Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?
Genra:Com-Rom (Comedy-Romance), Hurt/Comfort
Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara
Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.
Summary : aksi heroik pertamamu, melindungiku dari terjangan bola yang meleset ke ring. Dan itu benar-benar sebuah kebohohan karena membuat kita berdua menjadi bahan gosip top news oleh warga sekolah selama duduk dibangku SMA. Lalu kini apa kau akan melakukan bentuk tindakan heroik bodoh untuk kedua kalinya?
Follish Heroic
Aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan, rasanya duniaku sudah terhenti detik ini juga. Tubuhku membeku dengan selembar kertas di tanganku. Surat, dari calon suamiku. Bagaimana tidak membuat napasku serasa berhenti memasok oksigen, seperti nyawaku sudah tidak lagi bersatu dengan tubuhku. Kubaca lagi surat itu, terus-menerus. Yang ada hanya tulisan 'maaf, aku tak bisa.' Seseorang di dekatku pun tak mampu bersuara apa-apa.
Gilaaa..! Jangan bercanda, tak bisa apanya?! Tubuhku yang awalnya tegap berdiri, kini berangsur merendah. Aku terduduk sambil memeluk kertas itu. Kenapa Sai? Kenapa baru sekarang kau katakan tak bisa?
Aku tak henti-hentinya mempertanyakan kalimat yang sama untuk diriku sendiri. Dia seperti tidak punya logika, esok adalah hari pernikahan kami. Gaun pengantin sudah siap, undangan sudah disebar, kuliahku di jurusan kedokteran pun telah kuselesaikan. Pernikahan ini benar-benar membuatku bersemangat. Tapi saat yang kuterima adalah kata tidak bisanya, entah apa yang akan terjadi denganku.
Aku sadar, hubungan kami memang sangat ditentang oleh keluarganya. Dikarenakan orang tua Sai memiliki dendam lama dengan keluargaku sebagai pesaing bisnisnya, yang berakhir dengan bangkrutnya perusahaan Himura. Tapi beginikah cara yang tepat untuk membalas sakit hati keluarga mu, Sai? Apa salahku, saat itu terjadi mungkin aku baru belajar untuk mengenal huruf? Ini tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan kita. Kenapa marga Yamanaka yang kumiliki bisa membuatku dalam keadaan buruk seperti ini?
Sungguh, aku tidak mengerti. Sebelumnya aku hanya mengatakan padanya bahwa baju pengantin kami sudah siap, memintanya untuk datang ke butik agar bisa dikenakannya sebelum kami berdiri didepan saksi tuhan,mengikrarkan janji. Ia malah terus saja membalas pesan yang kukirim dengan kata maaf. Berulang-ulang. Kupikir ia seperti itu karena tidak bisa menuruti keinginanku. Maka susunan kegiatanku hari ini yang sebelumnya akan menemani Sakura mengecek kandungannya, langsung kuubah sedikit untuk mampir sebentar ke apartemen tunanganku. Sambil membawakan satu stel tuxedo berwarna hitam dengan aksen putih.
Saat aku menekan bel berkali-kali, mengetuk pintunya berulang-ulang, tapi suaranya yang sudah kuhapal tidak kunjung juga kudengar. Jadi kupikir mungkin ia sedang terlelap, mempersiapkan diri untuk hari esok. Karena pada dasarnya apartemen ini adalah milik keluargaku, tentu aku mempunyai kunci yang sama dengan yang mendiami tempat itu. Kugesekkan kartu slot pengunci di tempat penguncian dangan detektor canggih, dan simsalabim! Pintu terbuka tanpa harus memutar knop lagi.
Begitu pintu terbuka yang kudapati pertama kali ada kartu pengunci yang sama dengan yang kumiliki tergeletak diambang pintu. Seperti ada yang memasukan kartu itu dari luar dengan melewati celah sempit di bawah pintu. Ditambah lagi gelap, seperti tidak ada orang. Kutekan beberapa sakelar lampu yang berada di dekat pintu. Bersama Sakura aku mulai menjelajahi kediaman Sai.
