WARNING! BOYxBOY!

Fandom : DRRR!

Disclaimer : Narita Ryohgo

Pair : Shizaya/Izuo dan beberapa pair lainnya

Rate : T lalu M (?) (dan sedikit… gore? Sadis? Dan garing krenyes krenyesss#?)

A/N : WARNING LAGI! FF ini OOC OCC CCO CCD#loh#. Terinspirasi dari pic2 DRRR! Versi HALLOWEEN. Pertama liat (walau telat taunya) itu membuatku…. Bernafsu ingin bikin fanfict tentang mereka lagi #ga bosen#. Gimana ga nafsu liat IZAYA jadi VAMPIRE dan SHIZUO yang jadi HUNTER. Berkat info ff semacam itu dari Lien Kiem Tan, jadinya berkembang(?)-lah ceritanya #gatau maksudnya apa#.

Juga berkat lagu BIGBANG. Yah, intinya saya disini hanya bercerita tentang mereka, bercerita dari lubuk hati saya paling dalam #halah#. Bercerita walau mungkin ga sebagus yang lainnya.. imajinasiku, hanya kutuangkan disini.

Here we go, Minna…


Dunia ini dihuni berbagai makhluk, bukan? Vampires dan monster juga ada. Sejak dulu kedua pihak itu 'berperang' antara vampire dan pemburunya. Pemburu vampire yang meyakini kalau makhluk penghisap darah bak lintah itu kejam, suka membunuh mangsanya, tidak punya belas kasihan. Begitu pula para vampire yakin kalau para pemburu tidak mengerti apa yang vampire rasakan.


"Izaya-san, apa yang kau lakukan?" bocah bernama Mikado itu memperhatikan 'senior'-nya yang tidak menjawab pertanyaannya. "Izaya-san? A-Aw! Sakit," keluhnya.

"Tahanlah. Ini hanya obat suntik." Rambut raven ber-iris merah darah itu menghela nafas melihat anak buahnya yang baru itu mengeluh. "Aku tidak rabies, kok. Untuk apa suntikan ini?" mata abu-abu gelapnya terus menatap jarum suntik yang tertancap di lengannya. "Untuk menekan nafsu memburumu, kau mau mati sia-sia ditangan pemburu?" Mikado menjawab dengan gelengan polos. "Aku tidak mau stok kantong darah habis karena kau," Izaya menambahkan.

"Izaya-san, aku juga butuh obat itu," rambut pirang yang periang datang. "Ah, kau sibuk. Ya sudahlah, biar kulakukan sendiri," terdengar sedikit kecewa dari nadanya.

Orihara Izaya, pria berwajah tampan dengan rambut hitam kelamnya, juga iris semerah darah. Dia hanya seseorang dengan keturunan asli vampire, bisa dibilang seorang 'bangsawan'. Anak buahnya hanya dua orang, Ryugamine Mikado dan Kida Masaomi. Kedua anak itu tadinya hanya manusia biasa sebelum bertemu Izaya.

"Awas, kalau kau memakainya berlebihan dan habis. Aku yang akan menyuruhmu pergi kerumah Shinra untuk mengambil obatnya," Izaya mengancam setelah menyelesaikan tugasnya menyuntik Mikado. "Eh? Aku tidak mau bertemu Shizuo-san!" bibirnya maju.

"Pilih yang mana, mengambil obat di rumah Shinra atau mati kelaparan?" bocah rambut pirang itu diam, merasa bersalah mengucap kalimat sebelumnya. "Kalau kau takut bertemu monster itu, akan kutemani. Besok kita ambil obatnya,"

Izaya memang keturunan asli dari bangsawan vampire, bisa berjalan dibawah sinar matahari juga abadi. Dia tidak menua, selalu terlihat seperti pemuda yang berumur dua puluh tahunan keatas. Dan dia hanya bisa mati kalau jantungnya dikeluarkan dari tubuhnya. Dia telah banyak menemui manusia dengan berbagai macam sikapnya. Tidak ada yang tahu berapa tepatnya umur Izaya sekarang. Dia selalu tertutup dengan soal pribadinya.

Tidak hanya itu, sebenarnya Izaya sangat rindu rasa darah segar. Sudah sangat lama sekali ia tidak meminumnya. Hanya memakai obat penekan nafsu membunuhnya saja, terkadang meminum satu kantong darah dalam satu bulan. Dulu dia memang sering membunuh mangsanya, ia akui itu. Tapi tidak lagi, kau akan tahu kenapa.


'Darah. Darah segar! Aku ingin meminumnya. Gigit, gigit leher yang mulus itu. Hisap sampai kering. Aku lapar! Bedah perut dan dadanya! Ambil jantungnya yang empuk dan juicy itu. Hatinya yang gurih dan manis. Pecahkan kepalanya! Ambil otaknya yang sangat lembut dan lezat itu.'

"U-ukh! Hen-hentikan." Izaya mengerang, tangannya menggapai-gapai sesuatu diatas meja kecil disebelah tempat tidurnya. Mimpinya diusik hasrat untuk membunuh. Sebuah suntikan sudah ia raih. Tanpa tunggu lama, ia langsung menusuk lehernya sendiri dengan suntikan tadi. Menekannya agar obat itu keluar melalui rongga jarum suntik yang menancap dilehernya dan masuk kedalam tubuhnya.

"A-aakh!" setelah obatnya sudah masuk sampai tidak tersisa, ia mencabutnya langsung. Menyuntik dari lehernya akan mempercepat reaksi dari obat ketimbang disuntik ditangan. Terbukti hanya dalam beberapa detik insting membunuhnya mereda. Taringnya tidak lagi menyembul menukik kebawah.

'Akhir-akhir ini sering terjadi yang seperti ini. Ada apa denganku?' Izaya bertanya pada dirinya sendiri. Dia menatap suntikan yang telah kosong. Besok ia harus bertemu Shinra. Meminta dosis untuknya ditinggikan. Obat dari Shinra tidak hanya menekan nafsu dan instingnya, juga membuatnya seperti manusia biasa. Tapi tidak semua vampire cocok dengan obat buatan Shinra.


Paginya, Izaya dan Kida pergi untuk mengambil obat itu. Tidak ada tanda-tanda para pemburu itu membuntuti mereka sampai dirumah Shinra. "Shinra, aku butuh beberapa obat lagi." Tanpa basa basi Izaya duduk disofa dan langsung mengutarakan tujuannya. "Lagi? Kau ini rakus juga, bukannya sudah kuberi stok selama lima bulan?"

"Bukan aku, ada anak baru. Dia baru menjadi vampire selama tiga bulan, maka dari itu aku kemari." Kida menyusul pembicaraan. "Ya, namanya Ryugamine Mikado, dia temanku sejak dulu." Shinra mengangguk mengerti.

