Mom? Dad?!

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto, Mushi cuma numpang minjem

Rated T

Genre : Humor, Family, Romance

Pair : Naru x Hina also Boruto and Himawari :D

Warning : TeenBoruHima! ChibiNaruHina! Typos, OOC.

OoOoOoOoOoOoOO


Chapter 1 : Mistake


Lorong sekolah tampak sepi hari ini. Sinar matahari berwarna jingga yang perlahan-lahan mulai meredup. Membuat beberapa ruangan di dalam gedung sedikit gelap. Kicauan burung yang berniat untuk mencari tempat isthirahat mereka terdengar. Waktu mulai menunjukkan pukul setengah enam sore pertanda bahwa sebentar lagi sekolah akan di tutup.

Tidak membuat kedua remaja tampan dan cantik itu pergi dari posisi mereka. Dengan wajah yang kompak menyembul dari balik dinding. Memperhatikan gerak-gerik seseorang dari ruangan yang tidak jauh dari sana.

Pemuda berambut pirang dengan tanda lahir berbentuk garis di kedua pipinya kini menyeringai senang, merasa tidak sabaran dengan aksi yang sebentar lagi akan ia lakukan. Bergumam terus menerus, dan menggoyangkan tubuhnya pelan.

Sedangkan seorang gadis berambut indigo pendek bertanda lahir sama malah panik di penuhi cemas. Memperhatikan saudara kembarnya yang sekarang berniat untuk mengambil sesuatu di sana. Mencoba untuk menghentikan tindakan sang kakak, tapi nihil. Semangat pemuda itu terlalu besar.

"Niisan, ayolah kita pulang saja. Ini sudah larut, nanti Kaasan dan Tousan mencari kita." Untuk yang kesekian kalinya mengucapkan kalimat itu, dan di tanggapi-

"Tunggu dulu, Orochimaru-sensei pasti sebentar lagi keluar dari ruangan." Memberikan kode agar sang adik diam. Membuat Uzumaki Himawari menghela napas panjang. Benar-benar walau umur kakaknya kini sudah lima belas tahun tetap saja seperti anak kecil. Dan dia tidak bisa menghentikan atau menahan.

"Ugh, Niiisan kenapa suka sekali mengambil ramuan buatan Orochimaru-sensei. Ramuannya itu kan aneh, nanti kalau berakibat fatal bagai-" sebelum menyelesaikan kata-katanya, jemari pemuda pirang itu berhenti tepat di depan bibirnya. Membuat kerucutan muncul, kesal karena perkataannya di potong.

"Ssh, nah kan dia keluar. Pasti ingin mengembalikan peliharaan anehnya ke kandang di lantai bawah. Ini kesempatan kita, Hima!" seringai itu bertambah lebar, saat melihat punggung lebar Senseinya menjauh dan akhirnya menghilang di balik dinding.

"E..eh! Tapi ramuan kemarin-"

"Ayo!" menarik tangan adiknya, berlari cepat menuju ruangan yang kini kosong tanpa penghuni. Himawari tambah panik,

Astaga! Tidak cukupkah kakaknya jera atas ramuan yang minggu lalu sempat ia ambil. Ramuan yang di berikan pada anjing peliharaan mereka sebagai bahan percobaan membuat binatang manis itu tidak bisa mengeluarkan suaranya seharian. Untung saja efeknya hanya sehari jadi esoknya Shiro bisa kembali menggonggong seperti semula.

Himawari sudah menangis, melihat Shiro tidak bisa mengeluarkan suaranya. Marah pada sang kakak dan berakhir memaafkan pemuda itu saat menyogoknya dengan es krim vanilla sebanyak empat buah.

Dan sekarang?!

Lagi!

Ah! Sudah lima kali menolak tapi gagal. Boruto Uzumaki, kembarannya tetap keukeuh. Berjanji kalau tidak akan mengambil ramuan aneh-aneh tapi yang normal saja.

"…"

Alasan macam apa itu?!

Mana ada ramuan yang di buat oleh Sensei paling misterius di sekolahnya normal. Wajahnya saja sudah mengerikan apalagi obatnya?!

