"Kau mungkin tidak tertarik dengan perang, tetapi perang justru tertarik padamu."—Leon Trotsky


Oyassan Galore

KageHina

Police-Yakuza AU

Haikyuu! © Furudate Haruichi

.

.

Chapter 1: Chaos

.

.


Ruang konferensi siang itu dipenuhi oleh lebih banyak ketegangan dari biasanya. Suara bisikan halus akibat percakapan kecil di antara para pejabat kepolisian yang biasanya membuat diskusi kecil saat rapat pun tak terdengar, dan hal itu sama sekali tidak membantu udara kaku yang mengambang, menyelubungi setiap sudut ruangan.

Kageyama bisa merasakan es-es imajiner yang merambat perlahan, dari lantai porselen ruangan yang dilapisi karpet merah, merambat hingga dinding putih bersih—yang baru saja memperbarui catnya kemarin, dilihat dari baunya yang menyengat—kemudian pada hadirin rapat, dan pada akhirnya, es itu menyelimuti segala sesuatu di ruangan megah tersebut.

Dingin. Sosok yang mengepalai kantor Keishichou, atau dalam bahasa asing disebut sebagai Tokyo Metropolitan Police Departement, tak bisa merasakan apapun kecuali dingin, meski pada kenyataannya sama sekali tak ada es yang memenuhi seluruh penjuru ruangan seperti imajinasinya tadi. Bahkan AC pun tak terlihat dinyalakan. Sensasi yang membuat bulu kuduknya berdiri itu didapatnya dari tebalnya kabut keseriusan dan ketegangan di sana.

Seluruh sorot mata tertuju pada Keisatsu-chou Choukan (Jendral Komisioner)—yaitu pemegang jabatan tertinggi bagi seorang petugas kepolisian di Jepang—bernama Ushijima Wakatoshi di balik podium pada tengah ruangan, sedang melakukan briefing mengenai keadaan kacau yang tengah melanda Jepang dengan seragam polisi yang dipakai rapi, tubuh tegap dan tinggi semampai, serta garis wajah yang tegas. Sekilas penampilannya terlihat seperti biasanya, tapi Kageyama merasa bahwa dia sedikit lebih serius. Kemampuan mengamatinya yang hebat membuat Kageyama mencatat perubahan pada gaya bicara Ushijima, karena kalimat yang biasanya meluncur dengan tenang dan lambat kini terdengar diucapkan lebih cepat.

Seolah dia merasa… senang. Seperti seekor elang yang baru saja menemukan mangsa terlezat di dunia ini.

Mengerikan. Kageyama merasakan dirinya bergidik ngeri. Ushijima sama sekali tak menyembunyikan hawa predatornya.

Satu-satunya suara yang menginterupsi sang jendral berasal dari kamera-kamera di tangan para pemburu berita yang sekian detik sekali menangkap dan memotret apapun yang terjadi selama konferensi berlangsung. Selain itu, semuanya bungkam, menutup mulut rapat-rapat. Setiap dari mereka tahu bahwa ini bukanlah saatnya untuk bermalas-malas.

Jepang berada dalam status siaga.

Bukan karena perang dengan negara lain, bukan karena wabah atau bencana.

Namun, tidak lain adalah karena mafia yang menetap, berkembang, dan menambah jumlah di negara mereka sendiri.

Mafia yang hanya bisa dijumpai di Jepang—yakuza.

"Sejak dua bulan yang lalu, pemerintah telah menetapkan status siaga untuk Jepang," Ushijima menyatakan dengan suara beratnya yang lantang, beberapa mikrofon yang ditempatkan di hadapan mulutnya membuat suaranya berhasil terdengar oleh semua hadirin. "Seperti yang kalian ketahui, semua kekacauan ini disebabkan oleh kelompok kriminal yang biasanya kita biarkan berkeliaran dan berbuat sesuka mereka begitu saja—yakuza. Atau, sebagian orang menyebut mereka gokudou."

Ushijima berhenti sejenak. Kilatan-kilatan cahaya kamera segera membanjiri sosok tegapnya. Dia sama sekali tak terlihat terganggu dengan itu, dan melanjutkan.

"Selama ini, memang sulit untuk menangkap mereka karena hukum kita tak mendekati hukum milik negara-negara Barat seperti Inggris, yang memberikan penegasan penuh terhadap individu atau kelompok pelaku tindakan kriminal. Yakuza terkenal sebagai kriminal dari Jepang yang dengan sombongnya berdiri bebas di atas hukum-hukum kita. Tapi, bukan berarti kita harus menyerah menangkap mereka, seperti yang selalu kita lakukan. Akibatnya adalah… kejadian seperti ini."

Kageyama mendengar sosok di sampingnya menghela nafas. Dia menoleh menatap sosok itu, lalu berusaha menahan keinginannya untuk ikut-ikut menghela nafas dan justru mencoba fokus kembali pada Ushijima dengan menolehkan kembali kepalanya ke depan.

"Kejadian yang kumaksud, tidak lain adalah munculnya bouryokudan*—para yakuza itu—yang semakin gencar melakukan tindakan ilegal dan perang antarkelompok secara terang-terangan. Dampak yang mereka timbulkan sangat merugikan—rusaknya fasilitas negara, hilangnya nyawa beberapa penduduk, dan kerugian keuangan. Saat ini, kami telah mengamankan Perdana Menteri, yang akibat keteledoran dari beberapa personel hampir menjadi korban penculikan seminggu silam, dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Seluruh penduduk dianjurkan untuk meningkatkan kewaspadaan mereka. Dan untuk kepolisian, kalian akan mengetatkan penjagaan dan menambah pasukan patroli di sepanjang jalan untuk menekan pasukan bouryokudan."

Kekacauan ini… Semuanya terjadi begitu saja. Setiap orang pernah mengira akan terjadi hal seperti ini suatu hari, tetapi tidak secepat ini.

Sedari awal, yakuza memang merupakan organisasi sindikat kriminal transnasional yang sulit ditangani oleh kepolisian. Tidak seperti luar negeri, Jepang tak memiliki hukum seketat U.S. RICO Law yang dapat mengikat sindikat kriminal untuk menghentikan tindakan ilegal mereka—perjudian, penjualan narkoba, prostitusi, penjualan manusia—atau bagian tubuh manusia, dan banyak hal tidak manusiawi lainnya.

Hingga sekarang, hal terbaik yang dapat kepolisian lakukan hanyalah mengamankan aksi-aksi mereka yang terkadang membahayakan penduduk—contohnya, seperti yang telah Ushijima sebutkan, perang antarkelompok pada jalanan kota. Meski begitu, kepolisian tak dapat melakukan selebihnya. Mereka tak dapat membuat mereka berhenti.

Yakuza berada jauh di atas hukum Jepang. Mereka mafia yang kompleks, organisasi mereka tertata dengan baik dan mereka memiliki peraturan yang telah diatur sedemikian rupa. Orang-orang itu tak akan bisa ditindih dengan hukum semata.

Mereka pintar dan licik, tak seperti preman jalanan yang kebanyakan hanya mengandalkan otot. Segala hal yang mereka lakukan selalu berakibat mengutungkan. Seperti ketika mereka bersedia meminjamkan uang kepada siapa saja, tetapi nantinya, mereka akan bersikeras agar sang peminjam memberikan bunga lebih ketika uang mereka kembali. Kejadian rusuh ini seringkali dijumpai, di mana orang tak berdosa yang dibodohi yakuza dihajar habis-habisan karena tak bisa mengembalikan hutangnya pada mereka.

Dan semua itu menyebabkan orang-orang merasa… lalai? Atau menyerah. Mereka akhirnya menyerah mengejar yakuza mati-matian dan membiarkan mereka melakukan hal sesuka mereka. Bukan membiarkan… mungkin lebih tepatnya, mereka tak dapat melakukan apa-apa.

Terlebih, yakuza terbiasa membangun imej bangsawan di mata penduduk—imej angkuh dan tak tersentuh. Pengaruh mereka terhadap aktifitas kriminal dalam Jepang juga tak bisa dianggap remeh—dengan membangun teritori mereka masing-masing, penjahat asing atau gang non-yakuza akan berpikir dua kali sebelum bertindak yang aneh-aneh di daerah kekuasaan mereka, sehingga angka kriminalitas di dalam negara mereka juga menurun secara signifikan.

Sejujurnya, jika ditelisik lebih lanjut, semua kegiatan yakuza tidak terlalu menimbulkan keributan besar—sekalipun yang mereka lakukan adalah menjual organ tubuh, mungkin. Mereka hanya melakukan pekerjaan mereka di malam hari, dan secara diam-diam, tak berisik, tak meledak-ledak. Tak seperti perkelahian antarpelajar yang menimbulkan kericuhan di sana sini.

Namun, segalanya berubah secara tiba-tiba.

Yakuza biasanya tenang—tak menimbulkan keributan besar, dan kalaupun mereka menimbulkan suatu kerusuhan, pasti skalanya kecil hingga tak terdengar oleh kepolisian.

Hari itu, apa yang mereka lakukan sama sekali berbeda dengan imej tersebut.

Mereka tiba-tiba mengadakan perang antarkelompok di jalanan besar—padahal di hari biasa, mereka pasti akan mengurusi dendam organisasi di suatu tempat yang sepi akan kehadiran manusia. Berteriak di sana sini, merusak fasilitas negara, membakar apapun di sekitar mereka. Tingkah mereka lebih mendekati preman jalanan daripada yakuza yang bak seorang bangsawan—anggun, pintar, tenang.

Kageyama sendiri tak mengerti motif mereka melakukan hal itu. Apakah mereka berniat untuk memberontak? Melakukan kudeta? Walau begitu, dia sama sekali belum menemukan seorang pun anggota yakuza yang merampok atau mencuri barang di toko-toko. Hanya sebatas menghancurkan dan merusak, tak lebih—itupun katanya tak disengaja. Mungkin juga melukai, tapi mereka tak mengambil satupun barang milik toko atau penduduk di sekitar.

Yah, jadi dia rasa para yakuza masih sedikit mempertahankan imej bangsawannya dengan tindakan penuh pertimbangan itu.

Yang jelas, karena semua itu, Jepang mengalami keributan dan kerusakan di sana sini. Pemerintah dengan sigap telah menaikkan status negara menjadi siaga, karena bahkan para tentara nasional juga terlihat kewalahan menghadapi mereka. Perlu dicatat bahwa mereka mempunyai senjata ilegal yang mereka beli dan selundupkan, tidak heran jika mereka dapat melawan balik, bahkan memukul mundur prajurit negara.

Di atas semua itu, Kageyama lebih mengkhawatirkan fakta bahwa tidurnya akan menjadi sangat kurang beberapa hari—atau mungkin bulan—ke depan. Kageyama mengangkat tangannya untuk membenamkan wajahnya di sana, dan mengeluarkan helaan nafas panjang.

Dia merasa lelah sekali.

Di depannya, Ushijima menjelaskan mengenai sesuatu yang sepertinya berkaitan dengan peningkatan kinerja polisi serta berbagai macam hal yang hendaknya kepolisian lakukan ketika mereka menghadapi para yakuza. Kageyama mengeluarkan erangan kecil.

Pria muda itu menyempatkan diri untuk melihat sosoknya pada cermin sebelum menghadiri konferensi ini—dan hasilnya… dia tak sanggup berkata-kata, hanya mengeluarkan helaan nafas panjang. Kulit yang memucat, lingkaran hitam di sekitar kedua mata, dan kerutan yang terlihat semakin ngotot untuk berlama-lama di wajah Kageyama membuatnya terlihat seperti mayat hidup. Wajahnya saat itu—dan mungkin hingga sekarang—benar-benar parah.

Semalam saja dia tidak mendapatkan tidur yang cukup. Bagaimana dia akan bisa bertahan selama beberapa bulan ke depan tanpa tidur yang cukup, seraya dirinya harus menghadapi yakuza?

Yah… dia memilih untuk percaya pada dirinya sendiri dalam urusan itu.

"…dan sekian untuk rapat hari ini. Sekali lagi, kepada semua saja, tingkatkan penjagaan kalian di mana pun kalian berada. Tak ada yang dapat memprediksi kapan bouryokudan akan kembali muncur. Kalau begitu, saya undur diri." Ushijima membungkuk dengan hormat sebentar, sebelum menegakkan kembali tubuhnya dan berjalan menuruni podium.

