mungkin mereka malaikat. Kenapa ibu tidak pernah cerita tentang Tousan? Sasu belum bisa percaya ini bu," ucapnya lirih.
.
Tak seperti biasa, hari ini Itachi pergi lebih pagi, di saat Shisui, Sai dan Sasuke belum bangun. Dia juga meninggalkan sarapan paginya. Tapi sayangnya, pagi ini adalah pagi yang buruk untuk Itachi. Dia tidak pernah menyangka keberadaan Sasuke akan secepat itu diketahui oleh wartawan. Bahkan nama Sasuke sudah tertera jelas di koran pagi ini.
'UCHIHA SASUKE ANAK HARAM HASIL PERSELINGKUHAN PENGUSAHA TERBESAR UCHIHA FUGAKU'
Sungguh tak bermoral orang yang menyebarkan berita seperti itu. Saat ini bukan perusahaan dan nama baik keluarganya yang Itachi takutkan. Melainkan Sasuke, bagaimana jika Sasuke melihat berita ini. 1 jam ke depan, pasti media massa akan menyiarkan berita yang sama dengan yang ia baca di koran. Itachi tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menunggu.
Dia memegang dahinya, yang memang terasa sedikit pusing. Semalam dia tidak tidur dengan nyenyak, dia juga harus pergi pagi, karena ingin menghindari Sai untuk beberapa waktu, bahkan pagi ini dia tidak sarapan. Keadaan ini seperti membunuh dirinya perlahan-lahan. Ingin rasanya dia keluar, dan hidup normal seperti dulu. Tapi tidak mungkin, karena sekarang kehidupan adik-adiknya ada di tangannya. 1 kali dia melakukan kesalahan, entah apa yang terjadi padanya dan adik-adiknya nanti.
Permasalahan tidak hanya sampai disitu saja. Itachi terperanjat dari duduknya, melihat seseorang yang tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam ruangan. Kisame yang mencoba menahannya pun hilang kendali saat dia tiba-tiba saja masuk ke dalam.
Belum sempat ia berbicara, Itachi sudah mengisyaratkan kepada Kisame untuk membiarkannya berbicara dengan laki-laki itu berdua. Laki-laki yang terlihat sudah kepala 4 ini, menatap Itachi dengan tatapan yang sangat kejam. Dia meremas koran yang ada di tangannya. Perlahan berjalan mendekati Itachi, dan... Wusshh!
Sebuah lemparan koran yang sangat keras, melayang kearah wajah Itachi. Putra sulung Uchiha itu memalingkan wajahnya sedikit ke kiri membuat lemparan itu tipis mengenai pipinya. Laki-laki itu terus menatap Itachi dengan kemarahan yang sangat besar.
"Apa ini? Ini sangat memalukan!" Murka pria tua itu dengan nada yang sangat keras. "Anak haram? Kenapa kau bisa membawa anak itu ke sini? Kehadirannya hanya akan menghancurkan semuanya!" lanjut laki-laki itu, yang tak mendapat jawaban dari Itachi. "Siapa dia? Apa pantas dia tinggal bersama kalian!"
"Seharusnya aku yang bertanya pada paman. Siapa dia? Apa benar dia anak haram? Paman pasti tahu kan? Jadi kenapa paman marah? Paman sendiri tidak bisa menjelaskan siapa dia," jawab Itachi kalem, tanpa menghiraukan tatapan tajam pria itu.
"Tidak penting dia siapa. Yang penting kau jelaskan kepada semua media, kalau dia bukan adikmu. Dan kau harus membawa dia pergi dari sini!"
"Aku akan tetap bilang, kalau dia adalah bagian dari keluarga kita. Dan aku tidak akan pernah membiarkan dia pergi."
"ITACHI!" Pria itu semakin meninggikan suaranya.
"Kenapa paman Madara? Kalau paman tidak mau memberi tahu tentang siapa Sasuke. Aku akan mencari tahunya sendiri. Dan paman... Aku tidak akan membiarkan paman ikut campur dalam urusan ini. Sebelum semua kenyataan terungkap, Sasuke tetaplah adikku, dan Sasuke tetap bagian dari keluarga kita," Itachi menekankan suaranya. Sorotan kelam dari sepasang onyx nya yang menyipit tak kalah tajam dari sang paman.
"Kau akan menyesal nanti!" raung Madara penuh emosi.
"Aku akan lebih menyesal jika membiarkan Sasuke hidup sendirian, sedangkan ketiga kakaknya hidup serba berkecukupan disini."
Itachi semakin menatap tajam pamannya itu. Membuat laki-laki itu kehabisan kata-kata dan pergi dengan perasaan yang sangat kesal. Itachi menghela nafas dan menjatuhkan tubuhnya di kursi. Bersamaan dengan itu Kisame masuk bersama dengan Kurama. Mereka berdua duduk di hadapan Itachi. Andai mereka bisa menghilangkan sedikit beban Itachi, tapi semua itu tidak mungkin. Karena mereka yakin, ini baru awal. Masih banyak permasalahan yang akan dihadapi Itachi nanti. Dan mereka bertekad untuk selalu ada disisi Itachi dan memberinya dukungan maupun bantuan kapanpun Itachi membutuhkan kekuatan mereka.
"Maaf Itachi, aku tidak bisa menahan Madara-san tadi," ungkap Kisame merasa bersalah.
"Itu bukan salahmu, cepat atau lambat dia pasti akan melakukan ini."
"Tapi bagaimana dengan berita itu?" tanya Kisame yang tak kalah terkejut.
"Aku tidak tahu darimana mereka mendapatkan informasi ini. Aku pun juga bingung kenapa bisa secepat itu mereka tahu."
Kurama menghela nafasnya. Ia Berjalan kebelakang kursi Itachi kemudian menepuk kedua bahunya dengan sebuah remasan lembut. "Kau tenang saja. Aku akan mencari tahu siapa yang sudah menyebarkan berita ini ke media."
Itachi mengulum senyuman lega dan membalas sentuhan dari Kurama di bahunya. "Terima kasih. Aku tahu, aku selalu bisa mengandalkanmu Kyu."
Kurama mengangguk. "Tentu. Sekarang kau sudah memutuskan untuk merawat Sasuke. Kau juga harus menyayangi dia dengan setulus hati. Karena mungkin yang dia punya sekarang hanya kau dan Shisui. Semua orang diluar sana pasti akan menjauhi dia karena adanya berita ini."
Itachi terpekur sesaat. Kalimat Kurama barusan benar-benar membuat hatinya mendadak cemas. Dia bahkan tidak memikirkan sampai sejauh itu. Dalam posisi buruk seperti ini, pasti Sasuke-lah yang akan menderita dan tersakiti. "Apa... Sebaiknya Sasuke tidak perlu masuk sekolah dulu? Lebih baik dia di rumah sampai pemberitaan ini mereda."
Kurama kembali menepuk bahu Itachi. Menyalurkan sedikit semangat serta kekuatan untuk pemuda itu. "Bodoh. Biarkan dia sekolah. Karena semakin dia berada di rumah, maka dia pasti akan semakin tersiksa. Lagipula, ada adik sepupuku disana dan juga ada adiknya Kisame. Mereka pasti mau berteman dengan Sasuke. Jadi biarkan dia bersosialisasi, jangan terus mengurungnya, seolah kau membenarkan berita yang tersebar luas di luar sana Itachi."
Itachi menyatukan kedua tangannya, seperti sedang berfikir. Dia mengangguk pelan, menyetujui perkataan Kurama. Dia tidak boleh melakukan itu pada Sasuke, lagipula bukankah dirinya sendiri yang telah berjanji untuk menjaga dan melindungi Sasuke. Anak itu berhak bebas dan melakukan segala aktifitas barunya di sekolah. Itachi berjanji dia tidak akan pernah memaafkan siapapun yang berusaha menyakiti Sasuke. Karena dia sekarang sudah menjadi bagian dari Uchiha.
