Ia mengeluarkan kacamata hitamnya begitu pintu kaca bertuliskan 'exit' terlihat. Segera dikenakannya kacamata hitam itu hingga menutupi iris violetnya.

Suara roda-roda kecil yang bergesekkan dengan lantai marmer dari koper yang diseretnya mengiringi setiap langkah anggun kakinya.

Begitu pintu kaca itu terbuka dengan otomatis, Kuchiki Rukia melangkahkan kakinya melintasi celah besar yang tadi tertutup oleh kaca setebal dua senti.

Benar saja. Begitu ia benar-benar berdiri di luar tanpa perlindungan atap dan tembok, sinar matahari langsung menyergap indera penglihatannya.

Kacamata hitam memang pilihan yang tepat, karena di sini matahari bersinar terang.

Begitu banyak pohon palem dan semak hibiscus yang menyambutnya di sini. Dan yang paling meyakinkan bahwa tanah yang diinjaknya sekarang bukan Jepang adalah tulisan besar di plakat batu bertuliskan 'Welcome to San Jose International Airport'.

Benar! Sekarang Rukia berada di California.

Tempat nan jauh dari negeri tercintanya. Negara tropis dimana matahari bersinar sepanjang tahun, dan sepertinya tempat yang cocok untuk berlibur.

Sayangnya bukan liburan yang sedang Rukia lakukan.

Juga bukan dalam rangka tugas sekolah.

Apalagi tugas untuk mengurusi perusahaan keluarga Kuchiki. Selain keluarga Kuchiki memang tak punya cabang di California, Rukia juga masih terlalu muda untuk bergelut di dunia bisnis. Bagaimana jika nanti perusahaannya malah bangkrut di tangan Rukia?

Puas memandangi pemandangan eksotik disekelilingnya –pohon-pohon palem menjulang, semak hibiscus yang dikelilingi hummingbird yang mendengung-dengung seperti serangga, pohon cypres yang gepeng, dan pohon-pohon khas negeri tersebut yang tidak ia ketahui namanya-, Rukia melenggang ke tepi jalan raya untuk mencari taksi.

Berjalan dengan langkah yang terlihat ringan tanpa memperlihatkan beban besar dan rasa sakit dihatinya.

Rukia memang harus mengenyahkan beban itu. Meninggalkan semua rasa sakit dan perasaan ditipunya di negara asalnya. Biar waktu yang akan menghapus perasaan ngilu itu. Kelak jika dia sudah bisa mengikis habis perasaan sakit hatinya mungkin ia dengan senang hati kembali ke Jepang dan memulai segalanya dari awal.

Tanpa perlu mengingat orang itu...

.

.

.

Disc. : BLEACH milikku?! Oh, yeah! Yang benar saja.

WARNING! : AU, full OOC-ness, typo[s], kalimat panjaaaaaaang, ini adalah sekuel dari fic lama: 'My Silly Engagement', etc, etc.

Still Silly Engagement!

Prolog

Perjalanan yang Rukia tempuh dari bandara hingga tempat tujuannya di Carmel memerlukan waktu yang tidak dapat dikatakan sebentar. Satu jam duduk di dalam taksi memang terkesan membosankan. Namun tidak jika jalanan yang kau lewati adalah tempat asing yang benar-benar indah.

Pemandangan yang nyaris tak akan bisa Rukia lihat di Tokyo: semak-semak lemon, perkebunan anggur, pohon pinus, baliho-baliho besar yang mengiklankan hasil pertanian dan rumput-rumput yang kecoklatan. Tak ada yang salah dengan rumput yang gersang itu sebenarnya, hanya saja ini kan bulan Januari. Di Jepang semua rumput pasti tertutup salju.

Seakan pemandangan indah tadi hanya berupa salam pembuka, kali ini laut seakan menjadi puncak dari salam selamat datang bagi Rukia. Semula Rukia mengira itu adalah ladang, tapi ladang itu berkilau dan sadarlah ia itu bukan ladang, itu lautan.

Samudera Pasifik berkilauan memantulkan sinar terang dari sang mentari.

