Standard Disclaimer Applies: I do not own RF Online. Because if i do, i'll make a movie out of it.
Semua nama tempat dan segala informasi mendetail tentang RF Online di cerita ini tidak akurat dan tidak bisa dipercaya, berhubung Author tidak main RF sampai level tinggi. Fanfic pertamaku, mohon dimaklumi :3
A/N: Fic ini sebelumnya terhapus oleh kebodohanku sendiri. Ga perlu ditanya yah gimana atau kenapa bisa begitu :'D Dan sekarang, aku mengunggah ulang fic ini. Aku berusaha membuat chapter 1 berdasarkan ingatanku. berhubung chapter ini udah expire di doc manager...hehehe.
Mungkin ada beberapa perubahan sedikit tapi ga mempengaruhi keseluruhan cerita sih. Oh ya...untuk memperjelas aja, seperti yang udah kamu ketahui, aku ngambil beberapa karakter dari Fiction "Lake". Ini udah seijin empunya karakter lho~ mungkin, akan ada perbedaan antara karakter di sini ama di sebelah...Soalnya aku emang ingin memanipulasi mereka lebih jauh. Maaf ya mie *wink *wink
Untuk seting waktu, kalo Di fiction asalnya, Lake itu berpangkat Captain, berusia 22 tahun. Kalo di sini, dia udah Conquest, berusia 29 tahun. (7 tahun setelahnya, tapi masih jomblo HAHAHAHA- ups.) Untuk yang bertanya, "apa ini bakal ada kaitannya ama fic asal 'Lake'?" ya itu, kuserahkan opininya pada kalian :) :) Tapi harusnya sih, engga. Enjooooyyy~
Bloody Good Timing
Alrisaia biasanya tidak pernah gegabah, sampai membuat dirinya tertangkap. Tentu sebelum-sebelumnya, dia pernah mengalam beberapa kejadian 'nyaris'. Nyaris tertangkap, nyaris mati, nyaris tersesat, tapi dia tidak pernah berhenti waspada.
"Sergapan!" Dia hampir menertawakan diri sendiri. "Membiarkan diriku disergap. Luar biasa."
Wanita itu meniup beberapa helai poni biru muda, yang turun menutupi sebagian wajah rupawan ciri khas ras Corite. Panas sekali di sini, di ruangan tanpa jendela, dalam Benteng Anacade. Walau sinar matahari tidak masuk sama sekali, tapi ruangan ini bagai memenjarakan unsur panas, menaikkan suhu lantai beton dan dinding yang dicat kehijauan.
Tampak dari warna pudar, telah termakan waktu, menandakan ruangan ini belum sempat di renovasi. Di ruangan interogasi Benteng Anacade, dia duduk, lebih tepat bila disebut terbelenggu. Di atas sebuah kursi yang terpatri erat pada permukaan lantai beton, tidak bisa digerakkan barang sedikit.
Kedua pergelangan tangan Alrisaia terikat erat ke belakang sandaran kursi, sedangkan engkelnya, terdapat rantai yang mencegah wanita itu bergerak, terikat pada kaki-kaki kursi. Rantai tersebut saling terhubung antara pergelangan tangan, dan engkel.
Kulit putih di sekitar pergelangan tangan Alrisaia sudah lecet, akibat perlawanan. Di balik dinding, dia mengira-ngira keadaan di luar. Berapa banyak prajurit Bellatrean, bertubuh pendek, dengan berbagai figure. Bisa jadi ada yang membawa senjata tajam. Pedang panjang, tombak, kapak, serta gada besar yang ukurannya melebihi si pengguna, kadang membuat wanita itu tertawa. Mungkin sebagian lain membawa senjata api. Berapa banyak persenjataan berat yang ada di sini?
Awalnya, mata si Assassin wanita terus tertuju pada satu-satunya pintu yang ada di ruangan ini, mengimajinasikan siapa yang akan melangkah dari sana. Pikiran Alrisaia mempersiapkan lusinan skenario berbeda, untuk mengorkestrakan pelarian terhebat sepanjang sejarah.
Sayangnya, semua scenario tersebut berakhir dengan dirinya yang mendapat siksa, akibat tidak bisa melakukan langkah awal paling krusial; menemukan cara untuk membebaskan diri dari rantai sial. Tidak mungkin kendur, rantai ini begitu erat. Saat dia menggunakan pisau Force, energinya tidak mampu menjangkau lingkaran borgol di pergelangan tangan.
