Chapter 1.

Ibu, kenapa aku tidak punya saudara?

Ibu, mengapa Ayah meninggalkan kita begitu cepat?

Ibu, kau ada di mana?

Kuroshitsuji YanaTobosco

Kuro Sekai VannCafl

Pairing: Sebastian Michaelis x OC (Justine)

Genre: Romance, demons.

Rate: T+

Justine terbangun dalam posisi yang kurang baik. Ia meringkuk dan punggungnya terasa sakit. Justine cemberut ketika teringat mimpinya semalam. Mimpi yang tak berhenti menghantuinya.

"Kau bermimpi buruk, Ojou-sama?" terdengar suara halus di sebelah Justine. Justine membiarkan orang itu, pelayan barunya yang bernama Sebastian, menyingkap selimut yang tadi menghangatkan tubuhnya.

"Betsu ni," Justine menjawab acuh saat Sebastian mengeluarkan sebuah gaun dari dalam lemari. Ia membiarkan Sebastian mengancingkan bagian belakang gaunnya. Meski selalu menolak mengenakan korset, Justine suka mengenakan gaun. Dia hanya tidak ingin dianggap laki-laki karena potongan rambutnya yang hanya sebahu.

Sebastian tidak banyak bicara. Entah memang sejak dulu begitu atau bagaimana, Justine tidak tahu apa-apa. Tapi dia selalu ingin tahu. Umurnya hampir beranjak menuju 16 tahun dan dia mudah penasaran.

Saat Sebastian menuangkan teh ke dalam cangkir sambil menyebutkan nama teh tersebut, Justine tiba-tiba memotongnya dengan pertanyaan. "Sebastian, Ciel sudah bangun?"

Sebastian seperti enggan menjawab pertanyaannya (atau itu hanya perasaan Justine saja karena saat itu wajah Sebastian datar-datar saja). Sebastian memindahkan tadah dan cangkir ke atas tangan Justine dan mulai berlutut untuk memasang kaus kaki beserta sepatu Justine. Setelah tugasnya selesai, baru Sebastian menjawab, "Ya, begitu lah. Bocchan sudah bangun dari tadi."

"Begitu, kah?" Justine meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. Ia tidak begitu peduli pada Ciel Phantomhive yang kini juga menjadikan Justine sebagai Phantomhive juga. justru ia lebih peduli pada pelayannya, yang entah sejak kapan, membuatnya terpesona. Tapi saat ini Justine tidak begitu menyadari hal itu. Apalagi sejak ia mengikat kontrak dengan Ciel Phantomhive saat anak laki-laki (atau iblis?) berumur 12 tahun itu menyelamatkannya di tebing. Saat itu keingan Justine hanya memiliki seorang kakak laki-laki dan keluarga bahagia hingga ia mati, dan Ciel boleh memakan jiwanya setelah mengabulkan keinginannya. Tapi setelah memberi tanda kontrak di bagian belakang leher Justine, Ciel membawanya ke rumah Phantomhive dan menjadikannya anggota keluarga. Ciel bahkan mempertua dirinya menjadi 17 tahun agar bisa menjadi kakak laki-laki Justine. Ciel membagi semuanya dengan Justine. Rumah, pelayan, dan teman-temannya.

Semua kehidupan yang Ciel berikan padanya terasa nyata. Karena itu, semua kenangan-kenangan Justine yang suram hanya menghantuinya lewat mimpi.

Sebastian membungkuk sebelum keluar dari kamar tidur Justine. "Bocchan sudah menunggumu di meja makan!" kata Sebastian. "Permisi."

Justine mengangguk saja. Saat Sebastian pergi, ia melayangkan pandangannya pada lukisan kecil (lukisan ini buatan Sebastian, lho!) di atas nakas. Lukisan Ciel, ayah dan ibunya, serta Justine yang masih kecil. Ciel memang mengatakan bahwa ayah dan ibu mereka meninggal dalam kebakaran, namun Justine merasa dua orang itu masih hidup, dan menyayangi mereka sepenuh hati. Justine merasa tidak masalah jika keluarga barunya ini tidak lengkap.