.
"Pemirsa, pagi ini ada berita yang mengejutkan dari keluarga pengusaha sukses Uchiha. Kemarin tersebar foto Uchiha Itachi bersama dengan seorang anak laki-laki, yang diketahui bernama Sasuke. Tapi siapakah Sasuke? Apa benar dia anak haram dari hasil perselingkuhan mendiang Uchiha Fugaku? Sampai detik ini pun kami belum mendapatkan kepastian dari Uchiha Itachi secara langsung..." Kini berita itu sudah disiarkan di televisi, bahkan foto Itachi bersama Sasuke ikut tercantum dalam layar televisi.
Itachi menghela nafas panjang, dan mematikan televisi yang ada di depannya. Dia menyandarkan kepalanya di sofa. Sebuah tangan kokoh, merangkul bahunya diiringi sebuah tepukan pelan.
"Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan," gumam Itachi lesu. Kepalanya yang terbaring diatas permukaan sofa, perlahan diangkat oleh sebentuk tangan kekar dan membaringkannya kembali dipangkuan seseorang.
"Kenapa kau jadi lemah begitu keriput? Bagaimana dengan nasib Sasuke jika kau begini terus? Cih, aku benci mengakui dirimu yang menyedihkan seperti ini," dengus Kurama jengkel. Disaat mereka hanya berdua seperti ini, maka beginilah sifat asli yang dikeluarkan oleh Kurama.
Itachi merengut dengan pipi yang di gembungkan sebelah. Ia meraih kedua tangan Kurama dan meletakannya diatas dada tanpa membuka kelopak matanya yang masih tertutup. "Sudah berapa lama aku tidak mendengar ejekan itu, huh?"
"Yang pasti sudah lama sekali semenjak kau sibuk bermesraan dengan tumpukan dokumen itu."
Senyuman Itachi berubah kecut. "Kau juga sama Kyu. Lebih mementingkan tugas daripada kekasihmu sendiri."
"Yah, sejujurnya kita berdua memang sama-sama sibuk," Kurama menarik tangan kanannya dari dekapan Itachi dan meletakannya diatas puncak kepala sang Uchiha. Gerakan pelan yang terkesan lembut mulai membelai-belai poni rambut Itachi yang sudah berantakan. "Kau harus kuat Itachi. Demi Shisui, Sai, dan juga Sasuke. Mengenai masalah kasus kecelakaan atau pembocoran berita itu biar aku yang urus. Kau tenang saja."
Itachi mengangguk. "Terima kasih. Aku percaya padamu Kyu."
"Ya tentu saja bodoh!" Kurama menjitak kepala Itachi yang saat ini tengah mengaduh kesakitan sembari bangkit dari posisinya. "Kalau kau meragukanku maka aku akan menghajarmu keriput!"
"Oh astaga, jika aku tidak mengingat ini di kantor, sudah ku makan kau sejak tadi rubah nakal!" dengus Itachi dengan seringai licik yang terkesan liar.
Kurama bangkit dari duduknya kemudian berdiri. Membalas tatapan Itachi dengan wajah menantang. "Kau pikir aku takut?" Setelahnya ia berjalan dengan sikap biasa menuju arah pintu. Menormalkan kembali ekspresi serta kewibawaannya sebagai polisi, lalu benar-benar menghilang dari balik pintu.
.
Seorang pemuda yang sedang menikmati waktu santainya di taman kampus terpaksa mengakhiri keheningannya ketika ia melihat kedatangan pemuda lain dengan wajah masam dan tangan terkepal kuat. Dia hanya terkekeh kecil, melihat pemandangan biasa dari seorang Uchiha bungsu yang egois. Tapi mungkin status Sai saat ini bukan lagi Uchiha bungsu mengingat dia telah memiliki seorang adik entah kandung atau tiri.
Pemuda bersurai kuning keemasan itu menghampiri Sai yang sedang duduk disebuah kursi dengan mata terpejam erat. Ia menyenderkan sebagian punggungnya didahan pepohonan ketika sudah berada di dekat dengan Sai.
"Memikirkan sesuatu heh?"
"Diamlah Naruto, aku sedang tidak ingin berdebat denganmu."
Decakan kesal mengalun dari bibir delima itu. "Aku tidak mengajakmu berdebat, hanya saja wajah frustasimu itu membuatku tertarik."
Sai membuka kedua matanya dan menyorotkan sepasang onyx tajam itu tepat kearah Naruto. "Bukankah sudah biasa melihatku yang egois?" sindirnya, Naruto tergelak pelan lalu duduk disebelahnya. "Aku benar-benar benci—"
"Pada anak yang bernama Sasuke itu kan?" sela Naruto, memotong ucapan Sai yang kini tengah berdecak sebal padanya.
"Diamlah!"
"Kau tidak berubah juga Sai," gumam Naruto lelah. Ia mematri wajah pucat Sai yang saat ini mengibarkan tatapan kebencian pada seseorang. Bukan pada Naruto tapi pada Sasuke yang baru saja ia sebutkan.
"Aku memang bukan pemuda baik seperti apa yang kau harapkan kan? Karena itu kau memutuskan hubungan kita."
"Dengar, aku tidak tahu siapa itu Sasuke dan darimana asal-usulnya. Tapi jika ayahmu mengatakan kalau dia adalah putranya, berarti memang benar. Hanya saja ini adalah tugasmu dan kedua kakakmu untuk mengungkap jati diri Sasuke beserta seluruh misteri yang telah ditinggalkan oleh mendiang paman Fugaku."
"Seperti biasa kau memang selalu mudah berbicara. Terserah kau saja, tapi jangan harap aku akan menerima kehadiran anak haram itu di rumah."
Setelah mengatakannya Sai berlalu pergi dengan suasana hati yang buruk. Naruto hanya mampu menatap punggung Sai dari kejauhan lalu mendesahkan nafas lelah. Mantan pacarnya memang tidak berubah, selalu egois dan juga kekanak-kanakan. Tapi ngomong-ngomong seperti apa sih anak yang bernama Sasuke itu? Naruto jadi penasaran karena mendengar nama anak itu disebutkan oleh semua orang. Entah itu di kampus, atau bahkan ditempat lain. Seperti selebritis saja.
.
Banyak wartawan yang sedang menunggu di depan gedung Sharingan corp. Mereka seperti pemburu yang sedang mengejar mangsanya. Siapa lagi kalau bukan sang Direktur Uchiha Itachi. Banyak pengawal yang berada di samping Itachi saat ia hendak masuk ke dalam mobil. Tapi para wartawan itu begitu agresif, sehingga mereka menghalangi jalan Itachi dan menanyainya dengan berjuta pertanyaan.
"Itachi-san bagaimana pendapat Anda mengenai berita yang beredar?"
"Apa benar Sasuke-kun adalah adik Anda?"
"Apa Fugaku-sama memiliki istri selain Mikoto-sama?"
Pertanyaan itu terus menyerang Itachi. Kisame yang sedari tadi berada disampingnya untuk melindungi sang sahabat mulai membukakan pintu mobil untuk Itachi. Tapi tiba-tiba Itachi menghentikan langkahnya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil.
"Besok pukul 12 siang kalian datang ke kantor ini. Saya akan mengadakan konferensi pers dan akan menjelaskan semuanya."
Para wartawan segera merekam ucapan Itachi. Merasa puas dengan statement pria Uchiha itu barusan. Karena itu mereka semua menyingkir memberi Itachi jalan dan tak ada lagi yang mengajukan pertanyaan.
.
Hari yang paling ditakutkan oleh Sasuke, dimana ia harus mulai bersekolah. Awalnya ia tidak setakut ini. Tapi karena berita yang sudah tersebar, hatinya menjadi sangat tidak tenang. Diluar pasti banyak orang yang tahu tentang dirinya. Apalagi Sasuke harus bersekolah di sekolah Internasional. Pasti sulit baginya untuk mendapat teman.
