Standard disclaimer applied.

I do not own Naruto. No material profit was taken.


Knight, Hunter, and Queen

a Naruto fanfiction

.

Chapter I


Laboratorium IV, Nagoya, Perfektur Aichi.

Maret, 2119.

Ruangan bercat putih seluas seratus meter persegi itu tampak senyap seperti biasanya. Hanya terdengar suara dengung mesin-mesin yang menyala 24/7. Lampu utama dalam kondisi mati dan cahaya hanya berasal dari layar-layar peralatan laboratorium yang berderet di sepanjang dinding. Sepuluh tabung kaca yang berpendar kebiruan berdiri menjulang setinggi satu setengah meter di tengah ruangan. Selang beberapa detik, tabung-tabung kaca yang penuh berisi cairan perfluorokarbon teroksigenasi itu mengeluarkan gelembung-gelembung udara, membentuk riak tanpa suara. Empat tabung di antaranya kosong dan lampu di atasnya menyala merah, sementara enam tabung lainnya menyokong kehidupan enam bayi kecil yang ringkih dan tengah bergelung mengambang di dalamnya.

Seorang pria tinggi kurus, mengenakan jas laboratorium, masuk dengan gerakan tergesa. Rambut gelap panjangnya yang digerai berayun mengikuti langkah lebarnya menuju komputer utama yang ada di dalam ruangan tersebut. Matanya yang menyipit tajam dengan teliti mencermati diagram dan bagan rumit yang ditampilkan melalui monitor komputer tersebut.

"Sudah waktunya," gumamnya. Jemarinya yang kurus dan panjang dengan cekat bergerak di atas keyboard, mengetikkan serangkaian perintah untuk mengaktifkan program pengujian terakhirnya. Dengan satu perintah final pada tombol enter, program yang baru diaktifkannya memulai hitungan mundur. Lampu-lampu peringatan berkedip merah dalam hitung mundur.

"Simulasi tahap akhir diaktifkan dalam sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu." Suara androgynous program menggema di seluruh ruangan. "Batch serum dialirkan. Tiga puluh detik hingga efek dapat teramati."

Pria itu berbalik dari komputernya, memandangi keenam tabung yang tersisa dengan ekspresi wajah yang sulit dideskripsikan. Tabung-tabung tersebut mengeluarkan gelembung-gelembung udara dalam interval tak beraturan. Bayi-bayi kecil di dalamnya menggeliat dalam diam.

"Program berakhir."

Si pria, yang menyebut dirinya dengan Orochimaru, terus diam memandangi enam tabung yang tersisa—kini tabung nomor dua menyala merah terang. Kepalanya miring ke satu sisi. Matanya yang tertutup sebagian oleh poni rambutnya memantulkan cahaya merah yang penuh kekecewaan. "Sayang sekali." Dengan langkah halus seolah melayang di atas lantai, dia bergerak ke tengah ruangan dan berhenti di depan tabung-tabung itu. "Apa kalian yang bisa membuktikannya padaku?"

.

Intron. Intragenic region. Intervening sequence.

Dalam ilmu genetika, intron dianggap sebagai DNA sampah—sekuen panjang DNA yang tidak terpakai, yang tidak digunakan dalam proses sintesis protein, yang fungsinya hingga kini belum diketahui. Walaupun keberadaannya menyusun hampir 98% keseluruhan genom manusia, fungsinya dalam kromosom makhluk hidup eukariot tidak pernah diketahui secara pasti. Dia selalu dipotong dari deretan ekson sebelum proses translasi dimulai. Teknologi termutakhir pun belum mampu menyibak misteri kehadiran intron.

Lalu, apa fungsi keberadaannya dalam susunan DNA makhluk hidup? Benarkah intron hanya bagian tak bermakna?

Pertanyaan tersebut terjawab di tahun 2111.

.

Tokyo, 2098.

Dua belas ahli genetika dan molekuler mencetuskan sebuah hipotesis yang mereka sebut intron-phase. Dalam hipotesis tersebut, mereka memercayai adanya potensi penggunaan intron dalam sintesis protein. Intron, seperti halnya dengan ekson, diyakini menyimpan urutan basa-basa nitrogen tertentu yang dapat mengode asam amino yang tidak pernah ada dalam tubuh makhluk hidup mana pun.

