Summary: Setelah tiga hari bercerai dengan Uchiha Sasuke, Haruno Sakura malah mendapati dirinya tengah hamil. Dan setelah terpisah selama enam tahun, mereka bertemu . AU/OOC/OC/ Mind to RnR minna-sama? :3

.

.

.

"Ketika dua individu yang berbeda dan bersatu, saat itulah terbentuk kata 'kita'…"

.

Disclaimer: All of the characters are Masashi Kishimoto'sbut the story is purely mine.

Warning: AU, plot rush, many undeteccable typo(s), OOC, bahasa kurang baku, etc.

Rate: T+ for safe mungkin?

.

.

.

Kita

.

.

.

'…'= ngomong dalem hati

.

Sakura's POV

Hai! Namaku Uch— tidak, Haruno Sakura dan statusku … untuk saat ini lebih enak disebut apa ya? Single deh, soalnya aku tidak mau dibilang uhukjandamudauhuk. Iya, kalian tidak salah lihat kok benar tulisan yang barusan kalian lihat itu adalah … janda muda. Aku memang baru saja bercerai tiga hari yang lalu dengan Uchiha Sasuke. Ah, masa bodoh dengan status jandaku itu aku 'kan masih berumur dua puluh tiga tahun! Jadi tentu saja masih banyak peluang untukku menemukan suami lagi.

Memang sejak awal, banyak pihak yang sudah memperkirakan kalau pernikahan kami tidak akan berhasil. Karena aku dan Sasuke-kun dijodohkan di umur dua puluh yang berarti umur Sasuke-kun saat itu adalah dua puluh dua tahun— ya, kami memang beda dua tahun.

Saat itu, aku sangat menentang mati-matian perjodohan itu— karena aku tahu kalau sifat Sasuke-kun itu buruk. Iya, kami sempat satu SMA dulu dan yang kutahu Sasuke-kun itu preman banget. Aku saja sampai takut— iyalah, tahu tidak aku itu kouhai-nya yang paling sering di-bully.

Selama dua tahun menikah, tentu saja banyak sekali yang kami lalui. Dari adaptasi (mengingat aku takut sekali dan sebal setengah mati sama Sasuke-kun) sampai kami bisa bekerja sama di depan keluarga kami. Walaupun kami terlihat sangat memaksakan diri waktu itu. Hmm, tapi jujur saja aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya aku bisa sempat menyukainya sebagai suamiku.

Ternyata di balik sifatnya yang preman itu, dia sangat gentle dan aku … suka. Aku suka perlakuannya saat aku sedang sedih, aku suka Sasuke-kun yang merawatku saat sakit, aku suka saat-saat di mana Sasuke-kun memaklumiku yang waktu itu menolaknya mentah-mentah (padahal aku sendiri takut loh). Ekspresi lembutnya yang tidak sengaja ditunjukkan olehku, dan kukira semua itu hanya diberikannya padaku seorang— akan tetapi aku salah. Ternyata perlakuan gentle dan semua perhatiannya tidak hanya khusus ditujukan kepadaku.

Karena faktanya, Uzumaki Karin-san— sekretaris Sasuke-kun juga mendapatkannya. Seharusnya aku sudah tidak heran lagi sih, dulu saat SMA aku pernah mendengar desas-desus kalau mereka berdua itu menjalin hubungan— katanya sih. Tapi saat kutanyakan kepada Sasuke-kun, dia bilang kalau mereka hanya sahabat, jadi aku cuek saja saat itu.

Tapi … kali ini berbeda. Sudah dua bulan lebih ini emosiku naik turun alias labil. Setiap kali aku melihat Sasuke-kun, aku menjadi egois seolah-olah ingin memiliki dirinya hanya untuk diriku. Jadi, ketika aku melihat Sasuke-kun dan Karin-san sedang berpelukkan sambil mesem-mesem nggak jelas aku jadi sebal.

Kejadian ini terjadi kira-kira satu minggu yang lalu. Nggak tahu orang lagi mumet ya? Aku itu baru saja pulang dari jaga— mana sebelumnya sempat kena marah dari dokter pembimbing karena hampir salah memberi obat kepada pasien (memang salahku sih, aku melamun saat itu). Jadi, kuputuskan untuk pergi ke kantornya Sasuke-kun dan berniat untuk mencurahkan isi hatiku. Aku yang lagi emosian terang saja kesal— hei ayolah di sini aku sedang kesal dan mumet— eh kalian berdua malah peluk-pelukan sambil mesem-mesem.

Seharusnya aku sudah sadar— hubungan antara atasan dan bawahan di kantor itu sudah umum. Lagipula aku kalau dibandingkan dengan Karin-san itu … beda jauh. Sasuke-kun mana tertarik sih sama anak kecil sepertiku?

Emosiku langsung meledak kala itu, iya tahu aku berlebihan. Aku langsung menuntutnya cerai— yang ternyata malah disetujui olehnya. Tuh 'kan, Sasuke-kun itu sukanya dengan Karin-san makanya menyetujui tuntutan ceraiku 'kan?

Setelah mengurus surat-surat perceraian dan blablablabla akhirnya palu sudah diketuk, kami resmi bercerai. Begitu ceritanya, ada pertanyaan? Tidak? Bagus.

"Sakuraaaa!" Eh? Aku dipanggil kaasan, sebentar yaa~.

"Iya? Ada apa kaasan?" Tanyaku kepada kaasan yang sedang asyik nonton sinetron nggak jelas di televisi. Aku sendiri heran, apa bagusnya— paling-paling ceritanya klise seperti biasa. Kalau bukan masalah anak yang tertukar, masalah cucu hilang, masalah perebutan harta warisan, status— aduh rumit deh pokoknya.

"Kau, pergi ke supermarket. Belikan kaasan pembalut ya, jangan di rumah terus. Lihat tuh kau mulai gemuk, perutmu buncit lho." Suruh kaasan masih belum mengalihkan pandangannya dari televisi. Err, tidak bisa membantah juga sih aku memang gemukan sedikit— nafsu makanku lumayan bertambah dua bulan terakhir ini.

