Ada saatnya kau akan tahu bahwa pepatah ini benar: Cinta adalah udara. Ia bebas dirasakan dan menjadi hak tiap manusia. Siapapun itu tak terkecuali—bahkan mereka yang terjerat kekeliruan dan dosa.
x | x | x
Hetalia axis powers © Hidekaz Himaruya
Warning: OoC | OC | AU | High School|T+ for theme| Emil Steillson: Iceland | Kirana Kusnapaharani : fem!Indonesia | Arthur Kirkland : England
|OC's not mine|
|just for fun. I don't gain any material profits|
x | x | x
Berjalan menyusuri lorong sekolah di periode istirahat, Emil Steillson masih sibuk mengarahkan pandangan iris violetnya pada sinopsis di sampul buku yang ia bawa. Beruntung ia mendapatkan salah satu novel klasik di perpustakaan—bisa menjadi referensinya di tugas mata pelajaran literatur yang dikumpulkan dua hari lagi. Periode istirahat akan berakhir sepuluh menit lagi, namun ia memilih untuk kembali ke kelas daripada menerima ajakan via pesan dari Kakaknya, Lukas Bondevik, untuk bergabung makan siang di kantin sekolah. Emil tak pernah merasa nyaman dengan keramaian—apalagi jika harus berada di radius kurang dari lima meter dengan sahabat sang Kakak, Mathias Kohler.
Berbelok di tepi lorong, dan tubuhnya menabrak dengan keras murid lain yang juga tengah berjalan dan hendak berbelok ke arahnya. Buku yang dipegang Emil terjatuh dan menimbulkan debuman samar di lantai keramik
"Maaf."
Keduanya berucap sembari membungkuk, lantas mendongak menatap wajah masing-masing tatkala suara lawan terdengar familiar di telinga.
Iris violet bertemu dengan sepasang onyx dalam satu pandangan.
"S-Senior Kirana—" tangan putih itu tampak bergetar menyambar dengan segera bukunya yang terjatuh. Segera menegakkan badan, walau wajah masih menunduk dan pandangan malah beralih ke arah sepatu. Suhu koridor yang semula sejuk oleh hembusan angin musim semi tiba-tiba seakan meningkat beberapa derajat. Membuat si pemuda Islandia merasa gerah. Pipi pucat yang tampak memerah.
Namun sejak lama Emil sadar bahwa reaksi dirinya tersebut bukan salah cuaca atau suhu udara. Karena walau saat musim dingin pun, ia akan bereaksi serupa jika gadis setahun tahun lebih tua darinya tersebut ada di dekatnya.
Sejak setahun yang lalu, saat umurnya baru menginjak usia empat belas tahun, Emil menyadari bahwa ini karena satu hal.
Ia mencintai Kirana Kusnapaharani—si senior berhelai dan beriris jelaga.
"Aku juga minta maaf, Emil," ucap Kirana sembari turut kembali berdiri. Tangannya memegang erat sebuah kotak berbungkus kain biru yang tampak seperti bekal, "Aku tidak melihat juga."
"…T-tak apa…" bahkan untuk berbicara saja rasanya sulit tanpa tergagap. Mengumpulkan segenap keberanian yang ia punya, ia arahkan tatapannya dari sepatu hitam menuju ke arah dua iris yang berwarna sama.
Dari semua bagian gadis itu, Emil paling menyukai sepasang bola pengelihatan itu.
Segelap langit malam, seberkilau mutiara hitam.
"Senior ingin makan siang?" tanyanya, menatap ke arah kotak yang dipegang oleh gadis di depannya.
Kirana turut menunduk dan refleks sedikit mengangkat kotak bekal itu, "Ah ya. Di atap," lantas ia kembali menatap ke arah si junior, "Apa kau ingin bergabung?"
Tawaran yang sederhana dan terdengar wajar, namun entah mengapa Emil merasa seketika ia bisa menganggukkan kepala berkali-kali walau sebenarnya perutnya masih penuh oleh sarapan pagi.
"Aku—"
"Kirana."
Si helai legam dan si helai perak menoleh ke sumber suara. Dan tak beberapa jauh dari mereka berdua berdirilah satu siswa yang memakai jeans hitam dan kemeja lengan pendek berwarna putih. Helai pirang berantakan sewarna pasir tepi pantai. Sepasang alis dengan ketebalan di atas rata-rata. Dua emerald yang menatap ke arah Kirana.
Alasan yang membuat semua kupu-kupu di perut Emil berhenti menggelitik.
Dan alasan yang sama, yang membuat mata Kirana berbinar dan senyum lebar itu terulas cantik.
