"Aku dalam masalah," ucap Mikasa tiba-tiba, dia dan Armin baru saja mengunyah sendokan ketiga makan siang mereka. Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada kehilangan selera makan pada makanan kesukaanmu secepat ini, atau begitulah yang Armin kini rasakan. Raut pucat Mikasa adalah tanda, bahwa perbincangan mereka mengenai apa yang disebut gadis itu sebagai masalah tidak akan berlangsung singkat dengan Armin memberikan nasihat lalu yeay selesai. Well, lain cerita jika Eren yang memberi saran, Armin yakin gadis itu urung membantah sekalipun tidak setuju.
"Mik, aku belum sampai setengah porsi menggigit roti lapisku, setidaknya bisakah kau menyimpan uneg-unegmu sampai kita berdua kenyang terlebih dulu, please?" ujar Armin dengan sedikit memohon. Lelaki cute itu melirik ke arah Mikasa, mencoba merayu lewat tatapan mata namun gagal. "Atau mungkin tidak," gerutu Armin.
"Aku baru saja dipecat dari Maria Rose Preschool karena seorang ibu dari muridku mengadukan kepada kepala sekolah tempatku bekerja bahwa suaminya masturbasi dengan melihat fotoku, lalu sekarang gaji magangku tidak cukup untuk membayar uang kuliah dan sewa flat tempatku tinggal," keluh Mikasa dengan wajah kusut. Armin mau tak mau menjadi tidak tega dengan kejadian yang menimpa temannya, terlebih dia agak kaget setelah mendengar cerita Mikasa yang lumayan ekstrim. Pantas gadis itu hanya memesan salad kentang, ternyata Mikasa sedang mengalami persoalan finansial yang serius.
"Mik, aku turut sedih mendengar kabar mengejutkan ini darimu. Tapi yang lebih penting, kau mau aku membantumu dengan cara bagaimana?" tanya Armin. Mungkin terdengar kejam, namun menurutnya dalam kondisi seperti ini memberi nasihat seperti melakukan penghematan biaya hidup atau menyuruh Mikasa untuk pindah flat hanyalah basa-basi klise tidak penting. Dia menilai bahwa lebih tepat bila langsung menawarkan bantuan.
"Uh, bisakah aku meminjam uang? Aku sangat butuh untuk melunasi hutang sewa flatku selama tiga bulan terakhir ini, pemilik flat terus menagihku setiap kali memergokiku keluar dari flat." Mikasa menyendu, terlihat jelas bahwa gadis keturunan campuran Amerika-Jepang itu sedang stress. Sekali lagi Armin merasakan dorongan rasa tak tega, tetapi di lain sisi logikanya terus berputar demi memperingatkannya akan kondisi keuangannya sendiri saat ini. Tidak, tidak, bukannya Armin pelit untuk sekedar memberikan pinjaman kepada temannya satu ini. Tetapi… "Mik, mungkin gajiku sebagai seorang petugas lab forensik bisa dibilang lebih dari cukup, tapi em, kau tahu 'kan kalau aku sudah menikah? Ada orang lain yang hidupnya kini menjadi tanggunganku, terlebih aku baru saja membeli rumah secara kredit. Uh, bagaimana ya, aku harus mempertimbangkan untung-ruginya."
Mikasa meringis, dia seharusnya meminta bantuan orang lain bukan Armin. Lelaki itu sudah terlalu baik kepadanya selama ini, dan mereka teman dekat, pasti sulit bagi Armin untuk bisa mengatakan hal barusan. Tapi jika bukan Armin, pada siapa dia harus mengadu? Eren, tidak mungkin. Eren sudah kewalahan dengan kehidupannya selepas kepergian kedua orangtuanya. Paman Levi, uh-uh no way! Pamannya yang ketus itu jangankan mau memberinya uang, yang terjadi nanti malah Mikasa akan bekerja rodi mengurus tea shop milik pamannya dengan bayaran sembako. Damn, Mikasa baru sadar bahwa dia butuh lebih banyak teman di saat seperti ini. "Aku minta maaf karena menempatkanmu dalam posisi sulit, Armin. Tapi bisakah aku bersikap menyebalkan sekali ini saja?"