Dia duduk, posisi batang tubuh tegak, dan melirik sedikit kebelakang, melampaui bahu sendiri, menginspeksi energi violet cerah memancar dari telapak tangan. Alrisaia tidak begitu pandai dalam penggunaan Force, kecuali sekedar mengeluarkan energi dari jemari untuk dijadikan alat pemotong. Mungkin bila saja dia bisa sedikit menekuk jemarinya…
Suara langkah kaki, hampir tak berbunyi, namun masih bisa tertangkap telinga si Assassin, terdengar mendekat. Pintu Ruangan interogasi terbuka. Secepat kilat, Alrisaia kembali menatap lurus ke depan dan memamerkan ekspresi datar yang diharapkan bisa menipu.
Force putih tipis memenuhi ruangan, seraya sosok Bellatrean mengenakan Armor perak bercorak hitam, melangkah masuk, dilengkapi jubah putih menutupi punggung, pertanda prajurit petinggi Federasi. Kedua tangannya, agak kurus, namun nampak kuat, terlipat ke belakang.
Potongan rambut kelabu itu, amat dikenal musuh-musuhnya di medan perang. Pembawaan prajurit ini begitu tenang, tapi wajahnya menyiratkan hal-hal gila yang mengisi pikiran si Bellatrean. Kulitnya tidak bisa dibilang putih, mungkin lebih pas disebut kuning langsat.
Dia menatap Alrisaia dengan penuh hina, sunyi, tanpa perkenalan. Namun… Si Assassin sudah tahu siapa dia. Conquest Lake Grymnystre, si Sentinel dengan banyak nama. Storm Repulser, Silver Stream, Starlet Speedster. Bijaksana dari sudut pandang tidak biasa dan memiliki pikiran terpelintir. Cerita tentang korban penyiksaannya, telah dibicarakan dari mulut ke mulut. Menyebar bersama aliran angin yang menyapu seluruh daratan Novus hingga ke sudut paling gelap sekalipun. Setengah benar, setengahnya lagi bisa dipercaya. Korban ditinggal cacat dan tidak bisa dibilang layak hidup.
Mungkin pria ini belum mencapai level Gatan Valsynvis si Blood Raider, namun tetap masuk kategori berbahaya.
Alrisaia memiringkan wajah padanya, dan mengangkat sebelah alis, begitu melihat di telinga kanan pria itu memakai Jade Talk. "Jadi? Cepatlah ke bagian penyiksaannya!"
Di belakang punggung si Assassin, kedua tangannya masih lanjut memanipulasi pisau Force, mencoba membentuk sudut agar bisa memotong bulatan besi di sekitar pergelangan tangan.
Senyum terbentuk dari bibir si Sentinel, perlahan berubah jadi tawa kecil yang lambat, "Semangat sekali untuk tersiksa…"
Pria itu kemudian melangkah mendekat, memposisikan diri di seberang muka si Assassin. Hanya sebuah meja panjang dengan permukaan terbuat dari plastic fiber dan kaki-kaki besi yang memisahkan kedua individual beda ras.
Udara terasa makin menipis, rasa panas bergesekan dengan force putih, lebih intens dari sebelumnya, begitu dia mendekat. Bahkan Alrisaia bisa merasakan dadanya terhimpit sesuatu, nafas memendek. Tapi dia tidak mempertontonkan perasaan, semua yang dia lakukan untuk merespon hanyalah coba mengikuti permainan mental si Sentinel berambut kelabu, dengan memberikan tatapan penuh kebosanan.
Lake merogoh inventori 4 dimensi yang terletak di paha kanan, dan menarik keluar sesuatu. Sebilah belati bermata ganda, terlihat tajam dan mengkilap mata pisaunya, pertanda terawat dengan baik.
"Saya yakin kamu tahu nama saya, jadi tidak butuh perkenalan lagi." Dia meletakkan poros tengah belati itu, di ujung jari telunjuk, menimbang-nimbang berat efektif yang dimiliki belati tersebut. "Kamu sudah menjadi duri bagi pihakku belakangan ini, menyebabkan semua… gangguan di sini."
'Di sini' yang dimaksud adalah daerah sector Anacade yang menjadi tanggung jawab Lake. Dan 'gangguan', adalah misi-misi tertentu yang kerap dilakukan Alrisaia dan timnya. Kecelakaan tidak terduga, mencegat pasukan patrol, hilangnya berbagai supply, meledaknya satu pleton MAU.