Suara tepuk tangan di sekitarnya yang ditujukan pada Ushijima membuat Kageyama terseret kembali dari pikirannya yang terbebani—ya, menjadi seorang kepala bukanlah hal mudah—dan dia hampir saja melonjak kegirangan begitu menemukan bahwa konferensi yang membosankan ini telah usai. Akhirnya, udara segar setelah beberapa waktu terperangkap di ruangan pengap.

Katakan saja bahwa Kageyama tidak tahan dengan suasana kaku di sana.

Sebenarnya, kembali ke kantornya juga tidak akan membuat banyak perubahan. Dia juga akan berakhir sama-sama stress di sana, bahkan lebih, karena dia tahu bahwa setelah ini dia tidak akan dibiarkan istirahat.

Tentu saja, oleh yakuza yang akhir-akhir ini, yang entah mengapa, selalu mencari masalah. Dan juga oleh lembar kerja dan laporan yang Kageyama harapkan menghilang kehadirannya dari dunia ini. Maksudnya, menurut Kageyama sendiri mereka hanya menambah beban dan pusing.

Pria muda itu baru saja melangkah keluar dari ruangan ketika dia dikejutkan oleh sosok jendral—yang baru saja berbicara di tengah ruangan tadi. Punggungnya tersandar pada dinding di sebelah pintu berdaun dua dan keduanya mata tertutup. Dia seperti sedang menunggu kehadiran seseorang—

"Kageyama. Akhirnya kau keluar," Ushijima mengakui keberadaan Kageyama setelah dia membuka kedua matanya.

Tunggu, jadi dia tengah menunggunya?

"Ada urusan apa dengan saya?" Kageyama menelan ludah. Jujur saja, dia sedang tidak ingin berurusan dengan… seorang Ushijima dan aura mengerikannya. Biasanya, Ushijima akan menghampirinya seperti ini apabila dia mempunyai perintah untuknya—permitaan pribadi, kata Ushijima sendiri, tapi Kageyama tahu betul kalau itu sama saja perintah mutlak yang harus dijalankan bagaimanapun juga.

Dan dalam keadaan tubuh yang rentan dan lelah ini, dia sedang tidak ingin mendapat perintah sulit—dan, um, merepotkan—dari sang pimpinan.

"Tidak juga."

Jawaban itu sukses membuatnya bingung. Dan di saat bersamaan, sebenarnya Kageyama tak benar-benar heran karena ini adalah Ushijima yang biasanya. Dia tak terlalu senang berbasa-basi, hanya menyampaikan hal yang penting secara singkat dalam berbicara. Dia memiliki aura wibawa dan superior yang kemudian berkombinasi menjadi intimidasi hebat. Siapapun yang berurusan dengannya tanpa sadar akan mengeraskan rahang mereka karena gugup—atau bahkan takut.

Mungkin, sampai saat ini belum ada orang yang berani membantah perintah Ushijima. Termasuk Kageyama sendiri, karena tentu saja, siapa yang ingin cari gara-gara dengan orang berleher kaku yang merupakan pimpinan seluruh polisi se-Jepang?

"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu."

Sudah diduga, pasti perintah. Kageyama mengerang untuk kesekian kalinya hari itu. "Ah… Apa yang ingin Anda sampaikan?" Kageyama bertanya sambil berusaha untuk menegakkan kembali kedua bahunya yang melemas karena Ushijima memutuskan untuk memperberat beban pekerjaannya. Sedetik kemudian dia ingin menendang dan memarahi dirinya. Ayolah, apakah ini sikap seorang kepala Keishichou?—Kageyama menegur dirinya sendiri. Kalau dia menerima posisi tersebut, seharusnya dia tahu dia akan jadi begini sibuk ketika sesuatu yang hebat terjadi pada Jepang.

Ushijima sama sekali tak terpengaruh dengan pandangan gugup yang Kageyama lemparkan. Pria pemilik rambut hijau kecokelatan itu justru berjalan menuju arah yang berlawanan dengan Kageyama, dan baru berhenti ketika dia sampai di sebelah Kageyama, bahu keduanya bersentuhan.

Sebuah tangan mendarat di atas bahu Kageyama, menekankan diri pada bagian tubuh tersebut selama beberapa detik—dan Kageyama benar-benar merasa bahwa bersamaan dengan itu, dengan tangan Ushijima diletakkan pada bahunya, sebuah beban yang sangat besar dijatuhkan pada dirinya secara utuh.

Dia merasa seolah dirinya adalah sebuah paku, dan tangan Ushijima yang tidak lebih besar dari tubuh Kageyama sendiri pun berasa seperti palu yang memukul paku tersebut. Kageyama merasakan kedua kakinya yang tertanam hebat di atas bumi, tak bisa bergerak, bahkan untuk mengambil nafas pun tidak. Gaya besar dari palu tersebut membuatnya merasa hal seperti itu—dia harus menjalakan perintahnya, harus, bagaimanapun juga—dan ini bukan kali pertama dia mengalaminya.

"Aku menaruh harapan padamu."

Suara bernada rendah itu berbicara dekat di telinganya, menggemakan kalimat tersebut di dalam hati, kepala, telinga, menghipnotis otaknya untuk menggerakkan bagian tubuhnya hanya untuk satu alasan—memenuhi permintaan sang jendral. Batinnya bergetar dalam sebuah ketakutan dan perasaan was-was, serta bayangan hal-hal dan perasaan buruk yang akan ditemuinya apabila dia tak dapat menjalankan tugas itu.

Pengaruh Ushijima pada setiap orang sangat mengerikan. Mungkin dia tak mengatakannya secara langsung, bahwa perintahnya harus dijalankan, tapi hanya dengan satu kalimat seperti itu, dia bisa mengontrol batin setiap orang untuk merasa berkewajiban melakukan perintahnya.

Kageyama tak menyadari sebulir keringat yang telah mengalir dari dahinya. Aku tahu ini akan terjadi, dia berkata di dalam hati. Karena inilah dia selalu menghidari berurusan dengan Ushijima—dan sepertinya gagal karena bagaimanapun juga, Kageyama memiliki jabatan penting di sana sehingga pria yang bersangkutan seringkali berpapasan dengannya. Setiap kedua mata mereka bertemu, aura Ushijima terasa menghisap seluruh energi di dalam tubuhnya.

Barulah saat tangan Ushijima terangkat dari bahunya, Kageyama membiarkan dirinya mengeluarkan nafas yang bergetar. Kepalanya menoleh, iris biru meneliti punggung tegap Ushijima yang berjalan tanpa sekalipun menoleh kepadanya.

Aku tahu dia akan mengatakan hal seperti itu, Kageyama perlahan menggerakkan kembali kepalanya untuk menghadap ke depan, nafas panjang keluar secara perlahan dari mulutnya, dan bersamaan dengan itu, bahu dan dadanya bergerak menurun mengikuti gerakan pernafasan. Aku tahu betul.

Kageyama hafal betul—

Ushijima tak pernah sekalipun absen mengatakan hal itu setiap Kageyama ditugaskan dalam sebuah misi.

"Mau bagaimana lagi," Kageyama mendesah lelah, sekali lagi menutupi wajah dengan telapak tangannya yang lebar, selama beberapa saat berdiri mematung di sana sebelum akhirnya menghela nafas sekali lagi dan menggerakkan kaki untuk menjauh dari tempat itu.

Benar, kalau yang berbicara seperti itu adalah Ushijima, tidak ada pilihan lain.

Dia harus melakukan yang terbaik.

XOXO

Ketika waktu menunjukkan pukul empat sore, berjarak sekitar enam jam dari usainya rapat kepolisian, Kageyama bahkan belum sempat menyelesaikan setengah dari laporannya.

Kertas-kertas dibiarkan berserakan di atas meja kerjanya—dia bahkan tidak tahu lagi kertas mana yang berisi lembar kerjanya dan mana yang berupa laporan kasus. Laptop terbuka, diletakkan di tengah-tengah meja tanpa mempedulikan kemungkinan berkas penting yang bisa saja tertindih benda canggih tersebut. Jemarinya beradu kecepatan di atas keyboard, mengetik dan merangkai kata demi kata secepat kilat, ingin beban mengerjakan laporannya cepat selesai. Bagaimanapun juga, masih ada banyak hal penting lain yang harus dipikirkannya.

Dan handy talkie yang diletakkan di dekatnya memilih untuk bersuara saat itu juga.

"Ou-sama, kau di sana?" Suara yang kerap kali didengar Kageyama berbicara dengan malas dari seberang sana. Dilihat dari etika dan nada berbicaranya—yang menyebalkan, hanya ada satu orang yang terpikirkan olehnya. Tsukishima Kei. Tentu saja, siapa lagi yang masih berani memanggilnya demikian selain si sialan itu?

Kageyama menghela nafas. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan Tsukishima di saat seperti ini. Dengan lemas, tangannya meraih handy talkie miliknya dan menjawab lesu, "Ya. Ada apa?"

Tsukishima terdiam sejenak. "…Kau yakin dirimu belum menjadi zombie?" Dalam kondisi fitnya, Kageyama sudah akan membalas kalimat menyebalkan itu sedari tadi. Sekarang, dia hanya bisa mengulang pertanyaan Tsukishima di dalam kepalanya tanpa bisa menjawab pasti.

Beruntung, Tsukishima memilih untuk melanjutkan pembicaraannya.

"Ada kasus. Di dekat distrik perbelanjaan Jalan Shichiro."

Kageyama memijit batang hidungnya. "Penyebab?"

"Siapa lagi," dengus Tsukishima. "Yakuza."

Yakuza. Tentu saja, siapa lagi?

Kageyama melirik kondisi meja kerjanya yang bagaikan kapal pecah, dan dia hanya bisa mengumpat kecil di balik nafasnya. Dari semua waktu, mereka memilih waktu di mana dia masih sibuk-sibuknya mengurusi berkas-berkas dan laporan.

Saat itu juga, Kageyama memutuskan kalau dia sangat membenci yakuza.

"Di atas itu semua, organisasi yang sama lagi-lagi terlibat."

Kageyama menaikkan sebelah alisnya. "Organisasi yang sama?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Aku yakin kau sering mendengar nama mereka," Tsukishima terdiam, dan selama beberapa saat, yang terdengar dari seberang sana hanyalah suara nafas Tsukishima yang teratur. "…Karasuno."

"Ah… ya. Tentu saja aku tahu." Kageyama tidak memerlukan waktu lama untuk mengenali nama organisasi tersebut. Sejak kejadian di mana kerusuhan yakuza mulai menyerang hampir semua wilayah Jepang, nama Karasuno adalah yang paling sering terdengar di telinga para penduduk—dan apalagi, di telinga para polisi.

Karasuno.

Organisasi yakuza terkuat di distrik Kabuki, mungkin juga di Tokyo, dan katanya juga merupakan salah satu biang kerusuhan utama di wilayah Tokyo.

Tempat operasi mereka berada pada tempat yang sama dengan cabang kepolisian tempat Kageyama bekerja, sehingga dia juga tidak sedikit direpotkan oleh ulah mereka. Sebab, nama mereka selalu hadir pada setiap kasus peperangan antarkelompok yakuza. Entah sudah berapa kali mereka berpartisipasi aktif dalam kerusuhan itu, Kageyama tak ingin repot-repot menghitung.

Yang jelas, Karasuno dikenal sebagai organisasi paling troublemaker saat itu. Mereka adalah musuh bagi sesama yakuza, gang non yakuza, maupun kepolisian sendiri. Padahal, jika Kageyama tidak salah mengamati, selama ini mereka tidak pernah menimbulkan keributan sedemikian rupa. Mereka seperti kelompok yakuza pada umumnya—selalu berhati-hati dalam bertindak, tak pernah menampakkan diri sebagai yakuza kecuali saat malam tiba, dan tak pernah bertarung ketika ada penduduk di sekitar mereka.

Mereka tidak akan pernah bertindak seceroboh itu hingga membuat semua pihak memusuhi mereka.

Dia tidak tahu apa yang menyebabkan mereka membandel seperti ini. Ada sesuatu di balik semua ini, dia yakin. Mungkin butuh waktu cukup lama untuk menemukan alasannya, tapi Kageyama yakin dia akan tahu cepat atau lambat.

Ada hal yang lebih penting yang harus dipikirkannya—sebuah kasus yang menghadang di depan matanya sendiri. Mungkin di depan mata Tsukishima yang ada di tempat kejadian.

"Aku bisa mengatasinya sendiri. Kau tak perlu datang, dan aku tidak mau melihat wajah zombie menjijikkanmu."