Armin mengernyit bingung. Sungguh jika saja dia tidak harus membayar cicilan rumah dan memberikan setoran bulanan untuk dibelanjakan keperluan rumah tangga oleh isterinya, tentu dia akan mengiyakan permohonan Mikasa dengan mudah. Namun siapa Armin yang tega menelantarkan sahabat masa kecilnya yang selalu membantunya lepas dari para pembully?
"O-oke, aku akan membantu, tapi tidak banyak."
Wajah berbinar Mikasa muncul, perasaannya sedikit mencerah setelah mendapat lampu hijau dari temannya. Armin ganti berwajah masam, dia akan menyesali tindakannya ini nanti, pasti. Namun ada perasaan lega yang menyeruak kala melihat binar ceria pada raut muka Mikasa, sepertinya dia memang tidak bisa menolak permintaan temannya ini barang sekalipun.
"Terima kasih Armin, aku berhutang banyak padamu."
Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama
Big Boss's Lady, a story by Acelicia Ginx.
Mikasa membaca bukunya dengan amat serius, seolah-olah pandangan matanya yang tajam mampu melubangi buku tersebut. Meskipun matanya membaca satu per satu kalimat yang tertulis, namun otaknya sama sekali tidak bisa memproses satu kata pun dari bahan bacaannya. Bukan karena pikirannya yang kosong sehingga gadis keturunan campuran itu menjadi sulit untuk berkonsentrasi. Justru karena otaknya terlalu banyak terbebani dengan berbagai macam pikiranlah―masalah―yang membuatnya linglung, mana hal yang harus diprioritaskan lebih dulu. Saat ini dia sedang berada di studio foto tempatnya bekerja magang, dan tidak terlihat batang hidung pelanggan yang datang untuk menggunakan jasanya sehingga dia memanfaatkan waktu luang tersebut untuk membaca bukunya. Bagaimana pun dia masih memiliki tanggungan tugas kuliah yang sama menuntutnya dengan pekerjaan paruh waktunya ini. Well, sebenarnya Mikasa patut bersyukur karena memiliki bos yang ramah dan tidak terlalu ambil pusing ketika mendadak dia harus absen karena ada kelas. Lagipula lelaki bodoh macam mana yang akan memarahi gadis pujaannya sendiri? Bekerja pada seseorang yang jelas-jelas menunjukan ketertarikan secara seksual padamu memang ada untung dan ruginya, kadang kau mendapat perlakuan super istimewa dari sang bos yang menjadikan para pegawai lain merasa terdiskriminasi oleh keberadaanmu. Namun kadang juga―seringkali malah―bosmu menuntut sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan sayangnya kau juga tidak bisa memenuhi permintaannya yang cukup mengganggu itu, seperti ajakan pergi kencan misalnya.
"Kau tampak mengerikan, apa matamu buta sehingga kantung mata sebesar itu tidak terlihat bagimu?" celetuk Isabel sarkastik. Teman magangnya itu memang memiliki mulut yang tajam, jika tidak mengenalnya mungkin orang akan mengira sedang dihina.
"Aku begadang demi kuis pagi ini, dan sekarang aku harus menyiapkan materi untuk bahan diskusi besok," jawab Mikasa lesu. Tampaknya bukan hanya matanya saja yang terlihat lelah, Isabel memandangi tubuh Mikasa dari ujung ke ujung. Apa Mikasa sedang sakit? Sepertinya tidak, tapi perempuan berambut merah itu yakin kalau Mikasa agak kurusan dan sedikit pucat pada bagian bibirnya.
"Sayangnya aku tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya kuliah, tapi aku tahu bahwa kau harus makan. Istirahat makan siang sebentar lagi, mau ke coffee shop atau food truck?" tawar Isabel. Mata berwarna hijau terang itu menyulut berkobar, seakan mengatakan pada Mikasa melalui tatapan bahwa dia tidak menerima penolakan. Isabel memang begitu, dia sudah seperti kakak bagi Mikasa.
