A/N: Jadi, ini pertama kalinya saya menjejakkan kaki di fandom DW... *sujud-sujud*
Sudah lama tahu DW, tapi publish fanfic baru-baru ini... saya sungguh telat Orz
Di fanfic ini ada OC milikku, namanya Liu Rin! Dia anak perempuan Liu Bei ceritanya :3
Oke deh, tanpa banyak basa-basi lagi, selamat menikmati :3
Disclaimer: Dynasty Warriors punyanya Koei. Saya cuma punya Liu Rin aja, kok :3
"Rin, ayah ingin bicara denganmu."
Liu Rin yang tengah membaca buku, menaruh bukunya dan menatap sang ayah. "Ada apa, ayahanda?"
"Untuk calon suamimu, ayah sudah memutuskan bahwa pasanganmu adalah sepupu Zhang."
"Apa?" Rin mengangkat alis. "Sepupu Zhang? Anak paman Zhang Fei?"
"Ya, ya, betul. Pamanmu juga mengusulkan demikian. Kakakmu sudah dapat suami yang… baik, sisanya tinggal kau."
Rin masih terlihat bimbang. Kemudian dia berkata, "Tapi, ayah… aku tidak begitu kenal sepupu Zhang."
"Maka dari itu, ayah mengajakmu kemari untuk membawamu menemu sepupu Zhang. Ayo, nak."
Rin akhirnya mengikuti sang ayah untuk bertemu dengan sepupunya itu.
"Selamat siang, paman! Apa kabar?"
Rin mengamati pemuda berambut jabrik yang sedang bicara dengan ayahnya. Rin tidak yakin kalau dia kenal baik dengan sepupunya yang satu ini, namun pemuda itu terlihat ramah dan menyenangkan.
"Oh, apakah ini tuan putri Liu yang termuda?" Pemuda itu menyadari kehadiran Rin. "A-apa kabar?"
"Kabar baik, sepupu Zhang," jawab Rin. "Namaku Rin."
"Senang bertemu denganmu, sepupu Rin," Pemuda itu tersenyum. "Namaku Zhang Bao."
Kesan pertama tidak begitu buruk, pikir Rin. Mungkin sebenarnya, sepupunya ini menyenangkan untuk diajak bicara.
"Paman, apakah aku benar-benar… maksudku, aku-"
"Sudah, sudah. Kau berjasa besar pada kerajaan, sudah sepantasnya kau mendapatkan ini, nak."
Bagus. Aku adalah hadiah untuk sepupu Zhang, pikir Rin lagi.
"Oh, matahari sudah semakin tinggi. Ayah akan kembali ke istana untuk mengadakan pertemuan. Rin, kau tinggal di sini bersama dengan sepupumu. Aku yakin banyak yang ingin kalian bicarakan."
"Hati-hati di perjalanan, paman!"
Rin memperhatikan langkah sang ayah yang menjauh dari paviliun, meninggalkan mereka berdua.
"Jadi, apa yang akan kita bicara-"
Rin terkejut karena sepupunya tiba-tiba menyodorkan sebuah jepit perak padanya.
"Apa ini?"
"Hadiah," jawab sang sepupu. "Aku bingung mau memberikan apa, jadi aku beli itu saja."
Rin menerima jepit itu dan mengamatinya. Berkilau dengan hiasan batu giok, jelas menandakan kalau harga jepit itu tidaklah murah.
"Terima kasih," ucap Rin sambil menyelipkan jepit itu ke dalam jubahnya. "Mau minum teh?"
"Tentu saja! Dengan senang hati."
Rin menyuruh pelayannya untuk menyiapkan makanan kecil serta teh. Sambil menunggu, sepupunya mengajak Rin berjalan-jalan di taman, dan Rin tidak menolak.
"Oh, jadi kau tertarik dengan ilmu perang, sepupu Rin?"
"Iya, tetapi aku tidak mengerti kenapa ayah melarangku untuk belajar ilmu perang. Padahal kakak-kakakku semuanya belajar ilmu perang, hanya aku yang tidak boleh."
"Mungkin paman tidak ingin kau terluka, sepupu Rin. Tapi jika kau memang ingin, kenapa tidak memaksa paman untuk mengajarimu?"
Rin menghela nafas. "Aku ini tidak berani melawan ayah, karena ayah sudah sangat menyayangiku."
Mendadak Bao mendapat ide. "Sepupu Rin, ayo ikut aku."
"Hah? Ke mana? Tehnya bagaimana?"
"Tehnya bisa menunggu. Sudah, ikut saja."
Rin tidak bertanya lagi dan mengekor sang sepupu. Ternyata, Bao mengajaknya ke tempat pelatihan para tentara. Di sana ramai sekali dengan teriakan-teriakan para tentara yang sedang berlatih.
"Selamat datang di barak pelatihan, sepupu Rin," Zhang Bao tersenyum lebar ke arah sepupunya. "Mau coba berlatih? Pakai ini."
Rin menerima pedang kayu yang ringan dari sepupunya. "Sepupu Zhang, aku… aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan ini…"
"Gampang, untuk sementara ayunkan saja sekuatmu. Sembarangan pun tidak apa-apa. Aku akan menghadapimu tanpa perlu menggunakan senjata, ayo!"
Rin menatap pedang kayu yang digenggamnya dengan ragu. "Baiklah… tapi sebelumnya, aku minta maaf jika aku mengayunkannya terlalu keras!"
"Tidak apa-apa, aku sudah biasa menerima yang lebih keras dari ayah! Ayo kita mulai!"