"Arthur."
Arthur Kirkland—sang Ketua OSIS—satu-satunya yang mampu membuat suara Kirana terdengar begitu memuja saat ia memanggil namanya: Arthur.
"Emil, kalau begitu sampai nanti," senyum itu terarah pada Emil, hanya sekilas, sebelum kepala itu kembali berpaling bersama dengan langkahnya yang mengarah ke pemuda berhelai pirang pasir yang tampak sedang menunggunya.
Sejak setahun yang lalu, Emil menyadari bahwa perasaan ini tumbuh di lahan hatinya yang selama ini gersang. Selama setahun pula ia sadar bahwa benih perasaan itu seharusnya tak ada di sana. Karena keliru, karena buahnya tak akan mampu ia petik tak peduli setiap hari ia memupuknya.
Karena hanya ia yang memupuk perasaan itu—tanpa adanya bantuan dan balasan dari sang gadis berdarah Asia.
Pada akhirnya setahun telah berlalu dan ia habiskan seperti ini—hanya bisa menatap dan terdiam pedih, tiap kali menatap cintanya berlalu pergi dengan sang kekasih.
x | x | x
Sore itu sudah sekian lama berlalu dalam putaran waktu. Setahun bukanlah waktu yang sebentar, namun terlalu singkat bagi Emil untuk melupakan apa yang terjadi di pantai privat dari keluarga Kakak sepupunya, Lukas Bondevik. Sore musim panas dengan matahari terbenam yang mengintip di tepi cakrawala, menyemburatkan warna jingga kemerahan pada langit. Pantai yang tenang dengan riak-riak kecil ombaknya, dan pasir putih yang terasa lembut di sela-sela jemari kakinya. Hanya ada beberapa remaja di sana, termasuk Emil dan Lukas—mengingat hari itu adalah hari ulang tahun sepupunya yang keenam belas tahun dan tak banyak teman yang diundang dalam pesta kecil-kecilan di pantai dan vila dari keluarga Bondevik yang merupakan keluarga berada.
Mendudukkan diri jauh dari yang lain, di atas pasir putih. Semilir angin menerbangkan helai peraknya, namun sama sekali tak dingin mengingat ia masih bisa merasakan sisa-sisa kehangatan sinar mentari di wajah dan tubuhnya. Hanya menatap yang lain—Lukas, Tiino, Berwald, Mathias, dan beberapa anak seusia mereka—yang tengah bermain voli pantai di sana. Merasa canggung, karena dari dulu Emil tak pernah mudah larut dalam interaksi sosial, alih-alih bersama dengan kumpulan orang asing yang satu-dua tahun lebih tua darinya itu. Jika Lukas tak memaksanya datang, mana mau dia menghabiskan waktu dengan teman-teman Kakaknya seperti ini.
Sore itu terasa amat canggung, hambar, dan membosankan. Hampir tak spesial, tak ada yang seharusnya bisa Emil kenang.
Andai saja gadis itu tidak menghampirinya dan tiba-tiba terduduk di sampingnya, pasti Emil tak akan mengingat betul hampir setiap hal di sore hari musim panas setahun yang lalu itu.
"Kenapa tidak bersama dengan yang lain?"
Saat itulah pertama kali Emil mengenal suaranya. Pertama kali melihat mutiara hitam yang menatapnya, tertimpa sinar senja dari ufuk sana. Semilir angin yang memberantakkan helai jelaga di sekitar wajahnya. Senyum kecil terlukis di bibir tipis. Satu tanktop tipis berwarna putih dan selendang yang menutupi tubuh berkulit kuning kecoklatan—lebih gelap dari kulit Emil yang pucat.
Kirana Kusnapaharani.
Banyak orang yang mengatakan bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama hanya ada di cerita dongeng. Namun toh itulah yang Emil alami ketika debar jantungnya perlahan berakselerasi dan ada jutaan kupu-kupu tak kasat mata yang terbang di dalam perutnya.
Baru pertama kali—dengan orang asing yang mengobrol dengannya hanya dalam waktu beberapa menit saja.
Namun rasa nyaman yang ia rasakan tidak berakhir hanya ketika si Kirana pamit pergi ke teman-temannya. Rasa hangat dan menggelitik itu bahkan ia rasakan pula saat ia kembali ke vila, menutup harinya dan terjaga beberapa saat di ranjang—mengukir kembali sebentuk wajah di memorinya—hingga keesokan harinya, ketika ia berharap dan bertanya-tanya apakah Kirana mengikuti sarapan bersama di ruang makan vila Bondevik.