"Niisan, berhenti menarik tanganku!" mencoba melepaskan genggaman kakaknya, tapi tidak bisa.

"Sedikit lagi, Hima. Nah itu dia!" berteriak kecil, penuh tawa puas. Saat kedua tubuh remaja itu berada di depan ruangan. Boruto tanpa basa-basi langsung masuk ke dalam sana. Sedangkan Himawari menatap sekitar. Takut-takut kalau Senseinya datang lagi.

"Niisan-" suaranya terdengar pelan, menatap bagaimana lincahnya gerakan Boruto melewati meja-meja penuh alat-alat kimia. Pemuda itu memperhatikan dengan senang seluruh ramuan-ramuan yang berjejer manis di sebuah rak.

Berbinar-binar, kedua tangannya cepat membuka lemari, dan pandangan itu tertuju pada satu ramuan. Menarik perhatiannya karena warna berwarna biru cerah, persis seperti warna kedua manik Ayahnya.

"Aku yakin obat ini tidak berbahaya." Bergumam dan mengangguk setuju, mengambil botol kecil di sana. Mengidahkan protesan adiknya.

"Cepat, Niisan. Sebelum Sensei kemari!" berteriak panik, saat mendengar suara derap langkah dari tangga di sebelah sana.

"Iya, iya," mendengus singkat, sekarang di dalam genggamannya sebotol ramuan kecil telah berhasil ia ambil. Berteriak girang dalam hati, Boruto berlari menuju adiknya.

Grep! Tangan itu menggenggam pergelangan Himawari, seraya mengeluarkan cengiran lebarnya. Persis sekali dengan sang ayah. "Nah kalau seperti ini, aku bisa pulang dengan tenang~" berujar singkat, dan menarik gadis itu pergi dari sana secepatnya.

"Ugh!" kerucutan bibir sang Hyuuga bungsu bertambah panjang, di sertai kembungan pipi menahan kesal. Ingin sekali ia menjitak kepala yang otaknya sama miripnya dengan ayah mereka.

Benar-benar prilaku yang mirip. Tidak ada bedanya!

"Awas saja kalau nanti terjadi apa-apa. Aku tidak mau bertanggung jawab!" mengerang, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Keduanya bergegas keluar dari sekolah secepatnya, sebelum gerbang di tutup sepenuhnya.


OoOoOoOoOoOoOoOoO


Tanpa mengetahui sama sekali, sosok laki-laki berambut panjang di sana melihat jelas kelakuan murid-muridnya. Menyeringai dalam hati, sebelum akhirnya menggelengkan kepala pelan.

'Kutebak lusa mereka akan datang kembali menemuiku.' Berpikir singkat, sebelum akhirnya berjalan menuju ruangannya. Masih dengan senyuman mengerikan dan tingkah anehnya.

Ya, Orochimaru melihat kedua remaja itu mengambil ramuannya.

Pantas saja beberapa ramuannya sering menghilang selama sebulan ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

Masih kesal, sepanjang perjalanan Himawari hanya bisa mengalihkan wajahnya, kedua maniknya menatap pohon Sakura yang berjejer indah di jalan. Jingga dan merah muda bercampur menjadi satu. Indah memang, tapi suasana hatinya sedang tidak ingin membahas itu. Kembungan pipi masih terlihat jelas-

Sedangkan Boruto yang melihat tingkah laku adiknya hanya mengerutkan kening. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ayolah Hima, Niisan yakin ramuan ini tidak akan berbahaya~" mencoba menenangkan adiknya.

"Apanya yang tidak berbahaya! Niisan ini suka sekali mencari masalah!" berteriak kecil, dan berjalan mendahului pemuda pirang itu.

"O..oi!"

"Pokoknya kalau sampai nanti Niisan menjadikan Shiro bahan percobaan lagi." Menghentikan langkahnya, menatap tajam sang kakak. Sebelum-

"Aku akan mengatakannya pada Tousan dan Kaasan, kalau Niisan sering mengambil ramuan Orochimaru-sensei! Biar nanti mereka memarahi dan menghukum Niisan!" mengancam Boruto, dan melanjutkan langkahnya kembali.