Bagi Izaya, Shinra cukup berguna untuk menyelamatkannya dari para pemburu. Dengan obatnya, dia dan kedua anak itu tidak pernah membunuh manusia. Juga berkatnya, Mikado dan Kida bisa berjalan dibawah sinar matahari sama seperti Izaya.

"Shinra, obat khusus untukku aku ingin kau menaikkan dosisnya. Bisa?" perintah Izaya. "Eh? Kau yakin? Dosismu yang sekarang saja sudah tinggi! Kau memakainya lebih dari tiga kali. Kau ingin menaikkannya? Kau gila, itu sama saja bunuh diri."

"Aku ini abadi. Aku tidak akan mati kecuali jantungku dikeluarkan dari tubuhku," Izaya tersenyum sinis. "Aku tahu itu, maksudku kalau dosisnya dinaikkan, efek sampingnya akan membahayakanmu, seperti kau akan menjadi kebal dengan obat itu." Shinra memperingati sekali lagi.

Izaya tetap ngotot, Shinra hanya menghela nafasnya. Mengancam akan membedah Izaya sekali lagi sudah bosan bagi Shinra. Izaya terlalu sering jadi bahan penelitian Shinra. "Oke, kamu pergi dulu. Thanks, manusia pintar," pamit Izaya kepada Shinra. "Haah, dasar masochist." Ledekan Shinra tak sampai pada tamunya tadi.


"Izaya-san kenapa kau menambah dosisnya?" tanya Kida sambil berjalan pulang. "Instingku sekarang sering mengambil alih," Kida terdiam, dia tahu kalau Izaya lepas kendali seperti apa. Dia pernah menjadi korbannya, sebuah gigitan dileher yang membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Luka karena sesama vampire akan lebih efektif ketimbang senjata dari manusia.

Kida teringat saat pertama kali bertemu Izaya. Ia hanya anak gang biasa bersama Mikado. Mereka berdua jauh dari orang tua. Temannya yang mengenalkan Izaya pada Kida. Melihat Izaya yang misterius, berbahaya juga aneh itu adalah kesan pertamanya saat bertemu dengan sang raven.

Kida tahu kalau Izaya seorang vampire karena ia tak sengaja menemukan Izaya yang sekarat kehausan, dia rela memberi beberapa tetes darahnya pada waktu itu. Mungkin dari situ sebabnya saat Izaya lepas kendali, ia menggigit Kida. Dari situ Kida tertarik untuk jadi vampire, teman Kida sejak kecil juga tertarik pada Izaya, Mikado menjadi salah satu dari mereka selang tuga bulan setelah Kida menjadi vampire.

'Aku bosan dengan hidup yang hitam putih ini. Aku ingin menjadi seperti dia. Aku tidak peduli lagi pada yang lainnya yang hanya memanfaatkanku.'

'Ini menarik, berbeda dari biasanya. Aku ingin mencobanya, menjadi seperti dia. Hal baru yang akan mengubahku,'

Rasa ketertarikannya kepada sosok raven itu tidak hanya pada letak statusnya sebagai vampire. Tapi sifatnya yang tidak terduga. Izaya memang terlihat misterius, tidak seperti Kida maupun Mikado. Dibalik misterius dan pendiamnya itu ada kehangatan, Izaya begitu baik pada mereka. Melindungi dari para pemburu yang mengejarnya, memberi mereka makan dan tempat tinggal.

"Kalian sudah seperti keluargaku sendiri, seperti adik kembarku yang sudah lama mati karena 'hunters'." Tentu Kida ingat kalimat itu. Tak heran kalau Izaya terkadang begitu protektif pada mereka. "Kida-kun? Kau baik-baik saja?" suara lembut membuyarkan lamunan Kida tentang masa lalunya saat bersama Izaya.

"Ah, iya. Aku baik-baik saja—" kalimat Kida terhenti karena Izaya tiba-tiba mendorongnya. Sebuah cross emas yang sangat besar dan panjang menancap tepat dimana Kida tadi berdiri. Ujung-ujung cross yang lancip itu memang di desain untuk menusuk para vampire. Kalau saja Izaya tidak mendorong Kida, dadanya sudah ditembus oleh cross emas itu.

Kida hanya bengong, Izaya menghadap dari mana cross itu berasal. "Shizu-chan, kau tetap bodoh seperti biasa. Bukankah sudah kubilang kalau kita tidak akan mengusik kalian." Sosok semampai itu terlihat, berambut blonde hampir mirip dengan warna rambut Kida, berpakaian seperti ksatria. Berjubah hitam, dan pakaian dominan hitam dengan abu-abunya, memakai sepatu besi bak prajurit perang setinggi pahanya.

"Aku tahu, Kutu! Aku hanya mencium bau busuk kalian dan datang kemari. Membuatku kesal saja," mata almond-nya menatap tajam sosok raven serba hitam itu. Berjalan mendekat untuk mengambil cross-nya. Izaya dan Kida mengaja jarak dari si pemburu vampire itu.

"Kau ingin bermain denganku, Shizu-chan?" senyum sinisnya hanya untuk Heiwajima Shizuo. Hanya dengan satu tangan dia bisa mengambil cross emasnya yang menancap pada tanah itu. "Kau juga bodoh. Sudah berapa kali kubilang namaku Heiwajima Shizuo!" lengannya mengayunkan cross itu begitu mudah, tujuannya hanya satu. Untuk melukai Izaya.

"Ooops! Kau arahkan kemana, hm?" dengan mudah Izaya menghindar. "Diam kau vampire tua bangka!" Tentunya mereka itu musuh bebuyutan seperti kucing dan anjing yang sering bertengkar. Shizuo selalu mencoba membunuh Izaya, selalu. Walau sebenarnya dia tidak ingin.

~Shizuo POV~


-flash back-

"Nii-san! Awas!" teriakkan Kasuka masih terngiang. Adikku tewas karena menyelamatkanku dari serangan vampire saat kami masih kecil. Saat itu, vampire terkutuk menyelinap kedalam rumah dan menyerangku, namun Kasuka menghalanginya. Tubuh mungilnya kesakitan karena tergigit.

Tanganku mengambil potongan besi yang kuambil secara paksa dari penyangga meja, lalu memukul vampire itu tepat dari belakang mengarah kekepalanya. Darah mengucur, membasahi baju dan lantai. Menusuk dadanya saat dia tergeletak pingsan. Tapi, terlambat saat aku kembali pada Kasuka. Tatapan matanya kosong dan basah karena air mata kesakitan. Lehernya berlumuran darah, dia tidak bernyawa. "Ka..su..ka? Kasuka!?"

'Aku sangat menyayanginya. Kasuka, jangan mati! Kau satu-satunya yang mengertiku.' Air mataku saat itu tak tertahan. Aku berlari kekamar orang tuaku, dimana mereka berada untuk melaporkan apa yang terjadi tadi, namun yang ada hanya dua mayat tak memiliki organ dalam yang lengkap. Ya, orang tuaku telah meninggal dunia lebih dahulu sebelum Kasuka dimalam yang sama. Aku terpaku, menatap pemandangan yang tak pantas dilihat oleh seorang anak kecil.