Bagaimana bisa seseorang bisa jatuh cinta demikian dalam hanya di selang waktu yang sangat singkat?
Hanya sampai di pagi itu semua rasa antusias cinta pertama ia rasakan. Karena ketika ia telah menginjakkan menuju ke arah pintu ruang makan yang terbuka, benih perasaan yang baru ia pupuk semalam sudah harus tenggelam dalam asa.
Ia melihat Kirana ada di dekat tembok meja makan yang masih sepi. Namun gadis itu tidak sendiri. Ada seorang remaja laki-laki yang berdiri merapat dan menekan tubuh si gadis dengan dirinya sendiri. Remaja laki-laki yang berhelai pirang pasir. Berkulit putih pucat. Memeluk erat, mencium dalam dan hangat hingga suara decapannya mampu Emil dengar dengan jelas.
Barulah ia sadari bahwa perasaan yang tumbuh di hatinya adalah perasaan yang salah. Benih yang keliru—karena benih itu sendiri sudah tumbuh dengan sempurna, mekar, dan indah di lahan yang lain—hati seorang Arthur Kirkland.
Bagaimana mungkin seseorang bisa jatuh cinta demikian dalam hanya di waktu yang sangat singkat?
Dan bagaimana mungkin cinta harus pupus bahkan saat ia baru menampakkan kuncup kecilnya?
Bagaimana rasa indah yang ia rasakan harus terjatuh dan hilang dalam kubangan perih hanya dalam satu kedipan mata?
x | x | x
Bukannya Emil tak pernah sekalipun berusaha untuk menyerah. Tak sekali ia berusaha membunuh satu bunga perasaan yang tumbuh di hatinya. Ia usahakan untuk tercabut hingga dalam sampai ke akar. Lalu ia buang, dan lupakan semuanya.
Tidak bisa.
Alih-alih terlupa, kilas wajah itu malah semakin jelas teringat di pikirannya. Semua hal tentang Kirana semakin sering bermain di otaknya, bahkan tanpa ia sengaja untuk mengingatnya. Tiba-tiba saja ia teringat bagaimana cara ia tersenyum, bagaimana ia menatapnya, bagaimana ia berjalan, suaranya saat berbicara dengannya, betapa ia merindukannya.
Betapa ia berharap bahwa takdir membuatnya bertemu dengan Kirana jauh lebih awal daripada saat gadis itu bertemu dengan si pemuda Britania Raya.
Sakit, tentu. Pedih, jelas. Semua siksaan batin akibat perasaan yang tidak tersambut.
Pada akhirnya Emil menyerah. Bukan menyerah dan ingin membunuh perasaan itu.
Namun menyerah dan membiarkannya terus mekar dan berbunga.
x | x | x
Meskipun keduanya terpisah oleh rentang umur dan status murid baru-senior tahun kedua, ada hal yang pada akhirnya membuat pemuda Islandia dan gadis Indonesia. Adalah kolam renang, pukul lima sore, suara kecibak air, sensasi dingin dari senyawa cair. Sebuah ketidaksengajaan yang berawal dari Emil yang melihat sang senior menghabiskan waktu sendiri di kolam renang sekolah yang sepi—terlupa oleh sebagian besar murid yang lebih memilih rumah, mall, atau kafe di dekat sekolah. Emil melihatnya, menghampirinya, logika memperingatkan bahwa tidak sebaiknya ia berurusan apapun lagi dengan si gadis, namun hatinya berbisik bahwa ia tidak perlu peduli pada apapun.
Kepala berhelai jelaga itu muncul dari dalam air di tepian kolam, dan dua iris itu menatap Emil yang baru saja menghentikan langkah di dekatnya.
Senyum terkembang menghiasi wajah yang basah, "Ah, kau rupanya."
Si pemuda Islandia hanya mengangguk, "Aku tidak tahu Senior anggota klub renang."
"Ah, tidak," kepala itu menggeleng pelan. Badannya mulai dari leher hingga kaki masih berada di bawah permukaan air, kepala mendongak pada pemuda yang berjongkok di depannya, "Hanya suka saja menghabiskan waktu di sini, mengingatkanku pada laut dan pantai yang sering kukunjungi di negara asalku."
Demikianlah semua berawal—bagaimana rasa canggung itu perlahan melebur menjadi apa yang disebut kebiasaan. Status orang asing yang perlahan memburam hingga hilang di balik kata teman—bahkan mungkin sahabat. Pertemuan yang tak disengaja menjadi rutinitas yang terencanakan: kolam renang yang sepi, kecibak air, sensasi dingin, dan sore hari menjelang malam.
