The Beginning Of My Love Life

Disclaimer: Masashi Kishimoto-sensei

Story by: VieRichelyn17

Summary: Dalam 21 tahun kehidupanku, aku tidak banyak memiliki pengalaman cinta. Kehidupan cintaku biasa-biasa saja, tak ada yang spesial. Yah, itu karena... aku masih belum bisa melupakan cinta pertamaku. Cinta pertama yang tidak pernah kuharapkan dan datang disaat yang tidak terduga. Cinta pertama yang rumit.

Warning: Abal, gaje, OOC, absurd, typo, and many more.

Chapter 1: When Its All Started

Happy reading:D

Musim semi 2024,Tokyo

Aku menatap hiruk-pikuk keramaian orang di pagi ini. Ramai seperti biasanya. Para pejalan kaki seperti diriku menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi warna hijau. Sembari menunggu, aku terdiam menatap orang-orang yang sibuk berlalu-lalang di pinggir trotoar, sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hal itu dapat dimaklumi, karena pagi ini adalah pagi awal musim semi. Musim dimana semua aktivitas dimulai kembali setelah liburan panjang musim dingin. Inilah yang menyebabkan semua orang mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Memulai sekolah dan kerja kembali, memulai kesibukan yang baru.

Musim semi juga identik dengan warna merah muda. Ya, jika sudah berhubungan dengan warna tersebut, hanya satu yang terlintas di pikiran. Sakura. Bunga kebanggaan Jepang itu tumbuh mekar disepanjang jalan, semakin memperindah kota metropolitan Jepang itu.

Lampu pejalan kaki berwarna hijau. Aku segera melangkah menyebrang. Surai pink sebahu milikku yang tergerai bergerak-gerak kecil tertiup semilir angin. Pink? Ya. Surai milikku itu identik dengan bunga kebanggaan Jepang. Bunga yang namanya sama sepertiku. Sakura.

Namaku Sakura. Gadis bermarga Haruno yang lahir di musim semi. Gadis berusia 21 tahun dengan surai pink sebahu dan manik emerald yang jernih. Dan ini adalah sepetik kisah dimana semuanya berawal.

~oOo~

"SAKURA"

Suara melengking khas itu menyadarkan lamunanku. Aku menengok ke arah pemilik suara tersebut dan langsung memasang wajah masam andalanku. "Ada apa, pig? Kenapa harus berteriak begitu?"

"Habis sedari tadi ku bercerita, kau seperti tidak mendengarkan. Sebenarnya apa sih yang kau lamunkan?" Tanya Ino dengan wajah sebal. Ia sepertinya kesal karena aku terlihat tidak menyimak perkataannya.

Ino adalah salah satu sahabatku. Kami sudah bersahabat semenjak SMP. Kami sekarang berada di cafe yang tepat berada di depan kantor redaksi tempatku bekerja. Sekarang sedang jadwal istirahat.

"Aku mendengarkan kok, pig. Kali ini apa masalah kalian?" Balasku masih dengan wajah masam.

"Huft... kalau kau mendengarkan, kau tidak akan bertanya lagi apa masalahku, forehead." Ino menggerutu sebal. Wajah masamku seketika langsung berubah menjadi cengiran.

Ino mendengus melihat perubahan yang amat cepat di wajahku. "Jadi begini, dia bilang dia akan pindah kerja ke Itali. Katanya dia mendapat kesempatan untuk membuat dan mengembangkan karya-karya baru disana." Jelas Ino yang diakhiri dengan helaan nafas.

Seakan masih belum mengerti dimana letak permasalahannya, aku bertanya. "Lalu?"

"Ya aku kesal." Jawab Ino sambil menyeruput jus mangga pesanannya dengan beringas.

"Maksudku, jadi dimana letak permasalahannya?" Tanyaku yang masih belum paham. Bukankah bagus jika pacarnya bisa mendapat kesempatan untuk mengembangkan karyanya? Lalu kenapa Ino kesal?

