A/n
Muhuhahahahaa, saya kembali lagi! Kali ini dengan cerita oneshot panjang, karena kalo bikin multichap nggak akan sempet.. udah mau masuk sekolah soalnya. Terus, berhubung Auth udah kelas 9, Auth bakal sibuk entar. Palingan cuma bisa bikin fanfic sabtu ato minggu doing. Huahaha curcolnya udahan. Happy reading!

Disclaimer
Sengoku BASARA bukan punya saya. Mereka punya CAPCOM.

Warning
OOC, gaje, rada kagak pake EYD(?), latar bukan canon (terus kenapa ya?)


"Haaah? Adik?"

Pagi itu, terlihat seorang wanita muda sedang berbicara dengan seorang lelaki di depan sebuah pintu apartemen. Lelaki itu menyunggingkan bibirnya. Ia tampak sangat keberatan akan sesuatu.

"Ayolah, Motochika.. aku tidak tahu siapa lagi yang bisa kumintai tolong.." ucap wanita itu.

Wanita itu bertubuh langsing dan berwajah cantik. Rambut selehernya bergelombang dan berwarna cokelat muda. Ia terlihat dewasa dan cerdas.

"Aku mengerti, tapi.. tetap saja. kau tahu kan aku tidak bisa mengurus anak kecil?" jawab lelaki itu.

Berbeda dengan wanita itu, ia terlihat seperti seorang berandalan. Rambutnya jabrik dan agak acak-acakan. Tubuhnya tinggi besar. Ditambah lagi dengan mata kirinya ditutup oleh sebuah eyepatch. Luka masa lalu, mungkin.

"Dia bukan anak kecil, Chosokabe. Dia sudah SMP." Ujar wanita itu lagi.

Lelaki itu bernama Chosokabe Motochika. Wanita yang berdiri didepannya adalah kakak sepupunya yang bernama Saika Magoichi. Motochika masih duduk di bangku SMA, sementara Magoichi adalah seorang mahasiswi yang akan sekolah di luar negeri selama sementara waktu.

Magoichi mempunyai seorang adik perempuan yang tidak bisa ditinggal sendirian. Karena itulah, saat ini dia sedang berusaha meminta bantuan Motochika untuk menjaga adiknya selama sementara. Motochika bersikeras menolaknya, namun Magoichi tidak menyerah. Sampai akhirnya, Motochika pasrah dan memutuskan untuk membantunya.

"Ah, terima kasih banyak Motochika. Besok aku akan kesini bersamanya. Sekali lagi terima kasih ya, aku permisi dulu." Wanita itu berbalik lalu berjalan menjauh.

Motochika menghela nafas pelan. Seorang murid berandal sepertinya, menjaga seorang adik perempuan? Yah, meskipun Motochika pernah bertemu dengan adik Magoichi sekali atau dua kali, ia tidak pernah berbicara dengannya. Gadis itu selalu menatapnya dengan tatapan penuh selidik, yang membuatnya merasa tidak nyaman. Berat rasanya jika ia harus mengurus anak itu untuk waktu yang lama. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Ah, sudahlah. Ini tidak akan seburuk yang aku bayangkan." Gumamnya. Yah, semoga saja begitu.


Keesokan harinya..

"Motochika, ini Tsuruhime. Tsuruhime, ini Chosokabe Motochika. Dialah yang akan menjagamu selama aku pergi.

Gadis yang diperkenalkan Magoichi itu menggembungkan pipinya. "Aku mau bersama Magoichi-neesama.." keluhnya.

Motochika memandangi gadis yang berdiri di sebelah Magoichi itu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan ramping. Rambutnya pendek bergaya bob dan berwarna cokelat tua. Wajahnya cukup imut. Setidaknya itu menurut Motochika. Tapi ia terlihat merepotkan.. Motochika menghela nafas panjang.