Sejak saat itu, aku sangat sangat membenci vampire. Aku kabur dari panti asuhan demi mencari vampire walau umurku masih sangat hijau. Vampire kedua yang kubunuh disaat malam bulan baru ditengah malam yang sepi, memergokinya tengah memakan korbannya. Jantung yang tidak berdenyut lagi itu tinggal separuh dimakannya, menjijikan. Dia tidak menyadari keberadaanku. Mataku mencari benda tajam atau benda yang bisa melukainya, dan yang kutemukan sebuah cross emas yang sangat tinggi nan kokoh bersandar pada dinding tak jauh dariku. Semua ujungnya terlihat sangat tajam. Aku tidak tahu itu punya siapa.

Tanpa pikir panjang aku ambil cross emas itu dan melemparkannya pada vampire yang sedang asik menyantap korbannya. Ujung cross tepat menembus dadanya, mengeluarkan darah segar berwarna merah. Terdengar suara kesakitan darinya, dengan santai kudekati vampire lemah itu. Mencabut cross dengan tiba-tiba, membuatnya berteriak menyedihkan.

Menendangnya dan menginjak serta menusuk-nusuk dadanya, ia tak kunjung mati. Dengan tatapan benci, ku angkat cross itu tinggi-tinggi. Tanpa belas kasihan, aku tusuk dan hancurkan tengkoraknya dengan ujung cross yang tajam itu. Suara kehancuran otak dan tengkoraknya membuatku senang. Aku seperti psikopat saat itu. Rasa dendam dan benci mengendalikanku.

#plok plok plok#

Suara tepuk tangan menghentikan kesintinganku, mengalihkanku kepada orang yang bertepuk tangan tadi. Seorang pria yang berambut gimbal berdiri dibelakangku, tak jauh dariku. "Hebat sekali, padahal kau masih kecil. Siapa namamu?" dia mendekatiku, berlutut dihadapanku untuk menyamakan tinggi kami. Lalu mengeluarkan sapu tangannya untuk membersihkan cipratan darah dari vampire tadi diwajahku.

"Heiwajima Shizuo," jawabku sekenanya. "Shizuo-kun, terima kasih telah meringankan tugasku. Yang kau pegang itu senjataku, tapi kau bisa menggunakannya dengan mudah. Luar biasa, padahal benda itu sangat berat."

"Ah, maaf telah mengambilnya tanpa meminta ijin darimu." Dengan sopan aku membungkuk dan mengembalikan cross emas itu. Dia malah tertawa. "Hahaha, aku justru sengaja menaruhnya disana. Karena ramalanku itu benar," ekspresi heran terlihat jelas pada wajahku. "Aku bisa meramal, kau bocah yang ditakdirkan menjadi salah satu dari kami. Kau tidak punya orang tua dan tempat tinggal, 'kan?"

Kuanggukkan kepala ini, masih dengan tatapan heran. "Ikutlah denganku, kau bisa memburu para vampire itu. Tapi, ingat akan satu hal. Kau boleh mendendam karena vampire membunuh semua orang terdekatmu. Tapi, jangan sampai kau tenggelam dalam dendammu sendiri."

Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku terus saja menikmati memburu para makhluk terkutuk itu, entah vampire maupun monster bodoh lainnnya seakan rasa puas ini belum tercukupi. Sampai pada umurku yang keempat belas tahun, aku melihat dua orang vampire datang kemarkas kami. Awalnya kukira mereka menyerahkan diri atau mau menyerang kami. Tapi, dugaanku salah.

"Kami kemari hanya bertamu dan ingin menyampaikan sesuatu." Ucap lelaki yang sangat tinggi dan berkulit hitam itu dengan suaranya yang berat namun ramah. "Hmm, baiklah. Silahkan," Tom-san, pemimpin sekaligus orang yang mengajakku bergabung kedalam pemburu vampire ini. Sebenarnya Tom-san sudah menduganya, ia meramalkan semua ini. Suatu hal akan terjadi dan merubah sisi kami dan vampire kelak.

"Sebenarnya, kami ingin hidup tenang tanpa diburu oleh kalian. Kami juga ciptaan Kami-sama yang memang berwujud manusia tapi mendekati monster. Dan itu berarti kami berhak hidup didunia ini, 'kan? Sama seperti makhluk lainnya yang punya hak untuk hidup." para 'Hunters' berbisik-bisik satu sama lain.

"Memang benar, tapi kau tidak usah membunuh kami satu persatu dengan keji seperti itu! Cukup dengan darah kami saja kau sudah bisa hidup, 'kan?!" seorang pria berteriak dari belakangku. Aku cukup setuju dengannya. Tapi, akan lebih bagus lagi kalau mereka punah. Aku terlanjur sangat membenci makhluk hina dan terkutuk itu.

"Kau benar, kami bisa hidup hanya dengan darah kalian. Maka dari itu kami kemari untuk membuat perjanjian." Ujar lelaki satunya yang muncul dari belakang pria kulit hitam itu, tubuhnya jauh lebih kecil dari temannya. Mata semerah darah yang mencolok, belum lagi kulitnya pucat. Rambut hitam kelam, sama dengan baju yang ia kenakan serba hitam namun selaras dengan kemeja putihnya yang bersembunyi dibalik jas.

"Katakan saja, kami akan mendengarkannya. Jika perjanjianmu itu cukup adil, akan kami terima. Jika tidak, pulanglah sebelum kami musnahkan." Ucap Tom-san tegas.

"Kami akan meminum darah lewat pendonor darah dari para manusia, tidak langsung meminumnya dari para manusia. Lebih bagus lagi kalau ada yang mau membuatkan obat untuk menekan nafsu membunuh kami. Lalu, jangan membunuh kami jika kami tidak terbukti memakan atau membunuh manusia."

Bisik-bisik kembali terjadi. "Tapi kalau kalian diam-diam membunuh manusia dan kabur tanpa ketahuan, bagaimana? Itu sama saja bohong, bukan?" aku melempar pertanyaan, orang-orang dibelakangku ribut menyetujuinya. "Kalau begitu, akan kami serahkan anggota kami pada kalian yang telah membunuh manusia jika perjanjian ini telah disetujui. Terserah kalian mau diapakan anggota kami yang melanggar perjanjian itu."

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan si mata merah itu, bisa-bisanya dia berbicara se-enteng itu. Apa mungkin dia sangat ingin hidup tenang? Atau ada hal lain yang dia inginkan? Aku tidak bisa menebaknya. "Jadi kami cukup mendonorkan darah untuk kalian. Dan kalian akan berhenti membunuh kami. Jika ada yang membunuh kami, pelakunya boleh dibunuh juga?" Tom-san mengambil kesimpulan.

