Fairy Tail High School

Summary : Lucy dihadapkan pada dilema, dimana dia harus memilih, untuk tetap berada di SMA Fairy Tail, atau pindah ke SMA Blue Pegasus, yang menjadi sekolah impiannya selama ini. Ada banyak pengalaman berharga, yang terjadi selama satu tahun berakhir, yang membuatnya ingin bertahan sampai sekarang. Tuhan seakan menakdirkan hal tersebut, dengan posisi Lucy sebagai 'penyelamat'

Rate : T

Chara : Lucy.H, Natsu.D

Genre : Romance, hurt/comfort

Warning : Typo, dll

Masa-masa SMP seorang Lucy Heartfilia, akan berakhir tak lama lagi. Besok adalah upacara kelulusan murid kelas tiga, yang diberi kehormatan untuk menyampaikan pidato, menggantikan peran ketua OSIS, sebagai pemegang nilai terbaik di sekolah. Peringkat dua di seluruh sekolah Magnolia, dengan rata-rata sembilan koma lima, selisih nol koma satu dari peringkat satu. Merupakan suatu kebanggaan, ditunjuk langsung oleh kepala sekolah, yang membuat murid lain iri.

Sekolah terkenal di Magnolia pun, sudah melirik prestasi Lucy dari jauh-jauh hari. Berita mengenai kejeniusannya dalam pelajaran matematika, peringkat dua di seluruh kota. Segudang prestasi itu menjadikannya sangat mudah, untuk masuk ke SMA bergengsi macam Blue Pegasus, Lamia Scale, Mermaid Heel, dan lain-lain. Bahkan dibebaskan dari test masuk! Namun, Lucy tidak memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan, dia bersikeras ingin seperti murid lainnya, yang harus menjalani serangakaian test, baru bisa diterima.

Walau dikenal pintar, serta memiliki wajah cantik, bukan berarti dia sombong dan angkuh, seperti rata-rata penilaian orang lain. Terjadi kesalahpahaman, mengenai sifat asli seorang Lucy Heartfilia, yang sebenarnya murah senyum, baik hati, dan suka menolong. Dia memiliki sahabat bernama Levy McGarden. Mereka sudah berkenalan sejak kelas satu SMP, sama-sama murid unggulan di kelas. Levy memegang peringkat tiga setelah Lucy, dia juga memiliki kesempatam besar, untuk masuk ke SMA terkenal, tanpa perlu mengikuti ujian masuk.

"Ne...Lu-chan, kamu mau ke SMA mana nanti?"

"Impianku adalah masuk ke SMA Blue Pegasus. Meski tes masuknya sulit, aku akan berjuang sekuat tenaga!" tekad Lucy membara. Levy tersenyum simpul, melihat semangat yang dikobarkannya. Upcara kelulusan baru saja selesai, dan mereka ingin merayakan semua itu, dengan makan-makan di restorant

"Padahal kamu bisa diterima, tanpa perlu mengikuti ujian masuk. Bukankah terlalu merendahkan diri? Hiraukan saja, apa kata orang lain, kamu tidak seburuk perkataan mereka!"

"Levy-chan, keputuskan sudah bulat, untuk masuk ke SMA Blue Pegasus dengan mengikuti tes. Lagi pula, aku tidak ingin terlihat sombong, bisa masuk tanpa perlu bersusah payah"

"Baiklah kalau itu memang keputusan Lu-chan. Aku akan mengikuti tes masuk juga" mendengar ucapan Levy barusan, sukses membuat Lucy tersentak kaget. Daripada disebut sahabat, status mereka seperti boss dan bawahan. Tanpa perlu dibahas, posisi masing-masing terlihat jelas

"Kamu tidak perlu mengikutiku sampai sejauh ini. Setiap kali aku mengambil keputusan, Levy-chan pasti selalu setuju. Ambillah pilihamu sendiri, walau nanti beda sekolah, kita masih bisa berkomunikasi, bertemu setiap kali sekolah usai"