Sasuke berdiri di depan kaca, sembari memasang kancing bajunya secara perlahan-lahan. Tidak seperti seragam SMA biasa, seragam yang ia gunakan saat ini sangat berbeda. Sasuke menyisir rambutnya dengan sangat rapi. Memakai sepatu yang sudah disiapkan oleh Shisui dan kembali mematut dirinya di depan cermin. Melihat bayangan dirinya sendiri, Sasuke mulai tersenyum simpul.
Satu persatu jejeran anak tangga ia turuni hingga dirinya sampai di depan meja makan yang besar. Sasuke nampak gugup bertatapan dengan Itachi dan Shisui yang sedang mengalihkan pandangan kearah sosoknya sambil tersenyum. Hanya Sai yang tidak menghiraukan kedatangannya, seolah pemuda itu tidak peduli atau bahkan menganggap Sasuke benar-benar ada di rumah ini. Sai dengan santainya tetap melahap sarapan yang di suguhkan diatas meja. Perlahan Sasuke mendekat dan duduk tepat bersebrangan dengan Sai.
"Aku sudah selesai," Sai menghempaskan Sendok serta garpunya lalu berdiri.
"Sai..." Shisui menahan Sai dengan memegang tangannya.
"Kakak mohon jangan seperti ini Sai. Dari kemarin kita tidak sempat sarapan bersama kan? Ayo duduklah, habiskan sarapanmu," bujuk Shisui lembut. Sai berdecak kesal tapi tetap menuruti keinginan Shisui.
Itachi tetap diam, berusaha untuk menegarkan hatinya dan lebih memilih memperhatikan Sasuke yang juga diam sambil menunduk takut. Anak itu pasti terluka dengan sikap penolakan Sai atas kehadirannya.
"Sasuke? Kenapa diam? Ayo makan sarapanmu kau nanti bisa terlambat ke sekolah," Itachi membantu Sasuke mengambilkan makanannya, dan kelembutan yang diberikan Itachi membuat hati Sai semakin panas.
"Aku akan langsung pergi ke kampus saja!" Kali ini Sai sedikit berteriak hingga suaranya sampai menyentak Sasuke. Ia menghempaskan sendok serta garpunya dalam sekali bantingan kuat. Namun belum sempat ia berjalan selangkah pun suara baritone Itachi menahan kepergian Sai.
"Mau sampai kapan kau seperti ini Sai?" Itachi angkat bicara. Menyorotkan onyx tajamnya pada punggung Sai yang tidak juga berbalik menatapnya.
"Kenapa? Apa itu masalah untukmu? Kalau kau tidak suka, aku akan keluar dari rumah ini!" ancam Sai ketus.
"Tidak ada yang menginginkan kau pergi dari rumah ini Sai," sahut Itachi mencoba sabar.
"Kalau begitu, kenapa tidak kalian usir saja anak haram ini dari sini!" Jari telunjuk Sai menuding wajah Sasuke yang nampak shock dan terpukul.
"Sai!" Itachi membentak. Selera makannya tiba-tiba saja menghilang.
"Apa?! Kakak bahkan sekarang berani membentakku hanya gara-gara dia!"
"Cukup Sai! Kakak hanya tidak ingin mengecewakan keinginan Tousan, dan lagi Sasuke adalah adik kita, tidak sepantasnya kau berbicara seperti itu padanya. Sasuke juga tidak tahu apa-apa, dan dia berada disini pun karena kakak yang membawanya."
Sai mengepalkan kedua tangannya dan bernafas putus-putus diantara emosinya yang menggelegak naik. "Terserah kau saja. Aku tidak peduli. Aku tidak akan pernah menganggapnya ada karena dia hanya anak haram yang tidak diinginkan!"
Itachi hampir murka mendengar ucapan Sai, tapi Shisui sudah lebih dulu bangkit dari kursinya lalu menahan lengan Itachi. Putra kedua Uchiha itu menatap sendu wajah bersalah sang kakak dan mengalihkan pandangannya pada sosok Sai yang telah menghilang dari pandangan mereka. Terakhir ia mendaratkan perhatiannya pada Sasuke. Bocah raven itu membeku, terlihat sangat terluka akibat perkataan pedas Sai. Putra ketiga Uchiha itu memang sudah keterlaluan, mungkin selama ini mereka sudah gagal mendidiknya dan lebih memanjakan Sai sehingga anak itu menjadi pribadi yang egois.
"Sasuke..." panggil Shisui lirih. Perhatian Itachi kembali terfokus pada Sasuke yang masih saja diam layaknya batu. "Maafkan Sai, ini terlalu berat baginya. Dia hanya sedang emosi saja jadi..." Ia kesulitan mencari-cari alasan. Karena Shisui pun tahu bahwa Sasuke tidaklah bodoh. Lagipula alasan seperti itu hanya mempan pada anak kecil saja.
"Ti-tidak apa-apa. Mu-mungkin sebaiknya aku kembali ke Konoha saja. Gara-gara aku kalian jadi bertengkar. La-lagipula a-aku bukan si—"
"Sasuke..." Kali ini Itachi yang memanggilnya lirih. "Aku sudah mengatakannya padamu kan? Disini kehidupanmu akan sepenuhnya berubah. Jadi kakak mohon, bersabarlah sampai semuanya jelas."
Entah kenapa Sasuke merasa sangat sulit untuk menolak keinginan Itachi. Sejak pertama kali ia bertemu dengannya, Sasuke selalu merasa bahwa sosok pemuda itu memiliki keterikatan batin yang kuat dengannya.
Sasuke lagi-lagi hanya mampu menganggukan kepalanya. Ia juga tidak mengerti sebenarnya untuk apa dia ada disini.
.
Setelah menyelesaikan acara sarapan mereka yang sempat tertunda tanpa kehadiran Sai, Itachi segera mengantarkan Sasuke ke sekolah barunya. Mereka berdua pergi dengan mobil mewah, yang dibawa oleh seorang supir. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Sasuke. Dia masih sangat tidak percaya dengan semua ini. terlebih lagi , dia belum siap jika dia harus mendengar cemoohan orang lain.
Mobil mewah itu masuk ke dalam lapangan sekolah yang sangat besar. Tak hanya lapangan yang besar tapi sekolah itu juga sangat besar. Sasuke sangat terkejut melihat gedung yang akan menjadi tempatnya menuntut ilmu.
"Sasuke, maaf ya kakak tidak bisa mengantarmu ke dalam. Kakak harus segera pergi ke kantor. Tidak apa-apa kan?" tanya Itachi membuyarkan lamunan Sasuke.
"Eum, ya. Tidak apa-apa kak. A-aku turun ya," Sasuke segera membuka pintu mobilnya dan turun. Dia mengayunkan tangannya mengiringi kepergian Itachi.
Kemudian ia melangkahkan kakinya menelusuri lorong sekolah. Sasuke mendapati beberapa pasang mata tertuju kearahnya. Menatapnya dengan pandangan seolah-olah dirinya adalah seorang penjahat. Ia menundukan kepalanya. Tatapan seperti itu sangat baru baginya. Ia tak pernah mendapatkannya saat ia masih berada di Konoha dulu. Rasa tidak nyaman tiba-tiba saja bergelayut di dalam hatinya. Tapi Sasuke tetap melangkah memasuki sekolah ini tanpa sekalipun merasa gentar.
.
Sasuke berjalan menuju kelasnya bersama seorang guru yang akan menjadi wali kelasnya nanti. Langkahnya mulai ragu saat dia berada di depan pintu kelas. Tapi dia tidak boleh seperti ini, dan tidak mungkin juga dia tidak masuk ke dalam kelas.
Dengan hati yang mantap. Sasuke kembali melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam kelas. Seketika suara sorakan seluruh siswa di kelas itu mengiringi kedatangannya. Sasuke hanya bisa diam, dia berusaha untuk menguatkan hatinya.
"Silahkan perkenalkan dirimu," kata guru itu mempersilahkan Sasuke memperkenalkan dirinya.
"Na-nama saya... Sasuke, Uchi..ha...Sasuke..." Suaranya sangat pelan dan gugup. Keberanian yang sejak tadi di kumpulkannya di ruang kepala sekolah, mendadak sirna. Sasuke tahu dirinya memang belum siap untuk mendapatkan gunjingan dari orang-orang disekitarnya.
"Oh... Jadi dia yang bernama Sasuke? Si anak haram itu?" Seorang anak laki-laki tiba-tiba menghujatnya. Dia tersenyum sinis menatap Sasuke.
"Hei! Jangan asal bicara kau Arashi!" bela seorang murid laki-laki berambut silver dan bermata violet.
"Apa? Aku hanya mengucapkan fakta. Anak itu memang anak haram!" hujat Arashi untuk kedua kalinya.
Si rambut silver kembali geram. Tapi sebelum ia membalas perkataan Arashi, gadis yang duduk disebelahnya sudah lebih dulu berteriak. "Diam kau orang idiot! Jangan sok tahu jika memang tidak tahu. Sasuke bukan anak haram, dasar anak tidak tahu aturan!"
Arashi mendecih dan hendak membalas perkataan si gadis. Namun sebelum mulutnya terbuka, sang guru sudah terlebih dahulu menyela keributan murid-murid di kelasnya. "Sudah, kalian diam! Nah Sasuke, kau bisa duduk di samping Juugo."
Sasuke mengangguk mendengar perintah dari Kakashi-sensei. Ia mengetahui nama guru itu saat ia berada di ruang kepala sekolah. Sasuke berjalan dan lekas duduk di samping Juugo. Tanpa banyak bicara apapun mereka mengikuti pelajaran dengan fokus, tak ada suara sedikitpun. Sasuke adalah anak yang pendiam dan sangat jarang berbicara jika seandainya hal itu tidak perlu. Tapi mengingat situasinya sekarang berbeda, tak ada salahnya kan kalau dia menyapa. Niatnya dia ingin berbicara dan berkenalan dengan Juugo. Tapi melihat sikap Juugo yang diam, akhirnya Sasuke memutuskan untuk mengurungkan niatnya itu.
.
Pelajaran pertama usai. Tidak terlalu sulit untuk Sasuke mengikuti pelajaran di sekolah ini. karena Sasuke sendiri adalah anak yang cerdas. Sasuke membereskan buku-bukunya saat melihat guru pembimbing materi pembelajarannya sudah pergi. Ia berniat mengganti buku pelajarannya dengan yang lain. Rencananya Sasuke akan tetap tinggal dan tidak ikut istirahat seperti teman-teman sekelasnya. tetapi suara sinis seseorang menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk-aduk isi ransel.
"Anak haram, selamanya tetap saja menjadi anak haram," cibir Arashi saat lewat di samping Sasuke.
"Anak itu... Ish! Mau kuremukan apa mulutmu yang busuk itu hah?!" ketus si rambut silver jengkel.
"Sudah Sui... Tidak perlu meladeni mereka," Juugo mencoba menengahi. Lalu ia akhirnya sadar bahwa sedari tadi ia belum menyapa dan memperkenalkan dirinya pada Sasuke. "Oh ya, perkenalkan namaku Juugo, yang berambut silver ini namanya Suigetsu, lalu gadis berambut merah ini Karin."
"Halo, salam kenal Sasuke," sapa Karin ramah. Sasuke mengulum senyumannya saat ketiga murid itu memperlakukannya cukup baik tidak seperti murid bernama Arashi dan kedua temannya itu.
"Ya, salam kenal juga Karin."
Gadis berambut merah itu tersipu malu ketika Sasuke membalas sapaan hangatnya. Meskipun sebelum berangkat sekolah Kurama sudah mengatakan bahwa Sasuke akan masuk disekolah yang sama dengannya, tapi tetap saja Karin terkejut mendapati rupa anak itu ternyata setampan saudaranya yang lain.
"Suigetsu dan Karin ini adiknya sahabat kakakmu, Itachi," jelas Juugo lagi yang membuat Sasuke mengangguk.
"Oh ya?"
Kali ini Suigetsu dan Karin yang mengangguk. "Kakakku bernama Kisame, dan Karin ini adalah adik sepupunya Kurama. Kau pasti mengenal mereka dihari pertamamu datang kan?"
Sasuke kembali mengangguk. "Ya, mereka berdua sangat baik. Lalu apa kalian menyapaku hanya karena kakak kalian adalah sahabat kak Itachi?" selidiknya.
Pertanyaan Sasuke sontak mengejutkan ketiga murid yang ada didekatnya ini. Mereka secara serempak menggeleng, membantah tebakan Sasuke, meskipun awalnya memang benar begitu.
"Tidak kok. Kami serius ingin berteman denganmu. Meskipun awalnya kami memang di suruh, tetapi kami tidak dipaksa sama sekali untuk bersikap baik padamu Sasuke," jelas Karin gelagapan.
"Ya, itu benar. Keinginan kami bukan atas dasar paksaan dari kakak-kakak kami," Suigetsu ikut menjelaskan.
Sasuke menghela nafas lega. Ternyata mereka memang tulus ingin berteman dengannya. "Terima kasih."
Ucapan Sasuke melebarkan senyum di wajah ketiganya.
"Hei, ngomong-ngomong kalian merasa tidak? Kalau suasananya mendadak sepi?" tanya Juugo yang merasakan keanehan disekitarnya. Memang suasana terasa aneh. Ini saatnya istirahat, tapi tak ada suara apapun di luar kelas.
Suigetsu segera beranjak, dan memeriksa keluar diikuti dengan yang lain termasuk Sasuke. Memang benar, tak ada seorangpun di luar. Mereka menelusuri lorong sekolah dan tak sengaja melewati ruang guru. Di sana semua guru sedang berkumpul. Entah apa yang mereka lihat.
Susuke dan yang lain kembali berjalan menuju kantin. Dan mereka mendapatkan jawaban itu disana. Semua siswa sedang berkumpul. Menonton acara di beberapa televisi yang tergantung di dinding kantin. Mereka sempat bingung, tapi saat pandangan mereka menuju ke salah satu televisi, barulah mereka mengerti. Sasuke terdiam, saat melihat kakaknya, Itachi, berada di layar televisi itu.
Tidak hanya di sekolah Sasuke, di kampus Shisui dan Sai pun begitu. Seluruh mahasiswa sedang menonton siaran yang sama termasuk Shisui sendiri. Ia sangat kaget melihat wajah kakaknya terpampang di layar televisi. Di benaknya meluncur banyaknya pertanyaan tentang, apa maksud dari Itachi menggelar konferensi pers itu? Sedangkan Itachi sendiri tidak pernah menceritakan hal itu kepada Shisui. Bahkan saat ini, dimanapun semua orang sedang menonton siaran yang sama. Mereka seakan terpaku melihat sosok berkharisma sang kakak yang ada di televisi itu.
"Saya akan menjelaskan semuanya kepada kalian. Siapa Sasuke? Andai saya tahu. Saya pasti akan bernafas lega. Tapi untuk saat ini, saya tidak bisa menjawab pertanyaan kalian. Sesaat sebelum ayah saya meninggal. Beliau berkata, Sasuke adalah adik saya dan dia ingin saya membawa Sasuke tinggal di kota. Saya minta maaf, mungkin kalian kecewa. Tapi saya mohon, hentikan pemberitaan ini. Sasuke tidak bersalah, dia tidak berhak mendapatkan semua ini. Satu keyakinan yang saya punya. Ayah saya tidak akan melakukan hal yang mengecewakan anak-anaknya. Dan saya yakin, ada sesuatu yang tidak saya ketahui di balik semuanya. Saya berjanji, saya akan mencari tahu kebenarannya. Dan setelah saya mendapatkan kenyataan yang sesungguhnya, saya akan memberitahu kepada kalian. Meskipun itu kenyataan terburuk sekalipun. Tapi saya mohon, saat ini, dan mulai detik ini, Sasuke adalah adik saya. Dia bagian dari Sharingan corp. Kalian boleh menghina saya, kalian boleh menyakiti saya. Tapi jangan menyakitinya, ataupun adik-adik saya yang lain. Saya mohon... Sekali lagi saya mohon..." Itachi berbicara dengan mata yang berkaca-kaca seakan ikut berbicara. Dia menunduk dan meninggalkan tempat wawancara dengan langkah yang mantap.