Beruntung Emil tak asing dengan olahraga air tersebut, karena sejak kecil ia sudah tak awam lagi dengan bergerak dalam air—terimakasih pada kolam renang yang mewah dan luas di rumahnya.
Jadilah ia sangat menantikan saat-saat pulang sekolah. Saat pelajaran berlangsung ia tak sesekali melirik ke arah jam dinding dan menghitung tiap detik agar sampai di angka empat. Jika bel sudah berbunyi, bergegas ia merapihkan buku dan menyandang tasnya. Menuju ke loker, menyimpan buku dan mengganti sepatunya. Jika tidak urusan atau kerja kelompok, maka ia akan segera berjalan—bahkan berlari—menuju ke arah kolam renang indoor di belakang sekolah.
Selalu, begitu sampai ia sudah mendengar suara kecibak air.
Awalnya ia hanya duduk dan mengobrol, sembari menatap tubuh kecil dan ramping itu berenang lancar dari ujung kolam ke ujungnya yang lain. Namun lama-lama ia turut melepas pakaiannya, menukarnya dengan short, bertelanjang dada, dan turut menceburkan diri di kolam. Tak sesekali mereka berlomba untuk adu cepat, tak sesekali saling mengajari teknik, atau sesekali pula menghabiskan waktu di sana hanya dengan bergurau atau mengobrol biasa dengan sebagian besar tubuh berendam di air yang dingin namun nyaman.
Emil selalu menyukai dan mengenang tiap detik saat mereka bersama.
"Apa tidak apa-apa kau di sni?"
Emil yang sedang menatap pantulan wajahnya di permukaan air depan dadanya, mendongak, "Maksud Senior?"
Si gadis mengendikkan bahu, lantas menyandarkan punggung dan kepala di tepian kolam tepat di belakangnya. Kakinya berkecipak kecil di bawah permukaan air.
"Kuharap aku tidak membuat seorang gadis membenciku karena kau sering menghabiskan waktumu di sini denganku," ia melirik junior di sampingnya yang menatapnya. Sebuah senyum dan kerlingan ada di bibir dan matanya, "Hayo, apa benar tidak ada satu gadispun yang akan cemburu?"
Mengalihkan pandang, kembali tatapan Emil terfokus pada permukaan air di depan dadanya yang terlanjang. Bisa ia lihat bibirnya sedikit melengkung ke bawah di pantulan benda transparan tersebut.
"Siapa yang kau maksud? Aku tidak sedang bersama siapapun," ucapnya pelan dan sekenanya.
Ekspresi itu tampak terkejut, "Kau pasti becanda?" Emil tidak menjawab, dan si gadis meneruskan ucapannya, "Kupikir kau bisa memiliki dua-tiga gadis yang cantik jika kau mau," gumamnya, mengalihkan pandang dan menatap atap sejenak, sebelum ia kembali menoleh dan tersenyum kecil, "Karena kupikir kau pribadi yang menarik dan tidak buruk."
Ada api tak kasat mata yang tersulit di balik kulit wajah Emil, dan di dalam dadanya. Bukan pertama kali ini ia menerima pujian, tetapi entah kenapa inilah yang terdengar paling istimewa.
Menenggelamkan kepala di dalam air—usaha konyol dan refleksnya untuk meredakan panas yang terasa di wajah. Ketika dada telah merasa sesak akibat defisit udara, baru ia kembali muncul ke permukaan, dengan helai perak yang semula sempat lembab, kini kembali basah seluruhnya.
"B-Bagaimana dengan Senior?" tanya Emil, "Tidak khawatir Senior Arthur salah sangka pada kita?"
"Tidak," Kirana cepat menjawab, "Dia memang protektif. Tetapi dia tidak pernah marah untuk hal yang konyol."
Pandangan violet itu tampak tersesat, "Maksudnya?"
"Dia tahu bahwa kau hanya sahabatku," Kirana menoleh dan memberi sepotong senyum tipis, "Aku sudah berkali-kali bercerita padanya tentangmu. Seperti adikku yang berada di Indonesia dan sudah dua tahun tak kujumpai."
Mengalihkan pandang, Emil hanya menggumam, "Ah, begitu."
Apa yang ia harapkan? Orang butapun tahu bahwa Kirana Kusnapaharani sangat mencintai dan memuja kekasihnya. Siapapun di sekolah ini tahu bahwa keduanya saling menyayangi—saling memuja satu sama lain.
Lantas apa yang ia harapkan? Kirana menyatakan bahwa ia memandang Emil dengan cara yang sama pemuda itu memandang dirinya selama setahun ini?