Delapan tahun penelitian, tujuh peneliti meninggal dalam prosesnya. Enam orang yang tersisa melanjutkan penelitian mereka untuk membuktikan kebenaran hipotesis mereka. Lima tahun setelahnya, tepatnya pada Maret 2111, ditemukan suatu cara untuk menghasilkan mRNA dari fragmen intron yang berhasil diekstraksi dari sel.

Eksperimen dilakukan terhadap berbagai hewan—pieces, reptil, aves, dan mamalia dengan hasil sukses hanya pada mamalia primata. Namun sejauh itu, mereka belum bisa menemukan perbedaan dari spesimen mutan dengan tipe liar. Untuk sementara waktu, penelitian mereka terhenti.

Rupanya mereka salah. Seorang peneliti di antara mereka melakukan pengujian ulang terhadap protein-protein yang dihasilkan oleh tubuh spesimen mereka. Melalui riset pribadinya, dia temukan adanya senyawa organik mirip protein fungsional yang memiliki ciri-ciri yang tidak sama dengan senyawa organik mana pun yang telah ditemukan selama ini. Molekulnya berukuran jauh lebih besar dibanding monomer mana pun, membentuk struktur molekul rumit yang kokoh, dan anehnya, tidak mampu membentuk polimer.

Senyawa tersebut dinamainya epitasin—berakar dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti mempercepat. Dari efek yang dihasilkan, bahan eksperimen menunjukkan kemampuan percepatan pembelahan sel hingga tiga kali lipat dari kecepatan pembelahan normal. Sistem metabolisme sel itu pun menjadi lebih singkat. Lebih cepat.

Dengan penemuan itu, untuk pertama kalinya Jepang memperbarui teori genetika.

Intron bukan lagi DNA sampah.

.

Gedung Pusat Pemerintahan, Distrik Nagata, Tokyo.

Juni, 2118.

Ruang kerja utama Presiden yang pada malam-malam biasanya senyap tiba-tiba diramaikan oleh gebrakan keras. Seorang wanita menggebrak meja kerja di depannya dengan tangan yang terkepal kuat. Berkas-berkas yang ditumpuk tinggi di pinggir-pinggir mejanya jatuh berserakan di lantai, sama sekali tak dipedulikan. Wanita itu menggeram rendah. Mata coklat terangnya menyipit tajam pada dua pria yang berdiri kaku di depannya.

"Bisa kau ulangi lagi, Shikaku?" Suara wanita itu rendah dan giginya gemeletuk menahan luapan emosi.

Salah satu pria yang berdiri di seberang wanita tersebut menarik napas dalam-dalam terlebih dulu sebelum melaporkan misi terakhir mereka, untuk yang kedua kalinya, "kami gagal menangkapnya, Tsunade-sama."

Wanita yang dipanggil Tsunade itu kembali menggebrak meja, kali ini lebih keras, disertai teriakan frustasi. Dahinya basah oleh keringat, membuat rambutnya yang terlepas dari ikatan menempel di pelipis dan sisi-sisi wajahnya. "Bagaimana bisa?" sergahnya. "Bukankah kalian sudah mengerahkan tim ANBU terbaik kalian?" Tsunade mendesis tajam, menuntut penjelasan yang lebih logis dibandingkan kata gagal.

"Kami tidak ingin mencari-cari alasan untuk kegagalan besar kami, Tsunade-sama, tapi sekelompok pengikutnya yang menghadang kami bukan orang sembarangan."

"Apa maksudmu?" Tsunade mencoba menarik napas teratur, tanpa hasil. "Kalian ingin bilang kalau kalian, para ANBU, orang-orang terbaik dari seluruh penjuru negeri, tidak bisa menghadapi perlawanan bandit-bandit semacam itu?"

"Ada tujuh orang yang menghadang kami. Mereka memiliki kemampuan fisik dan tanding yang jauh di atas kami," Shikaku mengambil jeda. "Lima anggota tim yang berhadapan langsung dengan mereka terluka parah. Kami tidak berani memaksakan untuk terus melanjutkan misi berbahaya seperti ini dengan jumlah tim yang kurang dari setengah. Kami gagal memprediksi kemungkinan mendapat lawan setangguh mereka."