Tentu itu tidak pernah sesederhana kedengarannya, akar permasalahan selalu timbul dari satu titik balik dari masa hidup si Assassin. Misi terselubung yang diembankan padanya, oleh seorang perwira yang memaksa Alrisaia bergabung Aliansi Suci dengan cara paling tidak mengenakan. Dia mengambil waktu sejenak dari percobaan membebaskan diri, untuk bergidik ngeri, mengingat kejadian itu.
Alrisaia mengangkat alis. Pisau Forcenya mengikuti alur telapak tangan, dan tangannya terpatri terlalu rapat untuk menyudutkan energi force tepat ke lingkaran besi di pergelangan tangan.
Dia harus mencari cara lain. "Cara lain…"
"Kamu sudah menjadi duri yang menjengkelkan atasanku, dan menjengkelkan atasannya atasannku." Tangan Lake memegang erat gagang belati, dia berkata, sambil menyayat meja berulang kali, secara menyilang. "Ya, Maximus Gatan sudah menggambar tanda 'X' di kepalamu." Kemudian, pria itu berbalik. Mengangkat belati, dan membiarkan sinar lampu putih memantul di bilahnya.
Kalimat barusan, menarik perhatian Alrisaia. Maximus Gatan biasa jarang sekali terlibat kompleksitas pertempuran, mengangkat tonggak Komando Federasi dari Markas besar. Nampaknya, apa yang dilakukan Alrisaia jauh lebih efektif dari yang dia perkirakan.
"Dan duri sepertimu, akan kuserahkan pada para petinggi, sebagai tropi. Secara resmi, saya belum menangkapmu, karena kamu masih saja berjingkrak-jingkrak di atas permasalahan yang kami hadapi. Saya masih punya sehari sebelum membuat laporan acara untuk atasan dan mengirimu ke sana, tapi sampai saat itu tiba…"
Si Sentinel berbalik untuk menghadap Alrisaia, dan si Assassin dengan cepat melayangkan wajah untuk menghadapnya juga, berpura-pura menatap belati berukuran sedang diantara jemari kecil Bellatrean dengan ketidak-antusiasan pasif.
Agaknya, Lake sedikit terheran atas sikap kekurangan emosi yang ditunjukkan tawanan. Namun, seringai itu masih belum hilang dari wajah si rambut kelabu. "Apa kamu tidak takut terhadap belati ini? Apa yang akan kulakukan padamu?"
Alrisaia takut. Sangat takut, tapi tetap menutup rapat mulut. Setetes keringat mengalir di sisi wajah berkulit putih yang ternoda bercak luka, berharap pria itu tidak melihatnya. Bahkan keringat pun sudah mengkhianati wanita Corite itu.
Pergelangan tangannya mulai berdarah, menetes dari ujung telapak tangan. "Ini tidak berhasil, aku harus menemukan cara lain…"
"Yah.. Sudahlah." Lake mengangkat belatinya sampai sejajar dengan bibir tipis merah muda Alrisaia. Bellatrean itu mendesis, "Bagaimanapun, kamu akan segera belajar secara keseluruhan, arti ketakutan."
Hati Alrisaia berteriak, menyerukan suara yang hanya bisa didengar telinganya, pesan singkat teramat jelas, "Cari jalan keluar, hidup, bertahan!"
"Pisau Forcemu!" Menyala, violet, tajam.
Lake menarik lengannya sedikit-sedikit, bersiap melakukan tusukan, menembus bibir si Corite.
"Bagaimana kamu menggunakannya?" Bisa sebagai senjata jarak dekat, bisa juga dilempar bila perlu.
"Lempar? Kenapa aku tidak melemparnya?" Karena kedua pergelangan tangannya tidak memiliki ruang yang cukup untuk melakukan gerakan bebas.
Kesadarannya bimbang untuk sesaat, seraya seringai di wajah pria dengan mata ungu itu melebar. Alrisaia tidak akan memberinya kepuasan dengan berteriak ketakutan, setidaknya, dia mencoba untuk tidak teriak.
"Aku tidak bisa melempar ke arahnya." Bagian kesadaran Alrisaia berbisik lebih jauh, "Tapi, apa dia harus menjadi target lemparan?"
Target. Alrisaia terhenyak, dia butuh target. Matanya menjelajah area sekitar, mencari sesuatu yang dekat, sesuatu untuk diserang, apa saja yang bisa ia lakukan.
Lalu, dia sadar rantai di kaki, berdekatan dengan Pisau Forcenya.
