This is a D/G fanfiction. Harry Potter is not mine. If you read this, it's an obligation for you to review! no, i am just kidding. But i really want to know what what you think about this story.


Mission Given

Ginny bangun dari tempat tidurnya dengan kecepatan luar biasa, tersenyum. Tapi, senyumnya menghilang ketika ia mendapati tempat tidur Hermione kosong. Pasti Hermione tengah melakukan diskusi rahasia Sang Trio yang terkenal itu. Ginny langsung mengambil Telinga Terjulur dari mejanya dan mengendap-endap keluar kamar.

Sejak kemarin, ia begitu riang. Dan sejak kemarin pula, ia mengetahui kedatangan seorang anak lelaki berambut hitam berantakan dengan mata hijau cemerlang yang ditutupi oleh sebuah kacamata berbingkai bundar. Pahlawannya, Harry Potter.

Biasanya, dari jarak tiga meter dari kamarnya, dengkuran Ron sudah jelas terdengar. Tapi, Ginny berada pada jarak satu setengah meter. Dan Ron tidak mendengkur!

Sudah pasti mereka tengah melakukan diskusi rahasia Trio mereka yang terkenal. Dengan cepat Ginny memasang Telinga Terjulurnya didepan pintu Ron dan membungkuk, mendengarkan.

"... dan Pangeran Kegelapan akan menandainya sebagai tandingannya. Tetapi dia akan memiliki kekuatan yang tidak diketahui Pangeran Kegelapan. Dan salah satu tak bisa hidup sementara yang lain bertahan. Yang memiliki kekuatan untuk menaklukan Pangeran Kegelapan akan dilahirkan. Bersamaan dengan matinya bulan ketujuh," Ginny mengenali suara Harry melalui Telinga terjulur. Apa maksudnya itu?

"Jadi, itu, er, ramalannya?" kali ini Ron bertanya,"Tapi, apa maksudnya?"

"Astaga, Ron! Apa kau benar-benar bodoh?" Hermione berseru. Ginny mengira Hermione akan terus-menerus berteriak pada Ron. Tapi, sebaliknya, setelah komentar singkat itu. Hermione langsung terdiam.

"Maksudnya, Ron" Harry memulai perlahan,"aku harus membunuh Voldemort atau ia yang akan membunuhku. Dan tentu saja, ia pasti akan membunuhku," lanjut Harry suram.

Walaupun mendengar nama Voldemort membuat bulu kuduk Ginny merinding. Tapi, yang membuatnya ngeri adalah kata-kata Harry tadi. Apa maksud Harry sebenarnya? Apa yang tengah mereka bicarakan?

"Oh, Harry. Ia tak akan membunuh. Tidak selama kita semua masih ada disini," Hermione menyemangati.

"Trims, Hermione. Tidak hanya itu, belakangan aku dapat mendapati mimpi ini. Berkali-kali. Bukan, hampir setiap malam," ujar Harry.

"Mimpi?" tanya Ron,"maksudmu semacam penglihatan seperti tahun lalu,"

"Yeah...mungkin," jawab Harry ragu-ragu.

"Penglihatan? Harry, kukira kau sudah membentengi pikiranmu. Apa kau bahkan mencobanya, Harry?" tanya Hermione curiga.

"Mmm...tidak, sepenuhnya,"

"Tapi, Harry. Profesor Dombledore menyuruhmu menutup koneksinya. Kau harusnya melakukan itu,"

"Hermione, tahun lalu koneksi ini berguna, kan? Jika aku tidak mendapatkan penglihatan itu tahun lalu, Mr. Weasley mungkin sudah tewas," Harry mencoba membela diri.

"Dia benar, Hermione. Mungkin, Dad tidak bisa selamat kalau Harry tidak mendapat penglihatan itu," Ron mendukung.

"Tapi, Voldemort berhasil memanipulasi pikiranmu-" Hermione tercekat. Untuk sesaat tak ada suara apapun setelah kata-kata Hermione yang mengarah ke kematian Sirius. Ginny sendiri menelan ludah. Kematian Sirius sangat berat bagi mereka semua.