"Tujuh?" Tsunade ganti memandang pria yang lain yang sedari tadi bungkam dengan wajah pucat. Rasa penasaran menggelitiknya lebih dari amarahnya yang meluap-luap. Tak biasanya pria itu berekspresi janggal. "Ada apa?" tanyanya tajam kepada pria yang lebih muda dari Shikaku.

Pria yang diamati Tsunade menelan ludah, tidak mampu langsung menjawab. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya hingga memutih.

Shikaku kemudian mengambil alih menjawab, "mengenai daftar korban malam ini, Tsunade-sama. Karena pembagian konsentrasi perlindungan, kami telah kehilangan anak beberapa pejabat parlemen dan istri beberapa anggota ANBU, termasuk istri Buntaichō." Shikaku melirik pria yang berdiri kaku di sampingnya, yang tak lain adalah pimpinan baru di tim ANBU.

Penjagaan wilayah Tokyo malam ini sedikit longgar karena tim-tim ANBU terbaik ditarik ke dalam misi pengejaran Orochimaru. Mereka harus menelan dua kali kegagalan terbesar ANBU dalam semalam—gagalnya penangkapan dalang di balik kasus penculikan dan daftar korban yang semakin panjang.

Wajah Tsunade yang tadinya merah oleh amarah, kini memucat. Bibirnya gemetar oleh amarah. Kedua tangannya mengepal erat dan siap menghantam apa saja, terutama momok besar kasus ini—Orochimaru. Wanita itu mendesis rendah, menggeram penuh murka. "Orochimaru…"

.

Sebuah ide gila dari seorang peneliti yang rupanya juga sudah gila. Apa yang akan terjadi jika manusia juga bisa menyintesis epitasin? Begitu pikirnya.

Peneliti tersebut mengajukan sebuah mahaproyek; eksperimen sintesis epitasin pada manusia.

Atas nama kemanusiaan, ide gila tersebut ditolak. Pencetusnya ditahan, diinterogasi, bahkan diterapi psikologis. Namun sesungguhnya, diam-diam beberapa pejabat licik ikut mendanai proyek tersebut begitu peneliti yang dianggap gila dinyatakan bebas.

Tokyo, 2117 A.C. Sebuah proyek gelap dimulai. Mugen no ko, begitu mereka menyebutnya.

Semenjak itu, terjadi kasus penculikan massal terhadap wanita-wanita hamil dan balita. Sebuah proyek kemanusiaan tentunya membutuhkan manusia juga sebagai kelinci percobaannya. Ketika kasus sudah semakin tidak terkendali, ANBU diturunkan langsung untuk menangani kasus tersebut. Penjagaan terhadap wanita dan anak-anak diperketat, tetapi anehnya selalu ada celah penculikan.

Di tahun 2118, jumlah korban hilang mencapai 186—97 di antaranya adalah wanita hamil.

Kasus yang lebih mengerikan lagi terjadi di tahun berikutnya, 2119.

Di setiap gang-gang gelap di Tokyo, setiap malamnya ditemukan satu tubuh tak bernyawa—tubuh-tubuh korban penculikan, terutama anak-anak. Beberapa wanita ditemukan hidup, tetapi dalam kondisi mengerikan—janinnya hilang, kurang gizi, dehidrasi, luka-luka, hilang ingatan, sampai mengidap penyakit kejiwaan traumatis.

.

Gedung pusat pemerintahan, Distrik Nagata, Tokyo.

Agustus, 2119.

Ruang presiden yang sama. Namun, wajah-wajah yang berada di sana malam itu tampak sedikit berbeda. Hanya ada dua orang di sana. Tsunade duduk dengan tangan bersedekap di kursi kerjanya, berhadapan dengan komandan tertinggi pasukan elit ANBU. Tsunade memandang pria yang berumur tak lebih dari dua puluh lima tahun itu dalam-dalam. Matanya bersinar tajam dan serius.

"Istrimu sudah kembali, bukan?"