"Mata dibalas dengan mata. Nyawa dibayar dengan nyawa. Cukup adil, bukan? Kami hanya butuh darah kalian saja. Apa itu sulit?" seulas senyum sinis yang tak kusuka dari orang itu. Dia terlihat licik. "Hm, bagaimana, Minna-san?" Tom-san meminta suara.

"Baiklah, mendonor darah itu memang hal mudah." Satu suara mengatakan demikian, dan yang lainnya bersorak setuju. Mendonorkan darah untuk mereka? Jangan bercanda. Aku tidak percaya pada vampire itu.

Memang, beberapa bulan setelah perjanjian itu kami tidak sesibuk dulu yang selalu pergi mencari makhluk penghisap darah itu. "Sepi," aku mengeluh pada Tom-san, merasa ini tidak semenarik seperti dulu. Karena dendamku belum terpuaskan, masih haus akan membunuh mereka satu-persatu.

"Jangan begitu, justru ini lebih baik. Kita bisa bersantai dari menolong orang maupun membunuh setiap vampire yang beraksi. Seharusnya kita berterima kasih pada 'bangsawan' vampire yang datang waktu itu."

"Bangsawan vampire? Mereka bangsawan?" aku heran, selama ini aku masa bodoh dengan mereka. Yang terpenting adalah membasmi mereka. "Bukan berarti mereka itu turunan orang kaya seperti bangsawan pada umumnya yang disebut oleh kita."

"Lalu apa?"

"Bangsawan yang dimaksud, mereka itu seperti ketua atau petinggi yang harus dihormati oleh vampire biasa. Mereka bisa berjalan dibawah sinar matahari, juga bisa mengubah manusia menjadi vampire biasa saat mereka memberikan darahnya untuk manusia. Mereka abadi, hanya bisa mati saat jantungnya hancur atau dikeluarkan dari tubuhnya."

Penjelasan yang cukup aku serap. "Saat pertama kali kita bertemu, kau membunuh salah satu dari 'bangsawan', lho." Mataku membulat, aku ingat saat vampire kedua yang kubunuh. Dia belum mati walau jantungnya ditembus, sampai pada akhirnya aku kesal dan menghancurkan dada maupun kepalanya. "A-ah, souka. Memangnya ada berapa 'bangsawan' di sini?"

"Hmm, setahuku tidak banyak. Yang berkulit hitam dan tinggi besar, ia 'bangsawan' vampire Rusia yang singgah disini, namanya Simon. Dan satunya lagi berasal dari Shinjuku, keluarga 'bangsawan' vampire Orihara. Yang kau bunuh itu salah satu dari mereka. Aku tidak tahu seberapa banyak anggota keluarganya, tapi yang datang kemari itu bernama Orihara Izaya. Dia disebut pemimpin vampire disini."

Kuanggukkan kepalaku, bertanda mengerti. Orihara Izaya, wajah liciknya dan senyum sinisnya yang paling aku tidak suka.


Tiga tahun setelah perjanjian itu. Terjadi suatu insiden yang membuatku jengkel. Dimusim dingin, kami digemparkan dengan berita seseorang tewas dengan darah mengering dan tidak memiliki jantung. Gara-gara kasus itu, kami sibuk mencari vampire atau petinggi mereka untuk meminta pertanggung jawaban. Sampai suatu saat, kebetulan dan keberuntungan menghampiriku.

"Sudah kuduga para vampire busuk itu hanya berbicara omong kosong, Tom-san!" aku hanya bisa mengutarakan kekesalanku sambil berjalan disebelahnya. "Y-Yah, kita lihat saja nanti. Kita belum lihat jawabannya, bukan?"

Aku memajukan bibirku dan berjalan mendahului Tom-san, saking kesalnya aku tidak melihat ada orang yang menghalangi jalanku dan menabraknya. "A-Ah! Maaf, aku tidak melihatmu—" orang yang kutabrak menengok kearahku, kalimatku terhenti karena wajahnya tak asing lagi. "Aaah, tidak apa-apa." Suaranya meyakinkanku bahwa dia orang yang pernah kutemui.

"K-Kau! Izaya!?" ucapku spontan, Tom-san dengan cepat menyusulku. "Sopanlah, bocah pemburu. Aku lebih tua darimu," protesnya sambil menghela nafas, membuat udara yang ia keluarkan berwarna putih karena udara sangat dingin. "Aah, Izaya-san! Kami mencari-carimu!" Tom-san berbicara.

"Oui, ada apa Tom-kun?" dia tersenyum sok ramah dimataku. "Apa kalian membunuh manusia lagi? Kami mendapat berita kalau bahwa ada yang tewas karena kehabisan darah dan jantungnya hilang." Si mata merah itu diam tidak menjawab. Ekspresi wajahnya seakan ketakutan.

"Tolonglah, kalau iya benar dan kau menemukan pelakunya, serahkan pada kami. Kami hanya ingin kau menepati janjimu. Ayo, Shizuo-kun," Tom-san pergi duluan, aku tidak menyusulnya untuk sementara. Aku terus menatap orang yang bernama Orihara Izaya itu.

"Ada apa?" dia menyadari kalau aku terus menatapnya. Belum sempat aku menjawab, dua orang perempuan datang menghampirinya. "Iza-nii! Maaf membuatmu menunggu!"

Kulihat wajah mereka berdua mirip, ternyata anak kembar.

"Tidak juga, kok. Sudah selesai belanjanya?" aku tertegun, suaranya berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Begitu lembut penuh kasih sayang, sama seperti tatapannya. "Sudah, kami membelikan sesuatu untuk Iza-nii," perempuan berkepang itu antusias memakaikan syal kepada Izaya. Aku heran, kulit mereka itu selalu dingin. Apa mereka bisa kedinginan atau merasakan hal yang sama seperti manusia ketika musim berganti?

"Iza-nii, siapa dia? Apa dia temanmu?" perempuan rambut pendek menunjukku tiba-tiba. Aku sadar kalau mereka ini kakak beradik, pantas saja dia begitu berbeda saat menghadapi anak kembar itu. Dan, itu berarti anak kembar itu juga vampire, bukan?. "Aku pemburu vampire, aku datang untuk membunuh kalian." Jawabku sambil tersenyum sombong. "E-EH!?" mereka terkejut, aku sukses menakuti anak kembar itu.

"A-Ah, dia memang pemburu. Tapi, tenang saja dia tidak akan membunuh kita," salah satu tugas seorang kakak memang menenangkan adiknya. Aku pernah melakukannya, mereka mengingatkanku pada Kasuka dan diriku. Membuatku iri dan memaksa mengingat masa lalu.

"Namamu Shizuo, benar? Aku harus pergi dulu. Sampaikan pada Tom-kun, aku akan mencarinya," dia pergi begitu saja sambil menggandeng adik kembarnya. Aku terdiam menatap punggungnya. Memikirkan berapa banyak anggota keluarganya. Apa dia tahu kalau aku membunuh salah satunya?


