Author's notes:

- Karakter hanya milik Masashi Kishimoto.

- Ditulis hanya untuk hiburan.

- Fanficcer tidak mendapatkan keuntungan materi apapun dari fanfiction ini.

- Alternate Universe setting out of character.

- Romance, Hurt/Comfort, Drama, Family, Supernatural, Slice of Life, Tragedy, Mystery.

- Didedikasikan untuk event Flore 2016.


A Story of Fond Memories

.

.

.

Sampai kapan pun, Miss Yamanaka tidak akan pernah merasa cocok menjadi teman—bahkan menjadi kenalan—seorang Mr. Shimura! Ino bergidik setiap kali mengingat nama Sai. Tapi yang selalu ada di dalam benak Ino, kenapa lelaki itu selalu berusaha keras untuk memberikan perhatiannya pada Ino meski lelaki itu sudah dikatai oleh Ino dengan tidak terhormat?!

.

.

.

Chapter One

A Stranger

.

.

.

Langit kota London terlihat gelap kelabu dan suhu terasa semakin rendah sehingga Ino memprediksikan salju akan turun tidak lama lagi. Gadis bermantel coklat itu menunggu lampu berubah warna sebelum menyeberangi jalan raya yang padat.

Meskipun cuaca tidak mendukung, pejalan kaki tetap ramai berlalu lalang karena sekarang ini hari Senin pukul delapan pagi. Tetapi ia tidak seperti pejalan kaki lainnya, ia berjalan bukan karena akan pergi sekolah, kuliah, ataupun bekerja, melainkan ia hendak pergi ke St. James' Park—sebuah taman kota di London.

Semua orang tahu mengunjungi taman kota di bulan Januari adalah ide buruk—atau bahkan ide bodoh, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Ia butuh menenangkan diri sendirian, dan tempat mana lagi yang bisa menyediakan kesendirian kepadanya selain taman kota di tengah musim dingin?

Ino Yamanaka adalah seorang putri dari Inoichi Yamanaka—yang seorang blasteran Inggris dan Jepang—dan Akame Yamanaka—yang seorang wanita cantik asal Jepang. Meskipun memiliki darah Jepang dari pihak ayah dan ibunya, Ino memiliki kemiripan besar dengan ayahnya yang memiliki fisik dominan Inggris dibanding Jepang. Dan meskipun terlahir dan besar di London, Ino mahir berbahasa Jepang karena sehari-hari ia terbiasa bicara bahasa Jepang dengan ayah dan ibunya.

Ketika Ino duduk di bangku besi taman itu yang menghadap ke sebuah danau, tubuhnya merinding saat angin dingin yang berembus berhasil menembus mantelnya, sehingga gadis itu sempat menyesali keputusannya mengunjungi taman ini. Tubuhnya yang diam tak bergerak ini juga semakin membuatnya kedinginan. Sial, sampai kapan musim dingin ini akan berlangsung? Ia selalu membenci musim dingin dan kota London—apa lagi kota London di musim dingin—meski ia tidak ingat apa alasannya.

Meskipun ia kedinginan setengah mati, ia masih sempat membayangkan betapa indahnya taman ini di saat musim semi, di saat musim dingin saja sudah seindah ini.

Di luar penyesalannya atas rendahnya suhu di sini dan kebenciannya akan musim dingin, Ino bersukur bisa menemukan tempat di mana ia bisa menghabiskan waktu sendirian. Sejak keluar dari rumah sakit sebulan yang lalu, Ino selalu menghabiskan waktu dengan merenung setiap kali ada kesempatan.

Ino ingat ia pernah bermain sambil belajar di Taman Kanak-Kanak, lalu bermain kejar-kejaran saat jam istirahat di Sekolah Dasar, belajar dengan mulai serius di Sekolah Menengah Pertama, kemudian menjadi primadona di Sekolah Menengah Atas.

Ia juga ingat siapa itu Adolf Hitler, bagaimana rumus Teorema Pythagoras, dan seperti apa lukisan Monalisa. Ia mengingat semuanya, bahkan kejadian sepele seperti berfoto dengan latar Tower Bridge saat berumur lima tahun pun masih menempel dengan sangat rapi di memorinya.

Tapi seperti ada memori yang hilang, rasanya sangat penting dan setelah memakan waktu beberapa hari untuk merenung pun tidak membuatnya menemukannya. Ya, ia tidak ingat kenapa ia bisa masuk rumah sakit. Ayah dan ibunya bilang ia mengalami kecelakaan lalu lintas.

Namun rasanya bukan itu hal penting yang Ino lupakan. Bahkan ketika ia membuka album foto lama pun tidak memberikan hasil yang memuaskannya, karena sesuatu yang ia cari tidak terdapat di album foto.