Jemari panjang dan kurus menyisir helai-helai hitam yang berantakan. Kageyama mengerutkan keningnya ketika dia merasakan rambutnya yang kini berubah kusut. Baru sekarang dia merasakannya, tetapi tubuh berkeringatnya yang belum diguyur air sejak kemarin membuat pakaian yang dikenakannya berasa menempel pada kulitnya.

"Aku akan ke sana sebentar lagi," ucapnya singkat, mengabaikan apa yang Tsukishima katakan sebelumnya. "Satu hal lagi. Tsukishima, jangan bertindak berlebihan. Ini perintah."

Tanpa menunggu respon dari Tsukishima—kemungkinan besar pemuda berlidah tajam itu tak akan repot-repot membalas kalimat sepele itu—Kageyama memasukkan handy talkie miliknya ke dalam saku kemeja. Laptop di atas meja dia tutup dengan cepat, menimbulkan bunyi keras.

Mengabaikan kertas-kertas di atas meja yang sedari awal berceceran, Kageyama meraih jas kepolisiannya, serta senjata-senjata untuk berjaga diri yang mungkin dibutuhkan seperti pistol atau tonfa, sebelum akhirnya berjalan keluar dari ruang kerjanya menuju ruangan rapat di mana para rekannya telah berkumpul.

"Kageyama," Seorang pria berambut hitam dengan garis wajah tegas, tetapi dalam waktu bersamaan juga memancarkan kebaikan hati, menyapa Kageyama dari tempatnya duduk. Dia segera berdiri dan menunduk, memberikan semacam penghormatan kepada Kageyama yang merupakan atasannya meskipun dia dua tahun lebih tua dalam umur.

"Daichi-san," Kageyama membalas sapaannya dengan sopan.

Sawamura Daichi mengakhiri gestur salutnya dan mendongak. Kedua matanya perlahan melebar, seolah dia baru saja menyaksikan pemandangan pada film-film horor yang sangat mengerikan. Ekspresi itu hanya berakhir sebentar, sebelum wajah pria yang menjabat sebagai wakil kepala tersebut berganti menjadi penuh kekhawatiran.

"Kau… tidak apa-apa?"

Kageyama tak ingat sudah keberapa kalinya kalimat serupa telah ditujukan kepadanya hari itu. Dia menjawab dengan anggukan kecil. "Ya. Mungkin." Tangannya menemukan jalan sekali lagi menuju surai hitamnya, lalu dia menggaruk-garuk kepalanya dengan canggung. Dirinya sendiri juga tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Dia baik-baik saja, hingga saat ini dapat berdiri tegak, tapi rasanya dia bisa tumbang kapanpun saja.

Tatapan khawatir serupa juga didapatnya dari Azumane Asahi, Ketua Biro Lalu Lintas. Dia adalah seorang pria berbadan tinggi semampai dan tegap. Rambutnya diikat menjadi sebuah gelungan dan dia memiliki sedikit jenggot pada dagunya. Penampilan luarnya yang sekilas terlihat mengerikan membuat semua orang takut padanya, dan tak ayal, gosip-gosip tak benar mengenai Azumane muncul.

Pada kenyataannya, pria yang bersangkutan justru lebih penakut dan berhati kecil dari yang mereka kira, membuatnya sering kali menjadi korban kalimat-kalimat pedas dari Sawamura yang sudah lama mengenal Azumane.

"Setelah ini, tolong istirahat sebentar, Kageyama…" Dia mengucapkan dengan nada lirih dan hati-hati, tetapi penuh dengan kepedulian. "Semua orang mengkhawatirkanmu."

"Yang paling khawatir itu dirimu, Asahi," tukas Sawamura, matanya mendarat pada rekan berhati kacanya tersebut. Pandangannya lalu berpindah pada Kageyama—dia baru saja sampai pada kursi bagian ujung yang dikhususkan untuk kepala. "Asahi bertingkah seolah semua itu adalah salahnya."

Azumane tak bisa melakukan hal apapun yang dapat mewakili bentuk protesnya, kecuali menyebut nama Sawamura dengan nada tidak terima yang masih diucapkan secara lirih dan halus. Tentu saja. Azumane yang Sawamura kenal tidak akan pernah tega membentak rekan kerjanya—yang paling jahat sekalipun, seperti Tsukishima atau Sawamura sendiri yang sering mem-bully-nya.

Walau Azumane berani-berani saja melakukan hal itu jika dia dalam mode super serius, tetapi itu topik yang berbeda karena dia tidak akan dapat mempertahankan mode itu selama sehari penuh, sebelum akhirnya kembali pada kepribadiannya yang lama.

"Jadi," Sawamura berdeham, mengalihkan perhatian semua anggota kepolisian di dalam ruangan tersebut dari Azumane, lalu menoleh pada sang kepala. "Kali ini apa?"

"Seperti biasa," jawab Kageyama singkat. Jika menyaksikan wajah serius setiap jiwa di sana, dia bisa menyimpulkan bahwa hampir semua orang tahu apa yang dimaksudkannya.

"Yakuza…" Sawamura berbisik, kepalanya menunduk. Raut wajahnya terkesan kusut, lelah, dan jujur saja, semua petugas kepolisian di sana tidak luput dari rupa wajah yang sama. Mereka, terutama Kageyama sebagai kepala, sama lelahnya.

Jika Kageyama ditanya seberapa lelahnya dia, mungkin dia akan mengibaratkan seolah dirinya memikul kelelahan setiap dari bawahannya tersebut. Melihat posisinya yang didudukinya, sebenarnya tidak mengherankan kalau dialah yang paling lelah dan paling butuh istirahat.

Kageyama membenarkan dugaan Sawamura anggukan. "Menurut Tsukishima, salah satu partisipan mereka adalah… Karasuno."

"Lagi?" Sawamura mengernyitkan dahinya tidak suka. Dia sama bosan dan tidak sukanya dengan Kageyama ketika mendengar nama biang kerok tersebut.

"Letak kejadian pada distrik perbelajaan di Jalan Shichiro. Tsukishima—dan mungkin Yamaguchi—telah berada di sana. Kita tinggal menyusul secepat mungkin untuk meredakan suasana."

"Tsukishima-san ada di sana?" tanya salah seorang petugas, mewakili kekagetan yag dirasakan setiap orang di sana.

"Kalau kita membiarkan dia berlama-lama di sana," Sawamura berkata dengan pelan, pandangannya serius, tetapi menyiratkan kekhawatiran, "kelihatannya akan jadi gawat."

"Ya," Kageyama tidak bisa menjawab apapun selain dengan pernyataan setuju. Dia menutup kedua matanya sejenak, mencoba menenangkan diri dan menjernihkan pikiran. Kepalanya sudah berdenyut sakit sedari tadi, dan sekarang pun, otaknya masih dipenuhi dengan pikiran dan beban bahwa tugasnya di kantor belum selesai.

"Semua orang tahu kalau dia…" Kageyama memberi jeda sejenak. Mimik khawatir dan tegang pada wajah semua orang di dalam ruangan mengisyaratkan bahwa mereka mengerti kelanjutan perkataan Kageyama.

"Dia sangat membenci yakuza," Azumane menyelesaikan kalimat tersebut menggantikan Kageyama. Titik-titik ketakutannya yang biasa masih jelas terlihat dalam ekspresi wajahnya. Namun, semuanya tersamarkan oleh keseriusan dan ketenangan yang jarang sekali terjadi kecuali sesuatu yang genting menimpa dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

"Yamaguchi ada di sana, bukan?" Sawamura mencoba memotong kabut ketegangan di dalam ruangan. "Jika itu benar, maka dia seharusnya bisa mencegah Tsukishima bertindak yang tidak-tidak."

Kageyama mengalihkan kedua matanya dari meja yang selama beberapa waktu dipandanginya. "Aku belum mengkonfirmasi hal itu. Aku tak tahu dia benar-benar ada di sana atau tidak, tapi aku sangat berharap perkataanmu benar, Daichi-san."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" Satu lagi petugas yang duduk tak jauh dari Sawamura mengangkat suara. "Kita harus segera berangkat, Kepala. Tidak ada yang tahu hal terburuk apa yang bisa terjadi di sana."

Jika Tsukishima yang menjadi objek pembicaraan, bahkan Kageyama yang terkenal jenius pun tak dapat memperkirakan apa yang akan dilakukan pria muda berambut pirang itu. Ketua Biro Investigasi Kriminal itu tak akan memberikan ampun kepada setiap yakuza yang dia temui. Tsukishima diketahui memiliki… pengalaman tidak baik dengan yakuza dulu sekali, ketika dia masih kecil, sehingga dia memendam dendam besar kepada mereka.

Dia tidak akan segan membunuh karena dendamnya itu.

Karena itu, Kageyama hanya bisa berharap Yamaguchi ada di sana. Setidaknya, dia bisa mencegah kemungkinan terburuk untuk terjadi.

"Ya. Ya, kau benar. Kita akan segera berangkat," Kageyama menutup kedua matanya sejenak, mengambil nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, dan dia bisa merasakan sedikit dari kepenatannya terbawa keluar bersama helaan nafasnya. Dia melakukannya selama beberapa kali sebelum akhirnya kedua matanya kembali terbuka, menampakkan sepasang warna biru yang indah.

Kageyama dengan cepat beranjak dari duduknya, berdiri, dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja di hadapannya. Semua perhatian serentak tertuju padanya, berpasang-pasang mata menyaksikan sosoknya yang nampak begitu gagah di samping penampilan berantakannya.

"Aku akan mengatakan ini berkali-kali—prioritas utama kalian adalah melindungi penduduk. Tugas kita adalah mengayomi masyarakat, bukan menakut-nakuti masyarakat, jadi sebisa mungkin, hindari menggunakan senjata kalian kecuali nyawa kalian benar-benar terancam," Kageyama menghentikan perkataannya sejenak untuk membiarkan rekan-rekannya memberi anggukan tanda mengerti. "Sisanya, lakukan seperti biasa. Mengerti?"

"Siap, mengerti!"

Entah mengapa, Kageyama berfirasat bahwa hari ini akan menjadi sangat panjang.

XOXO

Situasi telah berubah menjadi cukup genting ketika mobil-mobil kepolisian yang membawa Kageyama dan rekan-rekannya tiba di sana.

Warna merah dari api yang menjilat-jilat bangunan sekitar terpantul pada kedua iris biru Kageyama. Perasaan kaget yang semula hampir membuat tubuh lelahnya jatuh pingsan kini tergantikan oleh amarah. Bola matanya memantulkan dengan baik perasaan amarahnya itu, menatap lurus melalui pintu mobil yang terbuka, menuju pemandangan deretan bangunan pada distrik perbelanjaan yang dilahap api.

Melalui bau bensin yang samar-samar tercium oleh hidungnya, dia segera dapat menebak siapa pelakunya. Giginya saling beradu di dalam mulut, geram. Cara yang terlalu primitif, sederhana, dan mudah ini… siapa lagi pelakunya jika bukan anggota gang?

Dengan kedua tangan terkepal, Kageyama melangkah keluar dari mobil yang ditumpanginya, matanya masih belum bersedia memindahkan diri dari api yang membakar bangunan distrik perbelanjaan yang pada hari biasa terlihat begitu tentram.

Mereka semua benar-benar keterlaluan.

Sejujurnya, Kageyama tidak pernah berpikir bahwa mereka akan bertindak sejauh ini.

Tsukishima baru saja memberi tahu mereka di dalam perjalanan bahwa yang terlihat dalam perkelahian dengan Karasuno adalah gang non yakuza. Berbeda dengan yakuza yang melakukan kriminal secara halus, mereka melakukan kriminal secara kasar dan terang-terangan layaknya preman jalanan. Mereka tak akan ragu melakukan perbuatan kriminal keji seperti perampokan, penciurian, atau pemerkosaan.

Dan jika dia membayangkan dirinya sendiri menjadi anggota gang tersebut, sedang melawan yakuza yang tentunya jauh lebih kuat dari dirinya sendiri, tentu dia akan menggunakan strategi selicik apapun untuk bisa menang dari mereka. Mungkin dengan cara mengambil penduduk sebagai sandera. Mungkin juga hal lain yang sedikit lebih kejam.

Namun, dia tidak akan pernah menduga kalau mereka akan membakar seluruh distrik perbelanjaan seperti ini.