Begitu Rukia tiba di daerah perbukitan dengan rumah-rumah mewah berjajar disana, taksi yang Rukia tumpangi berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Rumah ini tidak seperti rumah-rumah disekitarnya. Ini bukanlah bangunan terakota, semua bagiannya terbuat dari kayu yang kokoh. Ada tangga untuk mencapai teras depannya, benar-benar ala victorian, lengkap dengan menara-menara kecil menghiasi atapnya.

Rukia sedikit bejenggit ketika melihat ongkos taksi yang harus dibayarnya. Mau bagaimana lagi, sudah terlanjur.

Taksi mulai menjauh dari rumah bercat warna-warna pastel itu. Rukia menarik kopernya memasuki pekarangan yang dipenuhi timbunan daun pohon pinus.

"Tadaima!" seru Rukia nyaring.

Dengan agak kerepotan Rukia menaiki tangga teras dan tangga menuju kamarnya di lantai dua.

Pintu kamarnya ia buka dengan sedikit sentakan. Diletakkannya begitu saja koper dan tasnya, bejalan mengitari tempat tidur lalu menyibak tirai biru untuk membiarkan sinar mentari menyerbu masuk ke kamarnya.

Kembali Rukia mengernyit, "Kotor sekali dan..." Rukia menarik kain putih yang menutupi meja riasnya. "...berdebu."

Selanjutnya Rukia mulai terbatuk-batuk dan bersin-bersin.

.

.

.

Mentari sore menemani Rukia yang berjalan menyusuri trotoar di daerah tempat tinggal barunya. Kantong kertas berisi bahan makanan ia dekap di depan dadanya, tas plastik berisi berbagai jenis sabun ia jinjing dengan tangan kirinya.

Begitu sampai di rumahnya Rukia menyalakan kompor dan memasak untuk dirinya sendiri. Tidak bisa dibilang ahli memang, tapi hasil masakan Rukia bisa dibilang lumayan. Dan yang jelas bisa dimakan.

Sambil melahap masakan buatannya sendiri Rukia meneliti satu persatu kolom lowongan pekerjaan dari koran yang di belinya dari toko buku kecil di perempatan jalan. Rukia memang tak membawa ijazah atau benda-benda lain yang lazim dibutuhkan untuk melamar pekerjaan. Tapi, ayolah. Ini Amerika, bukan Jepang. Jika hanya pekerjaan kecil mereka pasti tak akan mempermasalahkannya.

Puas memelototi baris per baris lowongan pekerjaan dan dengan perut kenyang Rukia memutuskan untuk tidur. Ia sudah tahu akan melamar kerja di mana besok.

Jarum kecil pada jam dinding di kamar Rukia masih menunjukkan pukul lima sore. Dari luar jendelanya yang menghadap ke laut sinar matahari khas sore hari membuat kamar Rukia berwarna orange terang.

Mendadak Rukia merasa dadanya sesak dan kepalanya pusing. Jet lag mungkin. Mengingat perbedaan waktu antara Jepang dan California yang sangat signifikan.

Tapi bukan. Bukan jet lag.

Memang sih rasanya tubuhnya lelah bukan main. Tapi rasa sesak di dadanya jelas bukan efek dari perbedaan waktu.

Mungkinkah warna orange ini penyebabnya. Meski ingin berkilah, Rukia sadar memang itu penyebabnya. Surai orange milik seseorang yang sudah membohonginya.

Pembual. Dia hanya seorang pembual, tak lebih.

Meski benci dengan warna yang dipancarkan sang mentari, Rukia tak lantas menutup jendelanya. Dia membiarkan cahaya orange itu melingkupi seluruh kamarnya.

Mungkin karena terlalu lelah.

Mungkin juga karena Rukia merasa nyaman dengan rasa hangat dari sinar orange itu.

Dengan wajah gelisah menahan rasa sesak di dadanya Rukia jatuh tertidur dalam dekapan hangat sinar mentari sore.

TBC

A/N : Jangan pukul sayaaaa! Hahahahahahahahaaaa baru bisa bikin sekuelnya sekarang.

Gomen ne, fic yang lain juga terlantar... saya akan berusaha melanjutkannya setelah semua tugas akhir semester saya kelar...

Hmmm... semoga masih ada yang ingat dengan season pertama fic ini yang berakhir ngegantung.

Ini baru prolog, jadi maav ya kalo pendek.

Sekian cuap-cuap dariku. Sampai jumpa tahun depan...

C. All-Sunday

2012.12.29