Rambut coklat itu...

Sudah lama sekali Hijikata tidak melihatnya. Terkibas dengan lembut karena terpaan angin di musim dingin. Mata Hijikata masih terbelalak, tidak mempercayai apa yang berada di depannya. Kedua tangannya berusaha menggapainya, menyentuh pundak sang pemilik rambut itu, dan membalikkan badannya dengan satu tarikan.

Saat ia tersadar, bukan sebuah wajah yang langsung berhadapan dengan mukanya. Ah, lagi-lagi lubang bazooka berbau mesiu itu.

" Hijikata-san... Harus berapa kali aku tegaskan bahwa AKU MASIH CUKUP NORMAL!" teriak Sougo frustasi dan menembak Hijikata tepat di mukanya.

BLAAAAAR!

.

.

.

Karma

Gintama milik Hideaki Sorachi-sensei

Warning's: OOC, Typo's, dll

.

.

.

Hijikata mengelap mukanya. Lagi-lagi ia salah mengira Sougo sebagai sosok yang... anggap saja hadir di dalam mimpi indahnya. Muka pucat Hijikata sudah hampir bersih dari debu bekas tembakan bazooka. Lain kali ia harus ingat jika Sougo lupa untuk memotong rambutnya, bukan berarti orang itu kembali hadir di depan matanya. 'Orang itu' siapa?. Bukannya kalian sudah tahu?. Bukan berarti Hijikata sebegitu membenci nama orang itu atau bahkan tidak ingat. Tetapi ia tidak yakin kalau ia mengatakannya lagi air matanya akan kembali mengalir seperti yang terakhir kali ia lakukan. Karena itu ia memilih untuk melakukan sesuatu sebelum pikirannya kembali menguasai emosinya.

Bodoh. Apakah ia remaja labil yang hanya bisa menangis saat ia tidak bisa mempertanggung jawabkan sesuatu?. Atau bocah ingusan yang merengek di dalam gelapnya malam dan mencari ibunya?. Toshi adalah pria yang dewasa. Ia tidak akan semudah itu menangis. Tidak selama ia tidak mengingat wanita itu. Dan Hijikata membenturkan kepalanya dengan cepat. Kenapa pikirannya kembali berlari di tempat yang sama?.

Ah, ya, Sougo sudah menghilang entah kemana. Mungkin lain kali Hijikata harus meminta maaf padanya karena sudah sering menakutinya tanpa sengaja. Pertama kali ia mengalami halusinasi seperti ini adalah dua minggu yang lalu, tepatnya saat rambut Sougo terlihat sedikit lebih panjang. Saat itu ia bahkan hampir mencium Sougo, tetapi untungnya Kondou-san lewat dan menahan Hijikata dari perbuatan terlarangnya. Hampir saja. Ia tidak mau memberikan fanservice cuma-cuma hanya untuk menjatuhkan harga dirinya. Atau mempertaruhkan nyawanya. Atau apapun yang bisa kalian pikirkan sekarang.

Plek!

Tiba-tiba tangan Kondou-san menempel di atas kepalanya, membuat Hijikata sedikit kaget. Pertama tentu saja dengan kehadiran Kondou-san. Kedua? Tentu saja karena perbedaan suhu kepalanya dengan tangan Kondou-san yang bisa dibilang sangat jauh. Ia bisa merasakan tangan besar Kondou-san jauh lebih dingin dari kepalanya. Apakah Kondou-san sakit? Atau jangan-jangan dia...

" Hmm... Kau benar-benar demam. Sougo baru saja melaporkan kepada ku bahwa ada yang salah dengan kepalamu...," kata Kondou-san. Hijikata terbatuk-batuk sedikit. Mungkin ia flu. Karena ia mulai batuk-batuk dan demam sejak dua minggu yang lalu, tepat saat ia salah mengira Sougo adalah orang itu.

" Aku tidak apa, Kondou-san. Udara tadi malam sedikit lebih dingin, mungkin aku terkena flu," jawab Hijikata. Tetapi jawaban darinya belum cukup meyakinkan untuk membuat Kondou-san tenang.