"Hm, uangnya?" kujulurkan tanganku— pose meminta uang –yang sialnya malah diabaikan oleh kaasan. "Uangnya, kaasan," ulangku penuh penekanan.

"Ambil saja di dompet kaasan," suruhnya lagi, yaampun kaasan nontonnya serius banget. Apa serunya sih? Entahlah.

Setelah mengambil sejumlah uang dari dompet kaasan, aku pun melangkahkan kakiku ke supermarket terdekat. Hmm, pembalut yaa … kaasan hanya menyuruhku untuk membeli itu 'kan? Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku langsung melarikan diriku ke rak tempat pembalut ditaruh.

Rasanya ada yang janggal saat aku melihat pembalut ini. Kalau dipikir-pikir … Sudah berapa lama aku tidak menggunakan pembalut? E-Eh bukan, maksudku aku baru sadar kalau sudah dua bulan lebih ini masa periodeku belum datang juga.

Tidak. Ini … tidak mungkin kalau aku hamil 'kan? Ha ha ha— huaaaa celakaa! Aku belum pernah melakukannya kok sungguh! Jadi bagaimana aku bisa hamil? Tidak mungkin 'kan? Bikin kaget saja.

End of Sakura's POV

Apa kau yakin Haruno, belum pernah melakukannya? Hm? Sakura masih meletakkan jari telunjuknya di dagu— pose berpikir. Mendadak ingatannya melayang pada kejadian tiga bulan yang lalu. Saat di mana Mereka berdua— Sakura dan Sasuke sama-sama mabuk berat karena stress didorong untuk memiliki keturunan secepatnya dan … bum! Ya, itulah. Kalian pasti tahu yang dimaksud 'kan? Iya, mereka melakukannya. Hei ayolah, siapa yang tidak stress kalau setiap hari ditanya kapan memiliki keturunan?

Belum lagi, Mikoto dan Mebuki yang sangat ngebet ingin memiliki cucu sampai-sampai memberikan obat subur untuk keduanya— astaga ini 'kan semacam tekanan batin untuk mereka berdua sampai akhirnya mereka memikirkan cara konyol : Mereka sengaja mabuk agar melakukannya tanpa terbebani. Silahkan bilang mereka gila sesukanya.

Wajah Sakura pucat seketika. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Bagaimana kalau … ia benar-benar hamil? Ah, jangan berpikir sampai situ dulu. Alangkah baiknya kalau ia pergi ke apotek dan membeli sebuah testpack untuk membuktikannya.

Sesampainya di rumah, ia langsung menaruh belanjaan seenaknya di atas meja makan dan menguji urine-nya. Ia masih belum berani membuka matanya, ia terlalu takut untuk melihat hasilnya. Kau tidak bisa begitu, Haruno— kau harus melihatnya. Dengan takut-takut, Sakura membuka matanya dan melihat hasil dari testpack-nya. Ia terduduk lemas setelah melihat hasilnya itu. Tentu saja, dua garis merah nampak di sana. Haruno Sakura terbukti hamil.

Sakura tidak tahu harus bagaimana— ia pun memutuskan untuk menghampiri ibunya yang sedang asyik dengan sinetron di televisi itu.

"Kaasan," panggil wanita berambut merah muda itu pelan.

Masih belum menggulirkan pandangan matanya, Mebuki pun menyahuti anaknya tersebut, "Ya? Ada apa Sakura? Sudah pulang ya, tidak ada suaranya."

"Aku hamil," jawab Sakura to the point— tanpa menyahuti ibunya barusan.

"Oh," jawabnya singkat, matanya belum terlepas dari layar kaca di hadapannya.

Sakura berdecak sebal mendengar reaksi ibunya yang kelewat datar tersebut, "Kaasan! Kaasan dengar tidak apa yang kubilang? Aku hamil, hamil kaasan! Aku mengandung cucu pertamamu!" tutur Sakura setengah berteriak, mungkin ini memang kurang sopan.

"Iya, kaasan tahu. Kau hamil 'kan? E-EH?!" dan seketika, Mebuki menolehkan kepalanya ke arah Sakura— matanya melotot saking terkejutnya. Telat sekali reaksi dari wanita yang usianya sudah hampir berkepala empat ini. Tiba-tiba, Mebuki bangkit dari tempat duduknya dan menarik tangan Sakura.

"Sakura, ayo kita ke kediaman Uchiha itu! Ini harus dibicarakan, kaasan tidak mau kalau sampai anakmu tidak memiliki ayah nantinya."

Terlihat perubahan pada air muka Sakura, "Ja-Jangan kaa-san!" cegah Sakura cepat. 'Kalau kaasan meminta agar Sasuke-kun rujuk denganku … ini terlalu memalukan! Masa' baru tiga hari bercerai sudah rujuk? Terlebih lagi, aku yang menuntutnya cerai duluan kalau sekarang aku yang meminta untuk rujuk…'

Kedua alis Mebuki bertautan, "Kenapa? Apa jangan-jangan itu bukan anak Uchiha ya?! Astaga Sakura, kau kelewatan baru tiga hari cerai saja—"

"—Bu-Bukan kaasan! O-Oh coba pikirkan kaa-san! Bagaimana kalau misalnya Mikoto-kaasan menyuruh agar cucunya tinggal di rumahnya dan memonopoli mereka nanti? 'Kan kasihan kaasan nanti, iya 'kan?" licik. Sungguh, Haruno kau memang licik. Alasan macam apa itu? Ck,ck jahat sekali alasanmu. Mana bisa begitu, Haruno. Bukankah Mikoto terlalu baik? Mana mungkin ia memonopoli anakmu.

Mebuki menerawang sebentar, memang benar apa kata anak semata wayangnya tersebut, "I-Iya! Kau benar! Kalau begitu … kita harus membuat agar keluarga Uchiha itu tidak tahu!" tuturnya berapi-api. Labil, mengapa juga wanita ini percaya saja pada anaknya? "Nah, ayo ke rumah sakit Sakura! Kita harus memastikan apa kau benar-benar hamil atau tidak."

