A/N: Hai! Hehe...
Mau mempublishkan karya gaje saya... Harap maklum =w=
Disc: Starry Sky is Honeybee property~
"Terimakasih untuk bimbingannya hari ini, guru."
Seorang wanita membungkuk ke arah Homare. "Aku belajar banyak hari ini."
"Sama-sama. Nah, kalau begitu, aku permisi dulu," Homare berdiri dari tempat duduknya. Walaupun dia sudah biasa, tetap saja rasanya pegal.
"Ah, guru, tidak tinggal sebentar?" Tahan wanita itu. "Saya punya kue untuk guru nikmati."
Homare tersenyum. Seperti biasa, senyumannya selalu melelehkan para wanita. "Terimakasih untuk tawarannya, tetapi aku harus segera pulang ke rumah."
"A-ah... Kalau begitu, akan saya bungkus kuenya, agar bisa guru bawa pulang. Tunggu sebentar," Wanita itu pergi ke dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan sebuah bungkusan di tangannya. "Ini, guru. Silakan."
"Ah, terimakasih. Kau baik sekali," Homare tersenyum. "Baiklah, aku pamit dulu."
Homare berjalan keluar dari rumah itu. Dia melihat langit mendung, nampaknya akan hujan. Pria berambut biru itu membuka payungnya ketika tetesan hujan mulai membasahi bumi.
'Hujan, ya... Ara ara...'
~Flashback~
Homare duduk menunggu di ruang tamu sambil menikmati teh yang sudah disiapkan pembantunya tadi. Senyumnya belum meninggalkan wajahnya sejak tadi. Bisa dimaklumi, karena ini adalah hari pernikahannya dengan Araifa, adik kelasnya yang sangat dia sayangi.
"Tuan muda, semua sudah siap," Lapor pembantunya.
"Baiklah, aku kesana sekarang."
Homare berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke halaman depan. Kemudian dia masuk ke dalam mobil hitam yang sudah disediakan, dan berangkatlah dia bersama keluarganya ke kuil tempat upacara pernikahan.
"Homare, apa kau sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu, menikah dengan gadis itu?" Tanya ibunya. "Masih banyak gadis lain, kan?"
"Kaa-san, tentu saja aku sangat yakin," Homare menjawab sambil tersenyum. "Araifa adalah satu-satunya gadis yang kuinginkan untuk menjadi pendamping hidupku. Apa kaa-san keberatan jika aku menikah dengan Araifa?"
Ibunya tidak menjawab sampai ke kuil.
XOXO
Satu bulan berlalu sejak pernikahan Homare dan Araifa. Mereka melewatkan bulan madu di Barcelona, Florence, Saint Petersburg, Tallinn, dan terakhir mereka pergi ke London. Sekembalinya ke Jepang, Araifa segera pindah ke rumah orangtua Homare, karena Homare belum memiliki rumah sendiri.
Menyesuaikan diri di lingkungan keluarga Kanakubo terbukti sulit untuk Araifa karena ibu mertuanya bersikap dingin. Mesikpun Araifa dan ibu mertuanya jarang berkomunikasi, Araifa tetap bisa merasakan sikap dingin ibu mertuanya padanya.
"Araifa, ayo makan malam," Ajak Homare. Araifa yang sedang melipat baju menoleh.
"Ah, Homare, duluan saja. Nanti aku menyu-"
"Seorang istri haruslah hormat terhadap suaminya."
Araifa tersentak. Ibu mertuanya tiba-tiba muncul di sana. "Ah, ibu, selamat malam."
"Apa tadi itu cara yang pantas memanggil suami?" Tanya ibu mertua Araifa tajam. "Seharusnya kau memanggil suamimu dengan panggilan 'danna-sama', bukan dengan namanya."
"Maafkan aku," Araifa menunduk. "Lain kali tidak akan begitu lagi."
"Kaa-san ini apa-apaan sih," Homare menoleh ke arah ibunya. "Kasihan Araifa, dia kan tidak perlu kaa-san begitukan."
"Sudah Homare, kau tak perlu membelanya. Dia perlu belajar tata krama yang berlaku di keluarga ini," Tandas ibunya, kemudian beliau meninggalkan mereka berdua menuju ruang makan.
"Araifa, maafkan sikap ibu, ya. Aku yakin ibu bermaksud baik," Homare tersenyum sambil membelai rambut Araifa. "Ayo, sekarang kita makan malam dulu."
"Baik, danna-sama."
Mereka berdua pergi ke ruang makan. Ayah, ibu, dan adik-adik Homare sudah menunggu.
"Maaf kami terlambat," Kata Homare.
"Tidak apa-apa. Nah, sekarang sudah lengkap, mari kita mulai makan saja."
"Sebentar," Ibu mereka menyela, kemudian menatap Araifa. "Apa itu cara berpakaian yang pantas saat makan malam bersama keluarga?"