Setelah dirayu oleh Magoichi, akhirnya gadis itu pasrah. Magoichi sepertinya memiliki rayuan yang maut, ya. Gadis itu melepaskan genggamannya pada Magoichi lalu menghadap Motochika. Ia memandangi Motochika. Motochika menatap gadis itu balik. Setelah beberapa saat, gadis itu mengulurkan tangannya pada Motochika.

"Mohon bantuannya, Motochika-niisan." Ucap gadis bernama Tsuruhime itu.

Motochika memandangi tangannya selama beberapa saat sebelum menjabatnya.

"Yah, salam kenal, Tsuru." Ucap Motochika.

Dan begitulah, hari-hari mereka bersama dimulai..


Motochika's POV
"Motochikaa! Motochiikaa! Bangun!"

Aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang. Aku membuka mataku dengan malas. Ternyata benar. Tsuru yang membangunkanku dengan cara yang amat tidak menyenangkan. Aku menggeram pelan lalu bangun dari posisi tidurku.

"Astaga, Tsuru. Kau tidak bisa membangunkanku dengan pelan?" Gerutuku. Tsuru berkacak pinggang.

"Kalau kubangunkan dengan pelan, kau pasti tidak akan bangun! sekarang cepat cepat cepat! Aku tidak mau terlambat!" Tsuru mendorong tubuhku dengan susah payah. Aku terkekeh melihat usahanya yang tentu saja, tidak akan berhasil.

"Hah, lihat siapa yang berbicara. Kau sendiri masih seperti itu." Sindirku pada Tsuru yang masih hanya memakai piyamanya. Ia menggembungkan pipinya.

"Y-yaah, pokoknya cepatlah!" Ucapnya lalu berbalik menuju pintu.

Aku mendengus pelan. Tadi aku sempat melirik jam, dan kami belum terlambat. Dasar anak ini.

Aku berdiri lalu menepuk pundaknya, mendorongnya pelan keluar ruangan. "Keluar sana. Kau tidak ingin melihatku berganti pakaian kan?"

Tsuru mendengus kesal lalu berjalan keluar ruangan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Sekarang dia sudah dua minggu berada di rumahku, dan sifat aslinya mulai keluar. Cerewet, bawel, berisik, dan kadang manja. Dia juga jago meramal. Yah, kurasa itu hebat tapi tetap saja. Pokoknya merepotkan. Tapi apa boleh buat.. aku sudah janji pada Magoichi.


Aku berjalan beriringan dengan Tsuru menuju sekolah. Tsuru terpaksa pindah sekolah karena sekarang ia tinggal denganku. Kami satu sekolah. Dia SMP dan aku SMA. Sepanjang perjalaan matanya melihat kesana kemari. Kurasa dia belum terlalu mengenali tempat ini. Dia berlari mendahuluiku.

"Oy, Tsuru! Jangan buru-buru begi—"

Tiba-tiba saja sebuah sepeda melesat dengan kencangnya, dan hamper menabak Tsuru. Aku segera berlari ke arahnya lalu menariknya mundur.

"Hoi, kau!"

Sang pengendara sepeda menoleh ke arahku. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika melihat wajah si pengendara yang amat familiar.

Lelaki itu berambut panjang lurus seleher, poniya membelah di tengah, berkacamata, dan seragamnya amat rapih. Ia menatap sinis ke arahku selama beberapa saat sebelum kembali mengendarai sepedanya menjauh.

Orang itu..

"..chika. Motochikaaa!"

Suara Tsuru membuyarkan lamunanku. Aku memandang ke arahnya.

"Ada apa, Motochika? Kau kenal orang itu? Siapa dia?"

Aku mendecak keras. "Bukan urusanmu. Lagipula tidak bisakkah kau memanggilku 'Motochika-niisan' seperti saat kita pertama kali bertemu?"

Dia hanya mencibirku. Dasar, bocah ini..


Tanpa terasa, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku mengambil tasku lalu berjalan keluar dari kelas. Aku menghela nafas berat. Hari yang melelahkan. Aku ingin segera pulang. Aku melangkahkan kakiku menuju gedung SMP untuk menjemput Tsuru. Pikiranku melayang. Kira-kira dia sudah mempunyai teman belum ya? Ah.. mengapa aku mengkhawatirkannya seperti ini?