Bersamaan dengan gerakan menusuk yang dilakukan Lake, Alrisaia menyentak pergelangan tangan, pisau Force dan semua, penuh rasa sakit, ke arah depan. Energi violet secara otomatis meluncur deras dari jemarinya, menyambar rantai di engkel yang juga terhubung ke pergelangan tangan. Terasa sekali panas dari energi force, menyambar permukaan kulit engkel sendiri.
Tubuh Alrisaia menyusur turun dengan sendirinya, ketika tusukan Lake menerobos udara dengan suara desingan, sakit, dan batin si Assassin, "Kamu tidak cukup cepat."
Alrisaia berguling, sesuatu yang hangat, mengalir dari sisi kiri wajahnya. "Keringat?" Matanya menangkap tetesan darah menodai lantai beton yang retak.
Si Sentinel, tidak menduga tawanannya bisa melepaskan diri. Namun, tidak ada raut kekesalan yang nampak. Justru sebaliknya, terlihat… senang? "Hoo, tidak buruk. Tidak buruk sama sekali." Gumamnya.
Tusukan Lake tidak sepenuhnya melenceng, melainkan berganti tempat, jadi melukai pelipis Alrisaia. Darah yang mengalir, tidak bisa dibilang sedikit. Tangan kiri Alrisaia, menekan luka dan merasakan tirai kehangatan akibat cairan merah. Mata sebelah kiri berkedut, dan menutup ketika darah mulai masuk melalui celah kelopak, menyengat indera penglihatan.
Satu tangan bagai merekat di sisi kiri mahkotanya, sedangkan tangan lainnya yang telah bebas, membentuk pisau Force lagi, seraya Lake menerjang ke arahnya, kembali ambil ancang-ancang untuk menusuk sekali lagi.
Si Assassin mencoba mengirim sebuah pisau Force tepat ke dadanya. Tapi salah satu tangan Lake, kecil namun kokoh, menggapai pergelangan tangan Alrisaia, dan membanting arah bidikan ke atas. Akibatnya, energi violet menghantam langit-langit ruangan. Sedangkan tangan kanan si Bellatrean, dengan belati tajam, sudah terayun di bawah lengan Alrisaia, mengincar tepat kejantung.
Senyum penuh kemenangan, terpapar di bibir Bellatrean.
Alrisaia tidak bisa membentuk kembali pisau force tepat waktu, dia tidak bisa melakukan apapun selain memperhatikan penuh horror, belati tersebut mengayun lambat menuju kulitnya, lambat, lambat…
Dahi Alrisaia bergerut saat sadar, belati itu benar-benar bergerak lambat, lemah, diiringi suara retakan seperti batu-batuan pecah, sampai akhirnya berhenti total. Dia menurunkan pandangan, dan melihat seringai masih terpapar jelas di wajah Lake, tapi kulit kuning langsat pria Bellatrean, berubah jadi keabu-abuan, atau kebiruan, mungkin.
Lapisan tebal Kristal es, terbentuk di sekujur tubuh yang lebih pendek dari si Assassin, menghentikan segala pergerakan, mengekalkan seringai aneh itu. Pecahan batu es biru, mencuat dari bawah jubahnya, menahan kepala dan kaki, serta menyelimuti persendian lebih tebal dari bagian lain. Bellati bermata ganda, berhenti seinci dari rusuk Alrasia.
Wanita itu mengerti apa yang sedang terjadi, sebuah senyum menghias wajahnya, campuran antara keraguan dan rasa senang. Dia membebaskan pergelangan tangan yang masih dicengkram kuat oleh Sentinel itu, yang sekarang membeku, kemudian melakukan pijatan sendiri.
"Andai kamu melakukannya lebih cepat, semua tidak akan setegang ini." Sindir Alrisaia.
"Ahh~" Terdengar suara jernih, dan muda. "Harusnya kamu bersyukur, aku repot-repot kemari. Tempat ini bukan tempat menyenangkan untuk dikunjungi."
Galatra, si Warlock muda, mendadak muncul dari balik punggung dingin Lake. Armor biru safir, dengan rambut emas, bermata senada dengan Armor yang dikenakan, berkulit seputih salju. Amat kontras bila dibandingkan penampilan Alrisaia saat ini.
Mata si Warlock, menatap kawannya, penuh kecemasan, "Kamu… Pendarahan."
"Yah, umum terjadi bila kamu dirantai di sebuah kursi, untuk disiksa." Alrisaia tetap menekan luka dengan tangan kiri, sangat sadar akan rasa kebas, dan sakit di pelipis. Dia mengeleng, untuk sekedar coba hilangkan semua itu untuk sesaat lebih lama. "Oh ya, bagaimana caramu menyusup ke sini?"