Pria itu mengangguk.

"Bagaimana kondisinya?"

Pria itu menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Sedikit lebih baik dari korban-korban lain."

Tsunade mengerutkan kening. Kedua sikunya berpindah ke meja. "Seperti apa yang bisa disebut lebih baik?"

Pria itu menunduk memandang lantai sejenak, menghela napas perlahan, kemudian memandang wanita yang tengah menjabat posisi presiden Jepang tepat di kedua matanya. "Kandungannya memang sudah hilang, dia memang luka-luka, dan dia kehilangan ingatannya selama diculik, tapi dia tidak menderita gangguan kejiwaan."

Mendengar berita itu, Tsunade menghela napas. Ketegangan di wajahnya sedikit mengendur. Kelegaan yang nyata benar-benar tersirat dalam nada suaranya ketika dia kembali bicara, "kau sudah memastikan dia diberi perawatan medis terbaik?"

Pria itu mengangguk. "Tentu, Tsunade-sama."

Tsunade mengangguk antusias. "Ah, baru saja Shikaku dan Inoichi menghubungiku dan dia bilang ada kemungkinan untuk mendapatkan informasi dari korban-korban yang selamat."

"Mereka semua kehilangan ingatan, bukan?"

"Ya, tapi kita bisa menerapi mereka dengan hipnosis untuk mengembalikan ingatan yang hilang. Ada kemungkinan mereka dihipnosis juga untuk melupakan kejadian itu."

Wajah pria itu memucat seketika. "Ta—"

Tsunade mengibaskan tangannya dan pria itu pun terdiam. "Aku sama sekali tidak berniat melakukannya. Tenang saja. Kita memang akan kehilangan satu-satunya celah untuk mendapat informasi, tapi aku juga wanita dan aku bukan manusia tanpa perasaan. Mereka sudah cukup tersiksa di sana. Aku tidak akan pernah membuat mereka mengingat hal-hal mengerikan apa pun yang pernah mereka alami di sana. Di satu sisi aku bersyukur mereka yang masih selamat kehilangan ingatan." Tatapan wanita itu melembut dan dipenuhi keprihatinan ketika kembali memandang pria muda di depannya. "Mereka yang selamat harus tetap bisa hidup dengan bahagia nantinya."

"Lalu informasinya?"

Tsunade menghela napas, kali ini dengan berat hati. "Kita akan mencari jalan keluarnya nanti. Kita akan terus berusaha." Mata coklat muda itu berkilat oleh keyakinan dan keteguhan hatinya. "Nah, sekarang kau pulang dan rawatlah istrimu dengan baik."

Pria yang menjabat sebagai komandan tertinggi ANBU selama tiga tahun terakhir itu mengangguk takzim, kemudian berjalan mundur untuk mencapai pintu. "Terima kasih banyak, Tsunade-sama. Selamat malam," sosoknya menghilang di balik pintu.

Wanita itu tersenyum menatap pintu yang baru saja ditutup pelan. Pria itu merupakan murid sahabatnya dan sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Tsunade telah mengenalnya sejak pria itu masih bocah hingga kini dengan gemilangnya dia menjadi pimpinan pasukan elit. Pria itu juga yang nantinya akan menduduki kursi presiden yang sekarang sedang dia tempati. Berat memang, karena Tsunade sangat menyayanginya dan tidak ingin pria itu menanggung beban lebih berat yang dia rasakan sekarang. Namun di satu sisi, Tsunade belum menemukan orang lain yang bisa dia percaya dan memiliki kemampuan lebih darinya untuk menjabat sebagai seorang presiden menggantikan dirinya kelak.

Tsunade menghembuskan napas berat, kemudian menyandarkan punggungnya yang kaku ke sandaran kursi kerjanya yang tinggi. Jemarinya bergerak memijit pelipis. Rasa pening luar biasa selalu menderanya begitu menangani kasus yang tidak kunjung menemui titik balik pencerahan ini. Kasus yang melibatkan peneliti gila yang tak lain adalah temannya sendiri. Orochimaru.