Ino selalu berpikir bahwa berkeliling kota dan merenung akan membuatnya menemukan apa yang dicarinya, tapi sejauh ini ia hanya mendapatkan angka nol besar.

Setelah sekitar lima belas menit menikmati waktunya yang sunyi tanpa gangguan, tanpa ia duga, bukan hanya ia seorang yang mengunjungi taman ini melainkan ada seorang lelaki yang tiba-tiba datang.

"Good morning, Miss. Apakah Anda tidak keberatan mengizinkan saya duduk di sini?"

Ino tidak menjawab dan kemudian lelaki itu duduk di sebelahnya tanpa menunggu jawaban.

"Saya tak menyangka akan bertemu dengan orang lain di taman ini," ujar pemuda asing itu lagi dengan ramah.

Ino tak menjawab, bukan karena ia gadis yang tidak ramah, ia hanya tidak ingin berbicara dengan siapa pun sekarang mengingat sesuatu yang buruk telah terjadi kepada dirinya. Tetapi dalam hatinya Ino menjawab, tentu saja tidak!

Melihat gadis di sisinya murung dan tidak menyahutnya, lelaki itu kembali meluncurkan segelintir kalimat, "Apakah Anda memiliki masalah?" Lelaki itu menatap Ino lebih dalam. "Anda terlihat murung."

Ino mengerutkan alisnya sebal, merasa sangat terganggu dengan arah pembicaraan pemuda itu. "Pertama, aku tidak diperbolehkan berbicara dengan orang asing apalagi di tempat sepi seperti ini. Dan yang kedua, masalahku bukanlah urusanmu."

Lelaki itu tersenyum, namun Ino hanya menatap taman yang diselimuti salju tanpa penasaran seperti apa wajah lelaki yang ada di sisinya.

Tawa kecil menghiasi wajah pemuda itu. "Hei, didikan ibumu bagus."

Ino mendengus. "Itu juga bukan urusanmu! Dengar ya, Sir? Aku sedang tidak ingin mengobrol saat ini, jangankan denganmu, bahkan dengan orang terpenting dalam hidupku sekalipun! Aku sedang tidak berminat!"

"Kau itu lucu, tadi kau bilang kau tidak diperbolehkan berbicara dengan orang asing, tetapi baru saja kau berbicara padaku. Bukankah itu artinya aku bukan orang asing?" tutur lelaki itu tanpa melonggarkan senyumannya.

"Kau tahu? Kau itu menyebalkan!" kata Ino dengan kesal, lalu dengan cepat ia tolehkan kepalanya dan menatap lelaki itu.

Ino agak kaget menyadari bahwa ternyata lelaki itu tampan dan memiliki sebaris senyuman yang manis. Rambut serta iris matanya yang hitam membuatnya terlihat menawan. Meskipun matanya sipit dan warna kulitnya yang putih tanpa sedikitpun rona merah menunjukkan bahwa ia memiliki darah Jepang, wajahnya yang tampan itu terkesan kebarat-baratan, seperti hasil pencampuran antara barat dan oriental yang sempurna. Ia juga masih terlihat muda, sepertinya lelaki itu hanya dua tahun lebih tua dari Ino. Menurut prediksinya, lelaki itu berumur dua puluh tiga tahun.

Tunggu dulu! Apa yang baru saja Ino pikirkan?! Ino buru-buru memalingkan wajahnya sebelum ketahuan bahwa ia cukup terpesona dengan penampilan lelaki itu.

"How do you do? My name is Sai Shimura, it's a pleasure to meet you," ucap lelaki itu seraya mengukir senyum dan mengulurkan tangan kanan untuk Ino.

Ino membuang wajah dan berdiri seraya berkata, "Memperkenalkan diri secara tiba-tiba kepada orang asing adalah hal yang tidak pantas!"

"Dan mengabaikan perkenalan yang hangat dari orang lain adalah hal yang tidak sopan," timpal Sai.

"Excuse me!" Ino mengibaskan rambutnya yang pirang dan panjang seraya berjalan cepat meninggalkan taman itu beserta lelaki tak tahu sopan santun bernama Mr. Shimura, meninggalkan jejak sepatu di atas tumpukan salju yang tebal.

Ino mencibir kesal. Okay! Ia akui ia memang cukup terpesona dengan ketampanan Mr. Shimura, tapi Miss Yamanaka dan Mr. Shimura tidak akan pernah cocok! Sejak awal Ino tidak menyukai perangai lelaki itu yang suka ikut campur urusan orang lain. Dan tiba-tiba saja lelaki itu memperkenalkan diri? Yang benar saja! Oh, betapa lelaki itu adalah lelaki yang paling tidak sopan yang pernah Ino temui!

.

.

.

"Tadaima!" ucap Ino seraya melepas sepatu boot-nya lalu melangkah ke ruang duduk di mana Ibunya berada.