Ini awal dari masalah baru. Sadarkah kau, Sakura?

Enam tahun kemudian

Bahkan tanpa sadar, waktu berjalan begitu cepat. Sakura maupun Sasuke menjalani hidup mereka masing-masing— tanpa ada yang mengusik. Terang saja, mereka lost contact. Karena koas stase yang terakhir Sakura di Suna, wanita itu memutuskan untuk pindah ke sana agar tidak susah bolak-balik Konoha-Suna. Ayolah, perut Sakura sudah mulai membesar waktu itu— masa tega disuruh bolak-balik?

Akhirnya, Mebuki dan Kizashi membiarkan putri semata wayang mereka untuk tinggal di sana dengan syarat Shimura Sai— salah satu orang kepercayaan sekaligus sahabat Sakura dari kecil untuk ikut agar menjaga Sakura.

"Kakko-chan, Kei-kun. Kalian berdua jangan nakal ya nurut sama ayah, kaasan ada operasi mendadak. Ittekimasu!" Perkataan yang diucapkan Sakura tidak jelas karena wanita itu mengucapkannya sangat cepat— seperti dukun yang sedang berkomat-kamit.

"Hn."/ "Hai! Kaasan!"

Terdengar dua respon yang berbeda. Ada yang bisa menebak, mana respon dari Kakko dan mana respon dari Kei? Tidak? Baiklah.

Haruno Kei, anak pertama yang keluar dari rahim Sakura. Ia dinamakan Kei dengan harapan ia selalu beruntung . Kei adalah anak pertama. Anak ini memiliki rambut raven mencuat ke belakang yang bentuknya agak aneh— mirip sekali dengan tousan-nya. Irisnya ia dapatkan dari kaasan-nya, emerald. Walaupun begitu, wajahnya tetap saja mirip dengan tousan-nya.

Sedangkan Haruno Kakko, lahir tiga menit setelah Kei. Kakko ditulis dengan kanji langit musim panas. Sakura menamakan anaknya demikian dengan harapan anaknya bisa secerah langit musim panas. Tapi sayangnya sepertinya kurang mempan. Kakko itu, kepribadiannya sama menyebalkannya seperti tousan-nya. Kalau Kei lebih seperti Sakura. Kakko memiliki rambut pink gelap yang menjuntai bebas sepunggung. Oh, tidak hanya kepribadian yang Kakko dapatkan dari tousan-nya— kedua bola onyx-nya ia dapatkan dari otousan-nya.

"Kakko-chan! Ayo kita main dengan ayah~!" ajak Kei sembari menarik-narik tangan saudara kembarnya yang masih asyik dengan buku yang ia baca.

"Hn." Responnya boleh saja 'hn'— yang maknanya tidak jelas: bisa iya dan tidak artinya.

Melihat belum ada tanda-tanda adiknya ingin bergerak, Kei pun merampas buku yang dibaca oleh Kakko dan melemparnya sembarang. Seketika, death glare telak diberikan oleh Kakko. Ia ambil mainan mobil-mobilan Kei dan melemparkan mainan tersebut ke arah Kei dengan keras. Astaga, Kakko itu perempuan dan ia sama brutalnya dengan tousan-nya.

"HUAAAAAA! AYAAAH, KAKKO-CHAN JAHAAAT!" Kei menangis dengan kencang setelah dihadiahi memar di dahinya yang lumayan lebar oleh adiknya. Yaampun, lihat anak umur enam tahun tingkahnya masih seperti anak bayi.

Mendengar itu, Sai berjalan cepat dan menenangkan Kei sambil memaksakan seulas senyum. "Sudah, sudah Kei-kun jangan menangis lagi. Nanti Kakko-chan pasti akan dimarahi oleh kaasan." Sai menepuk-nepuk punggung Kei yang masih menangis dipelukannya itu, sedangkan Kakko hanya diam dan melanjutkan kembali aktivitasnya.

Melihat Kei dan Kakko— sepasang kembar tapi beda sangatlah lucu. Kita bisa melihat 'Sakura versi cuek' dan 'Sasuke versi ceria' dari keduanya. Oh iya, ada yang bingung kenapa Sai dipanggil ayah oleh sepasang kembar ini? Mudah saja, si kembar yang sudah bertumbuh besar sedikit demi sedikit mulai mempertanyakan keberadaan ayah mereka.

Mereka bilang kalau mereka sangat iri dengan teman-teman mereka yang kalau pulang sekolah dijemput oleh ayah mereka. Apa daya, Sakura saja sudah lost contact dengan Sasuke hanya bisa mendengus pasrah dan menunjukkan foto pria tampan itu.

Tentu bisa ditebak 'kan? Begitu Kei dan Kakko melihat foto ayah mereka, hanya ada satu yang mengganggu dalam pikiran kedua bocah itu: tousan mereka mirip dengan Sai. Jadi … yah, dari sanalah mereka meminta izin dan mulai memanggil Sai dengan panggilan ayah. Sakura sih mengiyakan saja karena kasihan dengan anaknya yang memohon dengan penuh harap— tanpa tahu kalau ini akan berpengaruh nantinya.

.

.

.

Warna jelaga sudah mulai mendominasi langit di luar sana, angin malam berhembus dengan kencang menyusup masuk ke jendela ruang kerja Uchiha Sasuke yang sedang sibuk berkutat dengan laptop-nya. Lagi-lagi urusan pekerjaan— kapan sih laki-laki ini bisa beristirahat?

Sasuke merenggangkan otot-otot tangannya, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Laptop-nya dibiarkan begitu saja karena sesuatu menarik kedua iris onyx-nya untuk terpaku. Sofa itu. Biasanya seorang perempuan bersurai sewarna dengan permen kapas akan duduk di sana dan menemaninya dengan ocehan-ocehan tidak jelasnya. Malah terkadang, mantan istrinya itu duduk menunggui Sasuke yang suka lupa waktu itu sampai terlelap di sofa.