"Tentu saja aku kesal karena ini terlalu mendadak. Aku sudah mencoba untuk terlihat tegar dan mendukungnya, jujur saja aku juga senang mendengar kabar itu tapi di lain sisi aku juga keberatan. Terus ketika aku mengutarakan pikiranku, mengatakan kepadanya bahwa sebaiknya ia memikirkan lagi keputusannya. Dia hanya menatapku lalu berkata kalau aku tidak boleh egois. Dia bilang ini adalah kesempatan langka. Aku tidak terima dibilang egois, lalu aku membantah perkataannya. Lalu yah... begitulah. Kami bertengkar hebat." Jelas Ino panjang lebar. Dia terlihat sangat frustasi dengan masalah ini. Lihat saja, ekspresinya setelah menceritakan ulang kejadian beberapa hari lalu, sudah terlihat sangat mengerikan dimata semua orang yang melewati meja mereka. Ekspresinya seakan mengatakan kalau ia bisa melumat siapa saja hidup-hidup.

Aku hanya menghela nafas. Permasalahan mereka kali ini cukup rumit. "Memang Sai bekerja disana sampai berapa lama?"

"Entahlah... Kalau ia sukses disana, mungkin ia tidak akan kembali." Ekspresi Ino saat mengatakan ini terlihat sangat sedih. Aku semakin menghela nafas pasrah.

"Dia tidak mengajakmu ikut bersamanya?" Tanyaku lagi.

Ino menggeleng. "Kalaupun ia mengajakku, aku juga tidak bisa. Aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku disini."

"Tapi Ino, meskipun ia sudah sukses disana, ia pasti akan tetap kembali. Setidaknya kembali untuk menjemputmu. Mengajakmu untuk hidup bersamanya disana. Mungkin itu yang ia pikirkan, maka untuk itu ia harus sukses terlebih dulu agar bisa membahagiakanmu. Sai sangat menyayangimu, bukan?" Aku berusaha menyemangati sahabat pirangku itu dengan mengutarakan pemikiran-pemikiran positif.

"Aku hanya takut, Sakura. Bagaimana jika ia tertarik dengan perempuan lain disana? Bagaimana kalau ia tidak ingin kembali lagi kesini karena itu? Bagaimana kalau selama ini ia tidak pernah menyayangiku? Bagaimana kalau semua yang kau katakan itu salah? Aku benar-benar tidak tau harus melakukan apa jika itu benar terjadi." Ino sekarang sudah terisak. Aku semakin tidak tega melihatnya. Hatiku juga ikut bergerumuh seakan turut merasakan bagaimana pedihnya perasaan sahabatku saat ini. Melihat Ino seperti ini, aku seperti melihat diriku di masa lalu.

"Ino. Apa kau benar-benar menyayangi Sai?" Tanyaku memastikan.

Ino mengangguk.

"Apa kau ingin melihatnya sukses?

Ino mengangguk.

"Apa kau mau dia bahagia?

Ino mengangguk. Kali ini lebih mantap.

"Kalau begitu, kau harus percaya padanya. Yakinlah kalau ia juga sangat menyayangimu dan ia tidak akan pernah berpaling dari siapa pun. Percaya saja itu, Ino. Maka kau akan bisa mendukung dan menyemangatinya walau jarak memisahkan. Kau tahu? Orang yang benar-benar saling menyayangi tidak akan terpisah hanya dengan jarak. Jarak bukanlah penghalang dalam suatu hubungan." Aku berusaha menyemangati Ino dengan mengutarakan semua yang ada di pikiranku. Ya, hanya ini satu-satunya jalan untuk membangkitkan semangatnya lagi.

Ino terdiam mendengar perkataanku. Ia sepertinya mulai menyadari dan merenungkan kalimat-kalimatku barusan. Aku menunggu responnya dengan sabar. Beberapa menit berlalu, Ino perlahan mengusap manik aquamarinenya yang berair. Menegakkan punggungnya. "Kau benar, Sakura. Sebagai kekasihnya, seharusnya aku lebih mengerti dan mempercayainya. Aku akan menyemangatinya dari sini. Apapun yang akan terjadi di masa depan, aku akan tetap mempercayainya."

Aku tersenyum lega. Wajah Ino sudah tidak sesuram tadi. Wajahnya sudah bersinar terang seperti sedia kala. Aku mendengus kecil.

"Tapi Sakura, aku tak tahu kau bisa berkata seperti itu. Itu semua berasal dari pikiran dan hatimu kan?" Ucap Ino lagi. Kali ini dengan senyuman cerah di wajahnya.

"Hmm... entahlah." Jawabku santai sambil mengangkat bahu.

"Cih, dasar forehead" Kata Ino geleng-geleng. Kami pun tertawa kembali.