Sasuke terdiam mendengarnya, bahkan tanpa sadar ia mengalirkan airmata. Tidak pernah ada yang membela dirinya segigih Itachi. Tidak pernah. Mungkin ini pertama kalinya Sasuke merasa begitu berharga selain kasih sayang yang diberikan mendiang ibunya yang telah tiada. Semua siswa yang ada di sana, seketika memandang Sasuke yang masih terpaku menatap layar.
.
Penduduk bersorak dan bertepuk tangan meriah mendengar penjelasan dari Itachi. Seorang pemuda yang sangat bertanggung jawab. Di usia yang semuda itu, Itachi menjadi sosok yang sangat berwibawa, dan dapat melakukan sesuatu yang sulit dipercaya oleh semua orang.
Keadaan serupa tidak berbeda jauh seperti Fakultas Sai dan Shisui. Naruto tersenyum melihat siaran itu. Sejujurnya dia memang sangat mengagumi sosok Itachi sudah sejak lama. Ia sangat bangga, bahwa kakaknya Kurama memiliki kekasih sehebat dia.
"Kenapa sikapnya sangat berbeda jauh dengan Sai?" gumamnya pelan.
Berbeda dengan Naruto, saat selesai melihat siaran itu, Sai segera pergi dengan suasana hati yang sangat buruk. Dia tak pernah menyangka kalau Itachi akan membela Sasuke sampai seperti itu. Memangnya siapa Sasuke? Dia hanya anak haram yang keberadaannya bahkan tidak pernah di harapkan. Jika iya, tidak mungkin sang ayah mengasingkannya selama belasan tahun dan baru mengungkap jati diri Sasuke sekarang.
.
Di dalam ruangannya, Kurama duduk berhadapan dengan salah seorang bawahan yang sedang memberikan laporan padanya.
"Kami sudah mengetahui siapa yang menyebarkan berita itu Komandan," ucapnya, "Dia pendiri perusahaan fashion terbesar di Amerika dan sekarang dia mendirikan perusahaan itu di Tokyo. Nama perusahaannya adalah Akatsuki Inc."
Kurama mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Nama pemiliknya adalah Rikudou Yahiko."
Seketika Kurama membelalakan matanya. "Apa kau bilang?" selidiknya yang masih tak percaya.
"Rikudou Yahiko, Komandan. Dia baru sampai di Tokyo satu minggu yang lalu. Jadi apa kita harus menuntut dia secepatnya?"
Kurama lekas menormalkan ekspresi kagetnya dengan raut wajah datar. "Nanti akan saya beritahu. Kau sudah boleh pergi."
Setelah sang bawahan itu pergi, Kurama langsung menggenggam kedua tangannya yang berkeringat. Dia berfikir keras. Rikudou Yahiko bukanlah nama yang asing untuknya. Tidak pula untuk Itachi, bahkan Kisame.
"Itu pasti bukan dia," Kurama menggelengkan kepala, berusaha mengusir sedikit rasa pusing dan membuang jauh-jauh fikiran buruk yang ada di benaknya. "Itu bukan kau kan Yahiko?"
.
Hari yang melelahkan untuk Itachi. Dia pulang hingga malam. Mobil mewahnya memasuki pekarangan rumah. Para pengawal yang sudah menunggu segera membukakan pintu untuknya. Bersamaan dengan kedatangannya, Sai juga baru saja pulang. Dia turun dari motor besarnya. Berjalan kearah pintu dan secara tidak langsung mereka berdua berhadapan. Itachi menatap Sai, lalu mengisyaratkan para pengawalnya sedikit menjauh. Ia melangkahkan kakinya menghampiri Sai, begitu juga Sai yang memberanikan dirinya untuk berbicara pada Itachi.
"Kakak pikir, semua orang akan senang kakak berbicara seperti itu?" Senyum tidak senang terpapar di bibir Sai.
"Kakak hanya melakukan, apa yang harus kakak lakukan," sahut Itachi santai.
"Silahkan...tapi asal kakak tahu. Semua itu tidak akan menghilangkan kebencianku padanya."
"Terserah...ini hanya masalah waktu. Suatu saat nanti kau pasti akan menyadari hal itu," Itachi menghela nafas pasrah. Ia lelah, terlebih lagi jika harus berdebat dengan Sai yang keras kepala. Itachi berjalan melalui Sai yang masih terdiam di tempat.
"Apa kakak akan benar-benar menganggapnya adik?" Suara Sai berubah menjadi sangat pelan. Dia berbalik, dan Itachi pun berbalik. Mereka kembali bertatapan.
"Dia adik kita Sai. Sasuke adik kita."
"Meskipun hatiku sakit. Kakak tetap menganggap dia adik?" tanya Sai dengan mata yang berkaca-kaca.
Itachi menghela nafas panjang. "Ya, Sasuke adalah bagian dari keluarga kita sekarang," jawab Itachi dengan tegas. Ia berbalik, dan berjalan masuk ke dalam meninggalkan Sai sendiri.
Hati itu sakit, mendengar sang kakak berbicara sangat dingin terhadapnya. Airmata yang terbendung tak dapat lagi tertahankan hingga akhirnya jatuh membasahi pipinya. Sai segera menghapus airmata itu. Ia kembali menuju motor nya dan pergi entah kemana. Kemungkinan Sai tak akan pulang malam ini.
Dalam keadaan seperti ini. Hati Itachi lah yang paling sakit. Ketika dia harus menyakiti hati adiknya dengan kata-kata yang tak seharusnya keluar dari mulutnya. Tapi bagaimanapun, itu semua harus dilakukannya. Untuk dirinya, maupun untuk adik-adiknya. Dada Itachi terasa sangat sesak. Dia bersandar di lemari yang sangat besar. Menepuk perlahan-lahan dada itu. kakinya terasa sangat lemas, airmata telah keluar dari pelupuk matanya dan meluncur dengan deras di kedua pipi.
.
Kehidupan yang tak berbeda jauh dengan Itachi di sebuah Apartemen mewah. Sinar pagi menyinari di setiap ruangan. Semuanya tertata sangat rapi. Seorang pemuda bangun dari tempat tidurnya. Dengan masih menggunakan piyama dia bergegas ke kamar mandi.
Tubuhnya sangat kekar, bersih, setiap wanita yang melihat pasti akan menyukainya. Dia memakai sepasang pakaian beserta dasi dan jas yang sudah disiapkan di atas tempat tidur. Rambut adalah bagian yang paling dia suka. Dia selalu menata rambutnya dengan sangat rapi. Pemuda ini sangat memperhatikan stylenya, maka tidak heran dia selalu berganti-ganti model pakaian yang dikenakan. Dia memakai Kaca mata berwarna hitam yang menghalangi pandangannya dari teriknya sinar mentari.
Berjalan dengan penuh keyakinan tanpa ada rasa takut, itulah yang terlihat dari dirinya. Dia memasuki mobil yang sudah terpakir di depan gedung Apartemen dan melesat membelah jalan raya.
.
"Dia sudah datang Tuan," kata seorang pegawai yang masuk ke dalam ruangan. Dia memberikan laporan kepada atasannya yang tak lain Uchiha Madara.
"Suruh dia masuk," Lelaki itu beranjak, dan duduk di kursi yang saling berhadapan. Pintu kembali terbuka, Madara menatap seorang pemuda yang ada di depan pintu. Pemuda itu membuka kaca matanya dan tersenyum. Dia berjalan dan duduk di hadapan Madara. Layaknya seorang partner, mereka mengawali pertemuan dengan saling berjabat tangan.
"Rikudou Yahiko, senang bertemu dengan Anda. Ini pertama kalinya kita bertemu," Madara memulai pembicaraan.
"Panggil saya Yahiko. Saya juga senang bisa bertemu dengan Anda Madara-san," sahutnya sembari tersenyum sinis.
"Baiklah, bagaimana? Kau sudah membaca surat kerja sama yang saya kirimkan?"
"Sudah, karena alasan apa Anda ingin bekerja sama dengan saya? Saya perintis baru di dunia bisnis."
"Tapi, produk yang lahir dari perusahaanmu, mempunyai style yang disukai para remaja. Dan bukannya di Amerika sana, kau sudah menggelar fashion show sendiri?"
"Ya, itu berkat orang-orang yang selalu mendukung saya."
"Maka dari itu, saya yakin jika kita bekerja sama, kita akan mendapatkan keuntungan yang begitu besar."
Yahiko tersenyum simpul. "Seyakin itukah?" tanyanya dengan sikap santai.
"Ya, sejujurnya ada satu hal lain lagi yang membuat saya ingin sekali bekerja sama dengan Anda."
Kening pemuda berambut pirang itu mengernyit dalam. "Apa itu?"
"Saya ingin membuat mereka hancur," ungkap Madara berapi-api.
Yahiko menaikan sebelah alisnya tanda ia tidak mengerti. "Mereka?"
"Sharingan corp. Tidak, bukan hancur. Lebih tepatnya saya ingin mereka takut dan melemah."
"Bukankah perusahaan itu milik keluarga Anda sendiri? Dan pemilik perusahaan itu adalah keponakan Anda sendiri, benar begitu kan? Apa itu masuk akal?"
Madara mendengus saat mendengar kata 'keponakan'. Ia benci mendengarnya sekarang, apalagi ketika ia mengingat perlakuan Itachi saat itu. "Dulu dia memang keponakan saya. Tapi sekarang dia adalah musuh saya."
Yahiko tersenyum simpul mendengar hal itu. "Saya justru berniat untuk bekerja sama dengan mereka."
"Kenapa?"
"Karena mereka adalah perusahaan terbesar. Dan saya akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar pastinya."
"Tapi—" Belum sempat Madara menyelesaikan ucapannya, Yahiko segera memotongnya terlebih dahulu.
"Tapi, tujuan utama saya bekerja sama dengan mereka. Karena saya ingin menghancurkan mereka."
Seketika Madara menatap Yahiko kaget. Apa maksud dari perkataan Yahiko? Tapi dia tidak menghiraukan itu. karena dia memang sangat senang. Sejauh ini, tujuannya sama dengan tujuan Yahiko.
"Jadi?" tanya Madara memastikan.
"Saya akan bekerja sama dengan mereka. Dan setelah itu Anda bisa lihat, apa yang akan saya lakukan terhadap mereka," ujar Yahiko tersenyum licik penuh kemenangan. Uchiha Madara pun juga merasakan kemenangannya saat ini. Setidaknya dia bisa menghancurkan Itachi melalui Yahiko.
"Saya tidak sabar melihat itu. Tapi sepertinya...kita pernah bertemu sebelumnya?" Alis Madara bertaut bingung. Ia memperhatikan sosok Yahiko dari bawah hingga keatas. Memang tidak asing sepertinya, tapi... entah dimana ia pernah melihat atau bertemu dengannya.
"Ya, kita memang pernah bertemu."
"Benarkah? Dimana itu?"
"Anda akan tahu sendiri, Madara-san," Yahiko menekankan suaranya, seperti sedang menyimpan dendam yang sangat dalam.
Memang aneh nada bicara yang dilontarkan Yahiko, tapi itu tidak dihiraukan oleh Madara. Dia hanya tersenyum senang, dan tidak sabar melihat kehancuran Itachi.
.
Shisui menghampiri Sai yang sedang makan di kantin. Dia sendiri tanpa di dampingi siapapun.
"Kenapa kau tidak pulang semalam?" tanya Shisui langsung, saat berdiri di hadapan Sai. Tapi bukan malah menjawab, Sai malah asyik dengan makanannya. "Sai..." lanjut Shisui yang mulai kesal.
"Kau tanya saja pada kakakmu itu," sahut Sai ketus.
"Memangnya ada apa dengan kak Itachi? Sampai-sampai kau tidak pulang ke rumah."
Sai tak juga menjawab, dia hanya diam sambil terus melahap makanannya. Karena kesal diabaikan, Shisui segera mengambil makanan Sai dan meletakkannya di meja lain.
"Kakak itu kenapa sih?" Sai berdiri menatap Shisui jengkel. Membuat semua mahasiswa yang berada di sana memperhatikan mereka berdua. Shisui melirik keadaan sekitarnya. Karena tidak mau berita buruk tersebar, dia segera menarik tangan Sai dan membawanya jauh dari keramaian kampus.
"Lepaskan aku! Kau itu kenapa sih kak?" Sai menghempaskan tangannya yang di tarik ole Shisui. Kini tempat dimana mereka berada jauh dari keramaian. Jadi tidak ada yang menghalangi mereka untuk berbicara apapun yang mereka mau.
"Kau yang kenapa. Aku sudah cukup bersabar Sai. Dan kesabaranku ada batasnya. Aku hanya meminta agar kau bisa menghormati kakak kita, kak Itachi. Dia sudah bersusah payah memberi penjelasan pada media. Apa kau masih belum mengerti juga?"
"Bukan itu yang aku butuhkan. Aku hanya ingin anak itu pergi dari rumah. Aku sangat jijik padanya. Aku tidak sudi dia tinggal bersama kita."
"Kau egois Sai. Kau hanya mementingkan perasaanmu sendiri. Tidak pernah mengerti perasaan orang lain," cerca Shisui kesal. Adiknya ini memang benar-benar makhluk yang keras kepala.
"Kalian berdua sama saja. Sudahlah, kalian urusi saja anak itu. Tidak perlu memikirkanku dan anggap saja aku sudah tidak ada."
Shisui sangat marah mendengar itu, dia mengangkat tangannya hendak memukul Sai. Tapi beruntung ada sebuah genggaman yang menahan pukulannya.
"Sudahlah Shisui, jangan emosi dan melakukan hal yang tidak pernah kau lakukan pada Sai," tegur Naruto. Tangannya menggenggam erat lengan Shisui yang tampak keras dan tegang.
"Dia benar-benar..." Shisui menggeram dan tampak sangat emosi melihat sikap kurang ajar Sai. Tapi beruntung Naruto segera datang untuk menghentikannya kalau tidak, saat ini dirinya pasti sudah memukul adik kandungnya sendiri. Shisui yang tidak mau kembali emosi segera pergi dari hadapan Sai dan Naruto.
"Kau lihat kan? Bahkan kak Shisui juga berubah. Betapa hebatnya anak itu menghasut semua orang," dengus Sai kesal.
Naruto memutar kedua bola matanya kemudian mendesah lelah. "Sai, kau terlalu kekanak-kanakan. Shisui marah padamu tadi karena ulahmu sendiri yang bersikap sangat kurang ajar."
"Kau juga bahkan menyalahkanku!" bentak Sai yang hampir saja pergi jika saja Naruto tidak mencekal lengannya.
"Dengarkan aku... Jika kau terus saja bersikap menyebalkan begini, tidak hanya Itachi dan Shisui, tetapi semua orang juga bisa saja menjauhimu. Cobalah pandang sesuatu dari sisi yang berbeda, bukan dari sisi yang biasanya kau lihat. Aku yakin kau pasti bisa menemukan sesuatu yang sebelumnya terabaikan."