Matanya menyisir pemandangan sekitar, mencari-cari keberadaan penduduk yang beberapa saat lalu berada di distrik tersebut. Hatinya mencelos, terasa was-was dan khawatir setengah mati ketika dia tak menemukan siapapun di sana. Di mana? Ke mana perginya semua penduduk? Jangan-jangan mereka ada di dalam api? Jangan-jangan—

"Kepala!" Salah seorang bawahan belari mendekati Kageyama. "Kami menemukan para penduduk! Mereka dijadikan sandera oleh gang non yakuza di Restoran Amamiya."

Kageyama membiarkan dirinya menghela nafas lega. Setidaknya, mereka selamat. Setidaknya, mereka belum kehilangan nyawa mereka. Dia belum gagal, masih ada kesempatan untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Dia mengeluarkan handy talkie dari dalam saku kemejanya, lalu mendekatkannya pada mulutnya. "Tsukishima, kau dengar aku?"

"Kau terlambat," Dengusannya adalah yang pertama kali Kageyama dengar. Kontras dengan amarah yang dapat Kageyama dengar di dalam nadanya, dia terdengar menyalahkan dirinya sendiri dan bukan para polisi yang dikatainya terlambat datang. Kageyama dapat memahami apa yang dipikirkan Tsukishima. Jika dirinya gagal untuk mencegah para kriminal melakukan hal-hal yang dapat melukai penduduk, dia juga akan menyalahkan dirinya sebelum dia menyalahkan orang lain.

"Apa yang terjadi?" Kageyama dapat menebak sebagian skenario yang berakhir pada lautan api di sekelilingnya, tetapi dia tetap menanyakannya dengan suara lirih. Bersamaan dengan itu, sebuah perasaan aneh yang mengganjal muncul pada bagian terdalam dari perutnya. Dia tidak menyukai perasaan tersebut, dan dia ingin mengetahui alasannya.

Kageyama ingin tahu apa yang sebenarnya salah dari semua ini. Intuisinya selalu berkata bahwa kasus-kasus serupa yang ditanganinya merupakan lebih dari sekadar perkelahian antarkelompok bouryokudan semata.

"Karasuno mencari gara-gara dengan gang non yakuza 'Kinokuchi'. Yang jelas, karena sekumpulan orang bodoh itu ingin membalas dendam, mereka memancing Karasuno kemari dan mengajak mereka berkelahi. Padahal mereka sendiri tahu bahwa mereka kalah jauh dalam kekuatan," Tsukishima memberi jeda sejenak untuk mengeluarkan tawa paksa. Lalu terdengar, "Yamaguchi, lanjutkan berbicara."

Setelah beberapa detik Kageyama mendengar suara dengungan, dia akhirnya disambut oleh suara halus milik Yamaguchi Tadashi, partner Tsukishima yang sejauh ini paling sabar menghadapi tingkah laku kurang ajar si rambut pirang. "Ini Yamaguchi. Em, melanjutkan perkataan Tsukki—maksudku Tsukishima, para gang non yakuza ternyata telah menyiapkan rencana di balik tantangan langsung mereka."

"Rencana itu…" Kageyama melirik api di sekitarnya, dan saat itu juga dia menyadari keringat yang mulai mengucur deras dari tubuhnya karena suhu udara di sana yang ikut meningkat. "Maksudmu, ini, bukan?"

"Benar. Mereka sadar bahwa mereka tak bisa mengalahkan para yakuza secara langsung. Karena itu, mereka menggunakan para penduduk untuk melawan yakuza."

Kageyama memerangkap dagunya di antara ibu jari dan jari telunjuk. "Begitu… Selama ini, yakuza memang memiliki semacam adat untuk tidak melakukan kriminal yang mengancam nyawa penduduk. Dan gang itu mengerti bahwa yakuza tidak akan mau melukai para penduduk karena itu bisa menghancurkan imej dan konvensi mereka."

"Ya…" Yamaguchi menjawab pelan. Jeda selama beberapa saat. Kageyama baru saja membuka mulut, berpikir untuk menyuruh Yamaguchi dan Tsukishima bergabung dengan kelompoknya, tetapi rupanya dia disela telebih dahulu dengan namanya sendiri yang dipanggil secara takut-takut, "Kageyama?"

Kageyama menutup kembali mulutnya, tak jadi meluncurkan perintah kepada Yamaguchi, lalu membukanya kembali. "Ada apa?"

"Tsukki… dia tidak melakukan apapun. Dia tidak melukai siapapun."

Kageyama membulatkan kedua matanya. Kemudian, seluruh ketegangan pada wajahnya sirna seketika dan helaan nafas kecil penuh kelegaan keluar dari mulutnya. "Begitu," ucapnya, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia berpikir sebentar sebelum akhirnya berkata, "Kerja bagus, Yamaguchi."

"E-Eh?" Pria muda yang bersangkutan tergagap, terdengar malu dan bingung untuk menjawab. "I-Iya, maksudnya… Aku sama sekali tidak—"

"Ou-sama," Suara Tsukishima menyela secara tiba-tiba, menandakan bahwa si rambut pirang telah merebut handy talkie dari tangan Yamaguchi. "Berhenti melongo seperti itu dan lakukan sesuatu untuk menyelamatkan para sandera."

"Kau sendiri ada di mana? Cepat bergabung di sini," Kageyama memberikan perintah, tanpa menyadari bahwa suaranya hampir berubah menjadi bentakan. Dia mengira akan mendapat komen sarkastik dari Tsukishima seperti biasanya, tetapi dia justru disambut dengan keheningan, hanya ada suara desas-desus dari radio di tangannya.

"…Tsukishima? Oi, Tsukishima!?"

Dia tidak tahu mengapa, tetapi seolah mengikuti instingnya yang merasakan sesuatu yang buruk, jantungnya ikut berdegup kencang. Di dalam hati, Kageyama berharap bahwa saat ini Tsukishima hanya mengerjainya, lalu dia akan mengeluarkan suara menyebalkannya lagi setelah ini untuk menggodanya dan membuat Kageyama mengakui kalau dirinya mengkhawatirkan Tsukishima.

Namun, tidak. Satu, dua… hingga sepuluh detik yang terasa begitu lama berlalu. Tak ada suara apapun. Kemudian—

Terdengar suara tembakan. Kageyama yakin jantungnya terasa akan copot dari tempatnya saat itu juga. Dan seperti berniat untuk memperparah keadaan, sambungannya dengan Tsukishima melalui radio handy talkie terputus secara tiba-tiba. Wajah Kageyama semakin memucat.

Tsukishima mungkin memanglah orang paling mengesalkan sedunia, tetapi dia masih tetap merupakan teman Kageyama.

"Tsukishima! Hei! Jawab aku!" Dia berteriak kepada radio di tangannya, tak mempedulikan fakta bahwa benda tersebut berhenti melakukan fungsinya untuk berkomunikasi beberapa saat yang lalu. "Sialan! Tsukishima!"

"Ada apa, Kageyama?" Sawamura muncul di belakangnya dengan ekspresi cemas, dengan Azumane yang mengekor. "Tsukishima… Apa yang terjadi kepadanya?"

"Aku tidak tahu," Kageyama menemukan dirinya bersuara dengan lirih tetapi cepat, menandakan perasaan panik, khawatir, dan sesalnya saat itu. "Sambungan dengannya terputus dan… terdengar suara tembakan."

"Aku juga mendengarnya dari tempatku berdiri tadi," Azumane mengaku, suaranya lebih berat ketika dia serius dan seketika, rasa hormat Kageyama terasa bertambah berkali-kali lipat melihat perkembangan Azumane. Meski dia yakin, ketika misi berakhir dan mereka kembali ke kantor, Azumane akan kembali kepada dirinya yang biasa. "Tsukishima… kita harus segera menyelamatkannya."

Kageyama menundukkan kepalanya dengan lemas, gigi-giginya bergemeretak di dalam mulutnya, dan kedua tangan terkepal marah. Jika mereka berani melukai salah satu temannya, mereka akan segera membayar semuanya setelah ini.

"Tak apa-apa, Kageyama," Sang kepala mendongak begitu mendengar Sawamura mengangkat suara. Dia bertemu dengan sepasang manik gelap yang menatapnya lurus, dan dengan determinasi kuat. Sawamura mengangguk yakin, "Percayalah pada Tsukishima. Kau seharusnya mengerti hal ini, Kageyama—dia sangat kuat, jadi dia pasti baik-baik saja."

Kageyama menggigit bibir bawahnya, mencoba mengatur nafas, lalu mengangguk perlahan. "Ya… Ya, kau benar." Dia tidak membohongi dirinya sendiri. Sebagai rekan satu kantor, Kageyama hampir setiap hari ditugaskan bersama Tsukishima. Agaknya, semua lagak menyebalkan dan tingkah meremehkannya itu bukan omong kosong saja—dia benar-benar seorang monster dalam kekuatan dan pertarungan. Kageyama bahkan tidak ragu-ragu untuk mengakui hal ini.

Jadi… Sawamura pasti benar. Tsukishima akan baik-baik saja. Dan Kageyama justru akan terlihat seperti orang bodoh jika dia mengkhawatirkan orang kuat macam Tsukishima.

"Mungkin… justru para bouryokudan itulah yang seharusnya kukhawatirkan. Entah apa yang akan Tsukishima lakukan pada mereka," kata Kageyama mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia direspon oleh Sawamura dan Azumane dengan tawa kecil.

"Itu benar, Kageyama," Sawamura mengulum senyum lebar, dan sekilas ada semacam kebanggaan di sana. Pria bersurai hitam itu mendekati Kageyama, lantas meletakkan salah satu tangannya pada bahu Kageyama sebagai bentuk dukungannya terhadap sang kepala. "Sekarang… kita hanya tinggal menunggu perintahmu, Pak Kepala."

Kageyama membalas tatapan Sawamura dan mengangguk. Mendekatkan mulutnya pada handy talkie sekali lagi, dia memerintahkan kepada semua pasukan untuk bergerak menyelamatkan para penduduk. Kageyama bersama Sawamura dan Azumane memimpin di depan, perlahan berjalan menuju restoran di mana tempat para sandera berada.

Sang kepala menendang pintu restoran dengan keras, lalu melenggang masuk ke dalam restoran dengan pasukan petugas kepolisian di belakangnya. "Jangan bergerak!" teriaknya keras. Dia meraih sesuatu dari saku celananya, kemudian menunjukkannya pada setiap makhluk hidup di ruangan itu—kartu identitasnya sebagai polisi. "Kami dari Keishicho. Jangan melakukan apapun dan menyerahlah."

Iris birunya segera menangkap pemandangan beberapa orang—sekitar lebih dari lima puluh orang—dengan kedua tangan diikat dan mulut ditutup menggunakan kain. Segerombolan pria berjaket kulit dan bertato berdiri di hadapan mereka dengan pistol pada masing-masing tangan—Kageyama yakin mereka adalah gang non yakuza—lalu pada seberang ruangan, nampak sekumpulan orang yang memakai hakama dengan katana yang disarungkan pada samping tubuh mereka, kedua tangan mereka diangkat ke atas dan wajah mereka menunjukkan perasaan marah yang sangat mendalam karena dipaksa untuk tidak berbuat macam-macam.

Ah… mereka adalah yakuza. Butuh waktu cukup lama bagi Kageyama untuk memproses hal itu di dalam otaknya. Pada zaman sekarang, cukup jarang dia menyaksikan yakuza yang memakai pakaian tradisional. Kebanyakan dari mereka telah mengikuti perkembangan zaman dan memilih untuk memakai setelan jas yang lebih mengesankan kebangsawanan.

Jadi, mereka adalah Karasuno yang disebut-sebut kuat itu?

Sebelum Kageyama dapat mengamati mereka lebih jauh, salah seorang dari gang non yakuza yang mengenakan jaket kulit tanpa lengan yang menampakkan tato pada lengannya, mengeluarkan tawa yang cukup keras. Tawa meremehkan.

"Oh, oh! Lihat, para 'sekutu keadilan' telah datang!" Lelaki itu menunjuk Kageyama dengan tidak sopan, dan sesekali masih sempat mengeluarkan tawa di sela-sela perkataannya. Rasanya, di mata lelaki itu kedatangan polisi untuk menyelamatkan penduduk seperti pemandangan lucu yang tak lazim saja. "Sayang sekali… Padahal aku baru saja akan membuat dua temanmu menjilat sepatuku!"

Dua teman…?