" Apa kau sudah meminum obat?" tanya nya. Ia lalu mengerutkan keningnya saat Hijikata menggeleng. Kondou memaksa Hijikata duduk di beranda Doujo sebelum berlari meninggalkannya.

" Aku akan membeli obat flu sebentar!" dan kata-kata Kondou-san membuatnya duduk di sini, menunggu sampai sang Kyoukuchou kembali lagi. Dasar. Atasannya yang itu suka sekali cemas untuk hal-hal yang kecil seperti ini. Yah, mungkin itu yang membuat Hijikata menyukai Kondou-san dan memutuskan ikut dengannya hingga berada di bawah naungan Shinsengumi.

" Kondou-san... kalau begini aku jadi tidak bisa melakukan patroli, kan?"

.

.

.

Hijikata berdiri di depan makam seseorang di tengah hujan.

Tepat setelah ia selesai berpatroli, ia segera menuju makamnya. Selalu. Ia tidak pernah lupa, untuk menyapa sang wanita yang sekarang hanya berwujud abu.

Ia percaya akan keajaiban, jika ia selalu mengunjungi makam itu, ia akan bisa bertemu wanita yang selalu ia perhatikan kembali walaupun hanya di dalam mimpinya. Karena banyak sekali hal yang ingin ia ucapkan, termasuk kata 'maaf' dan 'terima kasih'.

Bodoh. Ia tidak mungkin melihat wajah gadis itu. Bahkan di dalam mimpinya, ia tidak bisa melihat warna pupil mata gadis itu lagi.

" Hari ini bukan hari yang cerah, ya?," Hijikata memulai percakapan sendirinya dengan batu nisan di depanya. Ia tersenyum pahit. Tentu saja batu nisan itu tidak bisa menjawab. Tetapi entah kenapa ia merasa bisa mendengar suara halus wanita itu, jawaban dari perkataannya.

" ya..."

Aneh. Walaupun hujan mulai turun lebih deras, ia masih bisa mendengar suara itu sejelas ingatannya. Tubuhnya terduduk di depan batu nisan. Ia mengusap batu itu dengan sapu tangannya, membayangkan jika yang diusapnya bukanlah sebuah batu yang dingin dan kasar, tetapi kepala seorang wanita yang sangat lembut dan hangat. Senyumannya masih belum luntur, ia tidak akan pernah lelah untuk tersenyum di depan batu nisan itu, karena ia tidak pernah melakukan ekspresi itu sama sekali di hampir 90% waktu kehidupannya. Kecuali dengan wanita ini, tentu saja.

" Kau tahu? Hari ini aku lagi-lagi memimpikan wajahmu... Dan maaf, aku menakuti adikmu lagi," kata Hijikata dengan nada lembutnya, tidak seperti saat ia memimpin Shinsengumi. Ia takut menyakiti hati wanita di depannya yang ia yakini terus mendengarkan perkataannya dari surga. Ia tidak ingin menyesali perbuatannya lagi. Tidak lagi.

" Apakah kau menunggu ku di surga?..." bisik Hijikata dengan sedikit gemetaran. Dalam diam, ia perlahan kembali berdiri. Ia tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Mungkin Kondou-san sekarang sedang mencarinya.

" Toshi-san?..." lagi-lagi pertanyaan dengan suara yang sama di telinganya terdengar jelas.

" Maaf... tetapi aku harus kembali ke tempat Kondou-san... jaga dirimu baik-baik, ya?" dan Hijikata melangkah keluar dari pintu pemakaman dengan langkah yang sangat berat. ia tidak bisa kembali menoleh ke belakang. Jika ia melakukannya, pemandangan yang waktu itu akan kembali terulang dan membuatnya bahkan tidak sanggup untuk kembali lagi membuat langkah berikutnya.

Wanita itu selalu menunggunya dan melihat punggungnya, menantinya agar cepat kembali pulang.

.

.

.

" Uhuk! Uhuk!..."