"Mudah, aku menunggu pasukan jaga untuk ganti shift, lalu saat mereka lengah, aku menggunakan mantra ilusi es untuk membelokan pandangan mereka." Jawab si Warlock berambut emas dengan bangga. Membuat Alrisaia terheran, apa benar Warlock seperti dia bisa melakukan hal luar biasa seperti itu? Bahkan bagi Assassin terlatih sekaliber Alrisaia pun, itu bukan pekerjaan mudah. "Apa kamu yakin, akan baik-baik saja?"
Alrisaia memindahkan tangan kirinya dan melihat bercak darah menutup tiap senti sarung tangannya. Dia mencoba tidak terlihat panik. "Y-ya, aku akan baik-baik saja. Kita harus focus keluar dari sini. Dimana yang lain?"
"Lachlann ingin ikut denganku, tapi Artaxad bilang, ini terlalu berbahaya dan kamu bisa 'mengurus diri sendiri'. Cemberut di wajah Galatra, berganti cibiran. "Aku bosan dengan debat mereka, dan… kamu tahulah, sisanya."
Alrisaia, seperti kebanyakan prajurit Corite di militer Aliansi Suci, tergabung dalam sebuah satuan tugas. Dan Dalam satuan tugas itu, mereka dikirim untuk menjalankan misi dalam sebuah tim yang lebih kecil untuk meminimalisir deteksi. Dalam kasus ini, tim beranggotakan 5 orang.
Untuk anggota ke-5, yah, mereka tidak suka membicarakan orang itu. Dia suka tiba-tiba 'menghilang' dan sibuk dengan 'objektif kedua', sangat sering, sampai-sampai mereka belajar bagaimana caranya menjadi efisien seperti tim lain, hanya dengan 4 anggota.
Alrisaia menelisik melalui celah pintu, melihat keadaan di luar. Mereka berada di tengah Benteng Anacade. Ada aula besar di jalan ke kanan, dan di pintu keluar, pastinya guard tower sudah menanti. Memisahkan kebebasan dan belenggu.
Seperti yang dia imajinasikan sebelumnya, banyak makhluk kerdil membawa beragam senjata. Berbincang satu sama lain. Di suatu tempat, di suatu sudut, terdengar seruan semangat untuk pergi menghadapi ancaman di luar.
Beberapa keluar masuk ruang-ruang di kiri dan kanan, namun tidak ada satupun yang melangkah ke ruangan ini. Seolah secara sadar, mereka memang menghindari tempat kedua Corite berada, ruang 'interogasi' Lake.
Masalahnya ada beberapa, 2 diantaranya; mengendap-endap dengan kemampuan Assassin, percuma. Jejak darah yang diinggalkan Alrisaia akan terlihat mencolok. Mantra Ilusi es Galatra, kurang efektif bila digunakan untuk dua orang.
Dari luar, memang tampak sedikit penjagaan, namun, berada di dalamnya, sungguh membuat Alrisaia berpikir dua kali untuk kabur tanpa terdeteksi. "Terlalu banyak untuk dilawan. Lagipula, bagaimana caramu melewati dinding-dinding tinggi itu?"
"Mereka nampak melepas penjagaan di area bagian belakang, melewati gudang penyimpanan. Di sana ada pohon yang cukup tinggi, dan bagian dinding yang cukup rendah." Galatra mengapit dagunya dengan lipatan telunjuk dan jempol, "Salah satu cabangnya menjulur melewati dinding tersebut. Heyy, yakin baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali."
"Berkacalah." Ledek Alrisaia. Kulit Galatra memang terlewat putih, lebih dari Corite pada umumnya. "Aku tidak apa-apa," Si Assassin berbohong. "Yang penting, bantu aku keluar dari sini."
Si Assassin menatap balik pada Lake, memastikan dia masih membeku solid, asap tipis tercipta akibat perbedaan suhu mencolok, mencuat dari permukaan es di tubuh Bellatrean.
Hatinya bimbang, ragu, sekaligus tidak percaya. Bellatrean berambut kelabu, yang selama ini selalu jadi sasaran utama untuk dieliminasi, selalu jauh dari jangkauan, berdiri tidak bergerak di hadapannya. Apakah ini kesempatan yang diberikan Decem? Kesempatan seperti ini, belum tentu akan datang lagi seumur hidupnya. Cukup satu sayatan ringan di tenggorokan, atau satu tusukan sekuat tenaga di jantung, Storm Repulser hanya akan jadi sejarah untuk dikenang. Energi violet cerah, memancar dari ujung jemari si Assassin, memantapkan niat untuk sekali lagi mencabut nyawa target.