"….."

Meninggalkan kakaknya di sana. Membeku, mengendikkan bahunya. Mencoba untuk tidak mengidahkan ancaman adiknya.

'Aku yakin sekali ramuan berwarna menarik ini tidak berbahaya. Yakin seratus persen!' berujar dalam hati. Mengingat kalau sudah tidak ada Shiro lagi yang akan di gunakannya sebagai kelinci percobaan.

Jadi siapa yang akan ia gunakan?

"Hm," berpikir lama, mencari orang atau binatang yang tepat.

Sebelum helaan napas panjang terdengar-

"Hh, siapa yang mau menjadi kelinci percobaanku! Sudahlah, nanti saja kupikirkan." Mendengus kesal, dan mengejar adiknya di sana.

"Oi! Hima tunggu!"

.

.

.

.

.


Kediaman Uzumaki~


"Tadaima~" mengucapkan kalimat itu singkat, helaan napas panjang Himawari lakukan. Gadis cantik itu melepaskan sepatunya, diikuti dengan Boruto di belakangnya.

"Awas kalau marah terus nanti wajahnya berkerut lho~" masih membujuk adiknya.

Sret! Kedua manik sang Hyuuga bungsu langsung menatapnya tajam. "Wajahku ini masih fresh Niisan, jadi berhentilah meledekku." Bukannya tenang malah bertambah marah. Hentakan kaki gadis itu semakin kuat. Boruto terdiam sejenak, memperhatikan gerak-gerik adiknya. Berjalan hendak naik ke lantai atas, namun langsung berhenti seketika saat wajahnya menoleh ke samping. Tepat dimana sang ibu sering memasak.

Wajah itu memerah tanpa sebab, membuatnya bingung dan memilih mengikuti sang adik. Himawari menutup kedua matanya dengan tangan, berdiri kikuk menatapnya.

"Kau kenapa-" suaranya terhenti, melihat adiknya mengisyaratkan diri untuk diam.

Mengerutkan kening heran, Boruto mempercepat langkahnya. Berdiri tepat di samping Himawari.

'Ck, ada apa lagi memangnya?' berdecak dalam hati, saat kedua maniknya menatap ke dalam dapur.

"….." sukses bibirnya bungkam-

Memperhatikan dua orang sosok di sana-

Sang ayah dan sang ibu tengah-

"Uwaaa, Tousan dan Kaasan kenapa bisa melakukan hal seperti itu di dapur." Mengecilkan suaranya, Himawari sukses menarik lengan kakaknya, menutup wajahnya dengan itu. Walau umurnya lima belas tahun juga, begini-begini hatinya masih polos sekali.

Memperhatikan laki-laki pirang di sana memeluk tubuh sang ibu dari belakang, dan mendapatkan ciuman yang sangat lama penuh gairah dari sang empunya. Itu cukup membuatnya pusing.

Dan untuk Boruto-

Maniknya menatap datar, menghela napas panjang. Melihat kelakuan kedua orang tuanya dan sang adik bergantian.

Baginya kegiatan orangtuanya sudah biasa ia lihat, tapi bagi adiknya berapa kali pun ia melihat tetap saja malu.

Tidak mau membuat adiknya bertambah pusing sebelum akhirnya nanti di pingsan.

"Ehem! Tadaima Tousan, Kaasan!" dirinya mendehem cukup keras, dan menyuarakan kalimat 'Tadaima' sekali lagi.

"…."

"….." sedetik tanpa respon, sampai akhirnya-

"E..eh! Uwaa, menjauh Naruto-kun!" sang Ibu yang pertama kali mendengar suara Boruto langsung saja melepaskan diri dari ciuman suaminya. Tak ayal saking kagetnya ia mendorong tubuh kekar di belakangnya tadi. Membuat laki-laki berumur tiga puluh dua itu terjungkal jatuh.

Bruk!

"Ittai! Hinata kenapa kau mendorongku!" Naruto mengerang sakit, menatap heran tingkah laku istrinya.