Bruk!

"Hei, hati-hati kalau jalan.."

"Ah, maafkan aku. Aku—"

Ucapanku terhenti ketika melihat siapa yang baru saja kutabrak.

"Mo-mori..?"

Lelaki yang tadi pagi hamper menabrak Tsuru itu menatapku sinis.

"Chosokabe." Jawabnya dingin.

Aku terdiam, menatapnya. Tubuhnya jauh lebih pendek dariku. Kapan itu terjadi..?

"Minggir. Kau menghalangiku." Ucapnya ketus.

"Mori, kau masih marah pada—"

"Chosokabe." Dengan sengaja ia memutus kata-kataku.

"Minggir. Sekarang."

Aku menghela nafas pasrah lalu menyingkir dari hadapannya. Ia berjalan melaluiku begitu saja. aku memandangi punggungnya yang makin menjauh.

"Hei, Chika-chan, kau janji kan?"

Aku memijat dahiku pelan. Kenangan masa lalu itu terkenang kembali.

"Tentu saja, aku janji! Selamanya aku akan.."

Aku menepuk dahiku. Sudah, sudah cukup.

"..berada di sisi Motonari!"

"Ooi, Motochika!"

Aku menoleh. Entah sejak kapan Tsuru berdiri di situ.

"Oh, Tsuru."

"Kau lama sekali! Akhirnya aku terpaksa menyusulmu kesini.." Gerutunya sambil menggembukan pipinya. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada Mori.

"Ngomong-ngomong dia siapa sih? Kau bertengkar dengannya ya?"

Ahh, dia melihatku? Sialan. Sudah berapa lama sih dia disini?

"Sudah kubilang, itu tidak penting. Ayo, kita pulang."

"Tapi—"

"Sudaah, ayo!" Bentakku. Ia mendengus kesal lalu berjalan mengikutiku.

"Oooooi! Chosokabe! Tungguu!"

Aku menoleh. Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar berlari ke arahku. Rambut panjangnya dikuncir kuda.

"Oh, Maeda. Ada apa?" Ucapku. Tsuru ikut menoleh, memperhatikan lelaki itu.

"Ah, tidak, hanya saja.. uwah, gadis ini siapa, Chosokabe?" Ucap lelaki bernama Maeda Keiji itu sambil tersenyum manis pada Tsuru.

"Hhhaaah.. Maeda, ini Tsuruhime. Adik sepupuku. Tsuru, ini Maeda Keiji, teman sekelasku." Ucapku memperkenalkan mereka berdua.

"A-ah, salam kenal, Senpai." Tsuru mengulurkan tangannya dan dijabat oleh Maeda.

"Salam kenal, Tsuru-chan!" Balasnya sambil tersenyum.

"Ahh, iya. Chosokabe, bisakah kau ikut latihan klub basket hari ini? Mereka kekurangan orang.." Ucap Maeda lagi, kali ini padaku.

"Hah? Kukira kau tidak ikut klub apa-apa." Ucapku.

"Ah, aku memang tidak ikut klub apa-apa. Hanya saja kali ini aku membantu klub basket. Makanya, apa kau bersedia? Ayolaah~" Rayunya. Aku mendesah pelan lalu melihat kearah Tsuru.

"Tsuru, hari ini kau pulang sendiri ya? Kau tahu jalan kan?"

Tsuru mendengus kesal. "Tahu begitu aku tidak usah jauh-jauh menghampirimu kan!" Ia menghetakkan kakinya lalu berjalan menjauhi kami.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Maeda terkekeh pelan.

"Apa yang lucu?" Tanyaku.

"Ah, tidak.. Tsuru-chan itu imut ya?" Jawabnya.

Aku menghela nafas. Yah, memang sih. Aku berbohong kalau bilang dia tidak imut.


Aku membuka kunci pintu apartemen lalu masuk ke dalam dan melepas sepatuku.