"Aku tahu," Harry memecah keheningan, berbisik sangat pelan, bahkan Ginny tak yakin apa Ron dan Hermione mendengarnya.

"Maafkan aku, Harry. aku hanya-"

"Tidak apa-apa, Hermione. Sungguh," Harry menginterupsi,"Tapi, dengar, ini penting. Profesor Dombledore bilang terlalu menyakitkan bagi Voldemort untuk memasuki pikiranku, apalagi memanipulasinya. Lebih berat baginya daripada bagiku entah kenapa. Profesor Dombledore sendiri ragu-ragu jika Voldemort akan mencoba kembali mengendalikan pikiranku. Jadi, aku cukup yakin, jika ini adalah sebuah penglihatan,"

"Aku yakin padamu, Harry," ujar Hermione,"Jadi...mimpi apa itu?"

"Oh, ya, Voldemort mengincar sesuatu. Seseorang. Ia menginginkan seseorang. Tapi, koneksiku selalu terputus sebelum aku tahu siapa orang itu. dia yakin bahwa, seseorang ini, siapapun dia, adalah kekuatanku yang tidak diketahuinya," Harry menjawab, suaranya dipelankan hingga Ginny harus berkonsentrasi untuk mengangkap setiap kata.

"Ron! Harry! Kalian sudah bangun?" teriakan ibunya hampir membuat jantung Ginny meloncat.

"Ya, Mum. Kami segera keluar!" seru Ron.

Ginny segera mencabut Telinga Terjulur dan berjalan secepat mungkin ke arah kamarnya sendiri. Dengan pengetahuan yang baru saja diketahuinya.


Malfoy Manor. Tengah Malam.

Draco membaca artikel tentang ayahnya di Daily Prophet. Ini sudah ke sepuluh kalinya hari itu. tapi, ia selalu mendapatkan dorongan untuk membacanya lagi. lagi dan lagi. rahangnya mengeras setiap kali ia membaca satu kata demi satu kata. Dan pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan hatinya menyerbu.

Apakah hidup seperti yang ia inginkan? Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan? Apakah ini takdirnya? Apakah menjadi seorang Pelahap Maut adalah keinginannya? Apakah Pangeran Kegelapan-

Uurgh! Draco melempar korannya ke tempat sampah. Mengubur wajahnya ke dalam kedua telapak tangan. Kenapa ia ragu-ragu? Tentu saja ini adalah keinginannya. Ini adalah satu-satunya cara jika ia ingin ayahnya keluar dari Azkaban. Pangeran Kegelapan harus menang.

"Draco?" terdengar ketukan di luar pintunya, membuat Draco terkesiap,"Apa kau sudah tidur?" Draco kembali tenang setelah yakin suara itu berasal dari ibunya. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu.

"Tidak, Ibu," jawab Draco sambil membuka pintu,"Ada apa Ibu datang menemuiku malam-malam begini?"

"Draco, cepat!" ujar Ibunya, raut mukanya adalah campuran kekhawatiran dan ketakutan. Raut muka yang sering ditunjukkan oleh Narsisca Malfoy akhir-akhir ini,"Pangeran Kegelapan memanggil kita,"

Draco membeku. Tubuhnya sedingin es. Ada urusan apa Pangeran Kegelapan memanggil mereka?

"Draco..." suara Ibunya mengembalikan Draco kembali ke tempatnya. Ada garis-garis kehitaman dibawah mata Ibunya sekarang, garis yang Draco yakin, juga dimilikinya.

"Aku akan ganti baju sekarang dan menemui Ibu diluar," ujar Draco buru-buru.

Ibunya mengangguk,"Cepatlah, Draco,"

Draco mengangguk dan segera menutup pintu. Ia berganti baju secepat mungkin dan memakai jubah hitam yang dibelikan ayahnya tahun lalu. Setelah puas menatap pantulannya sendiri di cermin ia berjalan keluar.