Sedangkan Hinata-

Wanita itu mengidahkan rengekan suaminya dan memilih mendekati kedua buah hatinya. Sambil tersenyum kikuk, "A..ah, Okaeri Boruto, Hima~" kedua Lavendernya memperhatikan dengan jelas bagaimana pandangan datar putranya dan sang putri yang kini bersembunyi di balik lengan Boruto dengan wajah memerah.

Oke, dia tahu sifat pemalu Himawari benar-benar menurun darinya. Ini gara-gara Naruto yang tiba-tiba datang dari kantor dan memeluknya dari belakang, di tambah meminta ciuman selamat datang. Kan dia tidak bisa menolak.

Seringai kecil milik putranya terlihat, "Bagaimana rasanya dunia seperti milik berdua, Kaasan? Sampai-sampai tidak sadar kami datang~" mencoba menggoda ibunya di sana yang kini memerah.

"E..eh! Apa? Kaasan hanya tidak mendengar saja panggilan kalian-" ucapan Hinata terhenti saat sebuah lengan kekar melingkar di pinggangnya, laki-laki yang tadinya terjungkal jatuh kini bangkit kembali memeluknya, mencium tengkuknya lembut tanpa malu sama sekali.

"Tega sekali kau menghentikan acara kedua orang tuamu Boru-"

Bletak! Pukulan keras mendarat di puncak kepala Naruto. Hinata memukulnya, memperhatikan bagaimana putri manisnya kini bertambah malu, wajahnya memerah dan memeluk lengan sang kakak semakin erat.

"Uwaa! Tousan Kaasan hentikan!" Himawari berteriak malu. Sebelum akhirnya gadis itu berlari ke atas menuju kamarnya.

"Kalau begitu aku ke kamar dulu." Diikuti Boruto yang melangkahkan kakinya, masih menyeringai kecil seraya mengacungkan jempolnya pada sang ayah.

'Good Job putraku!' Naruto membatin senang, memperhatikan tubuh kedua anaknya menghilang menaiki tangga.

"…." Meninggalkan mereka berdua di sana.

"…"

"Ka..kalau begitu aku ingin melanjutkan kegiatan-" berniat untuk menghindari serangan suaminya.

"Eit! Kita belum selesai sayang~" tapi gagal saat lengan kekar itu memerangkap tubuhnya. Memeluknya erat, membuatnya memerah. Di usia mereka yang sudah kepala tiga namun, Naruto masihlah suka melakukan hal seperti itu.

"Tu..tunggu dulu Naruto-kun!" mencegah wajah tampan tan itu semakin menjelajahi tengkuknya, mencium serta menjilatnya lembut. Tangannya gagal menghentikan kegiatan Naruto. Dirinya melenguh kecil,

"Diam dan nikmatilah~" berujar pelan.

Oke, Hinata rasa dirinya sudah di mabuk sekali lagi oleh sang suami. Membuatnya menyerah, membiarkan tangan-tangan lincah itu menjelajahi tubuhnya. Perlahan demi perlahan-

Menyentuh punggungnya, wajah, perpotongan lehernya, turun semakin turun, menggapai-

"Oh iya Tousan, Kaasan, aku lupa mengingatkan. Minuman berwarna biru yang ada di meja sana jangan di minum ya. Pokoknya jangan di sentuh. Oke!"

"….."

Kegiatan keduanya bagaikan terhenti, saat melihat wajah Boruto kembali muncul tanpa rasa bersalah, menunjuk ke arah botol ramuan yang sempat ia simpan di sana. Dengan tidak pekanya, pemuda lima belas tahun itu sekali lagi melihat tindakan kedua orang tuanya yang semakin ekstrem.

"…." Ia terdiam sesaat, memperhatikan kedua orang di sana yang membeku menatapnya balik.

"Ck, ck, bisa tidak kalian berdua menahan diri sampai nanti malam. Aku tidak mau melihat adikku pingsan lagi." Dirinya berkata cepat, seraya melengos pergi ke kamarnya.

"….."

"…."