Justine berjalan keluar kamarnya. Dalam lorong-lorong rumah Phantomhive yang berhias lukisan, ia berjalan tenang dalam balutan gaun mengembangnya, seperti sudah terlahir menjadi putri Phantomhive, dan bukan putri dari keluarga suram. Saat ia duduk di hadapan Ciel, ia terlihat seperti adik kandung Ciel. Didukung oleh rambut dan wajahnya yang memang mirip dengan ibu Ciel (mungkin Justine memang memiliki kekerabatan jauh dengan ibu Ciel).

"Selamat pagi, my lovely sister." Sapaan berlebihan itu, entah mengapa terdengar manis saat Ciel mengatakannya dengan senyum tulus. "Semalam tidurmu nyenyak?"

Justine mengangguk dan Ciel langsung bergumam dalam hatinya. Usotsuki!

"Ciel, mengapa kau selalu bangun lebih awal dariku?" tanya Justine sambil memotong steak yang baru Mey-Rin letakkan di hadapannya.

Ciel memandangnya dengan sebelah matanya yang besar dan biru. Seperti langit malam gelap yang menerbangkan gadis mana pun yang melihatnya. Terkecuali Justine. Karena gadis itu sudah lebih dulu terpikat pada Sebastian saat pertama kali melihatnya di rumah ini. "Tentu saja karena aku harus bekerja, Justine," jawab Ciel tenang. "Sebagai kepala keluarga Phantomhive."

Justine menunduk menatap jus jeruknya. "Tidak bisa kah kita berlibur sebentar?" tanya Justine. "Aku yakin Elizabeth ingin pergi berlibur."

"Kita bisa berlibur kapan saja. Bagaimana kalau besok? Aku ada pekerjaan di sebuah desa. Kau dan Elizabeth bisa menjadikannya liburan." Lagi-lagi Ciel memberikan senyum manis itu. Justine jadi bertanya-tanya mengapa ia tidak sanggup mencintai Ciel. Padahal Ciel adalah iblis dan Justine senang Ciel pernah menolongnya dulu. Sementara Sebastian, Justin yakin pelayannya itu hanya manusia biasa yang perfectionist, tapi tak bisa ia pungkiri, Sebastian sudah banyak menolong dan melindunginya.

"Benarkah?" Justine terlihat antusias. "Pasti akan menyenangkan. Aku akan menelepon Elizabeth nanti."

.

.

.

"Ojou-sama, kalau ada yang menganggu pikiranmu, kau bisa menceritakannya padaku.." ucap Sebastian saat pelayan itu sedang memandikan Justine, malam harinya.

Justine langsung tersadar bahwa ia sudah melamun. Dengan panik ia memandangi Sebastian yang menatap balik dengan mata tulus. "Aku baik-baik saja, Sebastian.." Justine mengatakannya sambil tertawa.

Sebastian tetap memandangnya dengan tulus, menunggunya berkata jujur. Dan lagi-lagi dada Justine berdebar cepat. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya ke ujung bath-tub—apa saja asal tidak perlu melihat mata itu.

Sebastian menghela nafas. "Ojou-sama, apakah kau merasa tidak bahagia?" Apakah kau merasa tidak bahagia.. menjadi bagian keluarga Phantomhive?" Pertanyaan itu menggantung di pikiran Sebastian.

Entah mengapa Justine bergumam mengiyakan. Setelah sadar ia membocorkan perasaannya, Justine jadi salah tingkah. Ia langsung tertawa rikuh. "Aku bahagia kok, Sebastian. Aku senang bisa mengenal kalian semua. Dan aku mulai bisa menerima fakta bahwa aku bagian dari rumah ini!" kata Justine pelan.