Sai hanya diam. Ia melihat Naruto yang masih menatapnya tajam dengan iris biru yang memukau. Desahan lirih terhembus dari sela-sela bibirnya. "Tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja? Bukankah kalian juga sama, sama-sama mengabaikan sisi lain yang tak terlihat itu."
Naruto mengerutkan keningnya. Ekspresi wajah Sai terlihat sendu. Sebelum sempat bertanya, Sai sudah lebih dulu memeluknya dan menenggelamkan wajahnya di dada Naruto. Sebuah kebiasaan lama yang telah lama menghilang. Terakhir kali Sai melakukan hal ini adalah saat mereka masih berhubungan layaknya sepasang kekasih.
"Aku merindukanmu Naruto."
.
Sore ini tidak seperti biasanya Itachi sudah berada di rumah. Selain pekerjaannya di kantor sudah di handle oleh Kisame, ia juga sedang mencari beberapa berkas penting yang dulu sempat di simpan oleh sang ayah di ruangan ini.
Perhatian sepasang obsidian kelam Itachi, teralihkan kearah pintu yang tiba-tiba saja di buka oleh seseorang. Ia tersenyum, ternyata bukan seseorang melainkan 3 orang pemuda.
"Ada perlu apa?" tanya Itachi ramah. Ia kembali meletakkan berkas-berkas itu diatas meja dan lebih memilih menghampiri Kisame, Kurama, dan Naruto.
"Tidak ada, hanya mengunjungimu saja. Ku pikir kau sedang mengunci diri di kamar lalu menangis layaknya bayi," sindir Kurama yang langsung di respon tawa oleh ketiga pemuda yang mendengarnya.
"Kyu, kau sangat kejam pada Itachi," protes Naruto. Namun Kurama hanya mendengus seolah ia tak pernah mengucapkan sesuatu yang salah.
"Semua pekerjaanku di kantor sudah selesai Itachi, makanya aku ikut mereka mengunjungimu disini," Kisame membuka suaranya kemudian duduk di sofa. Diikuti oleh Itachi dan Kurama, sementara Naruto tidak.
"Lalu kau sendiri? Kau mau apa kesini Naruto? Mau bertemu Sai?" tanya Itachi heran.
Naruto memahat cengiran lebarnya kemudian menggeleng. "Hanya ingin berkunjung dan melihat anggota keluargamu yang baru. Dimana-mana semua orang membicarakan dia, aku jadi penasaran."
"Pasti bukan pembicaraan yang baik kan?" terka Itachi. Naruto segera mengibaskan tangannya dengan sikap cuek.
"Sejujurnya aku tidak peduli. Aku hanya ingin menyapa mantan adik iparku saja. Jadi dimana dia?"
Itachi mengulum senyum lembut. Naruto memang tipikal orang yang tidak bisa ditebak jalan pikiran. Yah, mungkin tak ada salahnya juga, siapa tahu Naruto bisa berteman dengan Sasuke dan membantunya banyak hal. Karena pemuda bungsu Namikaze itu adalah orang yang supel dan sangat mudah bergaul maupun mengakrabkan diri dengan orang lain. Contohnya saja pada Sai. Adik kandungnya yang paling manja dan egois.
"Dia ada di kamarnya. Sepanjang hari Sasuke selalu mengurung diri dan belajar," sahut Itachi.
"Terdengar membosankan. Biar kutebak, dia pasti memakai kacamata super tebal, kutu buku, berpakaian nerdy, lalu... um... mungkin dia juga pendek."
Itachi tertawa mendengarnya sementara Kurama mencibir sifat kelewat bodoh adiknya. "Tidak ada Uchiha yang seperti itu kecuali soal kutu buku. Ya, Sasuke sangat suka membaca buku apalagi buku-buku pelajarannya."
"Yah, baiklah... Sebaiknya aku melihatnya sendiri kan? Lagipula sepertinya kalian ingin membicarakan sesuatu yang penting," tebak Naruto yang langsung berlalu begitu saja dari ruangan kerja Itachi. Meninggalkan ketiga pemuda dewasa yang saat ini mulai mengubah ekspresinya menjadi lebih serius, tidak sesantai saat ia berada di dalam.
Kurama segera memecahkan kesunyian diantara mereka terlebih dahulu. "Aku sudah melihat siaranmu kemarin siang Itachi," katanya.
"Lalu bagaimana? Apa ada sesuatu yang salah dalam ucapanku kemarin?" tanya Itachi ragu.
"Tidak, semua orang salut padamu Itachi. Banyak tanggapan positif masyarakat terhadap keputusanmu kemarin," Kisame yang menjawabnya. Seketika Itachi menghembuskan napas lega.
"Aku hanya tidak ingin membuat Sasuke merasa di kucilkan, terlebih lagi dengan semua pemberitaan negatif di seluruh media."
"Sasuke pasti akan cepat terbiasa, bagaimanapun dia tetaplah seorang Uchiha," lanjut Kisame menasehati. Itachi mengangguk setuju.
Kurama merasa ini saatnya dia memberikan laporan penting pada Itachi. Sebelum berbicara ia berdeham beberapa kali guna mengetes sedikit kuantitas suaranya yang mungkin saja mendadak sumbang. "Sebenarnya ada hal penting yang mau kubicarakan pada kalian berdua," Tatapan Kurama mendadak serius. Melihat keduanya yang hanya bungkam, Kurama kembali bersuara. "Ini laporanku mengenai orang pertama yang menyebarkan berita buruk itu," Ia memberikan sebuah amplop coklat berukuran besar dari dalam tas dinasnya. Kisame dan Itachi segera membuka amplop itu dan membaca surat laporan yang ada di dalamnya.
"Rikudou Yahiko," ujar Itachi lirih. Kisame dan Itachi saling bertatapan dan kembali memandang Kurama. Menantikan kejelasan pada nama yang tercantum dalam surat laporan itu.
"Ya, orang itu Yahiko kita," Jawaban bernada lirih yang sama, mengalun dari bibirnya.
Itachi menggeleng keras. Tidak berniat percaya ataupun berusaha untuk menpercayai berita itu. "Tidak. Itu tidak mungkin dia. Kalau memang benar itu adalah perbuatannya, kenapa dia tega melakukan ini? Yahiko... Yahiko tidak mungkin melakukan hal sekejam ini Kyu. Ya, pasti bukan dia pelakunya."
"Hanya ada satu Rikudou Yahiko di dunia ini dan dia adalah orang yang kita kenal. Kalian masih ingat kan? Semenjak kejadian itu, dia sangat marah. Bahkan dia sangat membenci kita," imbuh Kurama. Penjelasannya memang masuk akal dan benar adanya, tetapi entah kenapa sulit rasanya bagi mereka untuk percaya.
"Aku juga tidak yakin. Tapi—" Ucapan Kisame segera diputus oleh Itachi yang lagi-lagi berusaha membantahnya.
"Tidak, dia tidak mungkin melakukan ini. Bagaimanapun dia tetaplah bagian dari kita," tolak Itachi tegas.
Kurama mendesah pasrah. Ia mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Oke, sekarang kita berharap semoga itu bukan dia. Tapi kalaupun itu benar..."
"Tidak akan ada yang terjadi. Semua akan baik-baik saja," kata Itachi yang lagi-lagi memotong ucapan temannya.
Kedua pemuda itu hanya bisa mendesah lelah melihat kekeras kepalaan Itachi yang terus saja membantah kalau pelaku penyebaran kabar buruk itu memanglah Yahiko. Dalam hati sebenarnya mereka juga enggan percaya, tapi bukti-bukti yang di dapatkan Kurama tidak mungkin keliru.
.
Sasuke baru saja keluar dari kamar mandi untuk membasuh wajahnya setelah habis membaca. Namun ketika baru saja menginjakan kakinya di depan pintu kamar mandi, ia malah melihat orang asing yang sedang berdiri di depan kaca jendela kamarnya yang besar.