"Ngomong-ngomong Sakura, apa semua kata-katamu tadi berasal dari pengalamanmu?" Tanya Ino penasaran.

Aku mengernyitkan dahi. Bingung dengan pertanyaan Ino. "Apa maksudmu, pig?"

"Dulu kau pernah merasakannya bukan? Perasaan yang sama, untuk cinta pertamamu." Ucap Ino. Aku langsung terdiam setelahnya. Ino masih mengingatnya ternyata.

Melihat reaksiku, Ino ikut terdiam.

"Sakura, kau... masih menyukainya?"

Dalam 21 tahun kehidupanku, aku tidak banyak memiliki pengalaman cinta. Kehidupan cintaku biasa-biasa saja, tak ada yang spesial. Yah, itu karena... aku masih belum bisa melupakan cinta pertamaku. Cinta pertama yang tidak pernah kuharapkan dan datang disaat yang tidak terduga. Cinta pertama yang rumit.

~oOo~

Musim semi 2018, Tokyo

Hari ini adalah hari pertamaku dikelas 9. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Aku sungguh tidak sabar. Penasaran dengan teman-teman baruku di kelas 9 ini.

"Pa, Sakura berangkat ya..." Aku melambaikan tangan ke arah ayahku yang sedang membaca koran pagi di atas sofa ruang tamu.

"Hati-hati, Sakura. Jangan lupa memakan bekalmu disekolah" Ayahku balas melambaikan tangan ke arahku yang sudah berada di depan gerbang.

"Iya.."

Hari ini adalah hari yang cerah. Tentu saja, karena hari ini adalah hari dimana pergantian musim setiap tahun terjadi. Ya, hari ini adalah awal musim semi. Musim yang membawa kebahagiaan dan kecerahan bagi seluruh penduduk Jepang. Bunga sakura terlihat bermekaran disepanjang jalan. Sungguh pemandangan yang menyegarkan hati. Aku menatap semua itu dengan tatapan takjub. Aku tidak pernah sekalipun melewatkan mekarnya bunga kebanggaan jepang itu. Bunga yang warnanya senada dengan rambutku dan bunga yang namanya sama dengan namaku. Oleh karena itu, orang-orang sering menjulukiku "Si gadis musim semi".

Musim semi selalu menjadi musim yang membawa kebahagiaan untukku. Hampir dalam setiap tahun hidupku, kejadian menyenangkan dan tak terlupakan terjadi saat musim bunga sakura ini. Memori-memori indah yang melekat di kepalaku, hampir semua berkaitan dengan musim semi. Musim yang bagiku sangat spesial itu.

"Hei, awas."

Ketika aku sedang asik memandang sekitar, tiba-tiba lenganku ditarik kesamping dengan cepat. Saking cepatnya aku langsung ikut bergeser ke samping kanan.

Seakan terkejut karena lenganku ditarik tiba-tiba dengan gerakan secepat kilat, aku menengok ke arah seseorang yang sudah berdiri di sebelah kananku. Bisa diasumsikan ia adalah seseorang yang tadi menarik lenganku. Terbukti dari tangannya yang masih memegang lenganku. Baru saja aku ingin bertanya kenapa ia menarik tanganku, tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang lewat di sebelahku.

Tunggu? Sepeda motor? Bukankah ini trotoar?

Aku memperhatikan sepeda motor tersebut yang terus melaju tanpa memperdulikan tatapan para pejalan kaki yang segera menyingkir begitu melihat ada sepeda motor di trotoar. Tentu saja, siapa yang tidak akan menyingkir jika ada sepeda motor yang akan menabrakmu?

Aku kembali memandang seorang laki-laki bertubuh jangkung yang berada disebelahku. Aku sudah mulai mengerti alasan kenapa ia menarik tanganku.

"A-ano... Arigatou." Aku menunduk kecil untuk mengucapkan terima kasih pada orang yang sudah menolongku agar tidak tertabrak sepeda motor tadi. Kalau saja ia tidak menarikku, mungkin aku tidak akan sadar kalau ada sepeda motor yang melaju di belakangku.

"Hn. Tidak masalah." Jawab laki-laki itu singkat. Ia mulai melepaskan lenganku. Aku segera menyadari kalau seragam sekolah kita sama.