"Ini hanya masalah bisnis, layaknya hari-hari lain..."
"Alri, Alri.." Tapi, panggilan dari Galatra, membuyarkan segala pemikiran tersebut. Pancaran pisau Force segera menghilang dari telapak tangan Alrisaia, seiring tepukan di bahu. "Kenapa malah melamun?"
"… Tidak, bukan apa-apa." Si Assassin berambut biru muda, membatalkan segala niat tadi, mengingat di sini, dia sedang tidak sendiri. Memang, bisa saja ia mengeliminasi Lake sekarang juga, namun, tentu itu akan menarik banyak perhatian, yang bisa membahayakan Galatra. "Jadi, ada ide?"
Galatra bergabung bersama Alrisaia, di tepi pintu, sengaja meniru cara kawan Assassinnya berdiri; sedikit condong ke depan, mencegah pintu tertutup dengan satu jari, tumit terangkat seolah ingin meminimalisir suara langkah sekecil mungkin.
Dia terlihat konyol, karena sekaligus mencoba menyeimbangkan tongkat sihir di lekuk siku. "Ada banyak ruangan di Benteng ini, kebanyakan dipakai sebagai penyimpanan, lainnya sebagai tempat penempaan dan ruang kerja, kurasa. Aku tidak tahu yang mana penyimpanan, yang mana ruang kerja. Aku dengar perbincangan prajurit tentang seorang koki yang hebat di sini, mungkin mereka punya tukang roti juga!"
"Fokus." Gerutu Alrisaia singkat.
"Ehem.. Maaf. Mungkin kita bisa lari, ruangan per ruangan?"
Terlalu beresiko, mereka tidak tahu ruangan mana yang kosong, ruangan mana yang berisi tentara kerdil. Atau bisa saja beberapa Bellatrean tiba-tiba masuk, saat mereka sedang bersembunyi d ruangan kosong tertentu, atau seseorang bisa saja mengintai mereka ketika menyebrang dari ruang satu, ke ruang lain.
Alrisaia menggeleng, "Tidak, masih terlalu berbahaya. Kita butuh pengalihan."
Galatra menggeram dengan suara lucu, dan cerianya. "Bagaimana kita-"
Saat itu juga, ada suara bak dentingan besi, dan ledakan menggetar tanah, sesuatu terbelah, dan teriakan yang memecah relung bunyi. Pasukan penjaga terlihat mengalihkan perhatian ke gerbang utama, tempat suara berasal.
Mereka mengambil senjata terdekat yang bisa digapai, senjata api, palu, perisai, tombak, busur. Mereka yang dari awal sudah memegang senjata, tergerak oleh lainnya, menuju gerbang utama. Teriakan pertumpahan darah, terus bertambah.
"Uhm, apa itu tadi?" Galatra bertanya.
Alrisaia mencengkram pergelangan tangan Galatra, dengan tangan kanannya, yang kiri, masih menekan dahi. Dia meyakinkan diri Lake masih membeku, lalu mundur selangkah. "Itu namanya, pengalihan."
Si Assassin mulai berlari, Warlock mengekor, berjuang untuk tetap mengikuti kecepatan. Alrisaia berlari menuju area belakang, dimana mereka disambut beberapa pintu lebih banyak, baris berbaris antara tempatnya dan pohon dengan cabang melewati dinding.
Semua pusat perhatian tertuju ke gerbang depan saat ini, menyelidiki, atau mungkin menyerang, atau apapun penyebab teriakan mereka. Alrisaia melihat sekitarnya, Cuma ada sedikit pasukan Bellatrean berjaga. Mereka yang menetap, tidak berdiam diri lama, langsung menuju gerbang depan. Cengkraman Alrisaia makin menguat, tidak ingin temannya tertinggal.
Mereka melewati ruang demi ruang, dengan symbol Federasi di pintu-pintunya. Mata Alrisaia menangkap satu prajurit melangkah keluar dari satu ruangan di sebelah kiri, beberapa meter di depan. Tapi Alrisaia tidak berhenti, melihat Bellatrean itu terkejut akan sosok mereka. Malah, makin cepat berlari.
"Alri!" Galatra berseru. "Dia melihat kita!"
Prajurit itu membuka mulutnya, bersiap meneriakan peringatan tentang tawanan Corite berkeliaran.