Suatu malam, saat aku pergi bertugas untuk menjaga sekitar Ikebukuro. Dingin menusuk tulang, denting jam sudah berlalu dan sekarang menunjukkan pukul dua belas malam lebih. Biasanya aku ditemani Tom-san, tapi entah kenapa hari ini dia pergi menghilang sejak sore.

Sepi senyap tidak ada siapa-siapa. Kulewati lorong bangunan tua, suara aneh menghentikan langkahku. Terdengar seperti suara orang kesakitan yang lambat laun mengecil seperti tertelan senyapnya malam.

"Jangan-jangan!" aku bergegas mencari sumber suara itu. Memasuki lorong gelap, disudut bangunan aku melihat bayangan yang janggal. Aku dekati secepat mungkin tanpa suara, sinar bulan yang datang perlahan memperjelas sosok itu. Dua orang yang sedang menyantap manusia, tidak salah lagi itu vampire.

Aku membeku, melihat satu persatu sosok yang memojok itu. Mataku melebar dengan sekejab saat menyadari siapa mereka dan korbannya. "TOM-SAN!" aku berteriak spontan, berlari menghampirinya. Kedua vampire itu terkejut dan menyingkir seketika. Aku hanya terfokus kepada Tom-san.

"Tom-san! Kau bisa mendengarku!? Bertahanlah! Aku mohon!" kulihat darah meluncur bebas dari lehernya, dua gigitan pada lehernya membuat ia sekarat. Aku panik, mencoba pertolongan pertamapun terasa percuma. Tanganku gemetaran, jantungku berdegup tak karuan. Mataku mulai sembab.

"S-Shizuo-kun… Tak apa, ini…sudah resiko sebagai 'hunters'. Aku serahkan semuanya…padamu, termasuk senjataku.. Rawat dengan baik. Aku…mengandalkanmu. Ingat, jangan tenggelam pada dendam pribadimu..." dia tersenyum untuk yang terakhir kalinya. Tom-san tidak bernafas lagi, orang yang sudah kuanggap seperti pengganti orang tua bagiku itu telah tewas karena vampire. Lagi dan lagi, vampire merenggut orang yang kusayang.

"KUSOOOOO!"aku berteriak sekerasnya. Derap langkah yang menjauh terdengar. Kedua vampire tadi kabur dengan cepatnya. Dadaku terasa sesak, untung saja aku mengenal mereka. Ya, mereka adik kembar dari keluarga Orihara.


Acara pemakaman telah berlalu, sempat terlintas dibenakku apakah ini sebuah karma karena aku yang lebih dulu membunuh anggota keluarga Orihara? Memang benar, aku telah banyak membunuh vampire. Sedikitnya dua puluh vampire, dan lima puluh monster. Tapi, bukankah petinggi mereka sendiri yang membuat perjanjian tersebut? Tapi mengapa adiknya melanggarnya? Tidak mungkin kakaknya tidak menyampaikan perjanjian itu!

Emosiku meluap tak tertahankan. Terlebih anggota 'hunters' semuanya juga turut berduka dan marah karena setelah perjanjian, masih ada saja yang nyawanya terambil. Sesuai keinginan Tom-san, aku memimpin mereka. "Kalian kumohon tenang, biar aku cari Orihara Izaya dan meminta pertanggung jawaban darinya."

Setelah itu aku pergi ke Shinjuku. Dengan secarik kertas bertuliskan alamat kediaman Orihara. Sendiri mencari, membawa pedang bukan cross emas itu. Alasan yang pertama, benda itu terlalu besar dan mencolok. Dan yang kedua, aku masih berkabung atas kematian Tom-san. Pedang itu juga kusembunyikan dibalik jubah hitamku.

"Ya, tunggu sebentar." Setelah mengetuk pintu, seorang wanita anggun menyambutku. Rumahnya begitu besar dan mewah. Namun sedikit gelap dan, bau amis tercium. Hidungku ini cukup sensitif dan tajam. "Maaf, cari siapa, ya?" dia bertanya sangat lembut. "Orihara Izaya ada, Madam?"

Wanita itu menggeleng pelan. "Sayang sekali, dia baru saja pergi,"

"Kalau begitu, adik-adiknya ada?" wanita berambut hitam bergelombang itu memiringkan kepalanya. "Ada, sebelumnya anda ini siapa?"

"Saya temannya," tentu aku berbohong. "Teman? A-Ah, masuklah…" tampaknya dia curiga. Mana ada manusia berteman dengan mereka yang rakus. Tentu wanita itu menyadari bauku sebagai manusia. Setelah masuk, aku disambut dengan lukisan besar yang sangat apik. Menggambarkan satu keluarga yang bahagia. Sepasang suami-istri yang duduk bersebelahan, disamping sang ayah ada putranya dan samping ibunya ada putri kembarnya yang tersenyum manis. Dan ternyata wanita itu ibu dari ketiga anak vampire yang aku incar.

"Lukisan yang cantik," seruku sambil terus melihat wajah si mata merah saat kecil dilukisan itu. Padahal sekarang ia tidak menua sama sekali setelah tiga tahun ini. Mungkin saja adik maupun wanita dikeluarga ini umurnya sudah jauh lebih tua dariku. "Ah, terima kasih. Tapi sayangnya suamiku sudah mati sejak lama sekali. Mati dengan cara yang mengenaskan, dada dan kepalanya hancur—ah! Maaf aku bercerita yang tidak mengenakan padamu,"

"! A-Ah, tidak apa," aku merinding seketika. Ternyata vampire yang kubunuh itu ayah mereka. Keringat dingin keluar perlahan. "Duduklah dan tunggu disini, akan kupanggilkan mereka," selang beberapa menit, anak kembar itu datang. Mereka membeku dan membisu melihatku, wanita itu heran. Walau akhirnya wanita itu pergi meninggalkan kami bertiga agar lebih leluasa mengobrol.

"Kalian pasti tahu kenapa aku rela kemari?"

"…. Ya, kami tahu. Waktu itu…. Kami lepas kendali dan—" sengaja kupotong kalimatnya. "Aku tidak butuh penjelasanmu sekarang. Kita pergi, tinggalkan pesan kepada kakakmu untuk datang kemarkas 'Hunters'. Lebih cepat lebih bagus.'


Anak kembar yang terikat menjadi satu dan mulut yang disekap, itulah pemandangan yang sekarang. Para anak buahku sangat senang, mereka buru-buru ingin membunuh dua vampire kembar itu. Tapi kularang keras karena menunggu sang kakak datang.

"MAIRU! KURURI!" suara teriakkan terdengar dari arah pintu masuk. Sosok raven itu sangat berantakkan, nafasnya terengah-engah membuat uap putih yang mencolok. "Katakan langsung, apa benar adikmu ini telah membunuh dua orang!?" aku memang tidak suka basa basi.

Dia terdiam sejenak, perlahan kakinya yang jenjang memasuki ruangan ini. Kami waspada, semua tahu kalau vampire begitu cepat gerakkannya. Dalam jarak tiga meter dari adiknya disekap, ia mulai berbicara.

"Aku tahu, aku yang membuat perjanjian itu. Aku yang mengusulkannya. Aku sudah memberi tahu semuanya. Keberadaan kami semakin menipis karena itu aku membuat perjanjian itu. Aku, aku hanya menjalankan tugas sebagai kakak yang melindungi dan mewujudkan keinginan adiknya."

"Jadi benar kau sendiri yang membiarkan dua orang tewas karena ulah mereka!?" amarahku tak dapat ditahan. Kuhunuskan pedang dan menempelkannya pada salah satu dari anak kembar itu. "Jawab! Jangan bertele-tele! Aku tidak suka itu!" perintahku dengan kesal.

"…. Ya, aku membiarkan mereka. Awalnya hanya kuberi satu kesempatan, namun mereka bilang pemimpin kalian mengetahuinya sore itu. Aku juga tidak tahu kalau Mairu dan Kururi membunuh Tom-kun tempo hari!" dia mengakuinya, wajahnya sedih. Aku tidak tahu itu sungguhan atau hanya taktik belaka.

"Okay, kau telah mengakuinya. Itu artinya mereka terbukti membunuh dua orang. Kau tahu, bukan? Kau sendiri yang membuat perjanjiannya. Jika mendapati vampire yang terbukti membunuh manusia. Kami yang akan mengadilinya. Nyawa dibayar dengan nyawa! Itu yang kau bilang! Apa kau tega pada adikmu sendiri!?" dengan penuh emosi aku meneriakinya. Dia menangis, tidak kusangka vampire bisa mengeluarkan air mata yang sama beningnya dengan kami.

"Mairu, Kururi…" panggilnya lirih. Entah kenapa aku juga sedikit tidak tega kalau membunuh adiknya didepan mata kakaknya yang begitu menyayanginya. Tapi, aku pernah mengalami itu sebelumnya. Aku rasa dendam ini akan terpenuhi kalau melakukannya pada petinggi mereka.

"Mmmh, mmmmh!" adiknya mengerang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba berontak, tapi dengan pedangku mereka langsung diam dan tak berkutik. "…. Baiklah, itu konsekuensi dari janji yang kau buat sendiri. Kalian …. Kalian boleh melakukannya sesuka kalian,"

Aku terdiam sejenak, melirik kedua adiknya yang ikut menangis. Dibelakang sana para anak buahku ribut untuk membunuhnya. Aku tahu perasaan mereka ditinggal seorang pemimpin yang begitu baik. "Aku lakukan ini karena perjanjianmu. Kau mau dendam, silahkan saja."

Dengan satu tusukkan, pedangku menembus dada kedua vampire yang terikat saling membelakangi itu. Mengoyak dadanya dan mengambil jantungnya. Hanya dalam beberapa menit saja sudah selesai mengeksekusi anak kembar itu.

"….." kulihat Izaya diam seribu bahasa melihat adiknya tewas ditanganku. Menyaksikan setiap gerakan tanpa terlewatkan sedikitpun. Matanya terus menatap mayat adiknya, matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Aku tahu persis yang ia rasakan namun apa boleh buat.

"Satu hal lagi, aku juga telah membunuh ayahmu saat aku kecil. Bawalah mayat adikmu ini, aku tidak mau repot-repot menggali tanah untuk makhluk hina seperti kalian."

-End of flash back-


"Diam kau vampire tua bangka!"

Memang benar, masa lalu kami tidaklah indah sejak awal. Aku heran padanya, dia tidak berniat membunuhku dengan sungguh-sungguh. Walau aku yang sangat ingin membunuhnya karena sekarang ia satu-satunya vampire 'bangsawan' di Negara ini. Simon sudah pulang ketempat asalnya. Ibunya juga sudah pindah kenegara lain. Dia hanya bermain-main denganku, seperti melukaiku dengan sekala kecil. Aku tidak mengerti jalan pikirannya.

~Shizuo POV –end~


~Izaya POV~

-flash back-

"Iza-nii~! Ayo cepat!" seruan adik kembarku terdengar nyaring. Mereka sangat manis, walau terkadang nakal. Mereka adik kembarku yang paling berharga lebih dari apapun. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada mereka. Tapi, suatu ketika aku dibebankan hal yang tak aku inginkan. Hari dimana aku diberatkan tugas yang terlalu besar tanggung jawabnya bagiku.

"Iza-nii…. Apa benar ayah…." Kalimat mereka terhenti karena air mata mereka terjatuh melewati pipi mulus mereka. Ya, hari itu tepat disaat ayah kami meninggal. Dia pemimpin vampire di Negara ini, tewas secara tidak terhormat. Kepala dan dadanya hancur, tentu saja para pemburu itu yang membunuh ayah. Aku membenci mereka para pemburu itu.

Jasad kami tidak berubah menjadi debu, karena kami bangsawan. Kami lebih mirip setengah manusia dan setengah monster, karena itu kami sanggup menahan insting membunuh kami juga bisa berjalan dibawah sinar matahari. Tidak seperti vampire biasa yang naluri membunuh mereka tidak bisa ditahan, dan tidak bisa berjalan dibawah matahari.

Kami yang mengatur dan memimpin vampire biasa itu. Ya, dulu itu tugas ayahku. Sekarang diserahkan padaku karena aku anak lelaki sulung dan satu-satunya, adikku juga terlalu kecil dan mereka perempuan. Ibu kami sudah meninggal sejak adikku dilahirkan. Yang menggantikannya hanya seorang wanita dari 'bangsawan' Negara lain.

Wanita itu tidak jahat. Tapi, dia cenderung tidak peduli pada kami sejak awal dia hadir. Saat ayah mati, dia tidak menangis. Dia juga tidak ingin memimpin di Negara ini. Aku tidak tahu apa maunya. Aku akui walau dia terkadang baik pada kami.

Aku sadar, tugas memimpin mereka tidaklah mudah. Aku terlalu muda, dan vampire diluar sana terlalu banyak dan sering membunuh. Aku tidak kuat, karena itu juga banyak vampire yang mati. Simon, teman ayahku datang membantuku. Seorang pemimpin bangsa vampire Rusia yang membantuku, tidak buruk. Dia terlalu baik, membantuku membuat manusia menjadi salah satu dari kami.

Tapi, sekali lagi para pemburu itu tidak memberi kesempatan pada kami agar kami bisa hidup sesuai dengan keinginan kami. Aku hanya bisa mengamati dari jauh kenapa mereka sampai segitunya memburu dan menghabisi kami.