Atau kalau Sasuke sudah lupa waktu begini, Sakura akan membawakannya secangkir kopi hangat. Yaampun, bahkan mereka berdua terlihat harmonis— kenapa sampai bisa seperti ini sih? Ah sial. Biar ditegaskan, Sasuke itu tidak pernah berselingkuh. Tidak pernah— sekalipun. Bagaimana mau selingkuh kalau hatinya sudah terkunci dengan Haruno Sakura? Untuk apa berselingkuh kalau orang yang dicintainya sudah berada dalam genggamannya?

Mendadak, hatinya merasakan ngilu yang sudah lama hilang itu. Ia ingin bertemu dengan Haruno Sakura kembali— oh tidak, bahkan ia ingin wanita itu kembali di sisinya seperti dulu. Bisakah ia berharap begitu? Apa boleh?

Kalian pernah mendengar 'kan kalau Uchiha Sasuke adalah preman di Konoha Gakuen dulu? Pernah dengar juga 'kan kalau Haruno Sakura adalah the most victim kouhai of Uchiha Sasuke? Astaga bahkan mendadak Sasuke ingin tertawa kalau mengingat-ingat pertemuan pertama mereka dulu. Jangan salah, bahkan saat pertama kali melihat gadis itu Sasuke sudah terjebak dalam pesonanya.

Pertemuan pertama mereka agak aneh sebenarnya…

Flashback

Musim semi. Kelopak bunga sakura berguguran dan menghambur memberikan Konoha Gakuen warna pink di beberapa sudut-sudut bangunannya. Upacara pembukaan untuk murid baru, berbagai macam ekspresi ditampakkan oleh murid-murid di sana. Ada yang senang, deg-degan, terharu, dan ada yang err … kesal seperti gadis berambut pink sebahu yang tengah mencebikkan bibirnya dan menggembungkan kedua pipi chubby-nya saat ini.

"SAI-KUN! AWAS KAUUUUU!" Bahkan teriakannya pun sangat membahana, astaga.

Ingin tahu kenapa Sakura bisa sekesal ini? Hari pertama sekolah, Sai dengan kurang ajarnya menempelkan permen karet di rambut pink Sakura. Padahal, gadis ini sudah susah-susah untuk menyuci rambutnya dan mengeringkannya pagi-pagi sekali tapi balasannya malah ini…

Dengan satu gerakan kasar, Sakura mengambil lima buah permen karet dari kantungnya dan mengunyah kelima permen itu bulat-bulat. Niatnya hanya satu: Ia akan menempelkan permen karet maha besar ini ke rambut Sai sebagai perwujudan balas dendamnya. Hahahaha!

Sakura menggulirkan kedua emerald-nya dengan cepat— pokoknya ia harus menemukan Sai sesegera mungkin sebelum upacara pembukaan untuk murid baru dimulai. Pandangan matanya terkunci pada satu objek yang sedang berbicara dengan— ehm sebut saja si merah, si putih, dan si oranye. Ya apapun itu.

'Hahaha Sai-kun kena kau! Cih, baru juga hari pertama sudah sok sekali anak itu, sok dekat dengan anak-anak lain.'

Sebenarnya yang sok itu Sakura, main memutuskan saja—padahal belum tentu orang yang ia tuju itu benar 'kan? Sakura berlari dengan cepat dan mulai mengambil permen karet yang tadi dikunyahnya—ewh, pasti menjijikkan. Begitu sampai di depan sosok 'Sai' itu, tanpa pikir panjang Sakura langsung menempelkan permen karet tepat di atas bagian belakang rambut raven mencuat itu. Err, tidak hanya itu Sakura juga mengacak-acak rambut raven itu. Ia masih tidak terima atas rusaknya rambutnya tadi akibat ulah tangan jahil Sai.

Kok … Ada yang aneh ya? Sejak kapan rambut Sai jadi begini? Kok ada yang berdiri sih bagian belakangnya?

"Wah, Sakura kau hebat. Upacara pembukaan untuk murid baru saja belum dimulai, kau sudah mendapat teman baru. Kalian terlihat akrab lho."

Jantung Sakura ingin melompat keluar begitu mendengar suara objeknya dari belakang. Segera ia tolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati Shimura Sai sedang berdiri di sana— sambil tersenyum. Dan sialnya, Sai malah langsung berlalu setelah itu meninggalkan Sakura sendirian.

Deg.

Deg.

Deg.

Siapapun, Haruno Sakura membutuhkan bantuan kalian saat ini. Pupil Sakura mengecil— terkejut karena mendapati Uchiha Sasuke tengah memberikan death glare dahsyatnya. Sakura tahu siapa itu Uchiha Sasuke— dia ketua geng Taka. Terkenal akan ketampanannya, kecerdasannya, statusnya, kecuekannya, dan kebrutalannya. Jangan tanya dari mana Sakura mengetahui ini semua karena Sasuke itu memang sudah terkenal— jadi, sebelum Sakura masuk sekolah ini juga ia sudah tahu.

Sakura memamerkan senyumannya dan segera angkat kaki dari depan laki-laki itu— oh tidak semudah itu rupanya. Uchiha Sasuke, sukses menahan lengan Sakura sebelum gadis itu benar-benar pergi. Jari telunjuk Sasuke mengacung tepat di depan wajah Saskura.

"Kau harus tanggung jawab."

Dan cerita mereka memang dimulai dari sana…

End of Flashback

Sasuke memegang ujung rambut model uniknya tersebut, ia tersenyum pahit. Kira-kira bagaimana kabar Sakura sekarang ya? Apakah wanita itu sudah memiliki kehidupan baru dan bahagia? Sebenarnya, Sasuke tidak ingin mengiyakan tuntutan cerai Sakura dulu— akan tetapi, setahu Sasuke Sakura itu tidak bahagia bersama dengan Sasuke. Sasuke hanya menginginkan wanita yang ia cintai bahagia.