"Sai...!" ucapku memanggilnya. Berulang-ulang sembari mencarinya ke segala arah. Awalnya terbersit sedikit pikiranku bahwa ia sedang mengerjaiku. Bersembunyi di suatu tempat dan akan mengagetkanku di timing yang tepat.
Namun lelah kudapat, ia juga tidak kutemukan. Dari ruang tamu yang terletak di paling depan ruangan ini, dapur, kamar, bahkan kamar mandi pun sudah kami periksa. Tapi tetap saja tidak kutemukan. Akhirnya kami kembali ke ruang tamu. Aku mendudukan diriku terlebih dahulu di sofa sebelum akhirnya wanita Uzumaki yang saat ini mengandung enam bulan itu ikut-ikutan mengambil posisi di sampingku. Aku menatap langit-langit ruangan,sambil memikirkan sekiranya kemana perginya calon suamiku itu.
Aku terlonjak saat pandanganku ke arah lurus, kudapati kertas dengan ukuran A4 tertempel di dinding tersebut. Nampaknya, itu tulisan yang sudah sangat aku kenal. Aku berdiri untuk mendekatinya. Kutarik kertas yang tertempel dengan double tip itu. Membacanya. Tulisan yang membuat tubuhku membatu. Sakura yang sepertinya curiga, akhirnya mendekatiku. Di sebelahku, dengan netranya ia membaca tulisan yang sama.
'Maaf, aku tak bisa'.
o
O
o
"Tenanglah Ino, mungkin ia hanya mengerjaimu." Sakura menenangkanku. Aku pun berharap seperti itu, berharap ini adalah lelucon terlucu yang ia berikan untukku. Dengan berkata tidak bisa siang ini, namun nanti malam ia akan langsung berada di ruang tamu rumahku. Membawakan bunga dan berkata 'semoga kau tak melupakan ini', atau apa saja yang membuat ku menangis terharu dan memeluknya. Aku terus saja mensugestikan otakku dengan hal-hal positif. Aku benar-benar menolak keyakinan bahwa kenyataan sebenarnya tidak sebaik yang kukira.
Sekarang aku sudah ada dikamar ku, orang-orang dari Wedding Organizer yang kusewa pun sibuk bekerja di luar sana. Menata seluruh persiapan pesta. Benar-benar akan jadi sangat sakit bila semua itu mendadak batal. Aku bergerak untuk mengambil ponselku. Kucoba untuk kembali menghubunginya. Namun yang kudapat, suara wanita dari operator sambungan saluler yang mengatakan bahwa nomor yang kutuju sedang tidak aktif.
Tak kehabisan akal, kukirim saja pesan singkat yang berisikan ia di mana, kenapa ia berkata seperti itu, dan memintanya untuk tidak bermain-main saat ini. Pesanku terkirim, namun pemberitahuan yang kuterima menyatakan pending. Kuhela napasku untuk sesaat. Kusandarkan kembali tubuhku pada sandaran kasur, pandanganku terawang.
"Sakura..!" kudengar suara lain dari balik pintuku. Tuan Uzumaki mencari nyonya-nya. Sakura beranjak dari tempat semulanya yang duduk di tepi ranjang ku. Membuka pintu, lalu keluar sebentar bersama suaminya. Meninggalkanku sendiri yang tetap sibuk dengan pikiranku. Aku yakin, Sakura pasti akan menceritakan kejadian barusan yang menimpaku. Bukan bermaksud membeberkan, Sakura melakukannya tentu saja berniat agar suaminya yang ceplas-ceplos itu tidak salah ucap.
Tak lama keduanya kembali ke kamarku. Kulihat expresi Naruto seperti berpikir, ia bahkan ragu untuk mengucapkan sepatah katapun.
"Sai pasti sedang mengerjaimu Ino, walau aku tak yakin karena Sai selalu serius, ia pasti punya selera humor yang agak baik," perkataan Naruto barusan sontak membuatnya dihadiahi tatapan tajam dari sang istri. Dengan gerak bibir pelan Sakura nampak seperti berkata 'Naruto no baka!', sukses membuat suaminya berkeringat dingin.