Kedua mata Kageyama melebar. Dia segera mengikuti arah di mana lelaki preman tadi menunjuk, dan dia dapat segera menemukan Tsukishima dan Yamaguchi yang berdiri di pojok ruangan, kedua tangan juga ikut diangkat, tak bisa melakukan apapun karena kemungkinan anggota gang itu mengancam menggunakan sandera di hadapan mereka.

"Tsukishima! Yamaguchi!" Kageyama membiarkan perasaan lega mengguyur batinnya. Setidaknya mereka berdua masih selamat.

Tsukishima mendecakkan lidahnya. "Lama, Ou-sama. Aku baru saja akan menghajar buta-kun di sana."

"Hah?" Lelaki yang tertawa tadi—dilihat dari gelagat dan cara bicaranya yang paling berani, kemungkinan dia merupakan pemimpin mereka—melirik Tsukishima dengan sinis. Dia lantas mengalihkan perhatiannya pada Tsukishima, wajahnya memerah karena marah. Sepatu yang dia kenakan menimbulkan bunyi yang keras, menggema seisi ruangan, ketika dia perlahan berjalan menuju Tsukishima. "Apa katamu tadi, bocah?"

"Kau tidak dengar?" Tanpa terlihat takut sama sekali, Tsukishima memasang senyuman lebar—senyuman meremehkan andalannya yang biasa dia gunakan pada Kageyama. "Kubilang, aku ingin sekali menonjok muka jelekmu dan membenamkannya ke tempat sampah."

"Tsu-Tsukki!" Yamaguchi yang berdiri di sebelahnya berbisik dengan panik, dan seperti Kageyama, dia merasa bahwa perkataan Tsukishima terlalu berlebihan dan jika segalanya berakhir salah, para sandera bisa saja terluka atau bahkan terbunuh.

"Bocah," Pemimpin gang tersebut menggertakkan gigi-giginya dengan sangat keras hingga terdengar suara dari dalam mulutnya. Detik berikutnya, dia mengangkat sebelah tangannya, bersiap untuk meluncurkannya menuju Tsukishima sambil berteriak, "Jangan sombong hanya karena kau adalah polisi, sialan!"

Tsukishima masih belum menghilangkan wajah meremehkannya, dan Kageyama juga tidak tahan untuk tidak meneriakkan nama rekannya yang satu itu karena, Tsukishima, si bodoh Tsukishima yang dikenalnya pasti akan menangkis serangan tersebut dan membalasnya dengan serangan yang lebih menyakitkan, dan ketika pemimpin mereka tersudut, kemungkinan besar dia akan benar-benar melukai penduduk yang menjadi sandera dan…

Hal yang lebih buruk bisa saja terjadi.

Sebelum pikirannya bertambah panik, seseorang dari kubu ber-hakama berteriak, "Tunggu!" Sontak, semua pasang mata tertuju padanya, pada sosok pemuda—atau bahkan pria—bertubuh cukup mungil jika dibandingkan dengan anggota lainnya dan bersurai hitam dengan segelintir warna pirang pada rambut depannya.

Kedua mata berwarna cokelat itu memancarkan keseriusan dan ketenangan. Dia lalu mengucapkan dengan pelan dan jelas, "Musuhmu adalah Karasuno, bukan? Dia tidak ada hubungannya denganmu," Dia berhenti, lalu mendongakkan kepalanya lebih ke atas, seperti menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang pecundang yang hanya bisa membiarkan seseorang tak bersalah terseret dalam permasalahannya. "Jika kau ingin memukul seseorang, pukul aku! Pukul aku sepuasmu, sebanyak apapun! Asalkan kau tidak menyentuh para sandera dan polisi itu."

Pemimpin Kinokuchi terdiam, rahangnya mengeras, di dalam kepalanya mungkin sedang menimbang-nimbang perkataan si yakuza tadi—atau bahkan mencemoohnya besar-besaran. "Kau… berani sekali berkata seperti itu. Kau pikir kau siapa, hah!?" Kedua matanya bergerak-gerak, berpindah antara Tsukishima dan yakuza kecil tersebut. Pada akhirnya, kepalan tangannya perlahan menurun. Kemudian, usai melayangkan tatapan mengancam sekali lagi kepada Tsukishima, dia berjalan menuju sang yakuza, langkahnya cepat dan terkesan tidak sabar, dan sorakan mendukung dari anak buah di belakangnya membuat suasana menjadi semakin panas.

Di luar dugaan semuanya, dia berhenti sebelum mencapai pria yakuza tadi, tepatnya di hadapan seorang gadis dalam seragam sekolahnya. Dia menarik kerah gadis tersebut dan memaksanya untuk berdiri. Sang pemimpin gang mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku jaketnya dan mengarahkannya pada gadis yang menjadi sandera tersebut.

"Heh. Lihat! Lihat ini!" Dia mendekatkan ujung pisau yang tajam kepada kulit leher sang gadis. "Benar. Kalian tak menginginkan gadis ini terluka, bukan? Kalau kalian masih berpikir bahwa kalian lebih baik dariku, aku akan," Pisau itu bergerak membentuk garis horizontal di depan leher sang gadis, mengisyaratkan bahwa dia tidak akan segan-segan melukai gadis itu. "Semua orang di ruangan ini, angkat tangan!"

Kageyama dengan enggan mengangkat kedua tangannya, diam-diam mengumpat. Mengapa semuanya menjadi seperti ini? Semua gara-gara Tsukishima dan ketidaksabarannya. "Hentikan! Lepaskan dia!"

"Diam!" Kageyama baru menyadari bahwa dia baru saja melakukan sesuatu yang salah. Wajah preman itu terlihat semakin menggila seiring dengan berlalunya waktu. Cengkeramannya pada sang gadis bertambah erat dan pisau itu nampak semakin tak sabar untuk merobek kulit putih di dekatnya. "Diam, diam, diam! Kalian semua tak mengerti! Polisi, yakuza, penduduk… semua sama saja! Hanya karena kami adalah gang biasa, kalian menjadi sombong dan meremehkan kami!"

Gadis itu menjerit ketakutan ketika permukaan pisau yang dingin menempel dengan kulitnya. Darah belum menetes keluar, tetapi hanya perlu menghitung detik hingga cairan merah itu menuruni lehernya.

Situasinya… semakin gawat. Kageyama menelan ludahnya. Tidak ada pilihan lain selain diam. Dia dan anggota kepolisian lainnya memang membawa pistol, tapi menggunakan senjata api di depan warga… sekali lagi, itu adalah hal yang sangat Kageyama hindari. Dia tidak ingin anggapan warga mengenai polisi menjadi buruk. Selain itu, dengan pistol yang tertodong padanya, preman itu justru akan semakin menggila dan gadis di tangannya mungkin tak akan selamat.

Benar, sekarang hanya inilah yang dapat Kageyama lakukan. Diam, sambil menunggu situasi yang tepat untuk menyerang balik.

Dan yakuza bertubuh mungil tadi memilih saat itu sebagai momen yang tepat untuk menghancurkan rencana yang Kageyama siapkan secara matang di dalam kepalanya.

"Lepaskan gadis itu!" teriaknya kepada si pemimpin gang. "Sudah kubilang untuk menyerangku sepuasmu! Dari awal, aku adalah lawanmu! Bukankah itu akan membuatmu jauh lebih senang!?"

"Diam! Kubilang diam!" Lelaki tersebut meraung. Dengan kedua mata terutup, kepalanya menggeleng-geleng cepat. Dia semakin bertambah gila. Yang jelas, Kageyama tidak menyukai arah kejadian ini. "Kalian semua… Kalian semua tidak mengerti!"

Berpasang-pasang mata yang selama ini menyaksikan pun ternganga kaget, nafas mereka terasa tercekat dan jantung mereka serasa keluar dari tempatnya. Segalanya terjadi secara lambat. Lelaki itu mengeluarkan teriakan putus asanya sekali lagi—mungkin sedari awal dia memang gila—dan menempelkan… tidak, menggoreskan pisau itu pada leher sang gadis.

Kageyama menyaksikan darah dalam jumlah banyak yang menetes menuruni leher sang gadis dalam diam, iris biru terbelalak lebar dan kedua tangan tergolek lemas pada sisi tubuhnya. Jangan, dia memohon di dalam hati. Jangan bunuh dia…

Kageyama memejamkan kedua matanya, mulutnya perlahan terbuka dan bersiap untuk mengeluarkan teriakan terkerasnya, teriakan penuh putus asa yang memohon agar tak ada satu lagi nyawa, satu saja, yang diambil tepat di hadapannya, dan menyisakannya pada penyesalan terdalam sepanjang hidupnya.

"Hentikan."

Kageyama membeku.

Suara yang begitu asing pada telinga Kageyama mendahuluinya sebelum dia sempat mengeluarkan sedikit pun suara dan teriakan dari mulutnya.

Siapa? Itulah pertanyaan yang terdapat dalam setiap batin di sana.

Dalam sekejap, semua gerakan di dalam ruangan itu terhenti, seolah waktu telah berhenti melaju, mengikuti perintah dari suara asing yang tiba-tiba muncul itu. Baik lelaki preman itu, sang gadis, yakuza kecil tadi, bahkan Kageyama, semuanya tak luput dari perasaan teror. Cukup satu kata yang terdengar seperti perintah dari suara dingin tersebut, dan semua orang pun merasakan nafas mereka ikut terhenti.

Terdengar bunyi langkah kaki yang keras dan lambat. Serentak, semuanya menolehkan kepalanya menuju sumber suara, menuju pintu depan restoran, di balik gerombolan para polisi yang menghadang pintu keluar.

Kageyama menyaksikannya sendiri. Bagaimana semua rekannya menyingkir satu per satu dari sana, sengaja memberi jalan untuk siapapun yang berada di sana. Untuk siapapun, entah pria atau wanita, yang berhasil menghentikan satu lagi pembunuhan untuk terjadi di negara tersebut.

Siapa? Kageyama menelan ludahnya. Siapa dia?

Lapisan terakhir dari para polisi tersebut menyingkir, menampakkan seorang pria dengan tubuh tak terlalu tinggi—tak berbeda jauh dari yakuza mungil pemberani tadi.

Hal pertama yang ditangkap oleh iris biru Kageyama adalah surai oranye cerahnya. Kemudian, pandangannya berpindah pada kedua mata cokelat madu yang menggelap, tak memancarkan apapun kecuali kedinginan hati, lalu pada bibir yang membentuk garis datar, dan terakhir pada pakaian berupa kimono berwarna merah dengan obi berwarna kuning yang dikenakannya, dua katana berwarna hitam yang berada di samping tubuhnya dipegang oleh salah satu tangannya. Kimono pada bagian bawahnya sedikit tersingkap, menampilkan kaki kanannya yang dibalut oleh celana hitam ketat dan kaki bersepatu boots.

Saat itu juga, Kageyama menyadari sesuatu hanya dari penampilan pria itu.

Dia tak tahu pasti siapa sebenarnya pria misterius yang tiba-tiba muncul dan dengan sedikit usaha dapat menghentikan pemimpin Kinokuchi, tetapi dia yakin, aura mengerikan dan ketenangan bak seorang harimau yang sedang mengintai mangsanya menunjukkan kalau dia adalah salah satu dari mereka—

Yakuza.

"K-K-Kau!" Sang pemimpin gang menunjuk pria misterius berambut oranye tadi dengan pisau lipat yang semula digunakannya untuk melukai gadis di tangannya. Wajahnya mula-mula ketakutan setengah mati, tetapi Kageyama melihatnya melakukan usaha untuk menyeringai. Namun, tetap saja, seberapa lebar seringai dari preman itu, dia tidak akan pernah menandingi aura mengerikan dari sang pria misterius.

"Heh… Akhirnya…" Pria berjaket kulit itu menunduk, kedua bahunya bergetar menahan gelak tawa, dan sebentar kemudian kepalanya kembali terangkat, pisau kembali diarahkan pada sang pria misterius. "Akhirnya kau datang juga—"

"—Karasuno no Oyabun**, Hinata Shouyou!"

Kageyama melebarkan kedua matanya. "Oyabun!?" Kepalanya sontak menoleh dengan sangat cepat ke arah pria bernama Hinata tersebut. Pria cebol itu adalah… seorang oyabun? Dia adalah pemimpin dari organisasi terkuat di Tokyo? Kedua mata Kageyama bergerak dari ujung kepala hingga ujung kaki pria bernama Hinata tersebut, mengamatinya baik-baik, lantas memutuskan bahwa jika bukan karena auranya tadi, dia tidak akan percaya bahwa pemilik tubuh cebol ini adalah seorang oyabun dari organisasi bergengsi.