Kirana mengangguk, kemudian bersin sekali. Gadis itu menggosok hidungnya dan menarik napas, "Kupikir aku harus pergi. Sudah semakin dingin."
Ia mengangkat tubuhnya dari dalam kolam renang, melangkah ke arah bangku di tepian sembari masih bersin beberapa kali.
"Segera berpakaian, Senior," ucap Emil ketika telah meninggalkan kolam renang dan turut menuju ke bangku.
"Itu rencanaku," si gadis tampak mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya. Hidungnya beberapa kali terdengar serak karena bersin, "Sial."
"Kenapa?"
"Sepertinya handukku masih tertinggal di loker," dan bersin untuk ke sekian kali.
Berbalik, mengambil handuk miliknya yang berwarna putih, "Pakai saja ini."
Logika seharusnya membuat Emil hanya sebatas mengulurkan handuk tersebut dan membiarkan Kirana menerimanya. Namun sepertinya logika saat itu tengan mati, ketika ia justru melangkah mendekat lantas menaruh handuk itu di kepala berhelai hitam itu dan mengusap-usapnya.
Kirana tertegun dan menatapnya.
Mereka berdiri begitu dekat—jarak terdekat dari semua rentang yang memisahkan mereka secara fisik. Dua tangan putih yang masih mengusap-usapkan handuk di kepala hitam, mengurangi sebanyak mungkin tetes dingin yang masih terserap di sana. Pandangan violet yang menatap lurus ke tangannya sendiri, tanpa bermaksud membalas tatapan jelaga yang menatap heran dan tertegun ke arahnya.
Pada akhirnya handuk itu Emil sampirkan di bahu terbuka yang sedikit bergetar oleh dingin—mencoba melingkupinya dengan kehangatan sedikit apapun yang bisa handuk itu berikan.
Akhirnya pandangan violet itu menurun menuju ke sepasang onyx yang menatapnya.
Serasa waktu berhenti ketika Emil menatap matanya dalam jarak yang demikian pendek. Semua tampak mengabur ketika ia merasakan hembusan napas Kirana menerpa wajahnya—terasa hangat di wajahnya yang masih tertempeli sisa-sisa air kolam renang. Segalanya tak lagi berarti, ketika sebelah tangan Emil dan dengan perlahan menyibak beberapa helai hitam yang menempel lekat di wajahnya.
Tanpa sadar senyum itu terlukis di bibirnya.
Apa mungkin seseorang bisa merasa begitu tenang dan damai hanya dengan berada di dekat dan menatap seseorang yang lain?
Bagaikan kristal beku dan rapuh yang seketika retak dan pecah, semua itu buyar ketika handuk di pundak Nesia terlepas dan tergantikan dengan sebuah mantel berwarna coklat tua. Dan gadis itu tertarik mundur, menjauh beberapa langkah dari Emil yang tampak terkesiap.
Berdiri di samping Arthur Kirkland yang memeluk protektif pinggang kekasihnya.
"Terima kasih sudah meminjamkannya," ucap sang Ketua OSIS datar, sembari mengulurkan handuk putih itu ke si junior dua tingkat lebih rendah darinya.
Emil menatap Arthur.
Tak tampak marah, namun juga tak tampak senang. Entah apa maksud dari tatapan menilai bersorot datar tersebut—Emil tak pernah mengerti. Mereka bukan sahabat, alih-alih teman. Menyapa hanya beberapa kali saja, itupun sekadar sapaan singkat tak berarti.
"Ambillah," Arthur semakin mengangkat tangannya yang memegang handuk Emil, "Terima kasih."
Terkesiap, Emil segera menerima kembali handuknya, "Tak apa, Senior."
Mengalihkan pandang ke arah Kirana, tatapan dari manik hijau itu tampak melebut, "Cepat ganti baju, kau tampak kedinginan."
Mengangguk, Kirana menatap ke arah sang sahabat sekali lagi, "Emil terima kasih. Kau juga segera tukar pakaian dan pulang. Hari semakin larut."
"Baik."
Dan mereka berdua melangkah pergi, meninggalkan si pemuda Islandia yang hanya menatap dengan tatapan iri dan sakit hati. Tapi mau berbuat apa lagi?
Dari awal ia tahu bahwa perasaannya tak akan berujung pada kalimat saling memiliki.
bersambung
Just in case you don't know: Emil [15 y.o. freshman], Kirana [17 y.o. 2nd year] and Arthur [18 y.o. 3rd year]
|review?|
|Fave?|
|Alert?|