Satu jawaban terjawab. Lama kelamaan aku mengerti sifat mereka, mereka punya orang-orang yang mereka sayang dan ingin melindunginya. Sama sepertiku yang ingin melindungi adikku. Aku sadar kami tidak ada bedanya dengan manusia kecuali nafsu dan jenis makanan kami. Tidak seperti monster-monster itu, mereka tidak punya pemikiran maupun akal.

Nyawa-nyawa terus berjatuhan, disaat jumlah vampire benar-benar menipis dan aku cukup lelah membagi darahku untuk manusia padahal aku sendiri hanya meminum darah dari kantong darah. Otakku berpikir, memutari sampai menemukan jalan keluar dalam masalah ini. Aku tidak ingin punah, ataupun seperti ini terus. Dan terpikirkanlah untuk membuat perjanjian dengan manusia. Dan aku tidak tahu kalau perjanjian itu menjadi batu sandunganku sendiri dimasa depan.

Dengan nekat aku ditemani Simon datang kemarkas mereka dan menyatakan perjanjian itu. Ini kulakukan hanya untuk menyelamatkan keberadaan kami. Dengan pengorbanan ini, aku menyatakannya. Cukup meminum darah manusia yang mau mendonorkannya kepada kami.

Sebagai petinggi. Mudah untukku mengatur para bawahanku. Awalnya berjalan dengan baik, tapi aku tau ini tidak selamanya. Aku mengerti benar itu, karena umurku sudah diatas seratus tahun. Maka dari itu aku benar-benar mengenal sifat manusia maupun vampire. Semua tidaklah berjalan seabadi umurku dan tubuhku.

Yang memulainya adalah adikku, setelah tiga tahun perjanjian itu berjalan mulus. Mereka merengek-rengek, menangis dan nalurinya sering tidak bisa ditahan lagi walau kantong darah sudah banyak yang habis diminum mereka. Mereka berteriak ingin jantung, darah segar. Mereka mulai menolak meminum darah dalam kantong darah yang disimpan dalam lemari khusus itu.

Tidak ada yang bisa kuperbuat, membujuknya saja sudah tidak mempan. Aku juga merasa bersalah, sampai aku bertindak bodoh. Dengan bodohnya aku memperbolehkan mereka memburu manusia asal tidak ketahuan. Memang, tidak ketahuan, namun beritanya tersebar. Mereka tidak bisa menyembunyikan mayat manusia.

Sampai suatu hari kami bertemu, dengan bocah rambut pirang itu dan pemimpinnya. Aku gugup, takut adik-adikku tercinta dibawa oleh mereka dan diadili. Waktu terus saja berjalan, aku terkejut saat menemukan adik-adikku berlumuran darah pada mulut mereka. "Mairu! Kururi! Apa yang kau lakukan!?" aku membentak mereka.

Kedua adikku hanya diam, perlahan menangis. Siapa yang tidak tahan melihat adik tersayangnya menangis? Seorang kakak tentunya tidak tahan. "K-Kami hilang kendali," ucap Mairu. Aku memeluk mereka. "Aku mengerti, kalian pergilah kekamar dan jangan keluar rumah. Akan kucarikan vampire sebagai pengganti kalian. Aku tidak mau kalian mati ditangan pemburu itu."

Kalimat yang kuucapkan ternyata percuma. Kenyataannya bocah blonde itu datang dan membawa adikku, tidak kusangka dia akan melakukan ini. Aku juga tidak menyangkan bahwa adikku membunuh Tom-kun dan ketahuan oleh Shizuo. Aku terlambat.

"MAIRU! KURURI!" mereka terikat. Adikku tersayang mati karena janji yang aku buat sendiri. Aku tidak bisa mencegahnya, sekalipun kekuatan yang kumilikki bisa membebaskan mereka secepat mungkin. Tapi, seorang pria harus menepati janjinya. Apapun yang terjadi. Aku hanya ingin vampire dan manusia yang kucinta bisa hidup bersama.

Jasadnya kubawa ketempat pemakaman, seperti manusia. Dua peti aku kuburkan bersamaan, semua itu aku yang melakukannya. Ibu tiri? Dia tidak mau melakukan hal seperti ini, bahkan tidak menangis sama sekali. Aku tidak mengerti semua yang beliau pikirkan.

Setelah kejadian itu, aku menutup diriku sendiri. Aku tidak mau dan tidak bisa mencabut janji itu. Kalau aku cabut, pasti manusia akan membunuh kami lagi. Gara-gara itu aku terus mengurung diriku sendiri didalam kamarku, berbaring diatas tempat tidur king size favoritku. Tidak peduli dengan dunia luar. Duniaku sendiri redup tanpa adikku.

Ibu tiri memasuki kamarku, tidak biasanya dia datang kemari. Dia bilang ingin mengenalkan satu manusia padaku. Yaitu Shinra, dia membawaku kerumahnya. Saat itu juga ibu tiriku pamit untuk pergi pulang ke Negara asalnya. Dia seperti menitipkan aku pada Shinra.

"Jadi, kau ini vampire, benar? Bagaimana kalau aku memeriksamu dan membedahmu?" dia mengatakan seperti itu saat kami usai berkenalan. Aku hanya bengong, dan bodohnya aku menurutinya. Bertahun-tahun ia menelitiku, membuat obat penekan nafsu membunuhku. Aku sangat berterima kasih padanya. Seandainya obat itu sudah ada sebelum adikku mati ditangan pemburu, tapi yang sudah terjadi tak boleh terus kusesali.

Aku sadar, enam tahun berlalu. Vampire sudah tidak menampakkan dirinya sekarang setelah Shinra selesai dengan segala rasa penasarannya padaku, aku sadar aku sendirian. Tidak aku temukan satupun yang sejenis denganku. Aku sendiri didalam rumah besar ini, Simon dan ibu tiriku tidak ada disini. Rasa benciku pada pemburu memang masih ada, terkadang mereka yang menemukanku lalu mengejarku. Seperti yang dilakukan oleh Shizuo.

Dia tidak ada berhentinya mengejarku, ingin membunuhku. Tapi aku terus berlari, seperti bermain-main dengannya. Aku akui aku suka bermain dengannya, bisa dibilang dia mengusir rasa kesepianku. Itulah gunanya manusia selain menjadi makananku, aku mencintai manusia sejak suatu kejadian yang membuatku menyesal telah membunuh manusia.

Tidak hanya Shizuo yang mengusir rasa sepi ini, Kida dan Mikado juga. Mereka manusia yang tertarik padaku, tertarik menjadi vampire. Aku mewujudkan keinginan mereka. Enam bulan bersama Kida dan tiga bulan bersama Mikado. Mereka sudah aku anggap adikku sendiri, pengganti Mairu dan Kururi.