Di awal pernikahan saja Sakura menolaknya mentah-mentah kok, toh kalau pada akhirnya akan seperti ini seharusnya Sasuke sudah tahu konsekuensinya. Semuanya tepat sesuai dengan ekspektasinya. Tapi ternyata rasa sakit sepeninggalan Sakura jauh di luar ekspektasinya. Ia tidak pernah menyangka kalau rasanya akan sesakit ini.

"Sasuke-kun…"

Sebuah suara menginterupsi Sasuke dan menarik pria itu kembali ke alam sadar. "Hn," responnya datar.

"Ini, kopimu. Jangan terlalu memaksakan diri…"

"Jangan menceramahiku, Karin. Kau juga, jangan memaksakan dirimu— perutmu sudah besar, kau harus berhati-hati," balas Sasuke tanpa ekspresi sedikit pun yang terpatri di wajahnya.

"Ahahaha, kau ini sudah seperti suamiku saja Sasuke-kun! Tenang saja, aku tidak apa-apa kok."

"Hn."

Dan Uzum— Hozuki Karin hanya bisa menghela napas setelahnya. Ia membantu atasannya tersebut membereskan dokumen-dokumennya yang berserakan di atas meja. Dapat terlihat dari ujung matanya— kalau atasan sekaligus sahabatnya itu lagi-lagi melamun sendiri.

Sebenarnya Sasuke bukanlah tipe orang yang suka melamun seperti ini, namun semenjak wanita musim semi itu pergi dari sisinya … Sasuke jadi sering melamun sendiri— entah apa yang dipikirkan olehnya.

Ingin rasanya Karin meyeret Haruno Sakura kembali ke sisi sahabatnya akan tetapi, ia tidak bisa. Haruno Sakura seolah menghilang ditelan bumi pasca perceraiannya dengan Uchiha Sasuke. Lagipula, Karin juga merasa tidak enak— mengingat dialah penyebab perceraian Sasuke dan Sakura.

Tunggu, sebenarnya Karin tidak bisa dibilang penyebab hancurnya rumah tangga Sakura dan Sasuke— ini hanya salah paham. Dalam hati, Karin berjanji akan segera meluruskan masalah ini kalau ia sudah bertemu dengan Sakura— tapi kapan?

.

.

.

"Tadaima…" Sakura menggumam lesu begitu sampai di rumahnya, membuat Sai yang sedang duduk di sofa menghentikan aktivitasnya sejenak.

"Okaeri, Sakura," ia lipat koran yang tadi ia baca dan menaruhnya di atas meja. "Kau tahu, kau semakin jelek kalau cemberut begitu. Ada apa?" Tentu saja Sai paham akan raut 'jelek' yang dibuat oleh sahabatnya itu. Sudah dua puluh tahun lebih 'kan mereka bersama— sebagai sahabat maksudnya.

Sakura menghela napas, "Bagaimana anak-anak? Apakah sudah tidur?" Rupanya Sakura belum berniat untuk membicarakan masalahnya dan memilih untuk mengganti topik.

"Mereka nampak baik, seperti biasa selalu bertengkar. Ya, mereka sudah tidur dan lebih baik ceritakan masalahmu, jangan mengalihkan topik."

"Iya deh," Sakura menyandarkan badannya ke sofa, ia mengurut pelipisnya. "Hmm, Sai-kun…" ia menggantungkan kalimatnya dan beranjak mengambil tasnya. Setelah merogoh-rogoh isi tasnya tersebut, ia mengambil sesuatu dari sana. Sebuah amplop.

Sai masih diam dan membiarkan Sakura untuk melanjutkan kalimatnya, "Ini surat mutasi, aku akan dipindahkan."

Kedua alis Sai menyatu, "Ke mana?"

Bahkan untuk menyebutkan nama kotanya saja sudah susah, seolah membuka kenangan lama yang membuat hatinya sakit. "Konoha."

Konoha, kota tempat mereka tinggal dulu. Mungkin akan banyak perubahan di kota itu sekarang. Tapi yang jelas, Konoha mengingatkannya pada satu sosok itu. Sosok yang membuat sebuah lubang yang cukup dalam di hati wanita itu dan menyebabkan kehampaan di dalamnya. Ia hanya berharap kalau setibanya di Konoha nanti, ia tidak menemukan sosok Uchiha Sasuke di sana… Ah tidak, ia juga ingin bertemu tapi tidak ingin. Ada yang bisa menjelaskan perasaan macam apa ini?

"Kapan?"

"Lusa."

Kami-sama… bolehkah Sakura meminta agar waktu diperlambat? Atau bisakah ia meminta waktu untuk diputar kembali agar lusa itu tidak pernah datang? Hmm, nampaknya tidak bisa eh, Haruno?

"Kau … benar-benar ingin pindah? Apa kau yakin?" Sai memastikan, ia hanya tidak mau kalau sahabatnya salah mengambil langkah.

"Entah, aku pusing. Lebih baik aku tidur sekarang hm?" Kemudian, wanita itu segera beranjak dari sofa meninggalkan Sai sendirian di sana.

Feeling Sai kuat sekali. Ia yakin kalau Haruno Sakura pasti akan bertemu dengan mantan suaminya entah dalam keadaan apapun itu. Namun Sai juga tidak ingin mencegah Sakura, ia hanya ingin memastikan kesiapan wanita itu. Sai lebih suka membiarkan semuanya berjalan sesuai dengan kehendak Yang di Atas. Entah nasib baik ataupun buruk, semua sudah ditentukan. Biarkan semua mengalir sesuai skenario yang telah ditentukan mungkin itulah jalan yang terbaik.

Tidak lama setelah Sakura meninggalkannya, Sai pun memadamkan lampu dan beranjak tidur.

Suara jam dinding yang berdetak setiap detiknya menemani keheningan malam yang gelap. Hawa dingin yang diakibatkan oleh pendingin ruangan tak memberi efek apapun pada wanita yang sedang memandangi kedua anaknya. Anaknya sedang terlelap dengan pulas, wajah damai mereka membuat wanita itu tersenyum lembut.