Tak banyak yang bisa dilakukannya saat ini, tidak juga dengan tim elit ANBU yang dimilikinya. Dia hanya bisa berdoa untuk yang terbaik. Namun, satu hal yang dia jamin atas nama dirinya: akan dia temukan Orochimaru hidup atau mati dan mengakhiri mimpi buruk mereka.

.

Laboratorium I, Akita, Perfektur Akita.

September, 2124.

Seorang pria berambut hitam panjang berlutut di depan lima anak berusia lima tahun yang berdiri berjajar dengan tangan saling bergandengan erat. Senyumnya lebar, nyaris terlihat seperti seringai mengerikan. Kobaran api yang membubung tinggi di belakangnya membuat sisi depan wajahnya gelap dan terlihat jauh lebih mengerikan. Kelima anak yang berdiri di depannya diam, menatap hampa dengan wajah kaku.

Pria itu, Orochimaru, mengusap kepala mereka satu per satu, masih dengan senyuman dingin. Dipandanginya lekat-lekat apa yang bukti keberhasilannya. Tawa rendahnya terdengar kemudian, teredam suara angin dan kobaran api yang ribut.

"Setelah ini kalian akan berpisah."

Kelima anak itu serempak saling pandang ke kanan-kirinya, bingung.

"Tak perlu khawatir. Kalian akan berjumpa lagi." Orochimaru mengulum senyum. "Kalian akan tinggal bersama keluarga baru dan dengan identitas baru. Kurasa kalian tidak akan bertemu untuk waktu yang cukup lama."

"Kapan kami bisa bertemu lagi?" Anak yang berdiri tepat di hadapan Orochimaru bertanya. Matanya yang besar menatap langsung kedua mata Orochimaru tanpa takut—tanpa emosi.

Orochimaru mengerucutkan bibirnya sembari berpikir. Jari kurusnya sesekali mengusap dagunya yang pucat. "Di umur tujuh belas, kalian boleh mulai saling mencari."

Bocah yang dipanggil Satu mengalihkan tatapan dari kobaran api di depannya ke arah Orochimaru. Untuk satu atau dua alasan tertentu, wajahnya lebih dingin dan hampa dari keempat anak lain, saudara-saudaranya. Setelah beberapa detik terdiam, Satu mengangguk sambil terus menatap Orochimaru melalui sepasang mata gelapnya tanpa berkedip. "Bagaimana?" tanyanya sederhana.

"Itu…kalian tentukan sendiri caranya," mata pria itu berkilat dalam kegelapan.

Kelima anak itu mengangguk berbarengan, kemudian kembali terdiam untuk waktu yang lama sambil memandangi api yang membubung tinggi, melalap fasilitas penelitian yang selama ini menjadi rumah mereka—yang barangkali nantinya akan mereka sebut neraka. Ketika Orochimaru melambaikan tangan dari tempatnya, orang-orang asing datang dan membawa mereka secara terpisah, berpencar ke lima arah mata angin berbeda. Orochimaru masih diam berlutut di tempatnya menunggu siluet-siluet itu menghilang di kejauhan.

"Coba buktikan padaku," katanya. "Apakah manusia memang pantas..."

.

Gedung Pusat Pemerintahan, Distrik Nagata, Tokyo.

September, 2124.

Ruang presiden malam itu senyap. Lima orang yang berada di sana terdiam dengan napas tertahan di tenggorokan masing-masing. Ruangan itu remang-remang dan cahaya hanya datang dari layar besar yang dipasang di salah satu dinding dan yang kini sedang menampilkan sebuah video berdurasi 2 menit 56 detik. Video itu berkualitas buruk. Tidak banyak yang bisa dilihat dari video yang sepertinya direkam dengan handycam lawas. Kobaran api terlihat jelas sebagai pemandangan dominan dalam video itu. Suara berat dan mendesis seseorang terdengar jelas berbicara walaupun sosoknya tidak terlihat di mana pun dalam rekaman itu.