Tatapan Sebastian meredup. Ia menggosok lembut punggung Justine tanpa benar-benar melihatnya. Diam-diam ia menyadari Ciel Phantomhive, bocchan-nya yang sesungguhnya, berdiri di balik pintu kamar mandi. Menguping pembicaraan mereka sejak tadi. Dan sebenarnya, Ciel selalu mengawasi Justine di setiap waktu senggangnya.

"Sebastian, mau kah kau menceritakan kondisi rumah ini sebelum aku datang?" pinta Justine.

Sebastian mengangguk, dan ia menceritakan hal normal yang terjadi di rumah itu sejak ia pertama kali bekerja di sana—bukan sejak pertama kali ia bertemu dengan Ciel. Ia juga menceritakan permusuhan Phantomhive dengan Trancy. Justine mengangguk-angguk takjub mendengar pekerjaan kakak kandungnya selama ini. Justine mulai melupakan fakta Ciel yang sudah berubah menjadi iblis. Lagipula, Justine tidak pernah bisa melihat bukti kontrak itu.

"Ojou-sama," lagi-lagi Sebastian memanggilnya saat Justine ketahuan melamun. "Katakan saja dengan jujur. Apakah ada keinginanmu yang belum terkabul? Aku terbiasa mewujudkan keinginan Bocchan, sebelumnya."

Justine hendak menggeleng namun Sebastian menyabun rahangnya. Sedetik kemudian ia memutuskan berkata jujur. "Aku ingin lebih bahagia dari sekedar memiliki keluarga, Sebastian. Bisa kah kau mewujudkannya?"

Sebastian menatapnya bingung. "Bahagia dalam hal apa?"

Malu-malu Justine menjawab, "Aku sudah memiliki sahabat (Elizabeth), mungkin aku ingin memiliki pa-pacar."

"Pacar? Maksudmu bagaimana, Ojou-sama?" tanya Sebastian. "Aku tidak mengerti."

"Kau bilang kau terbiasa mengabulkan keinginan kakakku. Aku yakin kau juga bisa mengabulkan keinginanku ini." Justine menatap ke arah pintu kamar mandi yang tertutup tidak rapat. Jadilah kekasihku, Sebastian. Dan jangan sampai kakakku mengetahuinya..

Entah mengapa matanya berubah warna menjadi merah. "Keinginan seperti itu bisa ku kabulkan, karena aku seorang iblis pelayan," kata Sebastian. "Tapi karena kau sudah mengikat kontrak dengan Bocchan dan menjanjikan jiwamu, apa bayaranmu kali ini?"

Justine sudah biasa mendengar Sebastian mengatakannya ("Aku hanya seorang iblis pelayan.") tapi tak pernah menganggapnya sungguhan hingga saat ini. Ia menelan ludah. "Kau bisa meminta apa saja. Aku akan berusaha mengabulkan satu keinginanmu."

"Baiklah, kalau begitu," Sebastian menatap punggung Justine. "Aku akan meminta bayaranku suatu saat."

Dan sebuah tanda terbentuk di punggung Justine.

.

.

.

Beberapa jam kemudian, Ciel masuk ke kamar Justine saat gadis itu sudah terlelap. Ketika jarak Ciel hanya sejengkal dari tubuh Justine, Ciel mengetuk kening Justine dengan keras. Tapi ketukan itu tidak menyebabkan Justine terjaga. Justru Justine tak bergeming.

"Mengapa kau menghapus ingatannya, Bocchan?" tanya Sebastian yang sudah berada di belakang Ciel.

Ciel sama sekali tidak terkejut menyadari keberadaan pelayan setianya itu. "Aku benar-benar akan membahagiakannya sebagai adikku. Aku merasa ia masih berpikir dia adalah orang asing di sini." Ciel melangkah keluar kamar.

Sebastian tidak mengikuti Ciel. Sebastian, justru, mengelus kening Justine. Ia mengembalikan ingatan saat ia dan Justine membuat kesepakatan, meski sedikit merubahnya. "Aku hanya khawatir gadis itu tidak memberi bayaranku," gumamnya. "Karena aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti."