Annyeong haseyo! Akhirnya aku libur kuliah, jadi aku bisa tenang nulis FF :) Ada yang kangen aku?
*dilempar bata*
Oke, jadi ceritanya aku lagi baper ketika bikin FF ini. Ini songfic pertama sekaligus FF angst pertama aku. Maaf kalau sedihnya kurang dapet atau kurang nyambung sama lagunya. Lagu ini favoritku di EXODUS sebenernya. Komposisi musik plus liriknya ciamik. Bikin baper.
Selamat dinikmati! Review juseyo~
Title:
What If
Cast:
Oh Sehun – EXO Sehun
Lu Han – EXO Luhan
Kim Minseok – EXO Xiumin
Genre: Hurt/Comfort, Romance, Friendship
Length: Oneshot
Rating: T
HunHan/SeLu – XiuHan/LuMin
Another Universe (AU), Song Fiction (SongFic)
.
.
.
.
Eyes looking at each other
Eyes looking at each other
One pair of remaining eyes
Ting tong!
"Sehun, tolong buka pintunya!"
Sehun memutar bola matanya malas sebelum bangkit dari depan televisi. "Iyaaa."
Kadang-kadang Sehun malas untuk tinggal di satu apartemen dengan seorang yang berumur lebih tua. Tapi mau bagaimana lagi, flat ini terlalu mewah untuk ditinggali sendirian. Selain besar, harga sewanya pun mahal. Mau tidak mau, Sehun harus mengajak teman—ralat, sahabatnya untuk ikut tinggal di flat itu.
"Cari sia—"
Sehun menggantungkan kalimatnya saat melihat sosok perempuan di hadapannya.
"Omona, Luhan!"
"Halo Sehun! Apa kabar?" cewek bermata rusa itu tersenyum manis pada Sehun.
"Sehun, siapa yang—" pupil mata Minseok melebar setelah indra penglihatannya menangkap sosok perempuan yang sama sekali tak terasa asing baginya. "Ah, Luhan!"
Tanpa pikir panjang, Minseok langsung menghampiri Luhan dan merengkuh cewek imut itu ke dalam rengkuhan lengan kekarnya.
"Aku merindukanmu, Luhan."
"Aku juga, oppa."
Sehun mengulum senyum melihatnya. Luhan kembali ke Korea, artinya mereka bertiga bisa melakukan hal-hal konyol bersama-sama lagi.
"Luhan, kau tinggal di mana sekarang?" tanya Sehun setelah Minseok melepas pelukannya pada Luhan.
"Ah, itu dia. Kalian bantu aku cari apartemen, ya?" Luhan menatap Sehun dengan puppy eyes-nya yang terlihat sangat menggemaskan.
Tentu saja Sehun tidak bisa menolak dan hanya bisa berkata, "Iya."
"Tapi ini sudah sore." Minseok merapatkan rengkuhannya pada pundak Luhan dan menatap matanya lembut. "Kau tinggal di sini dulu saja. Ada satu kamar kosong."
"Bolehkah?"
"Hmm." Minseok mengangguk pasti.
"Terima kasih, oppa!" Luhan tersenyum manis pada Minseok.
Mau tidak mau, Sehun ikut tersenyum melihat sahabatnya tersenyum semanis itu.
Oh you really look happy, you look happy
When I see you, so beautiful that it's sad
I don't hate him, I don't hate him
Because he makes you smile like an angel
Luhan tidak banyak berubah setelah dua tahun tinggal di China. Dandanannya masih sangat feminim, rambut panjang bergelombangnya masih dicat dengan warna coklat mahogany, dan yang paling penting adalah koper Hello Kitty yang sama dengan yang dulu ia bawa saat pulang ke rumahnya di Beijing.
Sehun sangat rindu Luhan. Sangat rindu sampai-sampai ia tidak tahu harus memulai percakapan dari mana, bahkan setelah tiga hari Luhan tinggal bersamanya juga Minseok.