-End of flash back-


Aku tidak mengerti. Apakah aku tidak boleh bahagia dimata almondnya? Seberapa besar aku benci dan dendam pada bocah itu, tetap saja aku tidak bisa membunuhnya. Sampai sekarang, tetap tidak bisa. Apa mungkin karena sudah sembilan tahun aku tidak pernah membunuh manusia? Atau karena terjerat janjiku sendiri?

"Heiwajima-san," suara perempuan mengganggu pertarungan singkat kami. Rambut lurus dan hitamnya itu, poninya yang rata, matanya sepertiku yang berwarna merah. Dia Sonohara Anri, anggota baru dalam 'Hunters'. Aku tidak suka dia, dia selalu mengganggu kesenangan kami dalam saling melukai.

~Izaya POV –end~


"Oi, ada apa Anri?" Shizuo menoleh pada gadis manis yang memanggilnya. "Ada monster yang mengamuk dekat Tokyo, mohon ikuti saya. Kami semua butuh bantuan Heiwajima-san." Dia membungkuk memohon. "Aaah, pengganggu. Baiklah, lain kali kita bermain lagi, Shizu-chan!"

.

-skip-

.

Malam yang indah, dimana bulan purnama bersinar terang. Izaya duduk diatas atap sambil meminum segelas darah. Saat bulan penuh seperti ini, rasa haus memang tidak bisa ditahan sekalipun obat yang seperti biasanya saja tidak mempan. "Hmm, apa yang membawamu datang kemari, Shizu-chan?" sebelum Shizuo menyerang Izaya, dia telah ketahuan duluan dengan mencium bau manusia dari Shizuo.

"Tch, kau masih bisa santai disaat seperti ini, Kutu Tua! Turun kau dari sana!" Shizuo meneriakinya dari bawah. "Apa maksudmu, bocah ingusan?" Izaya menengok sosok semampai itu. "Kau! Mengaku saja! Janjimu itu masih berlaku, bukan!? Mana vampire lainnya?"

Melihat Shizuo beranjak memasuki rumah Izaya, secepatnya mungkin sang pemilik rumah menghentikkan perilaku semenanya dari Shizuo. Dia tidak mau Shizuo menyentuh Kida maupun Mikado. "Tunggu, bisa kau jelaskan dengan rinci?"

"Enam tahun berlalu sejak kematian adikmu, sejak itu kau tidak pernah muncul! Begitu damai saat itu. Tapi sekarang setelah kau membuat dua anak itu menjadi sepertimu, pembunuhan kembali terjadi! Apa kau sengaja, hah?!"

"Tunggu, tunggu. Maksudmu ada yang tewas karena vampire?" Izaya menebak. "Ya! Dan siapa lagi pelakunya kalau bukan salah satu dari kalian. Mengakulah, janjimu masih kau pegang bukan?" Shizuo menarik kerah kemeja Izaya, membuatnya tertarik kedepan.

"Kami tidak melakukan apapun pada kalian, Kida dan Mikado ada didalam terus. Mereka tidak keluar sama sekali!" bela Izaya. "Vampire memang pintar berbohong," Shizuo memaksa masuk, walau Izaya menghalanginya. "Ada apa ini?" Kida melihat sosok pemburu itu masuk kedalam rumah.

"Mana bocah yang satunya?" tanya Shizuo, Izaya hanya menghela nafas. "Mikado maksudmu? Dia ada disana sejak tadi," Kida menunjuk dapur, terlihat punggung Mikado dari tempat mereka berdiri. "Sejak sore kami terus ada disini, tidak kemana-mana." Rupanya Kida cukup mengerti kenapa pemburu itu masuk seenaknya.

"Sudah kubilang, 'kan?" Izaya mengangkat bahunya, tersenyum mengejek. "Mungkin saja itu vampire yang lain yang tidak kami tahu keberadaannya."

"Kalau begitu, cari vampire itu! Aku tidak mau tahu, dia harus ada ditanganku besok! Kalau tidak, kalian yang aku kurung!" Shizuo pergi dari rumah Izaya secepat dia datang. "Izaya-san, siapa vampire itu?" Kida bertanya, dia juga tahu kalau vampire disini hanya mereka bertiga. "Entahlah, mungkin vampire yang kembali lagi kemari atau bukan dari Negara ini. Aku belum memastikannya." Izaya benar, dia juga tidak menyangka kalau masih ada vampire. Setahu dia, vampire dibawah kekuasaannya sudah dibasmi oleh pemburu, dia menebaknya.

"Aku akan mencarinya, kalian disini saja. Aku tidak mau kejadian seperti dulu terulang." Kida teringat cerita Izaya tentang adik-adiknya. Melihat sosok rambut raven itu pergi, Kida memikirkan sesuatu. 'Kami tidak boleh diam disini. Kami tidak bersalah!' Kida membatin.

"Mikado-kun, kemarilah…."

-skip-

Dimalam itu juga, Izaya pergi mencari vampire yang membunuh manusia. Penyebab kesalah pahaman ini. Saat itu juga, anak buah Izaya yaitu Kida dan Mikado sama-sama pergi mencari apa yang Izaya cari. Naas, takdir mempertemukan mereka dengan vampire yang dicari Izaya maupun Shizuo.

"Kida-kun, lihat disana!" keempat mata melihat vampire yangtengah memakan manusia dibawah pohon. Namun, sayangnya vampire itu kabur duluan sebelum Kida dan Mikado menangkapnya. Tinggalah sendirian, manusia yang tak berdaya dengan leher yang terluka parah.

"Kau tidak apa-apa!?" Kida memeriksa denyut nadi manusia yang jantungnya belum sempat dimakan. Menyentuh leher manusia itu yang penuh dengan darah dari lukanya, tentu saja tangannya ikut berlumuran darah segar dan hangat. Beruntung mereka sudah memakai obat sebelum keluar rumah, demi mencegah hal yang tidak diinginkan.

"Siapa kalian!? Apa yang kalian lakukan?!" suara yang tidak asing lagi. Shizuo dan pemburu lainnya memergoki mereka, salah paham tidak bisa dihindarkan. "K-Kalian! Sudah kuduga ini ulah kalian!" Shizuo dengan cepat mendekat, membawa cross emas itu sambil mengarahkannya pada mereka.

"Tu-Tunggu dulu! Ini salah paham! Kami tidak membunuhnya! Aku berani bersumpah!" Mikado antara gugup dan panik. "Itu benar! Mulut kami tidak berlumuran darah, 'kan?" Kida menambahi.

"….. baiklah, kalian ikut denganku," Shizuo menarik paksa kedua bocah lelaki itu. Tidak peduli dengan rengekkan mereka.


"Apa kau punya bukti? Lalu siapa kalau bukan kalian yang membunuh manusia itu?" interogasi dimulai, Kida dan Mikado terikat terpisah. Mereka tidak bisa melawan selain menjawab pertanyaan para pemburu itu.

"Kami tidak melihatnya begitu jelas! Dia hanya serba hitam, tidak terlihat wajahnya!"

-bersambung-