Serta merta, cengkraman Alrisaia pada pergelangan tangan Galatra, terlepas. Si Assassin langsung menerjang maju dengan kecepatan penuh, pancaran violet, cepat terbentuk dari telapak tangan Alrisaia. Satu sambaran, dengan presisi tinggi, menyayat leher Prajurit malang tersebut.
"Gakh, akh.. ahk.." Membuatnya berlutut, sebelum tersungkur tidak berdaya, tanpa sempat angkat senjata. Bahkan tidak sanggup berucap kata.
Alrisaia menggeram, "Kita harus keluar dari sini! Cepat atau lambat, kita pasti ketahuan kalau mereka menemukan 'teman' kita yang membeku!"
Melihat anggukan kelelahan temannya, Alrisaia menarik Galatra lebih dekat, dan mendengar salah satu prajurit Bellatrean lain berteriak, "The prisoner's escaping!"
Lebih banyak lagi prajurit yang ada di belakang mereka, mulai mengejar dengan kecepatan menakutkan, bergerombol, bersenjatakan palu, martil, sampai penggorengan, berteriak macam orang tidak waras. Alrisaia kembali mencengkram kuat Galatra, dan masuk ke sebuah ruangan dengan banyak rak peralatan besi di dalamnya.
Galatra pergi dahulu, disusul Alrisaia, seraya menjatuhkan rak-rak itu, sebagai penghalang bagi para pengejar. Dari ruangan itu, tembus menuju area belakang!
Galatra berseru, sembari menunjuk, "Di sana!"
Alrisaia mengikuti tatapan si Warlock, bagian dinding yang cukup rendah, dan pohon cukup tinggi dengan sebuah cabang menjulur melewati dinding, yang disebut Galatra, pintu keluar mereka!
Gerombolan pasukan Bellatrean, tepat berada di belakang. Yang membawa senjata api, mulai menembaki kedua Corite. Beberapa meleset jauh, beberapa nyaris kena. Biarpun dibilang bidikan buruk, namun tetap punya potensi mematikan. Dan Alrisaia tidak mau ambil resiko. Dengan sigap, si Assassin membalik meja yang berada di area itu, sebagai perlindungan dari peluru.
Kemudian membalas dengan melempar apapun yang berada di dekatnya, secara membabi buta. Mulai dari batu, batang pipa, hingga bangku.
Tidak tahan dihujani peluru, Galatra bangkit dan sigap mengucap mantra, "Terra Gallop!"
Permukaan tanah berbatu tajam, bangkit dari bawah, berderu-deru, jadi penghalang baru di antara mereka. Setidaknya cukup untuk menghambat kejaran para makhluk kerdil.
Alrisaia membentuk tempat berpijak dengan kedua tangannya, karena dia tau, Galatra akan mengalami kesulitan memanjat dinding seperti ini. "Kamu duluan."
Galatra mengangguk, dan mengambil langkah mundur, kemudian berlari secepatnya. Warlock itu melompat, dengan tangan Alrisaia sebagai pijakan. Sekuat tenaga, Alrisaia melakukan yang dia bisa untuk mendorong kaki kawannya setinggi mungkin.
Rasa lega, timbul di kala Galatra sukses meraih tepian dinding, kemudian langsung menggapai cabang pohon. Cabang pohon itu berbunyi, berisik, seakan sudah mau keropos. Padahal, berat Galatra tidaklah seberapa. "Cabang itu tidak mungkin kuat menahan beban dua orang."
Warlock berambut emas, berhasil sampai di luar area benteng. Setidaknya, sudah aman. Sekarang tinggal..
"Oh, tidak." Ketika mendongak, Alrisaia baru sadar satu hal fatal. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya?!" Dinding itu, biarpun terbilang rendah, tetap saja masih terlalu tinggi untuk dilompati olehnya. Mungkin, penyebabnya adalah luka di kepala, atau kepanikan dikejar beberapa lusin pasukan kurcaci.
Alrisaia mundur sejauh mungkin, sama seperti Galatra, dan mulai berlari. Dia tidak punya pilihan lain selain mencoba. Ketika dirasa berada dalam kecepatan yang cukup, dia menyentak energi dari betis, melonjakkan tubuh ke udara setinggi mungkin.
Kaki kanannya menapak dinding, dan langsung menyentak lagi, melakukan lompatan kedua. Kemudian, saat terasa mulai jatuh, kaki kirinya gantian menapak dinding, dan melompat ketiga kali.
Tangan kanannya, direntangkan sejauh mungkin untuk menggapai tepian dinding, tapi sia-sia. Tepian itu, masih terlalu jauh untuk bisa dijangkau, bahkan setelah ia menggunakan teknik itu.
Sebuah tombak, setidaknya, itu harusnya disebut tombak, tergeletak di sudut area. Dia memungutnya, "Waktunya improvisasi."
Rentetan senjata api, mulai terdengar, mengikis tembok berbatu ciptaan Galatra. Waktu menyempit! Bebatuan itu tidak akan bertahan lebih alam. Sekali lagi, dia melakukan lompatan, kali ini dengan tombak di tangan. Sekuat tenaga, menusukkan tombak itu ke celah kecil di dinding, membuatnya menancap kokoh. Si Assassin memastikan bila itu cukup kuat untuk dipijak, barulah menjadikan itu sebagai pijakan keempat untuk melompat!
Dan akhirnya, kali ini, dia berhasil! Tangannya menggapai tepian dinding, lalu langsung mengangkat tubuh. Dinding bebatuan tajam, seketika hancur jadi serpihan, dari baliknya, peluru kembali menghujani Alrisaia.
"Ukkh!" Dia meringis, merasakan panas menyerempet betisnya dua kali. Kena! Dengan bidikan buruk, pasukan kerdil itu, sukses menambah luka di tubuh si Assassin. Tidak pikir dua kali, Alrisaia segera meraih cabang pohon itu, dan langsung merangkak menuju perlindungan kanopi.
Peluru-peluru salah sasaran masih saja menghantui, Alrisaia menghancurkan pangkal cabang tersebut, dengan satu ayunan pisau Force, memberanikan diri untuk jatuh. Supaya tidak ada yang mengikuti mereka dari sini. Dia menutup mata, bersiap menahan benturan dengan tanah. Tapi di luar dugaan, dia tidak merasakan apapun.
Ketika Alrisaia membuka mata, dia tersenyum kepada Galatra yang sangat terengah-engah, mengangkat tongkat, merapal mantra untuk menahan tubuh kawannya, beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Mereka berbagi tatapan, yang satu penuh ketegangan, yang satu sangat kepayahan, lelah. Galatra menurunkan tongkatnya, membuat tubuh Alrisaia jatuh dari ketinggian beberapa senti. Si Warlock langsung membungkuk, kedua tangan memegang lutut, sebelum ditanya oleh si Assassin, "Aku utang satu, ya?"
Galatra mengangkat sebelah tangan yang bebas, seraya mengatur nafas lebih lama, kemudian menelan ludah, senyum, dan setuju, "Utang satu, sudah kucatat."
…
#Ruang Interogasi Anacade#
Lapisan es yang menutupi sekujur tubuh Bellatrean berambut kelabu, perlahan mulai menipis. Sehingga cukup baginya untuk membebaskan diri, dari rasa beku yang menggigit. Biarpun membeku dalam waktu yang lumayan lama, tidak ada perubahan reaksi tertentu darinya, kecuali, mulai menghembuskan asap putih dari hidung dan mulut, saat menghembus nafas.
Beberapa saat, ia menepuk-nepuk bagian Armor yang masih dihinggapi bunga es, untuk merontokkannya. Dia terlihat cukup santai, untuk ukuran perwira yang baru saja kehilangan tawanan.
Tidak lama, seorang wanita berambut cokelat, memasuki ruangan. Dengan Armor lengkap Infiltrator. Dia bertanya, "Mereka lolos. Apa perlu dikejar?"
"Tidak usah." Jawab Lake singkat, memasukan kembali belati ke inventori.
"Tumben." Balas si Infiltrator, "Tidak biasanya kamu sengaja lengah seperti tadi."
Sepasang mata ungu, menatap pada lawan bicara, dengan beragam makna. "Tenang, dia mengincar kepalaku. Cepat atau lambat, kita akan bertemu lagi."
"Assassin itu membunuh salah satu prajurit kita, di tengah pelariannya. Mungkin dia memang mengincar kepalamu, tapi, dia justru membiarkanmu hidup dan merenggut nyawa orang lain. Apa kamu tidak keberatan akan hal itu?"
"…" Lake terdiam sejenak, raut wajahnya berubah seusai mendengar informasi tersebut. Alih-alih menjawab, si Sentinel hanya berujar, "… Siapkan upacara pemakaman yang layak bagi prajurit itu. Biar aku yang menyampaikan kabar ini pada keluarganya." Diiringi langkah kaki nyaris tanpa suara, keluar dari ruangan ini.
…
-Bersambung-