"Eee..Ino, kau ingat Shikamaru?" Naruto mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan seseorang yang sepertinya ku kenal. Aku terdiam sesaat. Berpikir. Ingatan ku begitu trans tentang orang yang dimaksud.
"Astagaa..! Itu lhoo, orang yang tak sengaja mencium mu dilapangan bola basket saat menyelamatkanmu dari terjangan bola yang kulempar..!"
Aaahh..! Iya, si kepala nanas itu. Orang yang terkenal pemalas dan juga jenius. Manusia pecinta tidur dengan kata andalannya, mendokesi. Iyaa..iyaa..! Aku ingat sekarang. Ia mencium ku dihadapan hampir seluruh warga sekolah, untuk menyelamatkan kepala ku dari terjangan bola yang meleset dari ring. Dan aksi heroiknya itu, membuat kami selama duduk dibangku sekolah menengah atas, dijadikan bahan perbincangan.
Aku tersenyum tipis, lalu menangguk pelan. Bingung juga, kenapa manusia hiperaktif ini menanyakan tentang Shikamaru. Kutatap Naruto kembali dengan raut heran.
"Aku sudah mengundangnya ke pernikahanmu besok, kemarin aku mengiriminya messanger, kutelpon berulang-ulang dan memaksanya untuk datang." Aku makin tidak mengerti arah pembicaraan Naruto.
Ooh, masalah ia mengundang orang tanpa sepengetahuan ku itu tidak menjadi masalah bagiku, karena aku sendiri yang memintanya untuk mengundang seluruh alumni kami.
"So calm, Ino. Pernikahanmu besok pasti akan sangat meriah karena kedatangan banyak orang. Bayangkan saja, bila aku mampu membuat Shikamaru yang pemalas itu datang, apa lagi dengan teman-teman yang lain."
Perkataan Naruto barusan sontak membuatku tidak dapat menahan senyum. Senang rasanya memiliki teman yang bisa diandalkan seperti mereka berdua ini. Sakura pun tersenyum sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia tak lagi mengerutui suaminya yang biasa mengucapkan hal-hal yang tidak sesuai situasi dan kondisi.
"Ino, aku kedokter dulu ya memeriksan kandunganku? Besok aku pasti datang pagi-pagi." Pamit Sakura. Padahal aku berjanji padanya untuk bersama dengannya melihat bayi dalam perut Sakura dari layar monitor ultrasonografi. Bukankah di bulan keenam jenis kelamin bayi juga sudah dapat di lihat? Sakura pasti sudah tidak sabar.
Aku tersenyum, sambil memberikan anggukanku padanya. Tak lama kedua pasang suami istri itupun menghilang dibalik pintu kamarku. Sepeninggal sahabatku, aku jadi melamun sendiri. Untuk pertama kalinya aku seperti orang yang tidak memiliki minat hidup. Pandanganku terus saja terawang hingga sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Pintuku terbuka, dan kepala ayahku tersimbul dari luar.
"Cepat turun, Ino. Ada yang merindukanmu. Dan sebaiknya kau rapikan dulu diri mu..!" setelah mengucapkan kan kata itu, ayah ku kembali menutup pintu.
Ini dia..! Ini dia..! Ini dia..! Pasti itu Sai. Ia memang benar-benar memberikan kejutan kepadaku. Dan jangan bilang bahwa Sakura dan Naruto juga ikut ambil alih berperan penting ya? Seketika aku langsung berdiri, memperbaiki penampilan seperti yang disarankan oleh ayahku dan bergegas turun.
Aku setengah berlari, lalu begitu tepat kaki ku menginjak satu anak tangga, pandangan lurusku mendapatkan objek yang berbeda dari apa yng telah kupikirkan. Agak kecewa, namun di satu sisi aku senang juga. Kulihat ayahku, ibuku, dan...
"Kakashi-niisan, Mei-neesan, Hinata-chan..!" Pekikku dari atas lantai dua rumah. Serta merta langsung melanjutkan langkahku yang terhenti. Mereka yang kusebutkan namanya satu persatu pun membalas dengan senyuman. Sesampainya aku, langsung saja kutubruk tubuh lelaki berambut perak dengan style anti-gravitation andalannya.
Kakashi Hatake, saudara angkat sekaligus saudara tertuaku. Ia yatim-piatu tanpa sanak saudara, dan ia menjadi kakakku saat ayah mengangkatnya menjadi putra. Aku melepaskan dekapanku. Aku beralih pada wanita pemilik warna rambut merah dengan pola herringbone di belakang, ia pun langsung ku peluk erat. Mei Terumi, atau lebih tepatnya Mei Hatake, istri dari kakakku. Mereka menikah sekitar lima tahun yang lalu. Dan yang terakhir...
"Ino-chan..!"ujar Hinata sudah bersiap menerima rengkuhan ku, tapi yang lakukan malah menyilangkan tangan ku didepan dada dan menatapnya sok sarkatis.
"Ino-chaaann..." Hinata berkata lirih, ia seperti anak kecil yang siap diberikan hukuman oleh sang ibu karena terbukti melakukan kesalahan.
"Kau, mana suami mu? Bisa-bisanya kau meninggalnya dipernikahan sepupumu sendiri!" kataku dengan nada yang dibuat-buat marah, sepupuku yang menikahi lelaki yang sama dengannya bermarga Hyuuga itu pun tersenyum manis. Sepertinya berharap maklum dariku.
"Neji-san benar-benar sibuk di Konoha Ino, besok malah ia harus terbang ke Iwa. Tapi ayah dan Hanabi pasti datang besok, kok." Hinata kalang kabut memberikan penjelasan padaku.
"Memangnya seberapa jauh Konoha dengan Tokyo, Hinata?"
Hinata tak menjawab, ia malah menundukan kepalanya, mungkin ia sedang memikirkan berapa jarak dari Tokyo-Konoha. Polosnya adik sepupuku ini. Aku tersenyum, cukup untuk kali ini aku mengerjainya.
"Tak apa Hinata, kau mau datang saja aku sudah sangat senang."
Mendengar itu, Hinata langsung mengangkat wajahnya dan tersenyum. Kornea dark pearl miliknya jadi benar-benar terlihat tenggelam. Kupeluk ia, rindu juga karena hampir satu tahun tak mengusilinya.
"Mana Kirei?" tanyaku selepas memeluk Hinata. Yang dijawab kakak angkatku dengan telunjuk mengarah ke belakang. Sofa ruang tamu. Aku beranjak mendekati arah yang ia maksud, dan kudapati gadis mungil berusia empat tahun terbaring. Warna rambut yang sama dengan ibunya, mengenakan dress berwarna biru dengan bentuk leher sabrina. Ia tertidur dengan pulasnya. Tanpa memperdulikan rasa lelah yang terlihat jelas diwajah balita itu, kuangkat tubuhnya, kuciumi hingga terbangun.
"Ino baa-san..!" ujarnya setengah terbangun, menggeliat di pelukanku lalu membuka kedua netranya dengan sempurna. Kudapati mata dengan kornea yang berbeda warna, heterokromia seperti ayahnya.
"Ya tuhaaannn..! Lamanya kau di Singapura nak, bibi merindukanmu..!" gadis yang kupeluk hanya tertawa riang. Sangking senangnya, aku tak menyadari orang-orang yang sudah ku lupakantadi kini mendudukan diri di sofa.
"Syukurlah kau menikah besok Ino, jika tidak mungkin satu tahun lagi kau akan bertemu dengannya," terdengar suara ibu ku, dan perkataannya barusan kembali mengingatkan aku dengan kegalauanku sebelumnya. Aku terdiam. Menikah? Memikirkannya dengan menyambungkan apa yang ku temukan diapartemen tunangan ku tadi membuat ku pilu.
"Mana Dei-nii?" Akhirnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kakak kedua ku itu.
"Ayah sudah menghubunginya dari minggu lalu, ia pasti akan datang Ino."