"Bertemu setiap kali sekolah usai? Aku tidak yakin, kamu masih memiliki waktu luang. Lu-chan, bakatmu tidak mungkin disia-siakan oleh mereka, kamu pasti diminta mengurus ini dan itu, mengikuti OSIS, membantu klub peneliti, dan lain-lain. Sahabatmu bisa kesepian nanti"

"Berlebihan sekali, aku tinggal menolak mereka, apa sulitnya?" Lucy langsung memberi sanggahan. Dia tidak setuju, jika waktu bersama sahabatnya dipotong-potong, hanya untuk mengurus keperluan orang lain

"Mana mungkin kamu bisa menolak. Lu-chan tidak pernah tega, melihat orang lain kesulitan" kembali, Levy memenangkan perdebatan di antara mereka. Lucy menghela nafas panjang, mengangukan kepala lemas

"Tidak apa-apa! Lihat sisi positifnya saja, mengikuti tes masuk akan menambah pengetahuan. Kita pasti merasa lebih puas, karena masuk menggunakan kemampuan sendiri, bukan mengandalkan rata-rata ujian sekolah"

"Lagi-lagi ucapanmu benar. Mau makan dimana? Biar aku yang traktir"

"Tempat biasa saja. Uangmu pasti tidak cukup, jika aku meminta traktiran di restorant mahal"

Usai berbincang sebentar, mereka tertawa bersama. Saat-saat seperti inilah, yang paling Lucy sukai. Dia tidak rela, jika semua kesenangannya terpaksa dibuang begitu saja, karena sibuk di sekolah.

Kalau boleh jujur, perempuan bersurai pirang itu, masih ingin menghabiskan waktu bersama Levy, sampai masuk perguruan tinggi pun tidak masalah. Meski suatu hari nanti berpisah, memilih jalan berbeda demi meraih mimpi, hubungan itu pasti terus bertahan, karena bukan kepalsuan, yang mewarnai kehidupan Lucy selama ini.

Pada hari Sabtu, tanggal tiga bulan Juli, adalah waktunya untuk bersinar.

Sabtu, 3 Juli, X789

Jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Lucy terbangun dari tidur lelapnya, mencuci muka di kamar mandi dan menatap ke arah cermin, yang memantulkan wajah pucatnya. Sejak kemarin malam, dia merasa pusing juga sedikit demam, tetapi, hal itu tidak boleh terjadi, sebelum dirinya mengikuti tes masuk SMA. Semua dipertaruhan di sana, impian, kerja keras, janjinya dengan Levy. Lucy tetap menjujung tinggi semua itu.

Kedua pipinya ditepuk sekeras mungkin berulang kali, menyemangati diri sendiri, berkata dalam hati semua akan baik-baik saja. Lucy memutuskan untuk mandi, mengguyur keringat serta rasa capai-nya di bawah guyuran air dingin shower, yang tidak langsung memperparah demamnya. Dia berada di kamar mandi terlalu lama, terus membasahi tubuhnya hingga mengigil kedinginan. Tidak sabar menunggu, ibunya pun memanggil, berkata kalau sarapan telah siap.

"Lucy, waktunya sarapan! Jangan sampai terlambat!" teriak ibu dari arah bawah. Lucy memutar keran, air pun berhenti mengalir. Hampir satu jam, dia mati lemas dan tidak memiliki tenaga untuk bergerak

Setelah memakai seragam dan gosok gigi. Lucy berjalan pelan menuju ruang makan, melahap sepotong roti panggang dengan tidak nafsu. Ayahnya yang sedari tadi sibuk membaca koran, mulai menyadari ada yang aneh dengan Lucy, dia makan sangat pelan, bahkan terlalu pelan seperti siput.

"Makanmu lambat sekali hari ini, gugup?"

"Tidak ada apa-apa kok. Biasa saja" Lucy juga menjawab lesu. Merasa ada yang tidak beres, sang ibu datang menghampiri, menyentuh jidat putri semata wayangnya

"Kalau tidak enak badan, seharunya bicara! Kamu demam Sayang. Tidak perlu mengikuti tes masuk, ayo istirahat di kamar" ajakan ibunya ditolak mentah-mentah. Lucy menepis, mengambil tas dan hendak berangkat

"Aku pergi dulu. Ayah, ibu" ucap Lucy berlalu, namun tak lama kemudian...