"Senang berjumpa dengan kalian. Sudah lama kita tidak bertemu dan aku ingin sekali pergi mengunjungi kalian, tapi sayang sekali aku sedang sangat sibuk sekarang. Jadi, kurasa tidak masalah kalau anak-anakku yang mewakiliku untuk mengunjungi kalian di sana. Bagaimana? Mereka anak yang manis, tenang saja," —terdengar suara tawa rendah dan kelima orang di dalam ruangan itu berjengit. "Mereka berlima akan mengunjungi kalian tidak lama lagi. Dan…" —satu tawa lagi yang tidak menyenangkan "…aku menitipkan pesan untuk mencari beberapa orang. Itu kalau mereka mau melakukannya." Pria dalam rekaman itu mendesah dibuat-buat. "Nah, kuharap kalian menerima mereka dengan tangan terbuka. Mereka sedikit…kesulitan berbaur dengan manusia."

Video berakhir dan ruangan itu menggelap ketika satu-satunya sumber cahaya mati. Beberapa detik kemudian lampu utama dinyalakan. Tiga pria ANBU dan dua wanita. Lima wajah di sana memperlihatkan ekspresi yang kurang lebih serupa.

Suara gebrakan meja terdengar. Tsunade berdiri dengan wajah memucat. Lima tahun sudah berlalu sejak kasus terakhir dan ketika akhirnya wanita itu berpikir keadaan mulai membaik, ancaman kembali datang. Kali ini dengan membawa bukti yang lebih nyata.

"Kalian sudah menyelidiki asal video itu?"

Shikaku, masih sebagai konsultan Presiden dan ANBU, mengangguk. "Ya, Tsunade-sama. Kami juga sudah mengirimkan tim untuk mengecek lokasi itu, tapi hanya puing-puing bangunan terbakar yang kami dapatkan."

"Akita?" Rahang Tsunade bergeretak. "Apa yang salah dengan tim intelijen kita?" Suaranya berubah histeris. Napasnya berat dan terputus-putus. "Kalian sudah selidiki tempat apa itu sebelumnya?"

Shikaku mengangguk sekali lagi. "Kami sudah memastikan tempat itu adalah tempat penelitian Orochimaru. Kami menemukan sisa-sisa komputer, tabung kaca, dan abu kertas-kertas. Namun, tidak ada satu pun yang bisa digunakan sebagai sumber informasi. Dia membakarnya dengan sempurna."

"Dan anak-anak yang dia maksud?" Kali ini suara bergetar karena getir oleh ketakutan, yang harus dia akui, lebih besar dan nyata dari ketakutannya yang lain.

Seorang pemuda yang usianya tidak lebih dari sembilan belas tahun menjawab. "Mereka pasti anak-anak yang berhasil Orochimaru rekayasa. Anak-anak mugen, kalau bisa disebut demikian."

Seorang gadis yang sebaya dengannya yang merupakan asisten Tsunade terkesiap kaget. "Mereka benar-benar ada, Kakashi?"

Pemuda dengan masker hitam erat yang dipanggil Kakashi itu mengangguk. "Atau paling tidak, begitulah yang ingin Orochimaru sampaikan kepada kita. Dia telah berhasil dengan penelitiannya."

"Mugen no ko?" Tsunade memejamkan mata, kemudian menarik napas panjang-panjang untuk meredakan emosinya yang bergolak. "Mereka bisa menjadi ancaman bagi kita. Kita tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan."

Tsunade jatuh terduduk di kursi kerjanya. Kepalanya kembali pening seketika. Jabatan presiden yang dipegangnya selama dua periode berturut-turut ini benar-benar membebaninya. Dia kira keadaan bisa tenang setelah hampir lima tahun lamanya tidak terjadi masalah. Namun, apa yang kini berada di depan matanya bukan lagi masalah, melainkan ancaman besar. Tidak ada yang tahu siapa kelima anak itu, pun apa yang bisa mereka lakukan.

"Kalian punya gambaran apa yang direncanakan Orochimaru dengan menggunakan anak-anak itu?"

Kakashi terdiam sejenak, saling pandang dengan dua seniornya di ANBU—meminta persetujuan untuk bicara. Komandan ANBUnya kemudian mengangguk. "Jika mereka mengikuti perintah Orochimaru, kemungkinan besar mereka akan mencari orang-orang yang dimaksud Orochimaru itu."

"Jika mereka bertindak sendiri?"