"Uh, aku sedang diet," ucap Mikasa lirih. Kegusaran yang keluar dari nada bicaranya tentu bisa terdeteksi dengan mudah oleh perempuan berambut merah dihadapannya. Begini-begini dulu dia pernah menjadi preman sekolah yang sering memalak, jadi ada positifnya juga karena dengan begitu dia bisa mengetahui bohong tidaknya seseorang di bawah tatapan penuh intimidasinya.
"Pembohong picik, jangan kira aku orang bodoh yang mudah tertipu."
Mikasa, gadis cantik berwajah blasteran itu menggerutu. Mana mungkin 'kan dia mengaku jujur dengan mengatakan semua masalah yang tengah dihadapinya saat ini?
Sementara mendapatkan diam sebagai respon malah membuat Isabel yang seorang temperamen semakin menyalak kesal. Diacuhkan tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya, tidak meski pelaku adalah seorang gadis secantik Mikasa sekalipun. "Aku tidak sedang berbicara pada gadis tuli 'kan?! Ada apa denganmu, kau lupa membawa dompet?"
"Isabel, aku bawa bekal okay." Mikasa mencoba menunjukan kantung kotak makan yang berisi kue coklat kering dan edamame rebus. Seriously? Tidak ada catatan bahwa selama ini Mikasa pernah dan berniat untuk diet sekalipun dia malas makan karena merasa tidak enak badan. Isabel mulai mengambil tindakan dengan menggebrak meja, menghentikan kegiatan membaca buku rekannya.
"Cerita!" perintah Isabel layaknya bos besar. Mikasa adalah perempuan berpendirian teguh, gadis itu tidak akan mudah goyah. Namun rasanya sedikit sulit ketika dia harus beradu pandang dengan sepasang giok gemerlap berwarna hijau itu, mengingatkannya pada Eren.
"Okay relaks, tidak perlu menghakimiku dengan tatapan penuh intimidasi itu," ujar Mikasa menyerah pada akhirnya. "Memang ada kaitannya dengan perekonomianku, tapi aku sedang berusaha untuk mengatasinya."
Isabel menarik salah satu kursi di sebelah rekannya, dia mulai membuka telinga lebar-lebar bersiap untuk mendengarkan apapun itu yang akan keluar dari mulut gadis cantik berdarah campuran tersebut. "Mik, jangan sungkan untuk meminta bantuan. Aku bisa meminjamimu uang," kata Isabel sembari menyentuh tangan Mikasa lembut. Cengiran lebar terpampang menghiasi wajahnya sebagai pertanda bahwa dengannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi Isabel salah akan satu hal, perempuan berambut merah itu tidak paham mengenai situasi Mikasa.
"Thanks, Isabel. Aku sangat menghargainya, tapi sayangnya ini bukan tentang aku meminjam uang darimu lalu masalahku selesai dan lusa aku bisa melunasi hutangku padamu, ini tidak. Masalahku ini sangat rumit."
Isabel mengerutkan wajah, manik matanya memantulkan bayangan Mikasa yang terlihat depresi. Kapan terakhir kali gadis itu bertingkah seperti itu? Tidak pernah, Isabel tidak pernah sekalipun melihat Mikasa merasa setertekan ini walaupun dia harus lembur malam ini dan besok pagi-pagi sekali ada kelas yang harus dihadiri. "Aku kehilangan pekerjaanku sebagai seorang psikolog anak," imbuh Mikasa lirih.
BRAAKK! "APAAA?!" Seseorang berteriak dari arah samping setelah terdengar bunyi gebrakan meja. Kedua gadis itu menoleh horror, mereka baru sadar kalau ternyata sedari tadi bos yang tampak sibuk mendengarkan lagu dengan earphone yang terpasang itu rupanya sedang menguping pembicaraan mereka. Nu-uh, Mikasa mengusap wajahnya, dia tahu tidak mungkin bisa menghindar lagi dari kedua orang ini.