BRUKKK...!

Lucy pingsan dekat pintu ruang tamu, dan nafasnya tersengal-sengal tidak karuan. Terlalu panik, orang tuanya membawa perempuan itu ke rumah sakit terdekat, agar dokter dapat memeriksa lebih lanjut. Levy yang menunggu di depan halte bis cukup lama, mendapat kabar dari ibu Lucy dalam bentuk pesan singkat. Dia membacanya cepat-cepat, pergi ke sana tanpa mempedulikan tes masuk.

"Kenapa Lu-chan bisa demam?"

"Kata dokter, Lucy terkena demam berdarah. Untung segera dilarikan ke rumah sakit, kalau tidak...entah apa yang akan terjadi padanya..." ibu Lucy menangis sejadi-jadinya. Levy memasang wajah sendu, menggengam erat tangan sahabatnya

"Dasar bodoh, jangan terlalu memaksakan diri. Tenang saja, kamu masih bisa masuk ke SMA impianmu"

"Levy-san, mengapa Lucy bersikeras mau mengikuti ujian masuk? Padahal dia tidak perlu bersusah payah, sampai sakit seperti sekarang"

"Dia tidak ingin menjadi istimewa. Yang Lu-chan inginkan adalah, menjadi murid normal, tanpa mendapat perlakuan khusus"

Rasa keadilan telah melekat pada diri Lucy, semenjak menginjak bangku sekolah dasar. Dia beranggapan, bisa masuk ke sekolah bergengsi tanpa mengikuti ujian masuk, adalah curang bagi sebagian murid, yang harus belajar sampai larut malam, baru bisa siap keesokan harinya. Lucy juga ingin, merasakan hal-hal kecil semacam itu. Walau termasuk, dalam golongan orang kaya dan memiliki kejeniusan, dia lebih suka melewati jalan berduri, daripada jalan mulus tanpa hambatan apapun.

Tiga hari kemudian...

"Urghh...aku dimana?"

"Syukurlah kamu sudah bangun, Lu-chan!" seru Levy girang, memeluknya sampai Lucy kesulitan bernafas

"Tunggu sebentar, apa yang terjadi? Bukankah seharusnya, aku mengikuti tes masuk?"

"Untuk apa dipikirkan? Kamu pingsan saat tes ujian masuk, lalu terbaring di rumah sakit tiga hari lamanya. Tapi tidak apa-apa, Lu-chan masih bisa masuk ke SMA Blue Pegasus, menggunakan hak istimewamu, sebagai murid peringkat dua seluruh Magnolia" jelasnya panjang lebar yang tetap terlihat girang. Lucy menundukkan kepala, tidak menerima perkataan Levy

"Jika aku tidak mengikuti tes masuk, maka sama saja dengan tidak diterima. Aku gagal"

"Itu tidak benar, Lu-chan! Kamu hanya perlu..."

"Apa kata mereka, jika ada seorang murid, yang bisa masuk tanpa perlu mengikuti tes? Aku benci dikatai, aku benci mendengar semua itu, aku benci, benci, benci! Karena itulah, aku memutuskan masuk ke sana, dengan kekuatan sendiri, tetapi bukan begini, bukan..."

"..."

"Maaf, aku tidak bisa menepati janji. Mulai sekarang kita berpisah, Levy-chan" ucap Lucy penuh penyesalan. Isak tangisnya semakin keras, dia menutup muka, membiarkan air mata membasahi telapak tangan. Tanpa mengucapkan salam perpisahan, Levy keluar dari kamar, menutup pintu perlahan sambil tersenyum pilu

Semua orang boleh mengatainya bodoh, namun keputusan Lucy sudah bulat, dia tidak akan melanjutkan ke SMA Blue Pegasus, karena gagal mengikuti ujian masuk. Tiga sekolah terbawah pun, menjadi tempat pelariannya nanti.

Bersambung...

A/N : Maaf kalau kurang menarik, masih prolog soalnya, hehehe...review please? Biar aku tau, apa cerita ini pantas dilanjut atau enggak.