"Tsuru, aku pulang!"

Aneh, tidak ada jawaban. Aku menaruh sepatu di rak sepatu lalu berjalan ke dalam. Di meja makan sudah ada makanan masakan Tsuru. Sepertinya dia sendiri belum makan. Aku celingukan mencari Tsuru. Mataku tertuju pada pintu kamarku yang terbuka. Tsuru ada di dalam.

Tunggu, apa yang dia lakukan di kamarku?!

Aku mengendap-endap ke belakangnya. Dia sedang mengamati selembar foto. Oh, sialan.

"Sedang apa kau, bocah?!"

Tsuru tersentak kaget lalu menoleh ke arahku. Aku merampas foto itu dari tangannya.

"Kan sudah kubilang, jangan masuk ke sini!"

"Habis.. kau tidak mau bicara padaku! Kan aku jadi penasaran! Jadi.. jadi.. aku kemari.." ia menunduk, tampaknya ia merasa bersalah.

"Tapi, Mori itu siapa? Kau teman masa kecilnya? Kenapa kau foto bersamanya? Itu—"

"Sudah, diam! Tidak usah ikut campur! Ini masalahku! Kau yang memiliki kehidupan yang mudah dan selalu bahagia, kau tidak akan mebgerti!" Bentakku. Aku sudah kehilangan kesabaranku. Aku berbalik sesaat untuk kembali memasukkan foto itu ke dalam laci.

Aku berbalik ke arahnya. "Sudah, sana kelu—"

Jantungku serasa berhenti berdetak. Darahku terasa seperti disedot dari seluruh tubuhku.

Mata Tsuru berkaca-kaca. Air mata mengalir di pipinya. Ia memandangiku dengan tatapan kesal. Tsuru.. menangis?

Oh sial.

"Tsuru, aku—"

"Motochika bodoh!" Teriaknya.

"Motochika pandir! Motochika jahat! Motochika tidak pengertian! Hidup yang mudah, katamu..?" tubuhnya gemetar. Aku tidak tega melihatnya.

"Tsuru, maafkan a—"

Ia berbalik dan berlari keluar rumah.

"Tsuru!"


Aku berlari tanpa arah. Sial, kemana perginya anak itu? Bodoh sekali aku! Kenapa aku membentaknya seperti itu?! Aku memukul kepalaku sendiri. Habis, anak itu..

"Oh ho ho. Lihat siapa yang disini."

Aku berhenti lalu mencari sumber suara itu. Mataku membelalak. Oh sial. Jangan sekarang.

"Si setan dari Sekolah X.. sudah lama aku ingin menghadapimu, bagaimana kalau sekarang?"

Itu adalah kelompok berandalan dari sekolah sebelah. Sialan, kenapa aku harus bertemu mereka disini?

"Maaf, aku tidak sudi membuang-buang waktu dengan kalian." Aku berbalik.

BUGH!

Aku merasakan hantaman di pinggangku. Tubuhku terhuyung-huyung. Namun aku bisa mengontrol diri agar tidak terjatuh.

"Heh, sombong sekali kau." Ucap seorang lelaki yang tampaknya seorang pimpinan dari kelompok itu.

Aku menyeringai.

"Kalau begitu.. kuharap kau tidak menyesal."

Aku terduduk lemas. Kelompok 5 orang berandal itu sudah pergi. Aku pasti terlihat menyedihkan. Aku belum menemukan Tsuru dan sekarang aku babak belur hingga tak kuat berdiri. Hebat.

"Motochikaa!"

Tunggu, suara barusan..

"Motochika. Motochika!"

Dari kejauhan aku bisa melihat Tsuru berlari ke arahku.

"Tsuru..!" aku berusaha berdiri, namun kembali terjatuh. Tsuru membantuku berdiri.

"Motochika, kau bertengkar ya?" Tanyanya penuh selidik. Aku menghela nafas panjang.

"Sudahlah, kita pulang saja."


"A-aduh! Pelan-pelan sedikit, Tsuru!"