Armin memarkirkan mobilnya di depan toko bunga, dari dalam mobil melalui kaca jendela yang terbuka, dia bisa melihat sesosok berbadan kecil yang dengan enteng mengangkat pot-pot bunga. Wajahnya datar seperti biasa, masih dengan poni terlampau panjang yang menjuntai membingkai wajah ovalnya hingga menutupi sebagian mata. Wanita itu tidak terlihat lelah sama sekali, kerjanya begitu cekatan, selesai menata pot langsung bergerak melayani pembeli yang tampak mengantri dengan sabar. Armin masih belum melepaskan pandangan matanya pada sang isteri, wanita itu adalah pekerja keras.
Tin-tin! Armin menekan klaskon, membuat wanita bermata biru jernih tadi melambai ke arahnya. Annie, isterinya itu dulunya adalah seorang perawat. Namun dia berhenti dari pekerjaannya setelah mengalami keguguran, ada tekanan berlebih ketika dia harus berada di sebuah rumah sakit yang mana selalu mengingatkannya akan kenangan pahit tersebut. Sebelum mereka menikah, Annie memang sudah terlebih dulu menjanda. Setelah calon bayinya tidak selamat, dua tahun kemudian suaminya ditemukan meninggal dengan dua luka tusuk di sebuah pom bensin. Kala itu, Armin adalah orang bagian forensik yang menangani mayat mendiang suami Annie. Mereka kenal dari insiden itu dan setelahnya memutuskan untuk menikah, kini usia pernikahan mereka sudah menginjak tahun ke empat. Awalnya Armin sedikit paranoid dengan kondisi psikis Annie dan memutuskan untuk melarang isterinya bekerja atau keluar dari flat kecuali untuk keperluan berbelanja di supermarket. Lantas kasihan melihat isterinya yang kesepian sebagai seorang ibu rumah tangga, Armin pun kemudian memperbolehkannya untuk bekerja paruh waktu di toko bunga milik kenalannya ini. Annie senang dengan kehidupannya sekarang ini, paling tidak dia tidak terlihat depresi terlebih setelah mereka pindah dari flat sempit ke rumah baru mereka lima bulan lalu. Isterinya itu kini memiliki kebun mini sendiri untuk dirawat sepulang kerja.
"Sayang kau keberatan tidak untuk menunggu lebih lama?" Annie menghampiri mobil suaminya. Celemek yang dikenakan olehnya tampak lusuh karena jejak tanah yang menempel, sepatu boot-nya pun tak kalah kotor oleh lumpur.
"Tentu, apa toko sedang ramai? Aku tak melihat Historia, dan kau tampak sedikit kewalahan."
"Mina tiba-tiba absen karena demam, makanya Historia harus mengisi bagian administrasi dan packing lalu aku yang mengurus pot-pot tanaman. Mungkin toko baru akan benar-benar tutup lima belas menit lagi."
Armin mengangguk dan membiarkan isterinya kembali bekerja, wajah cantik yang selalu terlihat bossy itu sekalipun tidak mampu menutupi aura penuh semangat yang memancar. Pria berambut pirang panjang dengan bola mata yang besar itu paham betul, bahwa wanita itu bersyukur menikahi dirinya sebagai seorang teman hidup yang menolongnya melalui masa-masa sulit setelah kehilangan keluarga. Lantas kemudian dia mengernyit, menggigit bibir bawahnya dengan perasaan campur aduk. Awal bulan tinggal empat hari lagi, biasanya dia akan memberikan jatah belanja untuk sang isteri. Jika saja mereka tidak mencicil kredit rumah, mungkin Armin tidak akan begitu ambil pusing. Haruskah dia berbohong pada Annie, bahwa uang bulanan untuk kebutuhan rumah tangga terpaksa dipotong dengan alasan mengganti rugi biaya perbaikan mobil Thomas yang tidak sengaja diserempet? Atau bisakah dia berkata jujur tanpa menerima amukan amarah isterinya? Annie memang bekerja, namun hanya sebatas paruh waktu dengan bayaran yang tidak seberapa. Lagipula pekerjaannya hanyalah jalan pintas agar wanita itu tidak mengalami stress yang membahayakan kesehatan mentalnya.
