"Dunia ini gila."

"Kau tahu? Kita hanya memiliki dua pilihan."

"Ikut menjadi gila di dalamnya atau memaksakan diri untuk bertahan waras."

Dia melihat sekelilingnya. Liarnya sang jago merah melahap setiap kerangka pada latar. Meninggalkan teror dalam panas. Jejak nyala tak pernah terlihat begitu mengerikan.

.

.

.

"Apa yang harus kupilih."

"Bila kedua kemungkinan hanya berakhir pada satu titik."

"...dimana kau dan aku tidak bisa bersama."

Seharusnya tidak begini.

Rencana yang sudah tersusun sedemikian rupa ikut hangus dalam kobaran. Terjebak sudah dirinya dalam kebodohan.

Dia terduduk di atas dataran panas. Manik kembali melihat sekeliling. Merah merana terpantul di atas iris coklat kehitaman. Tak dipedulikan peluh yang bertemu dengan darah di atas kulit yang telah terkoyak. Tak dipedulikan dentuman jantung yang terpacu dalam adrenalin.

Dia tidak peduli.

Probabilitas dan takdir memang tidak pernah berpihak padanya.

.

.

.

"Jangan bodoh."

"Api tak akan menyala tanpa patra."

Di tengah tarian sang jago merah dirinya terduduk.

Sungguh pemandangan yang luar biasa di malam hari yang kelam itu.

Di tengah histeria massa yang takut akan kehilangan nyawa mereka.

Dia terduduk tanpa pergerakkan.

Pecundang yang kian berlari dari kenyataan meratapi akhir perlariannya di atas panas.

Yang terlahir sebagai pecundang akan berakhir pula sebagai pecundang. Dan apa yang bisa dilakukan oleh pecundang itu di akhir cerita?

Menyalahkan.

"Ini semua salahmu."

"Kalau saja kau tidak pernah datang di dalam hidupku."

"Kalau saja kau tidak menoleh dan menemukanku di sudut ruangan itu."

"Mungkin kali ini aku akan tertawa melihat dirimu menari di atas api."

.

.

.

Tapi, tidak.

Kisah ini tidak berjalan sesuai dengan harapanku.

Kau telah menemukanku.

Dan aku menemukan dirimu.

Dan sekarang disinilah tempatku.

Berlutut menangis di hadapan pandang pengadilan sang jago merah.

Merah yang telah merenggutmu dari genggamanku.

.

.

.

"Ong Seongwu."

...coming soon