"Hmm, kalian tahu … lusa, kita akan pindah." Mungkin ini terlihat bodoh karena Sakura berbicara sendiri. Ia tersenyum pahit, "Dan mungkin saja … kalian akan bertemu dengan tousan kalian…" Sakura tertawa hambar lalu menghela napas kembali— entah sudah keberapa kalinya ia menghela napas hari ini. "Kalau kalian bertemu dengan tousan kalian, apa yang akan kalian lakukan?"

Tidak mau mengganggu anaknya lebih lama lagi, Sakura pun memutuskan untuk keluar dari kamar kedua anaknya setelah mengucapkan 'selamat tidur' dengan pelan.

"Kei-nii, dengar apa kata kaasan tadi?"

"Hm! Kita akan bertemu dengan tousan! Ayo kita berusaha, Kakko-chan!"

Krik. Ternyata mereka berdua belum tertidur rupanya, mereka hanya mengelabui kaasan dan 'ayah' mereka agar terlihat seperti anak baik. Dasar, anak zaman sekarang… Biar deh, tapi nampaknya mereka berdua terlihat senang karena melihat adanya secercah harapan untuk bertemu dengan tousan mereka yang bahkan belum pernah mereka temui. Ck, ck lagipula apa mereka masih ingat dengan wajah tousan mereka sekarang? Hei enam tahun kan sudah lewat, sudah pasti perubahan fisik terjadi pada diri tousan mereka. Orang mereka saja tumbuh kok, masa tousan-nya tidak?

Raut wajah Kakko dan Kei memancarkan kesemangatan yang tinggi keesokan harinya, mereka mengemasi barang-barang dengan cekatan. Sakura saja sampai heran, biasanya kalau ada kabar pindah begini mereka akan sedih karena akan berpisah dengan teman-teman mereka. Tapi kali ini berbeda, mereka terlihat antusias dan tidak sabar akan kepindahan mereka ke Konoha.

Bahkan mereka sampai lupa waktu dan susah di suruh makan saking keasyikan— padahal 'kan hanya membereskan barang, heran bisa sesemangat ini. Iya, sebetulnya yang ada di pikiran mereka hanya satu: Semakin cepat barang-barang dikemasi, semakin cepat juga mereka pindah. Padahal, mau selesai sore ini ataupun malam juga tetap saja mereka baru akan pindah besok.

Barang-barang mereka telah dikirim oleh mobil pick-up, sekarang mereka bisa duduk manis. Si kembar pun telah terlelap— kali ini bukan pura-pura, mereka hanya kelelahan. Semoga saja, usaha yang telah mereka lakukan kali ini tidak sia-sia… Semoga saja mereka bisa bertemu dengan tousan mereka, Uchiha Sasuke.

.

.

.

Warna putih mendominasi di mana-mana, bau higenis menguar masuk ke dalam hidung keempat orang— eh? Loh? Kok deskripsinya seperti ini? Bukankah Sakura pindah ke Konoha? Hm, baiklah. Ini memang sudah di Konoha, namun ini di rumah sakit— tempat Sakura akan bekerja nantinya. Tapi sayangnya, Sakura ke sini bukan untuk itu.

Bahkan seolah ia telah lupa kalau kemungkinannya bertemu dengan Uchiha Sasuke sangat besar. Pasalnya, Kakko dan Kei yang sakit lebih menghantui pikirannya. Ternyata, si kembar ini kelelahan juga dan karena pola makan mereka yang kurang teratur membuat kondisi mereka jadi begini. Mereka berdua jadi sakit 'kan?

"Kaasan…" panggil Kakko lirih, suaraya terdengar agak parau.

"Hm? Ada apa, Kakko-chan?" Sakura membenahi posisi duduknya di ruang tunggu tersebut. Memang, sekarang ini mereka sedang menunggu suster menyebutkan nama mereka.

"Mau pipis." Wajah memelas, merah, dan mata sayu yang terpatri di wajah Kakko membuat Sakura gemas— eh tunggu, jangan Sakura. Dia sedang sakit.

"H-Hah? Bagaimana kalau misalnya nanti nama kalian disebut? Siapa yang mau jaga?" Bisa rugi 'kan kalau sampai nama anaknya terlewat dan ia harus menunggu lagi.

"Aaah, mau pipis…" Yah 'kan… Kakko ini kalo lagi sakit pasti manjanya kumat. Ia merengek sambil menekuk bibirnya.

Yaampun, bahkan ekspresi anaknya terlalu lucu saat mengucapkan kata-kata itu… Sakura pun hanya bisa tersenyum maklum. "Tunggu ayah ya, masih kuat 'kan?"

Kakko menggeleng pelan, "Enggak," jawabnya semakin menekuk bibirnya.

"Terus bagaimana dong?"

"Aku tidak meminta kaasan menemaniku, 'kan?" Hm, iyadeh. Sakura sudah tidak heran akan sifat menyebalkan anaknya yang satu ini. Memang mirip seseorang…

"Yasudah, hati-hati ya… jangan lama-lama, Nak."

Mau bagaimana lagi, kalau Sakura meninggalkan tempatnya sekarang… Ah, oke baiklah ia akan menemani anaknya— daripada anaknya kenapa-napa 'kan. Sakura hendak membenahi posisi Kei yang tertidur di pangkuannya dan menemani Kakko, akan tetapi baru bergerak sedikit saja Kei sudah meringis… Terpaksa deh 'kan Kakko pergi sendiri.

.

Kakko merapatkan syal yang terlilit di lehernya, kepala pink-nya menoleh ke segala arah mencari sebuah ruangan dengan tulisan 'toilet'. Untung saja Kakko sudah cukup lancar dalam membaca sehingga, ia tidak perlu repot.

Tapi yang namanya anak baru umur enam tahun, tetap saja masih buta arah terlebih lagi ia baru pertama kali ke sini. Kalian tahu, Kakko malah kesasar –ke tempat orang-orang berperut besar berada. Err, ini hanya pemikiran anak kecil yang masih polos—ia tidak tahu kalau ia tersasar ke ruang tunggu ibu hamil.