Malam itu sangat dingin. tentu saja. Salju pertama baru saja turun. Tubuhnya berkeringat dingin, sementara ia batuk semakin parah. Dengan gemetaran, Hijikata berusaha bangkit dan berjalan ke kamar mandi, ingin mengeluarkan dahaknya yang semakin terasa banyak. Penyakit merepotkan. Tenaganya dihisap habis. Berkat itu, beberapa kali ia hampir terjatuh.

Setelah dengan susah payah masuk ke dalam kamar mandi, ia memuntahkan apa yang ada di dalam mulutnya. Matanya sedikit terbelalak saat melihat apa yang ada di depan matanya. tetapi mengabaikan hal itu, ia lalu membuka keran untuk mengalirkan air ke wastafel dan membersihkannya. Hijikata juga mengelap mulutnya sebelum keluar dari kamar mandi.

" Oh! Toushi!"

suara itu...

Hijikata menoleh. Kondou-san tampaknya punya urusan tersendiri sehingga ia memegangi pantatnya dan sedikit berlari-lari ke kamar mandi, walau pun ia masih menyapanya dengan semangat yang biasa. Hijikata menghela nafasnya.

" Kau bisa menyelesaikan urusanmu dulu sebelum menyapaku, Kondou-san," Kata Hijikata. Kondou-san hanya tertawa dan memasuki salah satu bilik kamar mandi yang sudah sangat sepi. Mungkin ada baiknya jika Hijikata menunggui atasannya sebelum ia kembali ke kamar, jadi ia menyandarkan punggungnya di tembok sambil menggosok-gosokkan tangannya.

" Yang tadi itu... Apakah kau juga sempat merasakannya, Mitsuba?" tanya Hijikata. Ah, mulutnya tidak sengaja mengucapkan kata-kata terlarangnya sendiri. Mata Hijikata terasa hangat, dan perlahan memanas. Mungkin ia akan kembali terlebih dulu dari atasannya. Ia tidak bisa memperlihatkan ekspresi menyedihkannya kepada Kondou-san. Setiap langkah baru yang dibuat Hijikata hanya mengingatkannya agar seharusnya ia tidak pergi di hari itu. Tidak. Jika Hijikata terus terpaku di masa lalu, ia hanya tidak bisa menatap masa depan. Kali ini, Hijikata menoleh ke belakang. Ia tersentak melihat sosok itu lagi. Rambut coklat yang berada di bawah cahaya bulan, kulit pucatnya yang sepucat salju, pupil matanya yang semerah batu ruby, tetapi jauh lebih indah. Bagaimana ia bisa melupakannya?. Suara wanita itu terus terngiang di kepalanya.

" Kau..."

Mengambil langkah yang besar, Hijikata berlari dan mencoba memeluk sosok yang sangat ia rindukan. Tetapi setelah jarak antara dia dengan sosok itu tinggal sejengkal, ia baru menyadari bahwa sosok di depannya bukanlah wanita yang selalu menghantui kehidupannya. Bukan. Itu hanya Kondou-san yang menatapnya heran, dan bertanya kenapa ia berlari ke arah sang Kyoukuchou. Hijikata memegangi kepalanya.

" Kau tidak apa, Toshi? Kau terlihat sangat pucat..." tanya Kondou-san. Ia memegang pundak Hijikata yang sudah tidak tegap lagi.

" Maaf, Kondou-san, aku hanya salah melihatmu saja," kata Hijikata, yang kemudian melangkah pergi dari hadapan Kondou. Keringatnya mengalir makin banyak, ia juga semakin pusing. Seharusnya ia pergi ke kamarnya dari tadi. Sekarang ia hanya bisa melangkah dengan perlahan, menyusuri lorong gelap yang seakan tidak berujung.

.

.

.

Pagi itu, seperti biasa, Hijikata mengayunkan pedangnya terus menerus di dalam doujo yang sepi. Ia beradu dengan lawan tidak kasat mata yang hanya ada di dalam bayangannya. Pagi yang masih terlalu pagi untuk seisi Shinsengumi terbangun dari tidurnya. Bahkan Kondou-san masih belum sadar dari mimpinya dengan Otae-san, Gorilla wanita itu. Gorilla wanita itu...

Bagus ya...

Hijikata menebaskan pedangnya sekali lagi dengan lebih keras, kali ini membelah udara yang kosong. Ia tersenyum kecil. Latihan di pagi hari selalu bisa membangkitkan moodnya.

" Kondou-san, kurasa aku akan bisa iri kepadamu di bidang yang lain," bisik Hijikata. Ia lalu memasang kuda-kudanya lagi dan bersiap untuk kembali mengibaskan pedangnya sebelum mendengar suara seseorang memanggilnya dari belakang.

" Hijikata-san..."

Hijikata menoleh. Kali ini, ia tidak berhalusinasi lagi. Sougo berdiri di sana dengan ekspresi poker face yang selalu terpasang di sana. Suara monoton khas bocah itu juga belum berubah, Hijikata sedikit penasaran kapan ia bisa mendengar suara baritone mengganti suara bocah labil yang ini?.

" Aku kasihan melihatmu yang latihan seperti orang gila," komentar Sougo, yang lalu pergi dari hadapan Hijikata. Hijikata masih terdiam, sampai akhirnya ia sadar dan mengejar Sougo dengan pedang kayu yang masih tergenggam di tangannya.

" APA MAUMU, BOCAH SIALAN?!" teriaknya penuh emosi. Sougo meledakkan permen karet di mulutnya dan berjalan santai. Ia lalu mulai tertarik lagi kepada Hijikata yang menghentikan jalannya dengan menghunuskan pedang.

" Tunggu... Sougo... Haaa... Haaah..." Hijikata masih berusaha untuk berteriak kesal walaupun nafasnya sudah sangat sesak. Ia mencengkram dadanya yang sakit. Tubuhnya hampir limbung ke depan jika ia tidak segera berpegangan kepada tembok yang untungnya berada tepat di sebelahnya. Sougo melihat wajah Hijikata yang sudah sangat pucat. Ia melebarkan matanya. Tanpa sengaja, ia mengucapkan panggilan sosok yang sangat ia rindukan.

" Aneue..." bisiknya. Seperti belati yang tajam, Hijikata merasakan dadanya terasa semakin sakit. Bukan karena flu aneh yang mengidapnya, tetapi lebih sakit dari pada itu. Membungkuk dalam, Hijikata terbatuk-batuk keras tanpa henti. Di tengah musim dingin ini, kenapa tubuhnya terasa sangat panas hingga ia berkeringat terlalu banyak?. Hijikata kemudian mencoba melihat kembali ke arah Sougo. Ah, sorot mata itu. Pandangan yang sangat menakutkan tujukan padanya. Rasa puas Sougo membawanya untuk menarik ujung-ujung bibirnya, dan tertawa sadis.

" Akhirnya... Kami-sama menjawab doa ku... HAHAHAH! LIHAT DIRIMU!" Sougo menunjuk muka Hijikata yang menderita. Ia lalu mengeluarkan hpnya, berniat ingin memotret wajah Hijikata yang sekarang sudah sangat merah akibat demam yang dideritanya.

Bunyi suara potretan hp dari depan mukanya dan silau nya blitz yang dipakai Sougo membuat Hijikata sedikit menutup matanya. Sougo lalu memukul kepala Hijikata dengan kakinya, membuat Hijikata ambruk di tengah salju yang makin menumpuk. Ia meninggalkan Hijikata sendirian tanpa menghiraukan panggilan lemah Hijikata.

Mungkin ini karmanya. Ia sudah meninggalkan wanita itu sendirian. Tepat seperti kondisinya sekarang ini. Wanita itu pasti sangat marah kepadanya, hingga meminta tuhan untuk mengulang kejadian ini kepadanya.

" Mi... Tsuba..."

.

.

.

TBC

.

.

.

T.T

Poor Hijikata.

MAAF TOSHIII

Entah kenapa kalau buat Hijikata menderita rasanya enak bet O.O

Maaf kalau aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata yang tepat, dan juga jika masih ada salah di tanda baca dan gramatika *membungkuk*

Tolong berikan saran dan koreksi daaan review seikhlasnya!

Terima kasih banyak karena sudah membaca fanfic ini! (^.^)/