Saat ini Tsuru sedang mengobati lukaku. Ia mendengus kesal.

"Ini sudah pelan, dasar Motochika! Nah, sudah selesai!"

Ia sedikit menjauh dariku lalu duduk di hadapanku. Ia menundukkan kepalanya.

"Motochika, aku minta maaf.. aku.." Ucapnya lirih.

"A-ahh tidak, harusnya aku yang minta maaf.. maaf karena sudah membentakmu, Tsuru."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tsuru mengangkat kepalanya. Wajahnya cemberut.

"Hei, hei. Ada apa lagi, Tsuru?" Tanyaku.

"Habis.." Ia menggembungkan pipinya.

"Aku kan, ingin membantu.. Motochika kan keluargaku, jadi.. keluarga tidak boleh menyimpan rahasia, kan?"

Aku tertegun. Dia benar.. selama ini aku hanya menganggapnya mengganggu. Selama ini aku berusaha untuk mengabaikannya, tapi..

Perasaan itu tetap ada. Rasa sayang. Tsuru adalah adikku, keluargaku.

Aku tersenyum tipis lalu mengacak-acak rambutnya.

"Baiklah, baiklah. Maafkan kakak ya?" Ucapku dengan lemah lembut. Tsuru menatap wajahku. Ia ikut tersenyum.

"Baiklah, kalau begitu.. bagaimana kalau kita ulangi lagi?"

Tsuru berdiri dan duduk di sampingku.

"Aku akan memperkenalkan diri lagi. Namaku Tsuruhime, dan aku adik angkat Magoichi-neesama."

Aku tertegun. Adik angkat? Maksudnya?

"Jadi begini." Tsuru menghela nafas pendek sebelum melanjutkan.

"Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan saat aku berusia 7 tahun. Orangtuaku dan orangtua Magoichi-neesama sahabat dekat, jadi.. aku diurus oleh keluarga Saika sejak saat itu." Ucapnya sambil tersenyum lirih.

Aku menelan ludah. Gadis yang tampak periang dan tanpa masalah ini.. ternyata memiliki masa lalu yang begitu pahit. Aku memandangnya prihatin.

"Tsuru, aku—"

"Tapi aku tidak apa-apa sekarang." Tsuru memutus ucapanku. Ia tersenyum lebar.

"Magoichi-neesama ada disisiku. Dia mengurusku dan menjagaku seakan aku ini adik kandungnya. Magoichi-neesama adalah orang yang sangat baik. Aku ingin seperti Magoichi-neesama. Aku ingin membantu dan membahagiakan orang." Ucapnya dengan wajah berseri.

"Karena itu.. aku mau membantu Motochika. Wajah Motochika terlihat sedih ketika melihat si Mori itu menjauh. Aku ingin tahu alasannya. Aku ingin Motochika bahagia. Tapi.. sepertinya aku salah." Lanjutnya lagi.

"Kurasa aku memang tidak boleh ikut campur, ya?"

Seketika dadaku serasa ditusuk. Apa yang sudah kulakukan? Anak ini bermaksud baik, dia ingin membantuku. Dan yang kulakukan malah..

Aku menariknya ke dalam sebuah pelukan. Tsuru tampak kaget.

"Maafkan aku, Tsuru. Maafkan aku." Ucapku lirih.

Aku melonggarkan pelukanku. Tsuru tersenyum padaku.

"Tidak usah meminta maaf." Ucapnya.

Aku melepaskan pelukanku. Setelah menarik nafas panjang, aku memulai ceritaku.

"Aku dan Mori adalah teman masa kecil. Dulu aku adalah anak yang lemah, dan tidak bisa apa-apa. Mori-lah yang selalu membantuku, mendukungku agar aku menjadi lebih kuat. Kami menjadi sahabat dekat. Sanking dekatnya sampai.." Aku terdiam, tidak yakin harus melanjutkan atau tidak. Rasanya berat jika aku katakana padanya.

"Sampai apa, Motochika?" Tanya Tsuru antusias.