"E-eh...?" Araifa memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Dia sengaja memakai pakaian lusuh karena sibuk mencuci sambil mandi, dan belum sempat ganti saat menyeterika. Rambutnya pun sengaja dia ikat sekenanya agar tidak mengganggu pandangan.
"Cepat ganti pakaianmu!" Hardik ibu mertuanya. "Benar-benar seperti pembantu saja!"
"Kaa-san!" Homare berdiri dari kursinya. "Kaa-san ini kenapa, sih? Kaa-san tidak perlu sampai seperti itu pada Araifa!"
"Diam, Homare. Aku hanya menunjukkan keadaan yang sebenarnya," Ibunya membalas dengan nada tenang tapi tegas dan menusuk. Araifa tertunduk, batinnya serasa tergempur dengan sangat keras.
"Baiklah, ibu. Silakan yang lain memulai makan malam, aku pamit untuk mengganti pakaianku sebentar," Araifa keluar dari ruang makan dengan cepat.
"Araifa!" Homare menyusul istrinya. Dia mendapati istrinya sudah di kamar, di depan lemari yang terbuka. Dia tengah memilih-milih pakaian.
"Araifa..."
"Ah, danna-sama, kenapa tidak makan malam terlebih dahulu?" Tanya Araifa tanpa mengalihkan pandangannya. "Anda pasti lapar, tidak perlu menungguku."
"Araifa, masalah tadi..."
"Ibu benar, danna-sama. Aku sama sekali tidak berpakaian rapi ketika makan bersama keluarga besar, maka dari itu beliau memperingatiku. Aku akan segera ganti pakaian, silakan danna-sama pergi ke ruang makan lebih dahulu."
Homare berjalan cepat menghampiri istrinya dan membalikkan tubuhnya. Istrinya menangis.
"Maaf, Araifa..." Homare memeluk Araifa erat. "Maafkan aku..."
"Ke-kenapa anda minta maaf... A-anda tidak salah..." Araifa terisak.
"Hontou ni gomenasai, boku no tsuma..."
Tangisan Araifa pecah di dalam pelukan Homare.
XOXO
Keesokan paginya, Araifa kena marah gara-gara dia lupa menyiapkan air mandi untuk Homare.
"Kau ini bagaimana! Kau ini jarang bangun pagi, ya? Apa ada seorang istri membiarkan suaminya menyiapkan segala sesuatunya sendiri?"
"Maafkan aku, ibu... Semalam aku membereskan pakaian-pakaian danna-sama dan aku telat tidur, jadi..."
"Kau ini, terlalu banyak alasan! Lihat itu, Homare jadi kerepotan sendiri! Sebenarnya kau ini bisa mengurus suami atau tidak?"
"Kaa-san, sudahlah. Araifa juga kan tidak hanya mengurus aku saja," Homare mencoba melerai. "Lagipula aku sudah terbiasa menyiapkan kebutuhanku sendiri, kaa-san tidak perlu memarahi Araifa."
Ibu mereka diam. Masih menatap Araifa dengan kesal, dia berkata, "Baiklah, kali ini kumaafkan. Tetapi lain kali, jangan harap ada kata maaf kedua."
Homare menghela nafas melihat ibunya pergi ke ruangan lain. Ia menghampiri Araifa dan membelai rambutnya.
"Maafkan aku..." Bisik Araifa pelan. "Maaf..."
"Sudahlah Araifa, kau tidak salah," Kata Homare, mencoba menenangkannya. "Harusnya aku yang minta maaf atas sikap ibu."
Araifa menggeleng, air matanya terpercik. "A-aku yang salah..."
"Jangan menangis," Homare menghapus air mata yang menggenang di pelupuk mata Araifa. "Tidak perlu menangis, kau tidak salah."
Araifa memeluk suaminya dan tangisannya kembali pecah pagi itu.
XOXO
"Lho? Tidak ada," Homare celingak-celinguk. "Kemana, ya?"
"Sedang mencari apa, nii-sama?" Tanya adiknya yang paling kecil.
"Kau lihat Araifa? Kemana dia?" Homare balik bertanya. "Apa dia pergi belanja?"
Adiknya menggeleng. "Araifa-neechama tadi sedang bersih-bersih di dapur."
Mendengar penjelasan adiknya, Homare segera pergi ke dapur. Tetapi sosok Araifa tak ada di sana. Homare mulai khawatir, apa jangan-jangan dia pergi keluar lalu tersesat?
Homare hendak pergi keluar ketika ibunya kebetulan lewat. Dia bertanya pada beliau, "Kaa-san, kemana Araifa? Kenapa dia tidak ada di rumah?"
"Oh, dia? Ibu rasa dia sudah bukan bagian keluarga ini."
"Kaa-san? Apa maksudnya?" Alis Homare naik sebelah.
"Kau mengerti maksudku! Sejak awal dia bukan gadis yang pantas untukmu. Kau tidak perlu khawatir, kaa-san sudah memilihkan gadis yang- Homare! Kau mau kemana! Homare!"