Benarkah kakak kandungku itu akan datang? Sepertinya tidak, ia jelas-jelas orang dari keluargaku yang tetap menentang hubunganku dengan Sai. Aku sudah tidak bisa berharap banyak untuk kedatangan kakakku yang satu itu, tapi bila ia datang semuanya akan jadi sempurna.
Esok, hampir seluruh keluarga dan teman-temanku akan menghadiri pernikahan ku. Tapi, kenapa malah calon pengantin priaku yang kini tidak meyakinkan?!
o
O
o
Dari semalam aku sudah terus menerus mencoba menghubungi Sai. Tapi yang kudapat tetaplah sama, nomornya non aktif! Entah dimana ia sekarang. Bila ia ingin melucu saat ini, itu benar-benar tidak akan menghibur sama sekali.
Dua jam lagi, pernikahanku akan berlangsung. Tadi sempat kulihat taman belakang rumahku yang telah disulap menjadi altar pernikahan yang indah. Semuanya yang diperlukan telah siap, namun yang dibutuhkan tak kunjung hadir. Calon mempelai pria.
Aku kembali membuka lipatan kertas yang kutemukan di apartemennya, apa ia bersungguh-sungguh dengan pesannya ini? Kulihati lagi setiap alur bentuk tulisannya. Sekarang, rasanya menolak hal terburuk pun tidak berguna. Aku seketika terduduk, menangis sambil memeluk secarik kertas yang Sai tinggalkan.
"Inoo..!" . Kudengar suara Sakura memekik dari ambang pintuku. Segera ia berlari kecil ke arahku yang bersimpuh di hadapan jendela yang langsung mengarah kepekarangan depan rumahku. Ia memelukku dengan sayang dari kiriku, mengambil kertas yang tidak berbentuk lagi dari genggamanku. Ikut menangis.
"Tolong katakan ia pasti datang, Sakura!" Pintaku dengan isak tangis. Sakura tak mampu bersuara, ia hanya dapat menganguk pelan. Sedangkan dari samping kananku yang kosong, kurasakan sesosok lain. Kakak angkatku. Sepertinya dengan kepandaian yang dimilikinya,ia tak perlu diberi banyak penjelasan.
"Pengantinmu pasti datang, Ino," katanya sambil mengelus puncak kepalaku. Aku berdiri, setelah itu membantu Sakura yang kesulitan untuk bangkit. Kupeluk pria yang tadinya ikut menenangkanku.
"Sekarang bersiaplah, kenakan gaunmu. Sakura pasti akan mempercantik adik perempuan kesayanganku ini. Aku akan memanggil Hinata dan Mei untuk membantu." Selepas kakakku itu mengucapkannya, aku berhenti memeluknya. Menghapus air mataku dan mengangguk pelan.
Jika orang terdekatku saja yakin, apa aku memiliki alasan untuk tidak?
Kakashi nii-san meninggalkanku dan Sakura di kamar, beberapa saat kemudian dua nama yang ia katakan akan dipanggilnya pun berada di kamarku. Aku tersenyum pada kakak tertuaku itu, yang ia balas dengan hal yang sama.
"Heii... kalian bertiga, dandani calon pengantin itu lebih cantik dari pada saat kalian yang menikah..!" Ucap Kakashi nii-san sebelum raganya ditelan debaman pintu kamar ku, kata-katanya mampu mengembalikan senyumanku yang hilang. Aku bahagia memilikinya sebagai keluargaku. Ia bukan sedarah daging denganku, tapi rasanya ia jauh lebih mengerti dari saudara yang lahir dari orang tua yang sama. Bukan aku menyindir Deidara nii-san, rasanya salah bila aku menyesali kelahiranku di keluarga ini.
Aku sudah nampak sangat anggun dengan gaun berwarna ungu pucatku, rambut yang biasa terikat sepenuhnya ala pony-tail, sekarang terikat setengahnya saja, menyisakan setengahnya lagi untuk terurai bebas. Tepat diatas ikatan rambutku tersampir sebuah pita penjepit dengan kain gaya khas bride.Kulihat orang-orang yang menjadi tamu undanganku berdatangan dari jendelaku yang langsung mengarah pada pekarangan depan rumah.
Kelurgaku yang lain seperti ibu, ayah, Kakashi nii-san, paman Hiashi dan Hanabi menyambut mereka semua. Sesaat aku terpana begitu melihat pria dengan rambut model nanas dengan seorang wanita berambut cokelat di sebelahnya. Pria itu memeluk ayahku dan nampak akrab.
Shikamaru kah itu? Kenapa ia begitu terlihat tua? Lalu kenapa akrab sekali dengan ayahku? Sudahlah, itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, di mana Sai? Kenapa ia belum datang juga.
Hinata dan Mei nee-san meninggalkanku bersama Sakura di kamar. Mereka bilang ingin ikut menyambut tamu yang nampaknya semakin membeludak datangnya. Aku termangu. Duduk di tepi ranjangku. Kudengar dari depan suara Naruto mengatakan dengan nyaringnya secara berulang-ulang kata 'give me, five..!'. Mungkin maksudnya untuk menepukkan tangan satu dengan yang lain, ia dengan teman yang baru ia temui.
Kurang dari sejam, acara yang seharusnya akan berjalan sempurna jadi begitu menakutkan untukku. Ayah, ibu, kakak, sahabat, dan iparku tak tahu dan hampir seluruh orang yang hadir tidak tahu bahwa harapan kedatangan Sai bagiku adalah sepuluh persen. Pasti mereka semua berpikir bahwa Sai tetap berada di apartemennya, dan akan datang minimal lima belas menit sebelum acara dimulai. Aku pun berharap begitu, lima belas menit sebelum acara sakral dimulai ia datang dari pekarangan depan, memakai tuxedo yang kutinggalkan di atas sofa ruang tamunya.
Waktu semakin berjalan, aku semakin tidak mampu lagi melakukan penolakan terhadap kenyataan yang ada. Sai takkan datang. Manusia yang selalu serius dan memiliki sense of humour yang buruk itu pasti sedang tidak bercanda. Air mataku meleleh juga, butirannya jatuh tepat diatas telapak tanganku. Kugenggam erat, setengah mati kutahan agar tubuhku tidak terlihat bergetar. Aku tak mau Sakura mengkhawatirkanku. Kutenangkan diriku sesaat.
"Sakura, tolong panggil seluruh keluargaku untuk berkumpul di ruang tamu." Pintaku. Aku tahu harus melakukannya.
"Untuk apa Ino?"
Aku masih tertunduk, tak berani menatapnya. "Aku ingin mereka melihatku pertama kali menggunakan gaun ini, tolong"
Sakura diam sesaat, ia tersenyum, tak lama seperti mengangguk dan pergi meninggalkanku sendiri. Bila aku melakukan hal seperti mengambil pisau buah yang ada di kamar lalu mengiris pergelangan tanganku, bahkan meminum obat-obatan yang tersimpan di kotak P3K dengan dosis yang tinggi, atau apa saja yang bisa kulakukan untuk mengakhiri hidupku, ini akan jadi drama picisan yang sering kutonton di tivi-tivi.
Tidak..! Aku tidak akan mempermalukan keluargaku dengan cara yang seperti itu. Kukuatkan diriku untuk bangun, memutar knop pintuku, keluar dari ruangan pribadiku, membawa secarik kertas yang kusam. Saat aku menuruni tangga dengan gaun ungu pucat itu, kudapati seluruh tatapan kagum. Yang jadi bukan suatu kebanggaan, malah menjadi suatu hal yang menyakitkan bagiku.
"Apa kabar, Ino?" suara asing menegur ku dari bawah tangga. Lelaki dengan kepala nanas yang tadi kulihat memasuki pekarangan rumah dengan seorang wanita. Tadi ia nampak tua, sekarang ia begitu seratus persen berbeda. Apa mataku yang sudah butuh contact lense atau kacamata?
Aku tersenyum menanggapinya. Begitu kakiku benar-benar menginjak anak tangga terakhir, ku tarik napasku. Ku berikan sugesti keyakinanku untuk mengatakan apa yang inginku ucapkan.
"Batalkan pernikahannya, ayah."