Penglihatannya lalu berhenti pada wajahnya. Pada kedua matanya. Dia mengamati baik-baik bagaimana warna cokelat pada kedua matanya menggelap, seiring dengan hawa membunuh yang semakin terlihat kental dari ekspresi wajahnya. Kageyama tanpa sadar kembali menelan ludah dengan paksa. Selama ini, hanya Ushijima yang dapat membuatnya merasa terancam seperti ini.

Namun, dia… yakuza itu…

Dia memiliki hawa predator yang dapat menandingi pria sadis manapun di seluruh penjuru Jepang. Bahkan mungkin, jika membayangkan dirinya disandingkan di samping Ushijima, yakuza itu akan mendapat rekor karena menjadi salah satu dari sedikit sekali orang yang dapat berada di dalam zona intimidasi Ushijima tanpa berakhir dengan tubuh gemetar.

"Ha!" Sang pemimpin gang meludah. "Selama ini, selama kami dan gang lainnya menantang Karasuno, kau tidak pernah menampakkan diri… Kau melarikan diri? Kau takut!?"

Kedua mata hitamnya memandang oyabun bernama Hinata itu dengan penuh benci, dan dia seperti sedang mengumpulkan semua dendamnya kepada para yakuza karena urat-urat kemarahan mulai bermunculan pada wajahnya, nafasnya semakin meningkat karena emosi yang tak terbendung. "Apa-apaan ekspresi itu? Apa-apaan matamu yang meremehkan itu, hah!? Memangnya kau pikir kau ini siapa!?"

Pisau itu kembali mengarah pada leher sang gadis yang telah terluka—tak cukup dalam tetapi cukup menyakitkan, hingga korban sandera di tangannya itu berteriak ngeri sekali lagi, tak ingin merasakan sakit untuk yang kedua kalinya. Meski begitu, pria tersebut meremas lengan sang gadis dengan sangat kuat untuk menyuruhnya berhenti memberontak, tetapi perlakuannya hanya menambah volume suara sang gadis.

Keadaan memburuk, tetapi… entah mengapa, hati Kageyama berkata bahwa segalanya tidak akan dapat bertambah buruk dari semua ini karena kehadiran sang oyabun.

"Hanya karena kau adalah yakuza, dan aku adalah gang… Kau pikir derajatmu berada jauh di atasmu? Kau pikir tingkah laku kalian yang sok suci, dan bersikeras untuk tidak melukai penduduk itu membuat kalian bernilai lebih!? Hah, jangan membuatku tertawa!" Pria itu memasang seringai yang sangat lebar, memamerkan semua gigi-giginya. "Kalau kau memang tidak mengerti, akan kutunjukkan… kalau tingkah angkuh kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan—"

Bruk.

Sekelebat bayangan bergerak cepat melintasi pandangan Kageyama. Dan berikutnya, sosok pemimpin gang tersebut tumbang dengan kedua mata memutih pertanda kesadarannya menghilang, pisau lipat terlepas dari tangannya, terjatuh di atas lantai dan menimbulkan suara nyaring. Sang gadis tidak menunggu waktu lama untuk berlari menjauh, tangisannya semakin keras dan deras, dan dia menghambur ke dalam pelukan sandera lain yang Kageyama kira merupakan teman sekolahnya.

Sementara yakuza itu… Pria bernama Hinata itu telah berada di hadapan sang preman yang jatuh pingsan dengan mulut terbuka, satu tangan masih memegang katana-nya dan satunya lagi agak terjulur dalam posisi terkepal. Kageyama harus membiarkan dirinya melotot tidak percaya selama beberapa saat sebelum akhirnya menyadari bahwa Hinata memang baru saja memukul perut pria itu hingga dia pingsan.

Kaki beralas sepatu boots hitam mengilat itu menginjak kepala acak-acakan milik pemimpin Kinokuchi, tatapannya masih dingin hingga semua orang di sana merasakan hati mereka membeku dalam ketakutan.

"Sampah," ujarnya dengan suara rendah, ujung kakinya menekan kepala preman tadi tanpa belas kasihan. "Kau adalah sampah. Aku adalah yakuza. Jangan samakan kami dengan sampah manusia seperti kalian."

Nafas Kageyama terhenti seketika, manik berwarna biru melebar. Hatinya bergemuruh hebat, detak jantung bertambah dan kedua bahu bergetar pelan. Dia bisa merasakannya kembali—perasaan yang sama ketika dia berada di dekat pengaruh hebat Ushijima. Getaran batinnya yang tak dapat berhenti dan tenggorokannya yang terasa dicekik akibat hawa memangsa yang sangat kental.

Pandangan gelap itu, suara datar itu… aura mengerikan itu—

Kageyama memutuskan bahwa mungkin, yakuza itu bisa saja menyaingi kekuatan Ushijima.

Hinata mengerling, dan pandangannya lalu jatuh kepada sekelompok pria berjaket kulit yang masih berdiri memandangi bos mereka dengan mulut ternganga. Begitu mata gelap itu mendarat pada kelompok itu, Kageyama dapat menyaksikan bagaimana bahu mereka berjengit pelan—ketakutan.

"Aku beri waktu sepuluh detik," Dia menginjak kepala pemimpin mereka sekali lagi, "untuk membawa pecundang yang kalian sebut pemimpin ini keluar."

Mereka terbengong sebentar, masih belum menyadari perintah yang ditujukan kepada mereka, lalu begitu kenyataan telah meresap pada otak masing-masing bahwa bos mereka kalah dalam sekali serangan, mereka menjawab dengan teriakan 'ya' yang diucapkan dengan gugup. Secara beramai-ramai mereka menggotong tubuh lunglai pemimpin mereka dari restoran itu dengan wajah ketakutan. Mereka terlihat seperti barisan semut yang baru saja diganggu manusia—bubar dan tak karuan.

Setelah mereka pergi, Hinata menghela nafas pendek. Dia lantas memandang teman-temannya, yang juga memandangnya balik dengan sorot mata kekaguman dan rasa terima kasih. "Kalian tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara yang sedikit melembut.

"Tentu saja! Kami tidak apa-apa, Oyassan***!" Yakuza mungil pemberani tadi berlari ke hadapan pemimpinnya sambil mengangguk mantap.

"Noya-san!" Temannya yang berambut botak ikut berdiri di sampingnya. Yakuza bertubuh kecil tadi mengangguk, dan pria botak itu membalasnya juga dengan anggukan, lalu secara bersamaan mereka membungkukkan badan sembilan puluh derajat.

"Maaf telah merepotkanmu!"

Para polisi dan sandera hanya bisa diam memperhatikan.

"Tidak masalah, Noya-san, Tanaka-san," balas Hinata Shouyou tenang. Pria yang dipanggilnya 'Noya-san' dan 'Tanaka-san' menegakkan tubuh mereka sambil membalas dengan teriakan 'osu!' penuh semangat. Sang oyabun mengangguk, lantas memindahkan pandangannya kepada anggota-anggota lain yang mengekor di belakang 'Noya-san'. "Kalian semua, kembalilah ke markas. Serahkan para sandera ini pada…"

Hinata memutar badannya, punggung kecil yang sedari tadi ditatap Kageyama dengan intens kini digantikan oleh bagian depan kimono yang sedikit berantakan, lalu wajah mungil nan mengerikan itu berada satu garis dengan Kageyama, tatapannya lurus, bertabrakan dengan warna biru dari mata Kageyama seolah dia sedang menyatakan bahwa dia sama sekali tidak takut akan borgol yang telah Kageyama siapkan.

Hinata seolah memberitahunya kalau dia tidak terkalahkan. Dia bebas, dan tak ada yang dapat Kageyama lakukan untuk mengubahnya.

"…Kita serahkan mereka kepada kepolisian," gumamnya kemudian, melanjutkan kalimatnya beberapa saat yang lalu.

Dengan patuh, satu demi satu anggotanya menurut. Mereka berjalan keluar dari restoran tersebut tanpa melakukan apapun, tak mencari masalah dengan kepolisan sesuai harapan oyabun mereka, meski Kageyama tahu wajah mereka menunjukkan kebencian mendalam terhadap kepolisian yang merupakan musuh alamiah mereka.

Hinata adalah yang terakhir untuk menggerakkan kakinya, sengaja menunggu di belakang dan memastikan anggotanya tak mengambil tindakan yang memperparah keadaan. Langkahnya lambat dan tenang, seperti dia memang sengaja menggunakan waktunya untuk menyebarkan aura mengintimidasi kepada siapapun yang ada di sana.

Dan Kageyama tak bisa menghindar dari aura tersebut, terbukti dari caranya menahan nafas secara refleks ketika Hinata menghentikan langkahnya di hadapannya.

Dua manik cokelat tua itu menatapnya lurus, tanpa ketakutan dan keraguan setitik pun, hingga Kageyama sendiri merasakan batinnya diterobos oleh tatapan itu.

Meski begitu, harga diri Kageyama yang memberontak ingin diperjuangkan membuatnya mendorong segala macam rasa takut jauh-jauh dan justru memilih untuk menunjukkan kekesalannya pada wajah sang yakuza.

"Apa?" tanya Kageyama mendecakkan lidah.

Hinata tidak menjawabnya dan memilih untuk mempertahankan bagaimana mulutnya membentuk satu garis lurus. Matanya mengamati Kageyama dengan tatapan… entah apa itu—marah, kesal, atau malah jijik. Pada akhirnya, dia bersuara, "Kau ini… kepala mereka, kan?"

Kageyama menatapnya dengan ketus. Sedikit demi sedikit, dia mulai merasa ketakutannya menguap. Hal serupa juga dialaminya ketika dia pertama kali menemui Ushijima. Badannya bergetar seperti daun kering yang diterjang angin, tetapi lama-lama dia mulai terbiasa dengan kengerian Ushijima dan dia dapat berbicara tanpa takut suaranya bergetar lagi. "Memangnya kenapa kalau aku kepala?" sahut Kageyama dengan nada kesal.

"Tidak apa-apa," Kageyama merasa bahwa tatapan Hinata yang ditujukan kepadanya bertambah sinis. "Hanya saja, aku punya permintaan untukmu."

"Permintaan?"

"Ya," Kedua ujung bibir Hinata tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman kecil nan manis yang menyimpan seribu makna mematikan di sana. Mata cokelatnya kembali menggelap. Lantas, dia berkata dengan pelan dan jelas, "Lain kali kau mendengar kasus mengenai yakuza…" Senyuman itu sirna seketika, digantikan oleh sebuah ekspresi datar yang begitu dingin dan sarat akan keabsolutan. "Jangan ikut campur."

Satu kalimat.

Hanya satu kalimat sepele yang meluncur, tetapi Kageyama merasakan sesuatu di dalamnya yang baru saja terpatahkan. Entah itu sabuk pengaman yang menahan amarahnya untuk membanjir, atau tombol yang membuat seluruh akal sehatnya hilang. Yang jelas, dia melihat warna merah di depan kedua matanya, merah yang sangat menyala, merah yang sangat menggelitik kesabarannya.

"Kenapa? Aku hanya mengatakan kenyataannya," dengus Hinata. "Lagipula, kalian tak bisa melakukan apapun jika para penduduk dijadikan sandera. Apa gunanya kalian berada di sini? Kalian hanya akan—"

"Jangan bercanda!"

Tahu-tahu, dengan gigi-gigi yang saling beradu di dalam mulut, salah satu tangannya terjulur ke depan, meraih kerah kimono sang yakuza dan menariknya tepat ke hadapan wajahnya sendiri. Hawa panas yang menggebu-gebu di dalam batinnya bertambah ketika wajah datar yang sama diperlihatkan padanya. Wajah yang menantangnya untuk melakukan sesuatu, wajah angkuh yang menyatakan kekuatan mutlaknya. Kageyama tak bisa melakukan apapun untuk menahan rasa kesalnya.

Dia—tidak, semua anggota polisi sedang diremehkan di sini.

"Kau pikir kami harus berdiam diri selagi orang-orang meringkuk ketakutan karena keributan yang kalian buat!?" bentak Kageyama pada wajah sang yakuza. "Kau pikir kami akan membiarkan kalian berbuat sesukanya!?"

Hinata, sama sekali tak nampak tersudut dan justru merasa tertarik, mendongakkan kepalanya—terkesan angkuh, memang—dan senyuman tadi kembali merambat pada wajahnya. "Kalau begitu, biar kutanya. Jika ada kasus serupa yang akan kalian hadapi kelak, di mana para penduduk menjadi sandera dan kalian dipaksa angkat tangan… Apa yang bisa kau lakukan?"