'Uchiha Sasuke' Dua kata itu langsung terlintas di kepalalu saat aku berusaha mengenali siapa anak lelaki itu. Aku tidak mengenalnya, hanya saja aku tahu siapa dia. Tentu saja, siapa yang tidak mengenalnya? Anak laki-laki paling tampan dan cool disekolah yang selalu menjuarai berbagai perlombaan atletik.

"Apa ada yang terluka?" Laki-laki di depanku bertanya ringan. Sepertinya ia sedikit cemas melihatku yang sedari tadi hanya diam saja. Yah... meskipun aku diam kerena berusaha mengenali sosoknya. Walau laki-laki ini terkenal, aku tidak terlalu mengenalnya. Melihat wajahnya dengan jarak sedekat ini saja tidak pernah, bagaimana mengenalnya?

"Ah tidak. Tidak ada. Aku baik-baik saja." Aku menjawab cepat. "Sekali lagi terima kasih, Uchiha-san."

"Hn sama-sama." Balasnya singkat. Setelah itu ia langsung berjalan kembali, mendahuluiku.

Aku menatap punggung lelaki jangkung itu dalam diam. Laki-laki bernama Uchiha Sasuke itu berjalan dengan santai dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celananya. Sepertinya ia juga menikmati suasana di pagi musim semi ini.

Perlahan, aku menyunggingkan senyum kecil. Melihat orang lain yang sama-sama menikmati musim semi, membuatku turut senang. Aku pun kembali melanjutkan langkah menuju sekolahku dengan lebih riang dari sebelumnya. Musim semi selalu membawa kebahagiaan di dalam hidupku. Hanya saja, aku tidak tahu kalau musim semi juga menyimpan berbagai rasa, selain kebahagiaan. Rasa yang sebentar lagi akan kurasakan. Rasa yang tidak pernah kusadari sebelumnya.

Aku hanya tidak menyadari, kalau anak lelaki bernama Sasuke Uchiha itu akan mendapat peran yang begitu besar dikehidupanku. Dan punggung yang sekarang sudah menghilang dari pandanganku itu, suatu saat akan menjadi punggung dari seseorang yang amat kusayangi.

~oOo~

"Jadi kau benar-benar belum melupakannya?" Ino menatapku dengan tatapan serius.

Aku hanya terdiam, sibuk mengaduk jus stroberi pesananku yang masih tinggal setengah.

"Sakura... Itu sudah tujuh tahun yang lalu." Tatapan serius Ino tidak sedetikpun memudar.

Aku menghela nafas. "Aku tahu."

"Lalu kenapa kau masih belum bisa melupakan cinta pertamamu?"

Aku terdiam bungkam. Lidahku terasa kelu. Aku belum menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Kenapa aku masih belum bisa melupakannya? Pertanyaan itu sering kali muncul di benakku, hanya saja mau berapa kalipun aku mencoba mencari jawabannya, aku tidak pernah bisa menemukannya.

Kualihkan tatapan ku dari jus stroberi ke luar jendela. Menatap jalanan depan kantor redaksi yang dipenuhi dengan bunga sakura. Bunga itu... selalu membuatku merasa dihipnotis kembali ke masa lalu. Bunga yang selalu aja di setiap memori-memori indah dalam kepalaku.

Memori itu dengan cepat menjalar di ingatanku. Memutar kembali kenangan-kenangan indah yang dilalui olehku. Bunga sakura itu selalu ada di setiap kenangan itu. Bagaikan saksi atas semua hal yang dilalui olehku. Saksi atas segala kebahagiaan yang kurasakan di dalam kehidupanku.

"Nee, pig. Apa yang harus kulakukan jika aku tidak akan pernah bisa menghapusnya dari hatiku?" Aku akhirnya bisa meloloskan sebuah pertanyaan setelah terdiam lama.

Ino menatapku dalam diam. Situasi kami sekarang sama. Kami terjebak dalam rumitnya cinta. Entah sampai kapan kami akan terus bertahan.

"Entahlah, Sakura. Cinta itu rumit." Ino menjawab setelah terdiam cukup lama.

Ya, Aku mengiyakan dalam hati. Cinta itu selalu rumit. Tapi apa yang terus membuatku tetap mempertahankan cinta itu? Well, untuk jawaban atas pertanyaan itu. Aku sudah mengetahuinya. Love is complicated, but its worth a lot more.

To Be Continued...