Membiarkan keduanya orang itu kembali diam-

Tanpa kata-kata-

Sebelum-

Bruk!

"Kan sudah kubilang Naruto-kun jangan berbuat macam-macam!" Hinata mendorong tubuh suaminya pelan, mengembungkan pipinya kesal. Dan pergi ke dapur lagi.

Meninggalkan Naruto di sana-

"…."

Mendengus kesal, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ck, anak itu. Kutarik kembali kata-kataku~" mengendikkan bahunya singkat dan menatap ke arah botol yang di katakan oleh putranya tadi.

"…"

Terlihat menarik, dan rasa penasarannya muncul.

Laki-laki tampan itu mengelus dagunya pelan, sebelum akhirnya-

"Hm, hukuman karena sudah mengganggu acara orang tuanya~" seringaian kecil muncul di wajah Naruto. Tanpa aba-aba, ia melangkahkan kakinya mendekati botol berwarna biru itu.

Mengambilnya seraya memastikan keadaan,

Aman-

"Ini kuambil dulu~" menyenandungkan lagu kesukaannya, dengan sifat iseng yang di milikinya sejak lahir. Laki-laki itu tersenyum lebar. Menemukan sesuatu yang menarik.

"Hm, apa ini?" melangkahkan kaki masuk ke dalam dapur. Mungkin dia bisa mengalihkan pembicaraan Hinata yang sempat kesal padanya dengan ini~

Ide bagus!

.

.

.

.

.

.

.

.

Masuk ke dalam dapur, memperhatikan bagaimana lincahnya tangan Hinata membuat makan malam di sana. Sebuah botol kecil kini di genggamannya.

Mendekati sang istri, "Nee, Hinata-" hendak memperlihatkannya pada wanita itu. Tapi-

"Aku sedang memasak, bisakah Naruto-kun duduk atau mencari kegiatan lain. Mandi misalnya." Hinata memotong ucapannya, berkata cepat dan masih terfokus pada makanannya.

Oke, sepertinya wanita ini masih kesal.

Menghela napas panjang, sampai akhirnya botol kecil itu ia perlihat pada Hinata. "Kau tahu apa ini? Anak kita mengambilnya dari siapa, aku benar-benar tidak mengerti dimana dia mendapatkannya."

"…." Kedua manik itu berhasil teralihnya sesaat, melihat botol berisi cairan berwarna biru terang.

"Mungkin itu sirup yang dia beli bersama Hima." Menjawab cepat, dan kembali lagi. Ia harus menyiapkan makanan yang banyak untuk sekarang dan besok. Mengingat esok adalah hari libur di musim semi, jadi mereka sekeluarga ingin melihat Hanami di taman Konoha. Sudah banyak yang mendatangi tempat itu. Dan Hinata tidak ingin ketinggalan kegiatan setiap tahun yang keluarganya lakukan.

Sedangkan Naruto-

Mengerucutkan bibirnya kesal, rencananya gagal. "Hinata, jangan bersikap seperti itu. Aku tadi hanya sedikit kelewatan~" merengek bagaikan anak kecil.

"Hh, iya kelewatan sampai membuat putri kita hampir pingsan tadi." Mendengus kesal,

Pundak Naruto merosot seketika, mulai lagi mode ngambek sang istri. Berjalan lemas, memperhatikan botol kecil di tangannya. Perlahan ia melangkahkan kaki ke arah rak piring, mengambil sebuah gelas di sana.

Laki-laki itu merasa haus, dan mungkin sirup yang di beli oleh Boruto bisa membuatnya tenang. Ya, sebagai hukuman untuk putranya yang pura-pura innocent tadi, biarkan dia yang mencicipi minuman di tangannya.

'Hee, mungkin dia ingin membuat ini sirup pertama kali, jadi melarangku untuk menyentuh atau meminumnya~' Naruto tahu benar sifat anak-anaknya itu.

Membuatkan minuman untuk membujuk Hinata mungkin rencana selanjutnya yang akan berhasil.