"…Tch," Kageyama menundukkan kepala, helai-helai rambut terjuntai ke bawah dengan bebas. Hinata membiarkan senyumnya melebar, dan ketika dia mulai membuka mulutnya untuk meluncurkan kembali rangkaian kata yang dapat menampar polisi di hadapannya dengan kenyataan yang ada, Kageyama perlahan mendongakkan kepalanya. Iris biru menatap berani, menyala lebih terang dari sebelumnya. Api yang meledak-ledak di sana sebelumnya berganti menjadi api yang berbeda—tidak meledak-ledak, tidak juga tenang, tetapi kobarannya begitu besar.

Hanya ada keyakinan di sana. Dan itu cukup untuk membuat Hinata menutup mulutnya kembali.

"Kau benar," Kageyama memulai dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan. "Kepolisian yang saat ini tak dapat melakukan apa-apa. Kami masih belum dapat menangkap kalian para yakuza… dan kami belum tentu dapat menyelesaikan kasus seperti ini dengan baik. Dengan satu ancaman untuk melukai penduduk saja, seperti tadi… kami tak bisa melakukan apa-apa."

Hinata menaikkan sebelah alisnya. Namun, dia tetap bungkam, seperti mempersilakan Kageyama untuk terus berbicara.

"Mungkin… Mungkin di mata kalian, kami sangat lemah. Tapi, kau harus tahu," Kedua tangan Kageyama berpindah menuju bahu kecil Hinata. Sang yakuza berjengit tidak suka, dan dia mulai bergerak untuk menepis kedua tangan tersebut dari tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan—"

"Kami memilih untuk mengorbankan diri kami dan membiarkan kami diperolok, diremehkan oleh sampah-sampah itu… Asalkan masyarakat selamat. Asalkan kami tidak meleset dari tujuan kami mengayomi mereka. Asalkan kami," Kageyama menempelkan telapak tangannya yang terbuka lebar pada dadanya, "tidak berubah menjadi sekumpulan monster bersenjata yang rela membunuh orang!"

Setelah Kageyama selesai berbicara, dengan dada yang naik turun dengan cepat karena nafas yang terengah-engah, barulah dia menyadari bahwa seluruh perhatian kini terpusat padanya. Sorotan mata datang dari berbagai arah, entah itu dari para penduduk, masih dengan kondisi tangan diikat dan mulut ditutup, atau dari belakang di mana rekan-rekannya berada.

Namun, bukannya dia merasa gugup atau salah tingkah. Dengan tatapan-tatapan yang dipancang kepada sosoknya, Kageyama justru merasa… kuat. Dia merasa bahwa dirinya tidak sendiri dalam menghadapi ini.

Dia tidak lagi sendiri, Kageyama mengulang kalimat tersebut di dalam kepalanya dengan perasaan lega. Dia yang sekarang bukanlah dirinya yang dulu. Tak ada lagi pandangan ngeri dan sebuah kata panggilan yang sangat dibencinya—

Ou-sama.

Kageyama bukan lagi seorang raja. Dia hanyalah… seorang polisi yang hanya ingin menjalankan tugasnya sebaik mungkin.

Karena itu, dia tak bisa tinggal diam ketika seorang bos yakuza semengerikan Hinata Shouyou memperolok pekerjaannya.

Keheningan yang tercipta dipecahkan oleh suara tawa kecil yang keluar dari belahan bibir mungil manis. Kageyama sontak memfokuskan kembali perhatiannya pada yakuza di hadapannya, pandangannya tidak lagi marah tetapi masih tajam.

"Lalu?" Hinata bertanya dengan nada menantang. "Perkataanmu tidak dapat mengubah fakta bahwa kepolisian itu lemah."

Kageyama meremas bahu mungil Hinata sekuat mungkin, kedua matanya menajam tidak suka. "Sialan—"

"Kau ini bodoh atau apa!? Inilah mengapa aku membenci polisi!" Hinata mendorong Kageyama menjauh darinya, tangan yang semula berada di bahunya lepas. "Aku tidak peduli mengenai tujuan dan tugas polisi dan semacamnya, tapi yang jelas…"

Sang kepala melebarkan kedua matanya ketika Hinata mendekatkan wajahnya pada wajah pucat Kageyama sendiri, kedua manik cokelat yang menatapnya pun mengecil, menandakan betapa marahnya dia, dan nada dingin yang digunakannya untuk menghadapi pemimpin gang tadi kembali. Namun kali ini, dia mengucapkannya dengan lebih dingin dan menusuk, di depan wajah Kageyama persis.

"Kalau kalian masih berniat melibatkan diri dalam urusan yakuza… kalian akan mati."

Apa…?

Perkataan Hinata membuat nafasnya terhenti sekali lagi. Memang, itu adalah kalimat sepele, dan dia bisa saja mengabaikannya jika dia mau. Namun, jika Hinata yang mengatakannya… rasanya, kalimat itu tidak menjadi ancaman belaka, melainkan merupakan sebuah janji.

Pria muda bersurai hitam tersebut terpaku, nampaknya dengan cukup lama, hingga dia tidak sadar Hinata telah menarik dirinya mundur dan kembali berjalan menuju pintu restoran tanpa sekalipun menoleh atau melirik ke belakang.

Sosok mungil yang mengerikan itu menghilang di balik asap akibat kobaran api di luar sana. Sawamura dan Azumane cepat-cepat berlari menghampiri Kageyama, wajah mereka melukiskan kecemasan dan ketakutan yang mendalam—karena bagaimanapun juga, ini adalah kali pertama mereka menghadapi seorang oyabun secara langsung.

"Kageyama… kau tidak apa-apa?" tanya Azumane setengah berbisik.

Tak mempercayai suaranya sendiri, Kageyama lebih memilih untuk mengangguk pelan.

Dia mendapat tepukan pada bahunya dari Sawamura. Pria itu memasang senyuman lebar di antara bulir-bulir keringat dingin yang mengalir menuruni wajahnya. "Kata-katamu tadi sangat hebat. Aku salut padamu," ujar Sawamura sambil menepuk-nepuk bahunya beberapa kali. "Terima kasih. Karena telah melindungi martabat kami sebagai polisi."

Kageyama lagi-lagi tak menjawab. Dia menutup kedua matanya sambil berusaha menenangkan diri.

Satu-satunya hal yang dapat terpikirkan di dalam kepalanya itu adalah ketidakberuntungannya yang membawanya semakin terseret ke dalam urusan para yakuza. Dan kebetulan sekali, ketidaksabaran serta mulut lancangnya membuat suasana menjadi buruk.

Dia telah menjadikan bos dari organisasi yakuza terkuat di Tokyo memusuhinya.

Kageyama mengeluh di dalam hatinya. Jangan sampai dia bertemu dengan si cebol itu lagi.

XOXO

"Tunggu, Daichi-san—"

"Tidak."

"Tapi—"

"Pokoknya tidak."

Sepasang tangan kuat mendorong punggung Kageyama ke depan hingga sang polisi hampir jatuh terjungkal. Kepala hitamnya dengan cepat menoleh ke belakang dan dia menemukan sang pelaku masih berdiri tegak dengan wajah tegas—yang mengatakan bahwa keputusannya tidak bisa diganggu gugat—dan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Sawamura berdiri di depan pintu masuk kantor, memblokir satu-satunya akses menuju bangunan tersebut, berhubung pintu-pintu lainnya juga bernasib sama—dikunci.

Kageyama mengacak-acak surai hitamnya. Kenapa semuanya bisa jadi begini?

"Daichi-san, tolong—"

"Kau tidak mendengarkanku, Kageyama?" Sawamura mengeluarkan tatapan mengerikan yang menjadi andalannya untuk menjinakkan bawahannya. Meskipun, dalam kejadian ini, Kageyama bukan bawahan dan justru atasan Sawamura sendiri. "Aku bilang tidak. Ini adalah kesepakatan kita semua—rekan-rekanmu. Kau tidak boleh memasuki kantor ini sebelum kau beristirahat dan menyegarkan otak."

Kageyama sendiri bahkan tidak menyadari sejak kapan semua rekan dan bawahannya berdiskusi mengenai hal ini.

Dia sedang duduk di meja kerjanya seperti biasa sore itu, sepulang dari kasus Karasuno dan gang non yakuza, mengerjakan tugasnya seperti biasa dengan rajin. Tahu-tahu, Sawamura telah berada di hadapannya dengan senyuman mengerikan, dan dia dibantu beberapa rekannya mendorong Kageyama keluar kantor, beberapa lainnya mengunci pintu-pintu lain di kantor tersebut.

Mengharukan sekali memiliki teman-teman yang mempedulikan kesehatannya seperti itu. Semua orang tentu ingin dikelilingi teman-teman macam itu. Tapi ini… Kageyama hanya bisa menghela nafas lelah sambil menutupi wajahnya.

Ini berlebihan. Yah, melihat sifat penghuni kantornya yang agak sinting, dia bisa memaklumi, tapi tetap saja…

"Masih ada banyak tugas yang harus kuselesaikan, Daichi-san," protes Kageyama dengan lemah. Dia tahu, bagaimanapun dia memberontak dan memaksa, Sawamura tidak akan pernah membiarkannya masuk kembali. "Selain itu, bagaimana jika ada panggilan kasus lain?"

"Kageyama, apa kau lupa bahwa kau memiliki seorang wakil kepala yang bisa diandalkan?" gumam Sawamura setelah sekian lama terdiam sambil memandangi Kageyama. "Percayalah padaku."

Kageyama masih belum dapat terbujuk. "Tapi—"

"Itu adalah terakhir kalinya kau mengeluarkan kata 'tapi' hari ini," Daichi membalikkan badannya seraya melambaikan tangan pada Kageyama. Senyuman kecil penuh dorongan dan motivasi muncul pada wajahnya. "Kami akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin di sini. Dan kau, Kageyama… Pak Kepala, kau akan melakukan usaha terbaikmu untuk bersenang-senang dan beristirahat. Asal kau tahu, melihat wajahmu yang bagaikan mayat berjalan itu membuat kami semua…"

Sawamura berjengit, membayangkan dirinya berada di posisi kepala kepolisian seperti Kageyama yang super sibuk. "Yah. Kau tahu sendiri. Intinya, kami hanya ingin kau menjaga kesehatanmu. Berjuanglah agar kau bisa kembali bekerja di sini dengan wajah lebih segar."

Oh, terima kasih banyak, Daichi-san, Kageyama menyuarakan kalimat sarkas itu di dalam hatinya. Sawamura telah memasuki kantor beberapa saat yang lalu. Hanya Kageyama yang berada di sana—di halaman Kantor Kepolisian Tokyo, sendirian dan terbengong-bengong, ditambah lagi dengan wajah pucat dan rambut acak-acakan. Seperti orang hilang saja.

Apa boleh buat. Kageyama tidak bisa menyalahkan mereka. Dia ingin berterima kasih karena mereka telah memikirkan diri Kageyama sampai seperti ini, walaupun hatinya masih tetap menyimpan sedikit rasa kesal karena taktik miring yang mereka gunakan kepadanya.

Maksudnya… tidak perlu sampai menendangnya keluar dari kantor begitu, kan?

Agaknya, semakin lama Kageyama berdiri sendiri di sana, semakin dia menyadari kondisi tubuhnya sendiri. Kepalanya terasa berat sekali, bergerak sedikit saja bumi akan terasa berputar-putar, dan pandangannya berkunang-kunang. Kedua matanya terasa lelah, rasanya mereka seperti sedang meraung-raung minta istirahat. Rambut hitamnya yang biasanya selalu dia sisir setiap pagi itu dibiarkan seadanya, hingga kondisinya berubah menjadi seperti hutan tak terawat. Jangan lupakan pula bau tidak enak yang menguar dari tubuhnya—dan Kageyama baru ingat kalau dia juga sangat membutuhkan mandi—serta bagaimana keringat membuat fabriknya menempel pada kulit.

Bagaimana bisa dia tidak merasa… risih dengan semua ini?

Baiklah, Kageyama memutuskan. Untuk kali ini saja—dan mungkin kali lain, jika esoknya dia akan ditendang keluar seperti ini lagi—dia akan menuruti perkataan Sawamura.