Aku mengehela nafas. "Sampai-sampai aku jatuh cinta padanya. Aku tahu apa yang kau pikirkan, kau boleh bilang aku aneh. Ugh.. lagipula, dia terlihat seperti wanita kan?"

Aku memalingkan wajahku. Pasti sekarang dia jijik padaku. Aku merasakan tangannya menggenggam tanganku. Aku menoleh. Dia tersenyum padaku.

"Aku sama sekali tidak akan mengataimu, Motochika. Lanjutkan saja."

Aku menarik nafas panjang lalu tersenyum sesaat sebelum melanjutkan.

"Suatu hari, aku janji padanya bahwa kita berdua akan selalu bersama. Namun, keesokan harinya.. sesuatu terjadi sehingga aku terpaksa pindah rumah secara mendadak, meninggalkan Mori tanpa sempat memberitahunya. Berbulan-bulan, atau bahkan tahun sudah lewat. Hingga suatu hari aku mendengar dia dirawat di rumah sakit. Dia ditindas, dan aku tidak ada disana untuknya. Aku melanggar janjiku. Aku seorang pengecut."

Tsuru menatapku prihatin, namun ekspresi itu seketika berubah menjadi ekspresi marah.

"Aaargh! Anak laki-laki memang bodoh! Kenapa segala sesuatu harus diselesaikan dengan fisik, sih?! Apa bagusnya berkelahi?! Apa untungnya?!" Teriaknya.

Tsuru menggenggam tanganku erat.

"Kumohon, Motochika." Ucapnya sambil menatap lurus ke mataku.

"Tolong janji padaku kau tidak akan bertengkar lagi. Aku tidak ingin kau terluka lebih dari ini.." Ucapnya penuh perhatian.

Aku mengangguk. Baru kali ini.. ah tidak.. ini kedua kalinya ada yang begitu perhatian padaku.. selain Mori. Bahkan orangtuaku sudah menyerah mengurusku yang amat pemberontak ini, hingga meninggalkanku begitu saja. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu mereka. Yang mereka lakukan hanya mengirimiku uang tiap bulan. Hanya itu.

Namun, sekarang ada Tsuru disini. Yang selalu memperhatikanku setiap hari. Baru kali ini aku menyadari betapa berharganya kehadiran Tsuru di sisiku..


Keesokan harinya, kami berdua berangkat bersama seperti biasanya. Tsuru bersikap biasa. Membangunkanku di pagi hari, cerewet soal takut terlambat, dan yang lainnya. Saat ini kami berjalan dari stasiun menuju sekolah.

Tanpa sengaja aku berpapasan dengan lelaki itu. Ya.. Mori Motonari. Ia melirik kami berdua sesaat sebelum berjalan menjauhi kami berdua. Aku mengalihkan pandanganku dan tetap berjalan. Aku berhenti ketika sadar Tsuru tidak ada di sampingku. Aku menoleh. Tsuru masih terpaku memandangi Mori.

"Hoi, Tsuru? Kau sedang apa?" Tanyaku.

Tsuru melirik ke arahku sejenak, lalu berlari pergi. Tidak, bukan sekedar pergi. Ia menghampiri Mori!

"Oooy, Tsuru!" Panggilanku sama sekali tidak dihiraukan Tsuru. Aku terpaksa mengejarnya.

"Morii! Oooi! Mori-senpaai!"

Mori menoleh kearah Tsuru yang memanggilnya dan berhenti berjalan. Aku refleks bersembunyi.

Nafas Tsuru terengah-engah. Mori hanya menatapnya sinis.

"Siapa kau, adik Chosokabe?" Tanyanya dengan nada agak sinis.

"Namaku.. ahh.. namaku tidak penting." Setelah berhasil mengatur nafas, ia menatap Mori.

"Kenapa kau bersikap begini? Apa salah kakakku? Kau menyalahkan kakakku tentang apa yang terjadi padamu?!" Ucap Tsuru langsung pada intinya. Mori memandangnya dengan ekspresi datar.