"Si-Siapa kau?" tanya Sasuke kaget.
Naruto yang mendengar adanya suara seseorang di belakang. Lekas berbalik cepat sembari memahat cengiran lebarnya. "Hai, aku Namikaze Naruto, salam ken —Eh? Loh?" Ia mendadak jadi bingung karena yang berdiri di hadapannya tidak seperti apa yang dia pikirkan. Mungkin dia salah kamar. Bisa jadi, karena kamar di rumah ini cukup banyak dan sama lebarnya.
"Kau ini siapa?" Sasuke mengulang pertanyaan. Sementara Naruto berubah salah tingkah dan menggaruk belakang lehernya gugup.
"Eh maaf sepertinya aku salah kamar. Tapi..." Mata biru nya memicing tajam, seperti tengah mengamati sebentuk wajah rupawan dari sosok itu. "Setahuku yang tinggal di rumah ini hanya Itachi, Shisui, dan Sai. Lalu... Ditambah adik baru mereka yang baru saja bergabung, namanya Sasuke. Atau jangan-jangan..." Sepersekian detik matanya lekas melebar ketika menyadari sesuatu yang sejak tadi ia pertanyakan.
"Hn. Aku Sasuke."
Dan jawaban yang meluncur dari bibir delima si pemuda justru malah semakin melebarkan mata Naruto.
"Tidak mungkin!" Ia memekik. Berjalan cepat lalu mengelilingi Sasuke layaknya serigala yang sedang meneliti mangsanya. "Kau tidak cupu, tidak pendek, nerdy apa lagi, dan... kau juga tidak memakai kacamata tebal seperti botol sapi."
Komentar Naruto barusan memunculkan urat kekesalan di sudut kening Sasuke. "Kau ini siapa sih Dobe? Jika kau memang salah kamar, silahkan pergi dari sini," ketusnya.
"Wah, mulutmu bisa pedas juga ya seperti Sai."
Lagi-lagi komentar bodoh Naruto menambah jumlah urat kekesalan di sudut kening Sasuke. "Apa maumu? Aku tidak suka jika acara belajarku di ganggu, apalagi oleh makhluk sepertimu."
Kali ini sudut kening Naruto yang berkedut kesal. "Siapa yang kau sebut dengan sebutan 'makhluk' dasar Teme!"
"Hn, Dobe! Kalau begitu pergi dari sini," usir Sasuke yang lekas menuju kearah meja belajarnya disebelah kaca jendela besar yang terbuka.
"Cih, kelakuanmu tidak ada manis-manisnya. Sama sekali tidak bagus seperti wajahmu," sungut Naruto. Sebelum ia sempat berbaik, pintu kamar Sasuke terbuka menampilkan sosok Itachi dan Kurama yang berjalan beriringan memasuki kamar. Sementara Kisame menunggu di ruang tengah sembari memakan camilan bersama Shisui yang menemaninya mengobrol.
"Kalian sepertinya cepat akrab," tanggap Kurama.
"Tidak!" bantah Sasuke dan Naruto bersamaan. Ucapan mereka sukses membuat Itachi takjub dan Kurama terkikik geli mendengarnya.
Selama berada di rumah ini Sasuke selalu berekspresi murung dan dia juga pendiam. Tapi baru bertemu sebentar dengan Naruto saja, dia sudah berekspresi sebanyak ini. Itachi tersenyum, dan ia memandang Naruto penuh arti. Ia berharap dengan kehadiran Naruto, bisa mengubah Sasuke menjadi sedikit periang. Lagipula Sasuke juga butuh hiburan.
"Hei Itachi, kuakui adikmu yang satu ini memang tampan sepertimu, tapi sikapnya sungguh tidak manis," sindir Naruto yang menyebabkan Sasuke bertambah kesal dan memelototinya tajam.
"Apa maksudmu Usuratonkachi?"
"Bah! Kau bahkan berani mengataiku seperti itu, dasar Teme! Aku ini lebih tua darimu tahu."
"Hn, seperti aku peduli saja."
"A-APA?! Ya tentu saja kau harus peduli, Tuan Pantat Ayam!"
Twitch!
Urat kekesalan Sasuke muncul kembali. "Siapa yang kau sebut pantat ayam, kuning idiot!"
Kurama dan Itachi buru-buru menghampiri adik masing-masing lalu memegangi keduanya yang nyaris saja saling mencakar dan menggigit. Kurama membekap mulut Naruto yang hendak melontarkan kalimat ejekan, dan begitu juga dengan Itachi.
"Sepertinya hal yang buruk jika membiarkan mereka bersama dalam satu ruangan," ucap Itachi yang masih memegangi tubuh Sasuke sekaligus membekap mulutnya, yang sebenarnya sudah tidak lagi membalas perkataan Naruto maupun memberontak.
"Astaga, anak ini benar-benar membuatku malu," sungut Kurama menjitak kepala pirang Naruto. Kakak beradik Namikaze itu saling menghantarkan percikan tajam lewat tatapan mata berbeda warna. Biru dan abu-abu. Biru yang sama dengan warna mata ayahnya, dan abu-abu yang sama dengan mata ibunya.
"Jauhkan Naruto dari sini Kyu," pinta Itachi. Kurama berdecih. Tanpa di suruhpun sebenarnya ia memang sudah berniat menyeret Naruto yang masih mengerang, keluar kamar. Dan setelah kedua sosok Namikaze itu pergi, Itachi segera melepaskan Sasuke.
"Maafkan aku... Dia membuatku kesal lebih dulu kak," kata Sasuke takut-takut. Kepalanya menunduk dalam dan Itachi segera mengacak surai ravennya yang ternyata sangatlah lembut dan halus. Putra pertama Uchiha itu tergelak geli, membayangkan pertengkaran Sasuke dan Naruto barusan. Betapa mereka terlihat lucu dan juga sangat lepas dari karakter aslinya.
Itachi menarik Sasuke yang hanya bingung memandangi raut tertawanya kemudian mendekapnya sangat erat. "Kau lucu. Kau sangat lucu. Aku baru pertama kali melihatmu yang selepas itu Sasuke dan aku sangat senang," Dekapan itu mengerat disertai belaian lembut di puncak kepala Sasuke. Tanpa disadari olehnya sebenarnya Itachi tengah menitikan airmata.
'Dia adikku. Ya, dia benar-benar adikku. Ibu... Maafkan aku... Aku mulai menyayangi anak ini,' katanya pilu dalam hati.
.
.
Tbc
.
.
Buat yang udah baca fic ini di fb, baca lagi aja disini gapapa kan? Hehehe, ada yang minta fic ini di publish di ffn, dan setelah nagi pikir2 ya memang ga semua pembaca di ffn berteman dengan saya di fb, jadi yaudah ga ada salahnya juga kan? Lagi pula ff ini udah kuketik sampe tamat jadi tinggal di publish aja sih tiap ada waktu luang. Yang di fb kan baru 2 chapter tapi disini aku gabung aja sekaligus, kemarin niatnya mau publish chapter barunya tapi males copas nya kalo di fb ga sesimpel publish fic di ffn soalnya. Hehehe.
Dan mungkin ini ff terkompleks yang pernah saya buat. Konflik yang ada di dalamnya dateng dari berbagai sisi jadi lumayan juga sebenernya mikir2 plotnya, tapi untungnya malah cepet nyelesaiin ini dari pada yang lain.
Soal mengenai siapa Sasuke dan apa statusnya di keluarga Uchiha, adakah yang bisa menebak? Kenapa Fugaku menelantarkan Sasuke selama belasan tahun tapi meminta Itachi membawanya kembali sebelum mati, sebenernya berkaitan dengan segala konflik yang ada disini. Jadi selamat menebak, yang tebakannya bener nanti di beri hadiah kecupan dari Sasu *Digampar Sasu*
Oke, Jaa matta nee :)