"Bisakah kita mampir ke minimarket dulu, kita kehabisan kecap," pinta Annie begitu siap di kursi penumpang di samping suaminya. "Aku akan masak enak untuk makan malam, setelah selesai kerja langsung pulang saja."
"Sayang, sebenarnya ada yang ingin aku utarakan."
Annie menatap mata besar beriris biru cerah itu, ada kegusaran di dalamnya. "Ada apa memangnya?"
"Ku-kurasa kita harus sedikit berhemat untuk belanja bulanan besok." Armin berkata penuh gugup, terlebih saat mata tajam wanita berambut pirang di sebelahnya memandanginya tak berkedip.
"Tak masalah, lagi pula kebun kita sudah tumbuh beberapa jenis sayuran."
Pria imut itu menahan napas, antara lega dan takut. Tampaknya sang isteri belum mengetahui alasan sebenarnya dibalik pengehematan pengeluaran mereka, andaikan iya sudah pasti dia akan menerima murka. Paling tidak dia bersyukur sebab Annie tidak bertanya, atau belum.
Setelah dipaksa mengaku dan bercerita, akhirnya rekan kerja dan bosnya tahu permasalahan yang sedang dihadapi olehnya, berkaitan dengan latar belakang pemecatannya sebagai psikolog anak yang memalukan. Tapi serius, Mikasa bersikeras tidak ingin menerima belas kasihan lebih lagi jika harus berhutang uang pada mereka. Dia sadar, hutang tidak akan menyelesaikan masalahnya, satu-satunya cara untuk mengatasinya hanyalah dengan mendapatkan pekerjaan baru. Mikasa boleh merasa senang karena merasa tertolong dengan traktiran Si Bos untuk makan siang hari ini, setidaknya dia bisa berhemat.
"Terima kasih untuk traktirannya, Bos, kuharap kau bisa sering-sering beramal seperti ini." Isabel menunjukan cengiran lebarnya, tak peduli pada pelototan menyeramkan dibalik kaca mata bulat tersebut. Perempuan lucu itu kemudian pamit untuk pulang cepat, katanya dia ada segunung pakaian kotor yang menunggu untuk dicuci atau malah sebenarnya Isabel sengaja meninggalkan dua sosok itu dengan maksud tertentu.
"Terima kasih untuk makan siang hari ini, Bos."
"Ayolah Mikasa, aku sudah berulang kali menyuruhmu untuk bersikap santai ketika kita sedang berdua saja 'kan?" Pria itu mendengus, kemudian tangannya segera menggandeng gadis berambut hitam pendek itu untuk diajak berjalan.
"Zeke please, aku harus pulang sekarang juga." Mikasa melakukan penolakan, meski begitu matanya tak berani untuk beradu pandang dengan lawan bicaranya.
"Belum ada jam 6, Mikasa. Beginikah caramu berterima kasih padaku, kau tahu kalau aku tidak suka ditolak," ujar Zeke. Pria berwajah tampan itu memandangi gadis yang berdiri mematung di hadapannya, tampak Mikasa tengah kebingungan. Dia pasti tidak mau berhutang budi pada orang lain, namun jelas dia juga merasa jauh dari kata nyaman untuk kencan dengan orang yang menjadi atasannya.
"Aku tidak bermaksud bersikap kurang ajar, tapi besok aku ada kuliah," balas Mikasa mencoba menjelaskan.
"Kalau begitu menginaplah."
"Apa?" Alis Mikasa menukik sebelah, apa dia barusan salah dengar? "Zeke, ini sungguh tidak lucu!"
"Semalam, hanya malam ini saja, Mik. Kau mungkin tidak mau mengakuinya, tapi kau butuh seseorang untuk mengatasi masalahmu ini." Zeke mencoba meyakinkan gadis pujaan hatinya, akan tetapi Mikasa masih tak bergeming. Wajahnya yang cantik semakin mengerut karena bimbang. Memang benar dia butuh teman, namun haruskah sosok itu menjelma menjadi atasannya yang jatuh cinta padanya? Mikasa menggigit bibir bagian bawah ragu, apa yang sebaiknya dia lakukan?
Continue on chapter 2.