Sinar yang dipancarkan dua bola mata berbeda warna itu meredup. "Kemungkinan terburuk: kudeta."

Kedua rahang Tsunade mengeras. Buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi gemeletuk. Suaranya berubah kaku ketika kembali berujar. "Kita harus mencegahnya sebelum korban jiwa semakin bertambah."

.

1 Maret 2136.

Okaya dikejutkan oleh bunyi ledakan bom tiba-tiba di jantung kota, pada dini. Seseorang memandangi kobaran api yang melalap taman-taman dan toko-toko yang ada di pusat kota dari atap gedung berlantai lima puluh. Dia diam, menunduk, dan menikmati rona merah dan jingga yang silih berganti dalam pandangan matanya. Wajahnya tersembunyi di balik topeng keramik polos.

"Ini dia tahun ketujuh belas yang dinanti-nanti," dia berbisik pelan dan suaranya terbawa angin keras yang menerpa. "Nah, semoga hari kalian semua menyenangkan."

Dia tersenyum mendengus, kemudian melangkah melintasi atap gedung menuju sisi lainnya dengan langkah cepat dan lebar. Diliriknya pemandangan di bawah kakinya yang gelap. Sepi. Dia bisa memastikan itu. Dia berdecak ketika teriakan-teriakan panik mulai terdengar dari pusat ledakan. Dengan satu gerakan, dia melompat dari atap gedung setinggi lebih dari seratus meter tersebut. Dia terjun bebas, tidak berteriak, tidak juga panik. Tanah di bawahnya semakin mendekat dan membesar ketika tubuhnya semakin mendekati permukaan tanah. Satu gerakan mantap dan dia sudah mendarat dengan sempurna.

Kemudian, dia membaur dengan bayangan dan kegelapan malam.

.

Tokyo Azabu Gakuen, Tsukiji, Distrik Chuo, Tokyo.

3 Maret 2136.

Pip.

Pip.

Pip.

Layar lebar televisi plasma 80 inchi berkedip-kedip menampilkan tayangan berbeda ketika salurannya dipindahkan dengan cepat. Gadis yang duduk di sofa panjang di ruang rekreasi itu menghela napas bosan sambil melempar remote ke arah pintu. Remote itu tertangkap tepat begitu pintu itu dibuka.

Pemuda yang menangkapnya memamerkan senyum lebar. "Memang murah, tapi bukan berarti bisa dilempar ke mana saja, Sakura-chan," si pemuda terkekeh ketika melintasi ruangan dan duduk di samping gadis itu.

Gadis yang duduk di sofa itu menggerutu dengan tangan bersedekap di perut. "Siaran televisi membosankan semua," gadis itu melorot malas-malasan di sofa. "Sejak dua hari lalu masih saja berita pengeboman itu."

Naruto mengarahkan remote ke televisi dan mulai memencet salah satu tombolnya untuk mengganti saluran. Bibirnya mengerut. "Masih saja diulang-ulang."

"Ha-ha," timpal Sakura. "Sampai kapan berita ini akan diulang-ulang? Bahkan tidak ada laporan penyelidikan baru. Sepertinya mereka hanya memutar ulang rekaman berita kemarin."

Naruto terkekeh. "Tapi sepertinya daerah pengeboman sudah bertambah."

"Oh ya?" timpal Sakura, terdengar nyaris tidak peduli.

"Wah, Osaka kena bom juga rupanya!" tiba-tiba pemuda di sampingnya berseru kaget.

"Kenapa kau kaget sekali, Naruto?" gerutu Sakura, terganggu oleh suara Naruto yang secara alami berada sepuluh desibel lebih tinggi dari suara normal manusia.

"Ah tidak. Hanya saja ada seseorang yang kukenal sekolah di sana."

"Osaka Shimizudani Gakuen?" Gadis itu mengangkat alis tinggi-tinggi. "Siapa?" tanyanya kemudian setelah Naruto mengangguk membenarkan.

Naruto menyeringai. "Rival, kalau boleh dikatakan begitu." Dan entah kenapa, ada kerling janggal di sepasang mata biru langit milik pemuda itu.

.

[Edited 4/15/2017]