Draco berjalan menuruni tangga dan menemukan Ibunya berjalan bolak-balik didepan perapian. Disampingnya ada siluet tubuh yang tinggi semampai disinar cahaya api kemerah-merahan. Draco mengerutkan kening dan terus berjalan hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas siapa orang yang berada disamping ibunya. Seorang wanita berambut hitam berantakan dan mata yang sama hitamnya dengan ekspresi yang sangat keji, Bellatrix Lestrange.

Draco menelan ludah,"Bibi Bella," ujarnya sebagai sapaan."Ada apa sebenarnya? Kenapa Pangeran Kegelapan memanggil kami?"

Bibinya tersenyum, sebuah senyum keji yang membuat Draco merinding,"Bukan kami, Draco," jawab Bibinya,"Bukan. Bukan. Pangeran Kegelapan tidak memanggil kalian. Tapi, ia memanggilmu Draco."

"Memanggilku? Tapi-"

"Kau seharusnya bangga, Draco. Kau seharusnya senang. Pangeran Kegelapan akan memberimu sebuah misi dan ia akan menjadikanmu seorang Pelahap Maut,"

Draco mengambil satu langkah mundur. Menjadikannya pelahap maut? Tapi, itu bukan yang dia inginkan. Setelah kata-kata itu keluar dari mulut Bibinya. Draco yakin akan keragu-raguannya. Ia tidak ingin menjadi pelahap maut. Ini bukanlah dunia yang ia inginkan.

Ibunya berjalan ke arah Draco,"Draco, mungkin ini satu-satunya cara membebaskan ayahmu dari Azkaban. Tolonglah, Draco. Aku tak akan membiarkan apapun terjadi padamu. Kumohon..." bisik Ibunya di telinganya.

Jika bukan karena Ibunya, Draco yakin ia akan berlari keluar Malfoy Manor disaat itu juga. Pergi ke luar negeri jika bisa, jauh dari semua ini. Tapi, ini ibunya. Draco tidak tega melihat ibunya menderita. Apalagi jika ia pergi, hanya dia-lah yang dimiliki ibunya sekarang.

"Baiklah, Ibu," ujar Draco,"Kalau begitu ayo kita pergi,"

Narsisca tersenyum kepada puteranya dan melirik kakaknya yang mengangguk kemudian menghilang. Narsisca menggenggam tangan Draco sementara Draco menutup matanya. Sensasi disedot itu kembali hadir.

Ia berdiri di sebuah ruangan sekarang. ruangan itu gelap. Ia hampir tak bisa melihat apa-apa disana sebelum sebuah sinar dari tongkat bibinya muncul.

"Dimana ini?" tanya Draco pada ibunya," Dimana kita sekarang?"

"Ini markas Pangeran Kegelapan untuk sekarang ini," jawab Bibinya.

"Dimana tempat ini?" tanya Draco penasaran tapi ia langsung menyesalinya ketika Bibinya membelalakkan mata ke arahnya.

"Itu bukan urusanmu, Draco. Ayo, cepat!" seru Bibinya kemudian memimpin, berjalan menuju tangga didepannya.

Draco bisa merasakan tangan Ibunya membelit lengannya ketika mereka sama-sama berjalan mengikuti Bibinya sampai kedepan sebuah pintu. Bibinya membuka pintu tersebut dan berjalan masuk perlahan.

Draco bisa merasakan aura di dalam ruangan itu, penuh dengan kesuraman, kesakitan dan...kematian. ruangan apa ini?

Tanpa bertanya, Draco sudah mendapatkan jawabannya ketika ia melihat siluet seorang lelaki diujung kepala meja panjang yang dikelilingi beberapa orang berjubah hitam disekelilingnya. Siluet tubuh itu tengah membelai seekor ular besar. Cahaya api perapian tidak cukup untuk memperlihat siluet itu dengan jelas, tapi Draco bisa melihat kulit pucatnya, dan tempat yang seharusnya ada hidung, hanya ada dua lubang kecil untuk bernafas. Dan ketika matanya berjalan ke atas. Mata kelabunya bertemu sepasang mata ular yang berwarna merah. Untuk sesaat Draco mengira itu adalah mata ular yang tengah berada dibelaian sang siluet. Tapi, itu bukan. Tidak mungkin. Itu...itu mata si pemilik siluet. Mata Pangeran Kegelapan.