Setelah mereka pikir-pikir, ada baiknya jika Luhan ikut tinggal bersama mereka berdua. Selain bisa membantu merapikan flat—Sehun itu berantakan dan walau Minseok rapi, tapi tetap saja ia pria—Luhan juga bisa membantu mereka memasak. Jadi, Luhan tinggal di apartemen Sehun dan Minseok adalah win-win solution.
"Sehun, bisakah kau membantuku mengambil gelas di atas sana?" tanya Luhan yang sedang berdiri di dapur.
"Ah, tentu saja Lu."
Walaupun Sehun lebih muda dari Luhan, Sehun tidak memanggil Luhan dengan sebutan noona—sebutan dari laki-laki bagi perempuan yang umurnya lebih tua. Sehun dan Luhan pikir itu hanya akan membatasi mereka.
"Terima kasih, Sehunnie."
"Sama-sama."
Kemudian hening. Luhan melanjutkan pekerjaannya membuat kopi, sedangkan Sehun masih berdiri mematung di belakang Luhan. Sungguh, Sehun ingin mengajak Luhan bicara. Tapi…
"Minseok oppa, kopimu sudah siap!"
Minseok yang baru keluar kamar seketika melebarkan mata. "Jinjja? Kau membuatnya sebelum aku bangun?"
"Hm." Luhan mengangguk sambil tersenyum. "Cobalah dulu, aku sedang belajar membuat cappuccino."
Minseok mengambil cangkir dari tangan Luhan dan segera menyesap kopi yang dibuat oleh teman satu flat-nya itu. "Ah, ini enak sekali! Kau belajar dari mana?"
"Benarkah?" pipi Luhan memerah mendengar pujian dari Minseok. "A-Aku hanya belajar dari internet."
"Bohong, kau pasti ikut kursus barista di China, kan?"
"Tidak, oppa! Aku tidak seambisius itu!" senyum malu-malu serta pipi Luhan yang semakin memerah mengundang Minseok untuk mencubit pipinya gemas.
"Kau ini lucu sekali, Lu." ucap Minseok yang disusul oleh tertawaan mereka berdua.
Sehun hanya bisa terpaku di depan lemari es. Sejak Minseok bangun tidur sampai saat ini, Minseok tidak mengalihkan pandangannya dari Luhan. Begitu juga Luhan yang langsung mengalihkan seluruh perhatiannya pada Minseok. Mungkinkah...
Hey, Oh Sehun, kau ini berpikir apa? Mereka juga bersahabat, bukan?
Sehun kemudian menggelengkan kepala setelah sadar dari lamunan bodohnya sendiri. Mungkin nyeri di hatinya muncul karena ia hanya iri tidak bisa membuat Luhan tersenyum semanis itu.
(Oh oh yeah) Words that became a secret before I said them
(Oh oh yeah) That's why I wasn't for you
Hari ini hari Minggu. Minseok, Sehun, dan Luhan pergi jalan-jalan. Luhan bilang ia ingin belanja di Myeongdong, jadi Minseok segera mengarahkan mobilnya ke arah sana.
"Memangnya kau tidak pernah bosan belanja di Myeongdong?"
"Tidak." Luhan menggeleng pelan. "Myeongdong itu luas, Sehunnie. Aku masih belum mendatangi semua toko di sana."
Sehun menahan tawanya sendiri. Kata siapa Luhan belum mendatangi semua toko di sana? Sehun bahkan masih hapal betul tentang bagaimana Luhan menghabiskan waktu enam jam hanya untuk menjelajahi tempat belanja paling populer seantero Korea itu.
"Jangan tertawa, Sehunnie!" Luhan berusaha memukul lengan Sehun yang duduk di kursi samping Minseok.
"Mianhae, Lu." Sehun mengelus-elus lengannya yang barusan dipukul Luhan.
"Nah, kalian turun dulu saja. Aku akan cari parkir." Minseok berujar seraya membuka kunci pintu bagi Sehun dan Luhan. "Nanti kuhubungi kalian."
"Ah, baiklah. Ayo, Sehunnie!"
Dengan begitu, Sehun dan Luhan turun dari mobil dan berjalan bersisian di jalanan Myeongdong. Sehun menatapi Luhan yang tampil sangat modis namun santai hari ini. Ia hanya memakai summer dress berwarna merah muda dengan sepatu kets warna putih. Ah, jangan lupakan sling bag yang menggantung manis di bahu kanannya.
Di mata Sehun, Luhan lebih terlihat seperti model.
"Sehunnie, temani aku beli gelang!" Luhan menarik-narik lengan kemeja Sehun sambil menunjuk sebuah gerai yang menjual aksesoris handmade.
"Ayo." Sehun mengangguk sambil tersenyum pada Luhan yang menatapnya dengan tatapan memohon.
Sehun tahu kalau Luhan suka sekali aksesoris kecil dengan banyak detail seperti gelang. Luhan bahkan sempat mempelajari cara membuat gelang handmade dari internet, tapi ujung-ujungnya tali-tali yang dijalinnya malah kusut tak berbentuk.
"Aku punya gelang pasangan untuk kalian." pemilik gerai itu kemudian menyerahkan sepasang gelang kulit yang dihiasi oleh liontin yang akan membentuk hati jika digabung. "Gelang ini sedang tren."
Luhan terlihat terkejut dengan penawaran pemilik gerai tersebut. "A-Ah, tidak, Bi. Dia ini sahabatku."
"Sahabat atau sahabat?" bibi pemilik gerai itu malah menggoda Luhan. "Sahabat jadi cinta?"
"Ah, itu sih tidak mungkin terjadi pada kami, Bi. Iya kan, Sehun?"
Sehun mengerjap mendengar pertanyaan Luhan. "Ah, i-iya. Tidak mungkin."
Entah untuk alasan apa, hati Sehun menjengit sakit.
The two eyes looking at each other
The one remaining pair of eyes, the lost eyes
The two eyes, tightly shut
The eyes that are too late, the eyes that lost you
I'm becoming more and more sorry, looking at you with these kinds of feelings
Eyes looking at each other
One pair of remaining eyes, eyes that have lost its way
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi ketiga insan muda itu belum juga lelah. Sekarang mereka sedang berada di bawah Namsan Tower, menikmati hembusan angin malam yang terasa menusuk kulit.
"Luhan, pakai saja jaketku." Minseok segera melepas jaketnya dan menyampirkannya di bahu Luhan. "Lengan bajumu pendek."
"Tapi oppa, kau kan mudah sekali kedinginan." Luhan berniat melepas kembali jaket Minseok ketika tiba-tiba saja Sehun menyerahkan coat-nya pada Luhan.
"Pakai ini saja, Lu. Pakaianku lebih tebal dari Minseok hyung." Sehun berusaha meyakinkan Luhan dengan menatap matanya.
"Kau juga sama payahnya dengan Minseok oppa, Sehunnie." Luhan terkekeh pelan. "Aku tidak apa, sungguh. Umurku sudah seperempat abad, tak perlu khawatirkan aku."
"Tapi tetap saja, Luhan…" Minseok menampilkan wajah aegyo-nya pada Luhan. "Pakai jaketku, ya?"
"Kau ini lucu sekali, oppa." Luhan tertawa kecil. "Ya sudah, daripada kita berdebat hal tidak penting, lebih baik aku beli gembok dulu ya. Kalian tunggu di sini."
Setelah Luhan masuk sebuah toko yang menjual gembok warna-warni, Minseok mengarahkan pandangannya pada Sehun. "Sehunnie, aku perlu bicara denganmu."
"Tentang apa, hyung?"
"Luhan."
I made a big mistake, I made a mistake
The dream that grew inside of me
Was that time would bring you to me like the wind?
Sehun kini sedang mengelus gembok berwarna kuning yang dipasangnya dua tahun lalu. Di sana, tertera nama HunHan, singkatan dari Sehun dan Luhan. Mau tidak mau, bibirnya membentuk seulas senyum tipis mengingat kejadian dua tahun lalu.
Dua tahun lalu, Sehun menggantung gembok ini seorang diri. Bodoh memang, tapi Sehun tidak dapat menahan keinginannya untuk menggantung gembok di tempat seperti Namsan Tower. Jadi, ia membeli gembok yang warnanya mudah dicari untuk kemudian ditulis oleh nama Sehun dan Luhan.
Bukan tanpa alasan Sehun menulis nama Luhan di gembok itu. Sejak awal, Sehun tahu bahwa Luhan adalah tipe ideal Sehun. Luhan itu manis, feminim, seksi namun innocent, pekerja keras, rendah hati… Sehun rasa tidak ada yang kurang dari Luhan.
Sampai akhirnya Sehun mencuri dengar bahwa Luhan tidak mungkin menyukai lelaki yang sudah menjadi sahabatnya. Cukup beralasan memang. Luhan tidak ingin persahabatannya hancur hanya karena satu kata bodoh: cinta.
Jadi, Sehun berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia rasakan pada Luhan bukanlah cinta, melainkan kagum. Kagum karena Luhan sangat mendekati tipe idealnya.
Atas dasar itulah Sehun menyimpan sebuah kunci kecil di saku dompetnya selama dua tahun. Sehun berjanji untuk melepas gembok yang ia pasang setelah ia yakin dengan perasaannya sendiri.
Atau setelah Sehun tahu ia dan Luhan akan berakhir seperti apa.
Sehun memasukkan kunci seukuran satu buku jari itu ke dalam lubang gembok. Setelah kunci itu terputar ke arah kanan, gembok kuning tersebut akhirnya terlepas dari besi pagar. Sehun lalu membuang gembok itu jauh-jauh ke arah sungai.
"I should have given it a try." gumam Sehun sambil mengepal tangan kirinya.
(Oh oh yeah) White words that filled up a white canvas
(Oh oh yeah) I guess I saved it up too much
Sehun sekarang lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Selain karena Sehun menemukan game online baru, ia juga bosan melihat Minseok dan Luhan yang selalu bersikap romantis di depannya.
Iya, Minseok dan Luhan jadian di Namsan Tower malam itu. Sehun seharusnya senang, tapi perasaan menyesal lebih melingkupi hatinya. Seandainya dulu Sehun mencoba, mungkin yang Luhan panggil 'sayang' itu Sehun, bukan Minseok.
"Ugh!"
Sehun membanting mouse yang tadi dipegangnya dengan keras hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring.
"Sehunnie, gwaenchana?"
"Aku baik-baik saja, hyung." Sehun menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. "Aku hanya emosi karena kalah."
Now I need to keep you inside my drawer forever
But can I take you out sometimes?
Even if my heart that longs for you becomes a small star
At least from far away, at least in my heart
I will warmly shine on you
"Sehun, kau yang pertama mengontrak flat ini. Mengapa kau tiba-tiba ingin pindah?"
"Temanku tiba-tiba menawariku tempat tinggal yang lebih dekat, hyung." Sehun menutup resleting koper biru tuanya. "Lagipula aku kan hanya sementara saja tinggal di sana. Uang sewa flat ini akan tetap kubayar."
"Bukan begitu, Sehunnie. Aku jadi merasa bersalah padamu. Aku merasa kau tidak nyaman karenaku." Luhan menyentuh kedua pundak Sehun sambil berusaha membuat kontak mata dengan lelaki jangkung itu.
"Tidak, Lu." Sehun tersenyum menenangkan sambil melepas tangan Luhan dari pundaknya. "Aku pindah karena letaknya lebih dekat dengan kantorku. Walaupun apartemen ini tidak jauh, tapi akan lebih mudah jika aku pindah ke tempat temanku."
"Kau serius?" kali ini Minseok yang mencoba membuat kontak mata dengan Sehun.
"Hm." Sehun mengangguk sambil tersenyum pada Minseok. "Aku pasti merindukanmu dan suruhan-suruhanmu, hyung."
Minseok seketika tertawa. "Kau ini benar-benar, Sehunnie."
Sehun mau tidak mau ikut tertawa. "Jaga Luhan ya, hyung. Jangan macam-macam. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada sahabat cantikku ini."
"Tentu saja, bodoh. Dia kekasihku." Minseok melingkarkan sebelah tangannya pada bahu Luhan.
"Aku berangkat sekarang, ya." Sehun menarik kopernya seraya keluar dari kamar yang telah ditempatinya selama lebih dari lima tahun itu. "Jaga diri kalian baik-baik! Aku akan merindukanmu!"
Sehun memasang kacamata hitamnya setelah keluar dari flat-nya. Seumur hidupnya, Sehun tidak pernah berpikir untuk bisa mengalami ini semua. Sehun ingin percaya bahwa ia sedang hidup di dalam mimpi buruknya sendiri dan akan terbangun beberapa saat lagi.
Tapi Sehun tidak sebodoh itu. Tidak mungkin ia bertahan satu tahun di dalam mimpinya sendiri. Terlebih jika dalam mimpinya itu ia selalu melihat Luhan bersama pria lain. Pria yang juga sahabatnya sendiri.
Jadi, ia memilih untuk pindah ke tempat lain untuk menata hidupnya kembali. Mungkin terdengar agak berlebihan, tapi Luhan berpengaruh banyak dalam hidup Sehun. Perempuan itu membuat Sehun percaya akan kemampuan dirinya sendiri. Perempuan itu membuat Sehun lebih ekspresif saat terlibat percakapan dengan orang lain. Perempuan itu membuat Sehun yakin bahwa cinta pada pandangan pertama itu nyata.
Luhan lebih dari sekedar sahabat untuk Sehun.
"Pak, antar saya ke Incheon."
The two eyes looking at each other
The one remaining pair of eyes, the lost eyes
The two eyes, tightly shut (two eyes tightly shut)
The eyes that are too late, the eyes that lost you
I'm becoming more and more sorry, looking at you with these kinds of feelings (my heart looking at you)
Eyes looking at each other (Girl I'm missing you)
One pair of remaining eyes, eyes that have lost its way
Walaupun sekarang Sehun tinggal di Incheon, ia masih mengunjungi flat-nya di Gangnam tiap dua pekan sekali. Setiap kali ia ke sana, ia membawa dua buah tas berukuran sedang yang berisi oleh-oleh untuk Minseok dan Luhan. Tas tersebut akan dipenuhi oleh barang-barang Sehun ketika Sehun kembali lagi ke Incheon.
"Kau tidak berniat membawa semua barang-barangmu, kan?" tanya Minseok yang heran karena dua tas berukuran sedang yang dibawa Sehun selalu penuh ketika ia kembali ke Incheon.
Sehun tertawa kecil. "Tidak, hyung. Mana mungkin aku membawa lemari dan komputerku?"
"Aku tidak buta, Sehun. Sepertinya kau membawa isi lemarimu sedikit demi sedikit setiap kau kembali ke Incheon." Minseok berusaha menggali isi di balik mata Sehun. "Kau sengaja menghindariku?"
"Hyung." Sehun menegakkan kepalanya untuk menatap Minseok. "Aku harus mempertahankan posisiku sebagai fashion icon di kantor. Bagaimana bisa aku melakukannya jika baju-bajuku saja kutaruh di sini?"
"Kembalilah ke sini kalau begitu."
"Tapi aku sudah nyaman dengan Incheon, hyung." Sehun tersenyum pada Minseok. "Aku juga sudah menemukan perempuan yang aku cintai."
"Ah, benarkah?" mata Minseok melebar mendengar pengakuan Sehun yang tiba-tiba. "Siapa?"
"Rahasia!"
"Aish, kau ini." Minseok menjitak kepala Sehun pelan. "Ah, iya. Kosongkan jadwalmu untuk Juni."
"Memangnya ada apa?"
"Aku ingin kau menjadi best man-ku."
"Best man… Tunggu!" Sehun melebarkan matanya. "Kau dan Luhan…"
"Iya." Minseok tersenyum lebar. "Kami akan menikah bulan depan."
What if it was me
The eyes that are looking at you inside your eyes (looking at you)?
What if it was me
The eyes that are looking at you inside your eyes?
Minseok dan Luhan tidak salah memilih tanggal pernikahan. Cuaca di hari itu sangat cerah. Kerabat yang mereka undang pun hampir semuanya datang. Tak terkecuali Sehun.
"Hyung! Selamat atas pernikahanmu!" Sehun memberikan bro-fist pada Minseok yang hari itu mengenakan jas putih sebagai baju pengantinnya.
"Terima kasih, Sehunnie. Tapi aku agak kecewa karena kau tidak bisa menjadi best man-ku hari ini." Minseok menekuk bibirnya ke bawah.
"Maafkan aku, hyung. Pekerjaanku benar-benar menumpuk." Sehun terdengar membela diri. "Lagipula Jongdae hyung sepertinya lebih cocok untuk menjadi best man-mu."
"Ah iya, mana perempuan yang kau maksud?" Minseok mencari-cari ke sekeliling Sehun. "Kulihat kau sendirian."
"Iya, hyung." Sehun tersenyum tipis. "Aku tidak bisa membawanya bersamaku."
"Ah, sayang sekali." Minseok mendesah berlebihan. "Padahal aku—"
"Hai, Sehun!"
Sehun menolehkan pandangannya ke belakang. Dilihatnya seorang perempuan cantik bergaun putih dengan senyum manis terhias di bibirnya. Ya Tuhan, makhluk-Mu ini indah sekali.
"Kukira kau tidak akan datang." perempuan segera menggaet lengan kiri Minseok dengan lengan kanannya. "Kau ini suka menghilang seperti hantu."
"Aku tidak menghilang, Lu." Sehun tertawa datar. "Ah iya, selamat atas pernikahan kalian berdua."
"Terima kasih." Luhan membungkuk kecil pada Sehun. "Terima kasih sudah datang ke sini."
"Sama-sama." Sehun tersenyum tipis. "Aku akan menjadi sahabat paling buruk jika aku tidak datang ke pernikahan sahabat-sahabatku sendiri."
Minseok tertawa kecil. "Aku harus berterimakasih padamu karena telah mendekatkan kami, Hun."
"Tidak masalah, hyung." Sehun kemudian mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku celananya. "Ini kunci kamarku. Kalian tinggallah di sana. Aku sudah menemukan tempat tinggal baru."
"Tapi Hun—"
"Terima saja, hyung." Sehun menutup telapak tangan Minseok yang memegang kunci kamarnya. "Aku buru-buru saat ini. Masih banyak keperluan yang harus kuselesaikan."
"Sehunnie, tunggu dulu!"
Sehun tidak menghiraukan Minseok yang memanggilnya dari tengah kerumunan para tamu undangan. Kaki-kaki besarnya melangkah cepat untuk bisa sampai keluar gedung. Lima menit lagi ada di tempat itu, Sehun takut tidak bisa menahan diri. Sehun lalu masuk ke dalam sebuah taksi yang terparkir tidak jauh dari pintu depan.
"Pak, antar saya ke Incheon."
.
.
.
.
.
.
Luhan membuka kamar Sehun dengan perlahan. Selama tinggal di flat ini, ia tidak pernah sekalipun menginjak kamar Sehun. Selain tidak punya alasan, Luhan juga sangat menghargai privasi sahabatnya itu.
Matanya menangkap sebuah kotak besar berwarna biru tua. Secarik kartu ucapan bertengger dengan manis di atas kotak itu.
Luhan membuka kotak itu dan menemukan satu set cangkir bertuliskan 'Mama' dan 'Papa'. Luhan tersenyum sendiri melihatnya. Selera Sehun lucu juga, pikir Luhan.
Luhan kemudian membaca kata-kata yang ada di kartu ucapannya.
Minseok hyung, Luhan noona, selamat atas pernikahan kalian berdua!
Selamat menempuh hidup baru!
Minseok hyung, jangan lukai Luhan. Luhan, bersabarlah dengan Minseok hyung.
Kalau suatu saat kalian bertengkar, ingat saja bahwa aku lebih menyebalkan dari kalian berdua.
Bahagialah!
Your forever bestfriend, Sehunnie.
Luhan jadi tersenyum sendiri melihat kartu ucapan itu. Setelahnya, ia mengangkat kotak tersebut dari atas kasur. "Minseo—"
Mata Luhan mendapati sebuah amplop merah muda tergeletak di bawah kotak tersebut. Luhan segera menaruh kotak tersebut di lantai dan duduk di atas kasur untuk membaca surat tersebut. 'Untuk Luhan noona', tulisnya.
Luhan noona, selamat atas pernikahanmu. Aku tidak menyangka kau akan menikah begitu cepat. Rasanya baru kemarin kita bertemu di kampus dan melakukan hal-hal konyol bersama.
Ah, itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah kau bahagia bersama Minseok hyung. Noona tenang saja, Minseok hyung itu orang yang sangat baik. Dia tidak pernah main perempuan. Aku pikir noona telah menikahi orang yang tepat.
Tidak seharusnya aku memanggilmu noona setelah kita sepakat untuk berbicara informal. Tapi percakapan formal seperti ini terasa lebih nyaman bagiku sekarang. Dengan berbicara seperti ini, aku merasa bahwa aku tidak dekat denganmu.
Maafkan aku telah berbohong padamu. Aku sebenarnya mencintaimu sejak kita bertemu di kampus dulu. Sejak aku masih memanggilmu 'noona'. Sejak kita masih sering melakukan hal-hal konyol bersama. Sejak aku, kau, dan Minseok hyung masih menjadi sahabat yang selalu bersama kemana-mana.
Aku memang pengecut. Seharusnya aku memberitahumu sejak dulu. Seharusnya aku utarakan saja perasaanku walaupun aku tahu kau tak akan bisa mencintai sahabatmu sendiri. Toh Minseok hyung akhirnya berhasil, kan?
Maafkan aku karena pada akhirnya aku menghindarimu. Maaf karena aku selalu melihatmu sebagai wanita dewasa yang kucintai. Aku bersalah, noona. Aku bersalah karena memiliki perasaan ini padamu saat aku tahu kau sudah menjadi milik Minseok hyung.
Maafkan aku juga karena sekarang aku sudah tidak ada di Korea tanpa memberitahu kalian sebelumnya. Aku meminta atasanku untuk dimutasi ke Eropa. Itulah alasannya mengapa aku hanya bisa kembali ke flat dua minggu sekali dan harus tinggal di Incheon. Aku bekerja keras hanya untuk bisa dapat promosi. Untuk menghindarimu dan menjalani hidupku yang baru.
Kau tidak perlu tahu aku di mana. Jalani saja hidupmu dengan Minseok hyung. Dia pria baik, sungguh. Kau akan bahagia bersamanya.
Selamat atas pernikahanmu, Luhan noona! Aku beruntung pernah mengenalmu.
Saranghae,
Oh Sehun.
Luhan menangkup wajah cantiknya dengan kedua tangan. Bagaimana bisa ia tidak peka terhadap perasaan sahabatnya sendiri?
"Ya Tuhan, Luhan kau kenapa?"
Luhan hanya menggelengkan kepala menanggapi pernyataan Minseok. Minseok yang penasaran langsung mengambil sepucuk kertas berwarna merah muda yang tergeletak begitu saja di samping Luhan.
"Jadi..."
Tanpa melanjutkan kata-katanya, Minseok kemudian merengkuh kepala Luhan ke dalam pelukannya. "Bukan salahmu, Luhan. Bukan salahmu."
Sekarang aku tahu siapa perempuan yang kau maksud, Sehunnie. Maafkan aku karena telah mengambilnya, batin Minseok.
-END-
.
.
.
.
Maaf kalau kepanjangan untuk oneshot. Terima kasih sudah mampir! XOXO