"Okaeri! Oh, where have you been sweety?"

"Aku baru saja pergi ke taman kota."

"Astaga! Ke taman kota?! Apa yang kau lakukan di sana di tengah cuaca sedingin ini?"

Ino mengangkat bahu. "Entahlah, kupikir aku hanya membutuhkan refreshing."

"Sou ka… kau mau kubuatkan cokelat panas?" tanya ibunya dalam bahasa Jepang.

"Tidak terima kasih. Aku mau ke kamarku, mengerjakan tugas kuliah."

Ino meninggalkan ibunya menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Sesaat setelah membuka pintu kamarnya, Ino mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya yang bernuansa shabby chic.

Masih segar di ingatannya bahwa ia pernah bermain di sini, bersama seorang lelaki yang lebih tua darinya. Lagi-lagi lelaki itu… lelaki yang tidak ia kenali, lelaki yang selalu melesat di ingatannya secara tiba-tiba selama sebulan belakangan ini. Yang ada di ingatan Ino hanya fisiknya yang bertubuh tinggi, berrambut pirang dan beriris mata biru. Mirip dengannya. Dan Ino sungguh penasaran siapa lelaki itu.

Ino tidak dapat memastikan berapa tepatnya kenangan yang ia lupakan, tapi sejauh ini yang baru disadarinya hanya lelaki itu yang terasa hilang dari ingatannya.

Ino telah berusaha bertanya pada ayah dan ibunya mengenai ini, tapi mereka bilang bahwa di London, lelaki berrambut pirang dan beriris mata biru bertebaran di mana-mana. Ciri-ciri yang Ino deskripsikan tidak memiliki petunjuk yang cukup, dan mereka berdua yakin bahwa Ino tidak pernah membawa lelaki manapun ke rumah, bahkan berteman dengan lelaki pun tidak pernah.

"Mungkin itu hanya ilusi yang muncul dalam pikiranmu, kau tidak perlu menanggapinya dengan serius," kata ayahnya saat itu.

Ino memijat pelipisnya. Setiap kali mencoba mengingat dengan keras, kepalanya terasa sakit. Kemudian ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan memantapkan diri untuk tidak berusaha mencari tahu tentang lelaki itu.

Mungkin lelaki itu tidak terlalu penting, tidak ingat juga tidak apa-apa, pikirnya.

Sesaat setelahnya, mata Ino hanya terfokus pada layar laptop di depannya.

.

.

.

Alunan instrumen berjudul Nocturne Op. 9 No. 2 karya Chopin versi biola yang mengalun di headphone Ino menjadi temannya membaca novel berjudul Pride and Prejudice karya Jane Austen di British Library yang lengang.

Di usianya yang mencapai dua puluh satu, Ino sudah siap dengan gelarnya sebagai sarjana tahun ini. Berhubung tugasnya sudah ia selesaikan kemarin, ia berhak mendapatkan waktu untuk berleha-leha. Jadi, di sini lah ia sekarang, duduk manis di sebuah kursi empuk sambil membaca novel dari penulis favoritnya di tengah perpustakaan yang luas dan sepi.

Gadis yang mengenakan knitted dress ungu itu sudah membaca sampai hampir di bagian ending dan ceritanya membuatnya tersenyum. Musik yang mengelus telinganya juga membuatnya semakin menghayati novel yang pertama kali terbit pada tahun 1813 ini.

Ino membuka halaman demi halaman dengan tenang sambil berpangku tangan.

Setelah lima belas menit berlalu, Ino menutup novel itu dan mendesah kagum disertai senyuman puas. Ia selalu suka cerita yang berakhir bahagia. Ino melepaskan headphone-nya dan mengusap-usap sampul buku itu.

Ketika Ino menaikan wajahnya dan pandangannya teralihkan dari buku tebal yang tergeletak di meja, mendadak Ino merasa ketenangannya dirusak oleh pemandangan paling merisihkan sedunia!

"Good afternoon, Miss." Lelaki itu tersenyum.

Demi Tuhan! Sejak kapan lelaki itu muncul di sini?! Ino bahkan tidak mendengar suara langkah lelaki itu!

Sapaan dan senyuman lelaki yang tiba-tiba muncul itu dibalas dengan respon yang kasar dari Ino. "What are you doing here?!" Ino bertanya dengan suara keras. Lelaki itu membuat Ino lupa di mana ia berada.

Senyuman lelaki itu merosot dari bibirnya, lalu menjawab dengan santai, "Apa yang kulakukan? Kau pikir apa yang dilakukan seseorang di perpustakaan selain membaca buku?"

Ino berdecak tidak sabar. "Maksudku, apa yang kau lakukan di meja ini?! Kenapa kau memilih meja yang sama denganku?!"

Lelaki itu mengedikan bahunya, seolah semuanya sudah jelas. "Aku ingin mengenalmu."

"Hah?!" Pandangan mata Ino mengisyaratkan bahwa ia meminta penjelasan.

"Apa?!" tanya Sai dengan nada dan suara keras, mengikuti Ino.

"Apa maksudmu dengan 'aku ingin mengenalmu'?!"

"Nona! Jika Anda terus membuat keributan, saya terpaksa meminta Anda meninggalkan perpustakaan ini!"

Ketika seorang perpustakawan datang dan berbicara pada Ino dengan suara tegas dan ekspresi yang galak, Ino terpaksa menelan malunya bulat-bulat.

Ino menggigit bibirnya lalu meminta maaf pada perpustakawan itu lalu segera pergi meninggalkan tempat itu dan Sai. Sementara itu, wanita paruh baya—seorang perpustakawan—itu melayangkan tatapan tajam ke arah Ino sampai Ino menghilang ditelan rak-rak buku yang tinggi.

.

.

.

Ino merasa geram dengan suara derap langkah yang mengiringi langkahnya. Gadis itu menoleh ke belakang dengan alis ditekuk dan rahang yang gemertak. "Oh my God! Kenapa kau mengikutiku?!" tanya Ino dengan ketus sambil bersedekap.

Ya Tuhan, Ino hanya ingin menikmati waktu senggangnya dengan tenang! Hanya sehari! Berjalan seperti inikah waktu refreshing yang ia nanti-nantikan setelah ia begadang semalaman di depan layar laptop?!

Sai bingung bagaimana menjelaskannya. "Aku hanya ingin… mengenalmu," jawab Sai, serius. Meski dari wajahnya, ia tampak merasa bersalah.

Ino mempercepat langkah dengan dongkol menuju rumahnya, sementara Sai mengikutinya dari belakang.

"Kalau kau mengenalku, apakah kau akan pergi?!" tanya Ino setelah berhenti melangkah dan berbalik, menatap Sai dengan tajam.

Sai menurunkan dagunya dan matanya tak berani menemui Ino. Ia menjawab dengan ragu, "Kurasa…"

"Ino! Namaku adalah Ino Yamanaka! Kau puas?! Kau sudah mengenaliku sekarang! Kau boleh pegi!"

Sai mengangkat wajahnya dan kembali menatap Ino dengan lekat, iris matanya yang hitam bergerak-gerak. "But"

Ino menyela ucapan Sai untuk kedua kalinya dengan alis yang berkerut dalam dan tangan terkepal kuat serta tatapan menusuk. "Aku muak melihat wajahmu! Senyumanmu menjijikan! Kau selalu datang di saat aku sedang menikmati waktuku sendirian! Kau menyebalkan! Aku membencimu, Sai!"

Ino membalikan tubuhnya dan melanjutkan langkahnya dengan langkah lebar dan cepat, berusaha secepat mungkin meninggalkan Sai. Dan setelah ia berjalan sepuluh langkah, ia tidak merasakan keberadaan Sai di dekatnya. Bagus sekali! Lelaki itu tidak mengikutinya lagi.

Sedangkan saat itu Sai hanya berdiri di tempat dengan kepala tertunduk, ia mulai menyadari posisinya di mata Ino. Dan ia juga tak sakit hati sama sekali saat Ino merapalkan kata-kata kasar kepadanya, karena ia benar-benar mengerti alasan Ino berkata demikian.

"Suatu saat aku pasti akan pergi, aku berjanji," tutur Sai dengan suara lirih diikuti senyuman getir.

Dalam diam, Sai membiarkan tubuhnya dihujani salju yang turun dengan deras di atas Ossulston Street yang lengang.

.

.

.

To Be Continued

Next Chapter

A Photo

.

.

.


Author's note:

Ini pertama kalinya aku bikin fanfiction yang setting-nya AU! Waktu pertama kali ide ini muncul, aku ngerencanain buat aku tulis dalam bentuk novel. Tapi, setelah dipikir-pikir, lucu juga kalo tokohnya itu Sai sama Ino, jadi akhirnya aku putusin buat aku tulis dalam bentuk fanfiction sekaligus pengen ngeramein event Flore 2016.

Dan kenapa setting-nya di London? Soalnya diliat dari fisik Ino, dia itu lebih keliatan kaya orang bule dari pada orang Jepang. Dan London juga kota yang keliatannya romantis, jadi aku pilih kota ini. Ino blasteran Jepang sama Inggris? Iya, aku tetep gak bisa ninggalin darah Jepang-nya soalnya nama Ino kan Jepang banget? :D

Ngomong-ngomong, ada yang tau gak siapa nama ibunya Ino? Aku gak tau, jadi aku ambil nama 'Akame'. :)

Chapter selanjutnya akan segera di-update. Tenang aja, fic ini bakalan beres di bulan November. :)