Alhasil, Kakko hanya memasang tampang imutnya— yang bahkan kalau Sakura lihat pasti wajah anak itu sudah habis karena dicubiti oleh ibunya sendiri, padahal sedang sakit. Di balik tampang imutnya, apa tidak ada yang sadar ya kalau anak ini sedang kebingungan? Yaampun, seperti semut yang tersesat di sarang gajah, Kakko hanya berputar-putar di satu tempat itu.

Tuk.

Seseorang menepuk bahu gadis kecil itu pelan, "Apa kau tersesat?" tanya wanita berambut merah— dengan kacamata yang membingkai matanya sambil tersenyum manis.

Kakko hanya mengangguk-angguk pelan. Akhirnya, ada juga yang memahami situasi anak ini.

"Kau ingin mencari kaasan-mu? Apa mau basan bantu mencarinya?"

Gadis kecil itu hanya menggeleng lemah, "Mau pipis…" bibir Kakko semakin menekuk semakin ke bawah, membuat basan berbadan dua di depannya terkekeh pelan.

"Astagaa, kau imut sekali…" ia menepuk pelan kepala gadis kecil itu. 'Ekspresinya mirip sekali dengan Sakura kalau ia sedang merengut. Hanya saja warna matanya berbeda, kalau Sakura hijau… mata anak ini lebih mirip dengan Sasuke, eh?' wanita itu mengabaikan pemikiran aneh yang tiba-tiba merasuki otaknya, ia raih tangan Kakko ke dalam genggamannya. "Ayo, basan antar—"

"—Karin,"

"Eh? Sasuke-kun, sudah?"

Sasuke melayangkan tatapan itu-anak-siapa pada Karin yang menggenggam tangan anak itu, hebat sekali Kakko. Ingat, Karin dihitung orang asing lho~ kalau saja kaasan-nya tahu, Kakko bisa dimarahi. Hm, tapi 'kan terdesak— sudah deh biar.

"Hn, sudah. Suigetsu bilang, kau menunggu di mobil saja. Ia masih harus menebus obatmu," jawab Sasuke datar. Tatapan laki-laki itu terkunci pada sosok 'Haruno Sakura kecil' di sebelah Karin. Wajah gadis itu yang memerah akibat panas membuat Sasuke teringat akan Sakura saat demam dulu. Mereka berdua sangat mirip— secara fisik.

Kakko juga sedang menatap Sasuke dengan intens, "Jisan mirip dengan ayah," kata-kata itu terlontar secara refleks tidak lama kemudian.

Deg!

Karin menelan ludahnya gugup, perasaan apa ini…? Entah kenapa, Karin sangat ingin bertemu dengan ibu dari anak ini— secepatnya. Ia ingin cepat-cepat meluruskan masalah yang ada. Ia ingin agar Uchiha Sasuke—sahabat baiknya bisa segera meraih kembali kebahagiaannya seperti dulu. Sebenarnya, bisa saja Karin menanyakan siapa nama ibu dari anak itu kalau mau tapi ia tidak melakukannya. Kalau ternyata namanya saja yang sama bagaimana dong? 'Kan kasihan Sasuke yang merasa di-PHP-in.

Tunggu, tadi kaasan-nya bilang jangan lama-lama 'kan? Err, sudah berapa lama ia mencari toilet?

"Arigatou, aku harus kembali."

Grep.

Tanpa diperintah, tangan Sasuke menahan lengan anak itu. Untung saja, Kakko mewariskan sifat stay cool dari tousan-nya jadi, ia tidak menangis ataupun panik saat Sasuke berbuat begitu. Gadis kecil itu hanya menatapi Sasuke dengan datar.

"Karin, kau duluan. Aku akan mengantar anak ini."

Hoho, jangan pikir ini semudah itu. Bukan Karin namanya kalau menuruti apa kata Sasuke. Karin penasaran sih… Bagaimana reaksi sahabatnya kalau ibu dari anak itu benar-benar Haruno Sakura dan reaksi kecewanya kalau ternyata ibu dari anak itu bukan wanita itu.

Deg.

Deg.

Deg.

Bahkan untuk menelan ludahnya saja, Sasuke butuh tenaga ekstra— saking groginya. Seorang Uchiha grogi? Yang benar saja. Hanya Haruno Sakura lah yang bisa meruntuhkan topeng seorang Uchiha Sasuke. Laki-laki itu akan out of character di hadapan orang yang dicintainya.

.

"Sai-kun? Kenapa melamun? Merindukan tunanganmu di Suna, eh?" Belum tahu ya, kalau Sai itu sudah punya tunangan? Mereka memang sudah bertunangan selama dua tahun dan akan menikah di tahun ini mungkin. Untungnya, tunangannya sudah paham akan situasi Sai jadi … sudah tidak ada masalah. Walaupun terkadang tunangan Sai suka jealous karena kedekatan Sakura, Sai, dan si kembar— yang sudah seperti keluarga bahagia. Ah, tapi tenang saja. Walaupun begitu, cintanya Shimura Sai hanya untuk Yamanaka Ino seorang kok.

"Cih, bukan. Pikirkan anakmu, jelek. Sudah tiga puluh menit dia belum kembali." Tentu saja Sai khawatir, laki-laki itu sendiri bahkan tanpa sadar sudah menganggap kedua anak sahabatnya itu seperti anaknya sendiri.

"Kakko itu cerdas— walaupun aku meragukan kecerdasannya kalau ia sakit. Tapi aku yakin, dia baik-baik saja dan aman."

"Terserah, ibu macam apa kau ini," ledek Sai sembari mengetuk kepala Sakura pelan. Hmm, memang lama juga kalau dipikir-pikir… Nama Kei dan Kakko bahkan sudah terlewat tadi. Padahal sudah setengah jam Kakko meninggalkan mereka…

.

Deg.

Deg.

Deg.