"Aku tidak punya waktu untuk ini." Mori berbalik, hendak pergi.

"Kalau dia bisa berada disisimu waktu itu, dia pasti melakukannya! Motochika bukan tipe orang yang mudah melupakan seseorang! Motochika.. Motochika peduli padamu, lebih daripada yang kau tahu! Motochika sangat.. amat sangat mempedulikanmu! Kau yang egois, tidak peduli akan hal itu! Kau hanya percaya pada pikiranmu sendiri, tanpa memedulikan situasi dan perasaan Motochika! Asal kau tahu, Motochika masih sangat menyesal atas apa yang terjadi waktu itu!" Teriak Tsuru. Nafasnya terengah-engah.

Mori terdiam, masih membelakangi Tsuru.

"Kumohon.. pikirkan hal itu. Kumohon.. kembalilah berteman bersama Motochika. Motochika sangat kehilangan, kau tahu? Ah.. aku tidak tahu kau bakal memedulikanku atau tidak. Aku permisi."

Tsuru berbalik dan berjalan menjauh. Aku menarik tangannya.

"Tsuru, kau.." bisikku, takut ketahuan Mori.

Tsuru hanya menyeringai padaku.


Aku berjalan cepat kearah gedung SMP. Bel pulang sudah berbunyi dari tadi, tapi aku keluar terlambat gara-gara dititipkan tugas. Sialan, buang-buang waktu saja. Entah kenapa perasaanku tidak enak.

JDUAGH!

Aku merasakan sakit yang amat sangat. Ada yang menghantam kepalaku dari belakang. Aku menoleh. Jantungku serasa berhenti berdetak.

Itu kelompok anak yang kemarin menyerangku.

Perutku ditinju. Tubuhku terhuyung dan aku jatuh ke tanah. Seorang anak menyeretku hingga ke belakang sekolah.

"Heh, ada apa, anak setan? Mana kekuatanmu yang kemarin?"

Aku berdiri, hendak menghajar mereka. Namun aku teringat apa yang Tsuru ucapkan padaku.

"Tolong janji padaku kau tidak akan bertengkar lagi. Aku tidak ingin kau terluka lebih dari ini.."

Aku terdiam. Aku sudah berjanji. Janji harus ditepati.

Kelompok berandalan itu tertawa.

"Hah! Setan apanya!"

"Pengecut!"

"Lemah!"

Telingaku terasa panas. Namun aku tetap diam.

"Kalau begitu.. kita habisi dia disini!"

Seorang anak mengepalkan tangannya. Aku memejamkan mataku, pasrah dengan apa yang akan mereka lakukan.

"Tungguuuu!"

Suara itu. Tsuru!

Aku membuka mataku. "Tsuru, apa yang—"

"Ghuah!"

Tsuru mendorong salah seorang anak hingga jatuh terjembab. Wuah, apa dia memang sekuat itu?

"Hentikan, kalian!"

Tsuru berdiri di depanku, dia merentangkan tangannya. Berusaha melindungiku.

"Tsuru, pergi dari sini!" Perintahku.

"Tidak mau!" Bantahnya. Ia melirikku.

"Aku tidak akan membiarkan Motochika terluka lagi.." Ucapnya.

"hah! HAHAHAHAHA! Lihat, dia bahkan butuh pertolongan seorang perempuan! Hei.. ayo kita habiskan dua-duanya!" Ucap salah seorang anak.

Mereka berjalan mendekat, mengepungku dan Tsuru. Namun Tsuru tidak kabur, mundur saja tidak. Dia tetap berdiri didepanku, berusaha melindungiku. Aku tidak bisa membiarkan Tsuru terluka. Aku bangkt berdiri. Tsuru menoleh ke arahku.

"Motochika?"

Maaf, Tsuru. Aku harus melanggar janjiku.

"Motochika!"

"Itu, pak! Anak-anak sekolah lain yang mencari masalah!"