Akhirnya, Kageyama menggerakkan kedua kakinya untuk berjalan menuju mobil pribadi hitamnya yang masih mulus di tempat parkir. Dia membuka pintu mobil dengan kunci yang selalu dikaitkan pada dompetnya, lalu menghempaskan tubuhnya pada kursi mobil yang terasa beribu-ribu kali lebih empuk dari kursi di kantornya.

Kageyama memejamkan kedua matanya sejenak, memijat pelipis, dan merasakan betapa dia membutuhkan tidur saat ini juga. Dia yakin, dia akan langsung terlelap ketika kepalanya pertama kali menghantam bantal empuk di rumahnya. Atau, bisa saja dia malah tertidur sambil berdiri di tengah-tengah perjalanan menuju kasurnya yang nyaman.

Apa lebih baik dia tidur sekarang saja, di dalam mobil, daripada dia pingsan di tengah jalan? Ide buruk. Kageyama lebih tidak tahan dengan bau badannya yang menyengat.

Setelah susah payah mengusir kantuknya, dia menyalakan mesin mobil dan memacu kendaraan kesayangannya tersebut menuju rumah kecilnya. Tak butuh waktu lama—hanya sepuluh menit—untuk sampai di sana. Kageyama memakan waktunya untuk memandangi pintu rumahnya sambil memikirkan kapan terakhir kali dia memasuki tempat tinggalnya itu.

Kageyama membuka pintu rumahnya, tak repot-repot mengumumkan bahwa dia pulang karena memang tak ada orang lain di sana. Dia menghirup nafas dalam-dalam, mencoba mengingat kembali bagaimana aroma dan suasana di dalam rumahnya. Dan hal pertama yang dia ingat adalah, sepi.

Sama sepinya dengan hari-hari lain.

Langkah menuju kamar tidurnya begitu lambat. Kageyama tahu, sebelum insiden yakuza ini berakhir, dia tidak akan sering berada di tempat tinggal sederhananya ini. Meski hanya dia seorang yang berada di sana, tapi… bagaimanapun juga, bangunan tersebut sudah melindunginya dari panas dan hujan selama lima tahun lamanya.

Jemari panjang dan terawat menggenggam gagang pintu, membuka jalan menuju tempat tidurnya. Dia dapat merasakan debu tipis ketika tangannya merambati dinding, mencari tombol untuk menghidupkan lampu. Biasanya, dia akan melemparkan tas kerjanya ke sembarang arah dan segera menghempaskan diri di atas kasur, tetapi hari ini dia tidak melakukannya.

Dia lebih lelah hari ini. Namun, dia tidak merasa ingin tidur. Rasanya seperti ada yang ingin dilakukannya terlebih dahulu. Entah, mungkin Kageyama hanya terbiasa lembur di kantornya sehingga ketika dia mempunyai waktu luang seperti ini, dia justru kebingungan untuk menggunakannya.

Kageyama memutuskan untuk mandi, yang hanya memakan waktu tak lebih dari sepuluh menit. Setelah itu, dia duduk di pinggir tempat tidurnya, bingung akan melakukan apa. Kedua matanya terasa sangat lelah, dan di saat yang sama dia tidak ingin tidur. Maka, dia membuka lemari pakaiannya, meraih sebuah kemeja kotak-kotak berwarna biru tua dan putih serta celana jeans dan mengenakannya.

Mungkin aku akan sedikit berjalan-jalan untuk menyegarkan otak, pikirnya menimbangkan saran Sawamura sore tadi.

Kageyama lantas memakai sepatu skets putih yang entah berapa lama tak dikenakannya, lalu mengunci pintu sebelum berjalan menuju distrik perbelanjaan terdekat dari rumahnya.

Malam baru saja tiba. Lampu-lampu menemani Kageyama selagi dia melangkah perlahan, mencoba meresapi dinginnya malam yang menyejukkan hati. Setelah semua kejadian hari ini yang menyebabkan otaknya memanas hingga rasanya hampir meledak, dia benar-benar lega ketika udara dingin menyapu helai-helai hitamnya perlahan. Jiwa dan raganya seperti sedang disucikan, dan dia seakan terlahir kembali—dari yang tadinya zombie menjadi manusia.

Lama-lama, perutnya mengirimkan sebuah suara protes yang menstimuli sarafnya untuk merasakan lapar. Dia teringat bahwa dia belum makan siang hari ini. Sekarang, dia bisa mengerti mengapa Sawamura dan kawan-kawan bertindak sejauh itu—yaitu dengan mengusir seorang kepala sepertinya keluar kantor. Kageyama terlalu sibuk sampai-sampai dia tidak memperhatikan dirinya sendiri. Kalau dia berada di dalam posisi Sawamura yang melihat ketuanya perlahan berevolusi menjadi zombie, dia sendiri pasti juga akan memaksa sang ketua untuk berhenti sejenak.

Terima kasih, Daichi-san, terima kasih banyak. Yah, meskipun dia masih belum sepenuhnya terima ditendang keluar kantor seperti tadi.

Melihat kondisi tubuhnya, Kageyama tidak sedang berada dalam mood untuk memasak. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mencari restoran terdekat. Dia memindahkan kedua kakinya menuju distrik perbelanjaan di mana banyak restoran dan food court berkumpul. Matanya yang tajam lalu menangkap sebuah restoran berukuran sedang dengan papan nama warna-warni di depan bertuliskan 'Norasuno'. Lampu-lampu kecil yang dipasang di sana membuat nama restoran tersebut menyala terang, menarik pandangan siapapun di kegelapan malam.

Dia mengedikkan bahu. Tidak ada salahnya mencoba di sana, daripada dia menghabiskan energinya yang tersisa untuk mencari restoran lain yang dia tahu.

Bunyi gemerincing pelan dari bel yang dipasang pada pintu toko menyambut Kageyama ketika dia menginjakkan kakinya di dalam sana. Restoran tersebut tidak terlalu mewah, desainnya minimalis dengan cat berwarna cokelat keemasan dan perangkat-perangkat—meja, kursi, dan yang lainnya—berwarna serba hitam.

Dari sudut matanya, Kageyama menangkap sosok maid bertubuh mungil yang sedang berbicara dengan seorang pelanggan perempuan. Surainya terlihat berantakan untuk seorang perempuan, tetapi di luar dugaan, itu semakin meningkatkan kecantikannya. Helai-helai rambutnya dikumpulkan membentuk sebuah ikat kuda di samping kanan kepalanya.

Kageyama yang biasanya tidak tertarik dengan godaan-godaan wanita akan mengalihkan pandangannya dari maid tersebut atau mungkin menatapnya dengan pandangan bosan yang datar, tetapi ada satu masalah—

Warna rambut itu… membuat Kageyama teringat akan seseorang.

Oranye menyala.

Tidak salah lagi, itu adalah warna yang dia lihat sore tadi. Tapi… mana mungkin—

"Ah!" Sang maid, menyadari hadirnya seorang pembeli baru, menoleh kepada Kageyama. Senyumnya begitu lebar, membuatnya semakin manis, dan kedua matanya menyipit saking lebarnya senyuman itu. Dia dengan sigap berlari menuju hadapan Kageyama, membuat sang polisi mengambil langkah mundur dengan mata melotot karena ketidakpercayaan dan kaget setengah mati.

Wajahnya, Kageyama tanpa sadar membuka mulutnya, tidak salah lagi… wajah itu!

"Selamat datang," Sang maid lantas membungkukkan badannya sembilan puluh derajat, masih dengan senyum ramahnya, "goshujin-sama!"

Tidak bisa dipercaya.

Benar-benar tidak bisa dipercaya.

Sosok yang berada di dalam pikirannya tidak mungkin menjadi orang yang sama dengan maid mungil yang saat ini sedang membungkuk di depannya. Jangankan membungkuk, bahkan untuk melemparkan senyum palsu kepada Kageyama saja, sosok itu pasti gengsi habis-habisan.

Bisa saja kedua matanya yang salah, kan? Bisa saja Kageyama terlalu kelelahan, sehingga dia mulai berhalusinasi…

…Ya, kan?

Karena seorang Hinata Shouyou tidak mungkin berada di sebuah restoran sebagai seorang maid imut dengan senyum secerah matahari yang membungkukkan badannya kepada pembeli manapun yang datang.

"Kau…" Kageyama tidak bisa menahan desisannya. Dia merasa bisa pingsan kapan saja karena besarnya shock yang menghantam batinnya. "Kau!"

Merasakan keanehan pada pembelinya yang satu ini, sang maid perlahan mendongakkan matanya dengan bingung. Lalu, pada saat itu juga, iris cokelat yang sangat Kageyama ingat di balik kepalanya pun melebar, tidak kalah terkejutnya dengan Kageyama sendiri, dan hal pertama yang dia lakukan untuk memecahkan keheningan yang sempat terbentuk adalah mengarahkan jari telunjuknya pada Kageyama.

Jika diibaratkan, dia seperti seekor kucing yang mendesis galak, bulu-bulu dan ekornya berdiri tanda dia tak suka dengan kehadiran sesuatu di dekatnya.

"Ke… Kenapa kau ada di sini—"

Hinata memandangnya dengan ujung bibir berkedut jengkel.

"Kepala Kepolisian Tokyo, Kageyama Tobio!?"

Nasib benar-benar tidak memihak padanya hari itu.

TO BE CONTINUED


Keishichou = Tokyo Metropolitan Police Department. Intinya kantor kepolisian di Tokyo

Bouryokudan = violence gang

Oyabun = pemimpin dari sebuah kelompok yakuza

Oyassan = Oyabun + -san, jadilah Oyassan

Ide untuk fanfic ini sudah dirancang selama beberapa waktu yang lalu, tetapi karena kesibukan dan writer's block, setiap saya nulis chapter pertama dari fanfic ini, rasanya ada yang kurang pas dan pasti ujung-ujung bikin chapter pertama yang baru lagi. Akhirnya, setelah tiga kali ngulangi ngetik, jadilah chapter ini. Masalah datang lagi—saya sakit. Jadi selama beberapa hari ga sempat neliti hasil ketikan sendiri dan publish-nya juga ditunda.

Welp, yang penting, ini dia. Chapter pertama akhirnya selesai, yang penting itu. Yang penting Hinata muncul lagi di akhirnya sambil cross-dress. What? Kok jadi ngomong sampe situ. Ehem. Yang pasti, semoga kalian bisa enjoy membaca salah satu dari fanfic-fanfic absurd saya ini.

Sebenarnya, saya ga terlalu suka sama politik, tapi politiknya yakuza… agak menarik sih. Saya membuktikan itu dengan membaca dari beberapa artikel tentang yakuza. Mereka independen, terus hampir kayak berkepribadian ganda, jahat tapi ada sisi baiknya (dikit). Soalnya mereka melakukan kriminal—jualan narkoba kek, jualan manusia/pelacur/bagian tubuh orang kek, dll. Tapi di sisi lain, karena mereka kayak menguasai wilayah-wilayah di Jepang, penjahat yang datang ke sana jadi nimbang-nimbang kembali kalau mau berbuat onar di sana karena mereka sadar seberapa ngerinya yakuza. Otomatis, kejahatan di sana agak berkurang juga.

Terus, cara mereka melakukan kriminal juga diam-diam dan pakai otak, berbeda 180 derajat sama preman jalanan yang selama ini kita tahu—mereka merampok, menculik, memperkosa, pokoknya hal yang bisa bikin rusuh lah. Tapi yakuza bertindak dengan lebih diam, dan di malam hari pula. Paling-paling kerusuhan yang mencolok cuma ketika mereka perang antarkelompok.

Jadi… welp, setelah semua curcolan ini, saya memperingatkan kalau pengetahuan saya mengenai yakuza masih minim. Saya belum pernah lihat yakuza di film-film apalagi secara real. Saya hanya pernah lihat mereka di game PS2 yang judulnya Ryu ga Gotoku 2. Yang suka nge-game, coba main itu, bagus lho. (Malah promosi game orz. Maaf, saya ga bisa menahan jiwa gamer saya.) Jadi, kalau ada koreksi mengenai mereka, tolong katakan melalui komentar atau PM, ya. :D

Saya juga memperingatkan kalau fanfic ini akan di-update secara iregular. Ada banyak halangan yang tiba-tiba muncul. Yang absolut adalah kesibukan sekolah. Terus, menyusul hal itu, biasanya saya tiba-tiba sakit atau terlalu capek untuk ngetik. Pernah juga laptop saya yang tiba-tiba sakit 'amnesia', alias datanya ilang semua. Doakan saja yang terakhir ini ga terulang kembali.

Mungkin segini saja curcol saya, nanti kepanjangan. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!