Debaran jantung sial. Bisakah temponya diperlambat? Luarnya boleh saja terlihat datar tapi dalamnya… Hmm, tidak ada yang mengira 'kan kalau dalamnya sudah ketar-ketir begini?

"Jangan nervous Sasuke-kun," Karin sepertinya suka sekali menggoda sahabatnya. Ck, ck.

Sasuke mengabaikan Karin, ia masih sibuk bergelut dalam pikirannya sampai tidak sadar kalau langkah gadis kecil itu sudah terhenti. Kakko melepaskan genggaman tangan Sasuke dan menghampiri Sakura yang masih asyik mengobrol dengan Sai.

"Kakko-chan! Kau terlalu lamaa! Bukankah kaasan sudah bilang— jangan lama-lama~! Huaa, nama kalian jadi terlewat 'kaan? Memangnya kau tidak mau cepat sembuh? Kata—"

"—Hn, aku mengerti." Hobi banget sih Kakko ini bertindak seenaknya, iya memang mirip dengan seseorang…

Wah, wajah Sasuke sekarang … Sudah seperti mayat hidup. Sudah putih, ditambah pucat— pikir sendiri. Melihat Haruno Sakura di hadapannya, ia masih tidak percaya. Wanita itu, sudah bertambah dewasa enam tahun. Mungkinkah ia bahagia?

Yang terlihat di mata Sasuke itu adalah sebuah keluarga yang hidup bahagia, Sakura yang tengah memarahi Kakko— atau siapapun itu, Sai yang menenangkan Sakura, dan seorang bocah yang tertidur di pangkuan Sai.

Nyut.

Sebuah luka berhasil terbentuk lagi di hati hampa Sasuke… Haruno Sakura, pada akhirnya memang bersama Sai 'kan? Biar. Yang penting Sakura hidup bahagia— Sasuke juga akan mencoba untuk bahagia walaupun ia tak yakin kalau ia bisa.

Karin menepuk bahu Sasuke pelan, "Sasuke-kun, kau tidak apa-apa?"

"Hn."

Cukup. Hozuki Karin sudah muak melihat Sasuke yang tidak maju-maju— layaknya seorang pengecut. Wanita berbadan dua itu berteriak dengan lantang. "HARUNO SAKURAAA!"

Yakin deh, pasti suster-suster di sana hendak protes— tapi melihat ekspresi garang ibu hamil itu nyali mereka langsung ciut.

Itu Karin, 'kan? T-Tunggu, dia hamil? Tatapan Sakura beralih ke pria stoic yang berdiri tepat di sebelahnya. Oh, udah nggak kaget kok kalau pada akhirnya Sasuke akan menikahi wanita merah itu. Lalu ia melirik kedua anaknya takut-takut. Ia harus bagaimana? Mau bagaimanapun, anak-anaknya ini memiliki darah Uchiha. Tapi, apa reaksi anak-anaknya kalau tahu tousan-nya telah menikah lagi…?

"Err, hai," sapa Sakura pelan, terlihat grogi.

Sasuke mempercepat langkahnya, begitu ia sudah tepat berada di depan Haruno Sakura ia tatap kedua bola hijau wanita itu. Sasuke mencengkram kasar kerah Sakura membuat wanita itu memekik kesakitan.

"Ke mana saja kau? Hah?!"

Bentakan Sasuke sukses membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah mereka dan membuat Kei terbangun. Ini tidak bisa dipercaya, yang ada di hadapan bocah kecil itu… Kaasan-nya yang tengah dibentak? Ia tidak bisa terima. Walaupun kondisinya sedang lemah begini, ia harus tetap bisa melindungi kaasan-nya.

Dengan terhuyung pelan, Kei menghampiri Sasuke. Ia menarik celana pria itu. "Jisan… Jangan sakiti kaasan…"

Sakura ingin menangis melihat anaknya seperti itu. Hatinya tersentuh. "Sasuke-kun… Kita selesaikan ini nanti, ini di rumah sakit… Lagipula jangan bertingkah seperti anak kecil. Kau sudah om-om tahu." Dengan pelan Sakura menggenggam tangan Sasuke dan menjauhkannya dari kerahnya. Sakura menyunggingkan seulas senyum.

Memang benar apa yang diucapkan oleh Sakura. Tidak ada pilihan lain, 'kan?

"Haruno Kei, dan Haruno Kakko… Silahkan," tutur seorang perawat memanggil nama si kembar kembali untuk diperiksa.

.

.

.

TBC~

Koass/Koas?: Dokter yang belum jadi dokter(?) alias masih asisten dokter XD *penjelasan gabener*

Stase: Bagian

A/N: Holaaaaaaa! Masih inget sama aku? Enggak? Okesip.-. *langsung suram* Waa, udah lama nggak update atau publish fic. Aku malah jadi grogi dan nggak pede m(_)m Aku sadar banget kalo cerita ini alurnya bener-bener ngebut :( tapi menurut temenku enggak, tapi kataku iya._. aku jadi bingung kan:|

Sebenernya cerita ini udah selesai dari beberapa bulan yang lalu, tapi baru bisa di-publish hehehe, abis aku nunggu last chapternya selesai sih~ Makanya, kalo agak klise maaf yaa m(_)m Cerita ini cuma twoshot kok XD dan mungkin bakal update setelah aku UKK :")) doakan yaa :"))

Ehiya, fic ini dibikin spesial buat Nyonya Singkong aka Jeffira Ridhany tuh nggak gue frontalin kan? Puas lo, puas? :| padahal ngomong Adhi aja susah banget ya— eh kepencet :O wuahahaha! Maaf je :*. Also this fic is dedicated for para pembaca yang udah nungguin fic-ku yang ngga update-update (kalo ada yang nunggu) hehehe m(_)m maaf ya nggabisa update kilat~ Rima sayang sama kalian kok ;;) #salah Maaf juga ya, kalau fic ini mengecewakan m(_)m

Udah deh bacotnya, boleh minta RnR-nya minna-sama? :33