"Uhm… baiklah, kalau begitu…"
Rin mengayunkan pedang kayu itu sekuat yang dia bisa ke arah sepupunya. Zhang Bao menahan ujung pedang kayu itu dengan tangannya dan melayangkan pukulan ke arah perut Rin.
"Guh…!" Rin mundur beberapa langkah. Rasanya sakit sekali.
"A-aah! Sepupu Rin, kau baik-baik saja? Pa-padahal aku sudah yakin kalau tadi itu sudah yang paling pelan…"
"A-aku… tidak apa-apa…" Rin kembali mengangkat pedang kayunya. "Heaaah!"
Rin kembali mengayunkan pedang sekuat yang dia bisa. Zhang Bao kembali menahannya, dan melayangkan pukulan ke arah dada Rin.
"Ugh! Gah… uhuk!" Rin jatuh terduduk sambil memegangi dadanya.
'Sakit sekali… rasanya sulit untuk bernafas!'
"Sepupu Rin, kau baik-baik saja? Mungkin lebih baik kita hentikan saja… aku bisa saja melukaimu, kau tahu…"
"Ma-maaf… aku tidak apa-apa, kita bisa melanjutkan ini…"
"Kau yakin? Tapi kelihatannya…"
Rin menggeleng. "Aku bisa. Ya, aku bisa…"
Mendadak semua berubah gelap, Rin tidak tahu apa-apa lagi.
"Sepupu Rin? Sepupu Rin!?"
'Hangat… rasanya nyaman sekali. Dan wangi maskulin ini…'
Rin membuka matanya perlahan dan mengerang sedikit.
"Sepupu Rin, kau sudah sadar?"
Dengan segera Rin membelalakkan matanya. "Se—sepupu Zhang!?"
"Aduh, jangan berteriak di telingaku seperti itu, dong…"
Wajah Rin dengan cepat memerah. "A-apa yang terjadi…?"
"Yah… kau tiba-tiba saja pingsan di depanku, dan aku memutuskan untuk menggendongmu dan membawamu pulang ke istana."
Rin menundukkan kepalanya. "Maaf, ya… aku pasti berat… apalagi kau menggendongku di punggungmu seperti ini…"
"Ahaha, tidak kok! Cuma segini sih belum apa-apa," Zhang Bao tertawa. "Adikku malah lebih berat dari kelihatannya. Ups, jangan bilang pada Xingcai kalau aku mengatakan itu, ya!"
"Tidak, kok. Tidak akan."
"Sepupu Rin… aku rasa akan lebih baik jika kau tidak belajar ilmu perang," Zhang Bao berkata dengan ekspresi lembut yang tidak bisa dilihat oleh sepupunya itu. "Seorang putri sepertimu lebih baik belajar sesuatu yang lebih… manis, seperti literatur atau merangkai bunga, misalnya…"
"Jadi, kau juga berpikiran sama seperti ayah, sepupu Zhang…"
"Tidak, tidak, bukan begitu… maksudku, ehm, setelah melihat kau pingsan tadi… medan perang bukanlah tempat yang cocok untukmu. Kau akan melihat betapa kerasnya realita hidup di sana. Darah berceceran, mayat bergelimpangan… aku yakin kalau kau sebaiknya hidup jauh dari itu semua, akan lebih baik jika kau tidak mengetahui itu semua…"
Rin terdiam. Mungkinkah itu yang ayahnya pikirkan ketika dia mengutarakan niatnya untuk belajar ilmu perang? Ayahnya selalu beralasan kalau Rin adalah anaknya yang termuda, maka dari itu beliau tidak pernah mengizinkannya belajar ilmu perang.
"Aku mengerti kekhawatiranmu, sepupu Zhang. Aku mengerti…" Rin menyandarkan kepalanya di bahu sang sepupu. "Tapi, aku tidak mau hanya bisa berdiam diri di istana sementara ayah dan kakak-kakakku pergi berperang… berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan… istana terasa begitu sepi tanpa mereka. Dan aku tidak ingin hanya bisa menonton saja, aku ingin bisa membantu semuanya! Yang paling penting… aku ingin menjadi istri yang pantas bagi seorang ksatria sepertimu, sepupu Zhang!"
Beberapa detik kemudian, wajah mereka berdua memerah.
"Ehm… a-aku tidak tahu kalau kau berpikir seperti itu, sepupu Rin… terima kasih… ehehe…" Zhang Bao tertawa dengan gugup. "A-aku merasa beruntung karena… karena paman dan ayah setuju untuk menikahkan kita berdua… ehm… hehe… ya, begitulah…"
Rin tersenyum simpul. "Aku pikir semua ksatria itu tangguh… aku tidak menyangka kalau kau punya sisi lembut seperti ini, sepupu Zhang."
"L-lembut!? Oh… oh, yah… h-hei! A-aku tidak… maksudku, anu… err…" Zhang Bao mendadak kehilangan kata-kata, dia terlihat malu dan bingung. "M-maksudku, ksatria segarang apapun pasti bisa lembut terhadap keluarganya, kan? Ayahku saja begitu!"
"Iya, aku tahu," Rin merasa geli melihat reaksi sepupunya. "Mm… kau boleh memanggilku 'Rin' saja, sepupu Zhang…"
"Oh, ehm, baiklah kalau begitu. Supaya adil, kau juga bisa memanggilku 'Ziang'."
"Eh… bolehkah? Maksudku, itu nama yang biasa digunakan di istana…"
"Tentu saja boleh! Kita kan sudah sangat dekat, bukan begitu, Rin?"
Rin menghela nafas dan kembali tersenyum. "Iya, kau benar… Ziang."
-TO BE CONTINUED-