Tanpa menunggu lebih lama, tangan itu dengan cekatan menuangkan sirup berwarna biru di botol itu. Warna yang menarik, membuatnya berpikir kalau minuman itu pasti akan enak. Pikirannya benar-benar pendek, tetap tidak berubah sejak dulu.

.

.

.

.

.

.

.


Dua puluh menit berlalu~


Dengan sebuah handuk di lehernya, rambut pirang yang basah terkena air. Serta pakaian yang baru, sang sulung Uzumaki berniat turun ke dapur untuk makan malam. Mungkin setelah membujuk adiknya-

Memperhatikan kamar yang tidak jauh dari tempatnya, berniat untuk mengetuk pintu kamar Himawari-

Tap-Tap

Salah satu tangannya sudah siap untuk mengetuk pint berwarna coklat di hadapannya.

Sebelum-

"Uwaaaa!"

"Kyaa, apa-apaan ini Naruto-kun!"

Gerakannya terhenti saat mendengar suara teriakan kedua orangtuanya dari bawah sana. Hidungnya mencium bau asap yang menyengat, serta melihat bagaimana kabut berwarna putih itu perlahan naik ke lantai atas.

Panik tentu saja-

Brak! Pintu kamar Himawari terbuka sempurna dengan cepat. Gadis itu memandangnya khawatir.

"Ada apa?!"

"Tidak tahu, ayo kita lihat!" tanpa basa-basi langsung berlari ke bawah. Suara teriakan-teriakan kecil masih terdengar.

Entah telinganya yang salah dengar, tapi baik Himawari maupun Boruto mendengar suara ibu ayahnya kenapa seperti-

"Tousan, Kaasan ada apa?!"

"…"

"Boruto, Himawari apa yang kalian bawa dari sekolah tadi?!"

"Kenapa kami jadi seperti ini?!"

Keempat manik itu kontan terbelalak sempurna. Tubuh mereka membeku, mendingin penuh dengan keringat kecil yang turun perlahan dari pelipis.

Keduanya saling pandang, mencoba memastikan kalau yang mereka lihat itu pasti ilusi-

"Ni..Niisan, aku tidak salah lihat kan?" masih dengan suaranya yang bergetar. Menggenggam baju sang kakak.

"Mu..mungkin Niisan yang salah lihat. Tidak mungkin Kaasan dan Tousan berubah menjadi-" ucapannya terhenti seketika.

Saat melihat kedua orangtuanya menjawab bersamaan. "Kenapa kami menjadi kecil seperti ini?! Jelaskan pada kami Boruto Uzumaki!"

"Himawari Uzumaki!"

Oke, apa yang mereka lihat sekarang adalah-

Sesosok tubuh mungil berkulit tan, rambut berwarna pirang serta garis pipi, dan pakaian yang terlihat kebesaran.

Diikuti dengan sesosok tubuh mungil gadis berambut indigo pendek yang mirip sekali dengan Himawari.

Keduanya berusia sekitar tujuh tahun, terlihat mungil dan manis untuk sesaat. Sebelum-

"Darimana kalian mendapatkan obat-obat aneh tadi?!" melihat pandangan tajam dari kedua orangtuanya.

"E..eh!"

Reflek membeku sempurna, keduanya kikuk. Saling memandang. Himawari yang mencubit pinggang kakaknya,

'Lihat! Ternyata ramuan Orochimaru-sensei sekarang membuat Tousan dan Kaasan mengecil!'

Boruto mengernyit kikuk-

Membatin kecil, mencoba untuk tertawa kecil namun gagal, saat melihat sosok mungil di sana semakin mendekatinya.

"Jelaskan sekarang, anak-anak kami yang manis~"

"…."

'Mati aku!'

Ya, dia akan di hukum berat setelah ini-


TO BE CONTINUED~


A/N :

Karena fic ini sudah tamat dan berkisar lima chapter aja, Mushi usahakan apdet cepat jika banyak yang suka :) Cuman fic ringan dengan konflik seuprit ehehe XD


Untuk akhir Kata, Mushi nggak akan capek-capek bilang~

SILAKAN RIVIEW~ \^0^/\^V^7

JAA~