"Tuanku," Bibinya membungkuk begitu dalam, memberi penghormatan.

Pangeran Kegelapan melambaikan tangan ke arahnya, memintanya untuk segera duduk. Draco hampir mengikuti Bibinya tapi sebuah suara dingin dan kejam menghentikannya,"Draco, kemarilah" ujar Pangeran Kegelapan.

Draco tidak bergerak. Ia mengakui, ia terlalu takut untuk berjalan mendekati Pangeran Kegelapan. Ide itu membuatnya ngeri.

"Draco," Pangeran Kegelapan kembali memanggilnya.

Draco menatap Ibunya. Meminta bantuan. Tapi, Narsisca hanya menganggukkan kepala. Menyuruhnya berjalan ke arah Pangeran Kegelapan dengan matanya.

Draco menelan ludah sebelum berbalik dan berjalan, sangat perlahan, melewati jubah-jubah hitam, menuju sang Pangeran. Matanya, tertuju ke arah Si Ular besar yang sekarang hanya puluhan sentimeter jaraknya dari dirinya sendiri.

"Duduklah, Draco," Pangeran Kegelapan menunjuk kursi didekatnya dengan tongkatnya. Draco perlahan duduk. Pangeran Kegelapan tersenyum,"Apa kau tahu kenapa kau kupanggil malam ini, Draco?" tanyanya.

"Ti-tidak, Tuanku," jawab Draco pelan.

"Oh, kalau begitu, aku harus menceritakanmu sesuatu. Tadi, aku baru saja memiliki sebuah ide hebat yang mengikutkan dirimu," Pangeran Kegelapan berhenti, seakan menunggu Draco berbicara."Kau ingin tahu apa itu?" tanyanya setelah Draco hanya terdiam.

"Y-ya, Tuanku," jawab Draco.

"Aku memberikanmu sebuah kepercayaan besar, Draco. Sebuah misi besar yang hanya kuberikan kepada Pelahap Maut paling hebat dan paling setia kepadaku. Dan aku memberikan ini padamu, Draco," Pangeran Kegelapan berbicara sambil tersenyum,"Jika kau berhasil melakukan ini, Draco. Bukan hanya kau akan kujadikan Pelahap Maut tapi aku juga akan mengeluarkan ayahmu dari Azkaban,"

Draco mendongak, untuk sesaat menatap mata Sang Pangeran sebelum kembali menunduk dalam kengerian. Tapi, jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan lagi karena takut, tapi karena ia punya suatu jalan untuk membebaskan ayahnya."Apakah itu, Tuanku?"

"Temukan jalan untuk memasukkan Para Pelahap Maut ke Hogwarts dan bunuh Dombledore,"

"Membunuh Profesor Dombledore?" Draco mengatakan apa yang ada dipikirannya tanpa berpikir, kemudian mengigit bibirnya dalam penyesalan.

"Iya, Draco. Apa kau tidak mau mengambil misi ini?" tanya Pangeran Kegelapan.

Draco menatap ke arah orang-orang berjubah hitam itu, mencari-cari mata ibunya. Tapi, terlalu gelap. Ia tidak mengenali satu wajah pun. Ia harus bagaimana? Apakah ia mampu melakukan itu. Menemukan jalan untuk memasukkan Para Pelahap Maut itu satu hal. Tetapi, membunuh Profesor Dombledore itu hal yang lain. apakah ia bisa? Tak hanya itu, apakah ia tega?

Tapi, ini satu-satunya cara untuk membebaskan ayahnya. Untuk membersihkan nama keluarganya didepan mata Pangeran Kegelapan, didepan mata seluruh dunia sihir."Tidak, Tuanku," jawab Draco,"Saya akan melakukan misi ini,"

"Bagus, bagus, Draco," Pangeran Kegelapan tersenyum puas dan bersandar ke kursinya, kali ini menatap mata ularnya ketika berbicara,"Ada satu hal lagi yang aku ingin kau lakukan untukku,"

"Apakah itu, Tuanku?" tanya Draco.

"Aku ingin kau membawa Ginny Weasley kepadaku,"