Aku terkejut. Aku mencari sumber suara. Ternyata Mori sudah berada di dekat kami, dengan guru olahraga lelaki yang terkenal amat tegas itu. Para anak berandalan itu terkejut, lalu lari berhamburan.

"Hoi! Diam disitu kalian!" Guru itu berlari mengejar para anak yang kabur.

Tsuru terpaku melihat kelompok yang berhamburan pergi itu. Begitu juga aku. Aku melihat kearah Mori.

"Kalian berdua tidak apa?" Tanya Mori dengan suara datar seperti biasanya. Tsuru mengangguk. Aku berjalan mendekat ke Mori.

"Mori, aku.."

"Sudah, Chosokabe. Aku minta maaf." Ucapnya. Ia melirik ke arahku.

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Tidak, Mori! Akulah yang harus minta maaf. Maafkan aku karena melanggar janjiku.." Ucapku.

Mori memandangku datar. "Aku sudah melupakannya." Ucapnya.

"Ahh, kalau begitu.." Aku mengulurkan tanganku.

"Mulai sekarang.. mohon bantuannya ya, Mori Motonari."

Mori memandangi tanganku. Aku tersenyum canggung.

"Ahh, maaf, ini konyol ya.." Aku hendak menarik kembali tanganku.

Mori menggenggam tanganku, menjabatnya. Aku menatapnya tidak percaya. Wajahnya memang masih datar seperti biasa, namun aku merasa amat sangat bahagia. Aku menyengir lebar.

Aku melirik kearah Tsuru. Dia tersenyum haru. Aku berbisik pelan.

"Terima Kasih."


Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan sudah berlalu.

Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa, Magoichi sudah menyelesaikan masa studinya. Beberapa jam lagi dia akan menjemput Tsuru. Aku mengetuk pintu kamar Tsuru yang sebenarnya terbuka itu. Dia menoleh. Ia terlihat sedang membereskan barang-barangnya. Aku menghela nafas. Sebentar lagi kamar ini akan kembali kosong seperti biasanya. Tsuru berjalan menghampiriku.

"Sudah selesai beres-beresnya? Perlu kubantu?" Tanyaku.

Tsuru menggeleng. "Aku sebentar lagi selesai kok."

"Oh, begitu." Ucapku. Tsuru mengangguk.

Hening.

Tidak ada yang berbicara. Aku maupun Tsuru. Kami hanya saling pandang untuk beberapa lama.

"Anu.." Tsuru memecah keheningan. Aku mengangkat alis.

"Ada yang ingin kuberikan padamu." Ia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu lalu kembali keluar dengan selembar kertas. Ia menyodorkan kertas itu padaku.

"Apa ini?" Aku menerima kertas itu lalu melihatnya. Aku tertegun melihatnya.

Itu adalah gambar diriku. Namun entah kenapa, ia menggambarku sebagai seorang bajak laut. Aku tertawa pelan.

"Kenapa bajak laut heh, Tsuru?" Tanyaku.

"Habiis.. kau berandalan seperti seorang bajak laut. Dan matamu itu." Jawabnya polos.

Aku tersenyum kecil sambil memandanginya. Aku menghela nafas panjang.

"Aku akan merindukanmu, Tsuru. Rumahku akan sepi tanpamu." Ucapku jujur.

Tsuru terdiam. Ia memelukku erat.

"Aku juga akan merindukanmu, Motochika-niisan.. terima kasih."

Aku tersenyum. Aku meletakkan gambar itu di meja disampingku lalu membalas pelukannya.

"Aku juga akan merindukanmu, adikku. Sekali-kali berkunjunglah kemari, ya?"

Aku menatapnya. Dia balas menatapku. Kami tertawa bersama. Aku tidak akan melupakannya. Aku tidak akan melupakan hari-hariku bersamanya.

Heh. Siapa yang mengira, seorang bocah dapat mengubahku yang berandalan ini?

-End-


Astaga, huwaw! ini FF terpanjangku! 14 halaman vroh! huahaha. maaf ya kalo capek bacanya!
Review/Flame? :3

Auth.S