Mendengar penjelasan ibunya, tanpa buang waktu Homare melesat keluar rumah. Dia tak habis pikir ibunya tega mengusir Araifa dari rumah. Dan yang paling tega, ibunya merencanakan untuk menceraikannya dari Araifa dan berniat menikahkannya dengan gadis lain. Homare tidak bisa menerimanya. Baginya, hanya ada satu orang pendamping seumur hidupnya dan yang pantas untuk posisi itu hanya Araifa seorang.
"Araifa!" Teriak Homare sambil berlari. "Araifa, kau dimana? Araifa!"
Homare berhenti, nafasnya terengah-engah. Ketika dia berhenti, hujan turun dengan deras. Homare menoleh kesana-kemari, berharap melihat Araifa, tapi nihil. Dia melanjutkan pencariannya di bawah hujan.
"Araifa! Araifa, dimana kau?" Untung saja jalanan agak sepi. Jika tidak, Homare akan dikira gila karena berteriak-teriak sepanjang jalan. Tetapi Homare tidak peduli, asalkan dia bisa menemukan istrinya di tengah hujan lebat ini. Pria itu kembali berlari ke arah lain sambil meneriakkan nama istrinya.
"Homare...?" Suara teriakan itu mengusik Araifa, yang kini tengah meringkuk kedinginan di depan sebuah toko. Dia berdiri, menoleh kesana-kemari, tetapi ia tidak melihat apapun.
'Mungkin hanya imajinasiku saja,' Batin Araifa. Dia memeluk tubuhnya sendiri, matanya terpaku pada cincin kawin yang tersemat di jari manis tangan kanannya. Cincin emas yang mengingatkannya pada Homare, kakak kelasnya, suaminya, orang yang sangat dia cintai. Dia masih ingat saat-saat Homare melamarnya, saat pernikahannya, saat malam pertamanya... Semuanya.
Tanpa sadar air matanya mengalir, menetes membasahi cincin tersebut dan makin lama air matanya semakin tak terbendung. Araifa benar-benar ingin kembali pada Homare, dia ingin kembali kepada suaminya. Namun apa mungkin, setelah mendengar bahwa Homare akan menikah dengan gadis lain setelah menceraikannya...
"Araifa!"
Suara itu makin jelas. Araifa meninggalkan tas pakaiannya dan keluar menembus hujan. "Homare?"
"Araifa! Araifa, dimana kau?"
Tidak salah lagi. Itu benar-benar suara Homare. Araifa kembali terisak, dia menangis di tengah hujan dan berharap semoga Tuhan masih mengizinkannya mendampingi Homare...
"Araifa! Araifa, kau kutemukan!"
Araifa merasa ditarik oleh seseorang dan orang itu... adalah suaminya.
"Homare...?" Araifa tidak dapat mempercayai penglihatannya. "Homare... ini kau, kan?"
"Baka! Tentu saja ini aku!" Homare memeluk Araifa erat. "Jangan pergi, aku mohon..."
"Tapi... kata ibu, kau..."
"Ibu berpikir terlalu jauh! Jangan kau pikirkan ucapan beliau, Araifa... Aku tidak akan pernah menceraikanmu dan aku tidak mau menikah dengan gadis lain, karena bagiku hanya kau yang pantas menjadi pendamping hidupku selamanya... Hanya kau seorang, Araifa... Aku tidak ingin yang lain..."
Araifa merasa tubuhnya bergetar hebat mendengar ucapan Homare. Sedemikian berartikah dirinya bagi Homare? Hingga dia berkata seperti itu? Araifa merasa tak pantas mendapatkan perhatian sedalam itu... Apalagi dari pria sebaik Homare...
"Kembalilah denganku, Araifa," Homare menatap Araifa yang kelihatannya akan menangis lagi. "Kembalilah denganku dan kita mulai hidup baru kita, berdua saja..."
Araifa mengangguk sambil tersenyum. "Iya..."
Dan mereka berciuman di bawah hujan.
~End of Flashback~
"Homare, sudah pulang rupanya. Sudah selesai mengajar?"
Homare berhenti dan tersenyum melihat Araifa di depannya. "Iya. Mm, lalu? Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"Ini, aku sedang belanja untuk makan malam, lalu aku berniat menjemputmu. Ternyata kita malah bertemu di sini," Araifa menutup payungnya dan berjalan mendekati Homare. "Suatu kebetulan, ya."
"Hahaha... Ya, kebetulan yang manis. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu ketika hujan turun."
Araifa tersenyum sambil menggamit lengan suaminya. Homare masih tersenyum, dia menengadahkan wajah Araifa dan mencium bibirnya lembut. Araifa sedikit terkejut, wajahnya memerah.
"Kita pulang, yuk," Ajak Homare. "Aku diberi kue oleh muridku tadi. Kita makan bersama."
"Iya, Homare. Akan kusiapkan makanan enak dan teh. Kau pasti capek."
Bagaikan bunga yang takkan pernah layu, itulah cinta Homare terhadap Araifa.
~FIN~
(NOTE: Kalimat endingnya... gaje... alay... *headdesk*)