Seperti dugaanku sebelumnya, semua orang yang mendengar ucapanku itu terlonjak kaget. Bahkan, ayah dan kakak tertuaku yang biasa terlihat tenang kini benar-benar shock.
"Kau pasti bercanda kan, sayang?" Ibuku bersuara. Yang kutangapi dengan gelengan kepala. Semakin eratku genggam kertas di tanganku. Kucoba untuk menahan tangisku.
"Tidak mungkin, Ino. Ayah sudah mengundang seluruh kolega ayah, mana mungkin ayah mempermalukan diri..."
"Sai takkan datang, ayah..!" Selaku, sebelum ayah menyelesaikan bicaranya. Sambil kusodorkan secarik kertas yang sudah tidak berbentuk rapi. Ayah ku menerimanya.
"Aku dan Sakura menemukannya di apartemen yang didiami Sai, ia tidak akan datang ayah."
Ayahku membaca tulisan yang ada di kertas tersebut, sama sepertiku kemarin. Berulang-ulang. Hingga saat kertas itu terjatuh, dan ayahku memegangi dada sebelah kirinya, tepat di jantungnya. Ia hampir roboh bila tidak ditahan oleh Kakashi nii-san. Semua orang pun terlihat panik saat itu juga. Penyakit jantung ayahku kumat, ini sudah kuprediksi juga.
Napas orang tua lelakiku nampak terengah, sepertinya rasa sakit yang menyerangnya itu benar-benar tak mampu ia tahan. Ibuku secepatnya berlari ke arah kamar, dan datang lagi membawa obat-obatan ayahku. Sesaat, rasa sakitnya mungkin berkurang, napas ayahku lebih dapat teratur.
"Kau kenapa, Inoichi?" tanya seseorang yang baru saja bergabung. Ia memiliki ciri khas ikatan rambut yang sama dengan Shikamaru, wanita berambut cokelat di sebelahnya membuatku yakin bahwa orang inilah yang tadi kusangka Shikamaru. Syukurlah, sepertinya aku tak butuh alat bantu untuk melihat!
Orang yang baru bertanya itu, langsung menghampiri ayah ku yang telah didudukan Kakashi nii-san di sofa. Sepertinya ayak ku terisak pelan, "Kurang ajar Himura itu, bisa-bisanya ia membalaskan dendamnya dengan menggunakan putriku seperti ini."
Paman dengan rambut satu tipe dengan Shikamaru itu, memegangi pundak ayahku. "Aku tak mungkin membatalkan pernikahan ini, Shikaku," dengan berkata seperti itu lagi, jatuh sudah air mata ayah ku. Ia terus saja memegangi dada sebelah kirinya. Kulihat pandangan paman Shikaku ke arahku. Tapi bukan, bukan ke arahku! Hebatnya, wanita berambut cokelat yang tadi bersamanya juga melakukan hal yang sama. Entah aku masih memerlukan alat bantu penglihatan atau tidak, tapi yang terpantul di retinaku adalah keduanya seperti mengangguk pelan.
"Pernikahan tetap akan dilangsungkan," ucap suara asing yang tadi menegurku, saat aku menuruni anak tangga satu persatu. Shikamaru berjalan mendekati ayahku. Dan berkata...
"Kumohon paman, izinkan saya memperistri Yamanaka Ino."
To Be Continued...
A/N:
Hai minna...! Alleth datang lagi dengan fic terbaru, masih tentang shikaino. Padahal fic satu belum selesai, sudah publish lagi yang baru. #senyum sok innocent lagi.
Untuk sekali lagi, saya kesulitan menentukan genre cerita. #payaaahh..!
ceritanya sudah sangat sinetron dan general ya? Dan fic ini dijadwalkan terdiri dari beberapa chapter.
Foolish Heroic ini Alleth buat temanya lebih santai dan akan ada sedikit humornya (mungkin). Gak kaya Evidense, tema di fic itu rasanya agak dewasa, lagi pula Evidense itu rencananya cuma two-shoot.
Maka itu, saya harap bisa banyak saran dan kritikan yang membangun dalam penulisan maupun pengembangan cerita. So, review please...
