Tokyo Ghoul - 東京喰種-トーキョーグール

Ishida Sui

Story: Seijuurou Eisha

Rate: T

Family, hurt-comfort.

Warning: Miss typo(s), Typo(s), OOC, AU, Plotless, bisa saja fict ini jadi bergenre belok, bahasa tidak baku, plot kabur, sedikit menggantung, pair masih diperdebatkan dan kurang gereget.

.

.

Kaneki : 18 tahun

Shirineki : 5 tahun

.

Waktu: settingnya campuran dari Tokyo Ghoul √A dan S1, kondisional.

.

.

Happy Reading minna-san!

.

.

"Ne Kane-chan, Kane-chan tidak boleh meninggalkanku ya." Permintaan itu terucap dari bibir mungilnya, setidaknya dia tidak akan mengabaikan seseorang yang benasib sama dengannya.

.

.

.

Musim gugur telah tiba beberapa minggu yang lalu dan kini hujan deras masih saja membilas habis jalanan Tokyo, Distrik dua puluh bahkan terasa lebih sepi dibanding biasanya. Tampak sesekali beberapa pejalan kaki yang memilih berteduh dijejeran pertokoan sepanjang jalan.

Disaat hujan begini, Anteiku akan tiga kali lebih sibuk dibandingkan biasanya, pemuda itu melirik hujan dalam-dalam, seperti ikut merasakan tetesan hujan diluar sana. Aroma kopi menguar kuat diruangan minimalis yang hanya berlapis kaca setebal satu setengah senti.

"…-kun…neki-kun!"

"Kaneki-kun!"

"Oi!" suara seorang pria dewasa berambut coklat bergelombang menginterupsi lamunannya.

"Ah, Koma-san. Nande?" pemuda ber-eye patch itu tersenyum.

"Hari ini kau yang bersih-bersih bukan?" Koma menyambung kalimatnya dan pemuda bersurai hitam halus itu menggangguk pelan.

"Kalau begitu aku hari ini pamit duluan, hari ini aku ada sedikit kepentingan dan Touka-chan juga bilang ia tidak bisa membantumu merapikan kedai karena harus menemani Hinami membeli beberapa kebutuhan. Kau tak apa?" pria berperawakan besar itu menampilkan mimik tak tega karena harus membiarkan pemuda ringkih macam Kaneki untuk membereskan kedai sendirian.

"Aku tidak apa-apa Koma-san, kalau memang mendesak kau boleh pergi duluan. Lagi pula tenchou dan Nishiki-senpai sudah membereskan sebagian tempat ini." Pemuda berusia hampir sembilan belas tahun itu mulai beranjak dan merapikan sisa-sisa barang yang masih cukup berantakan, hanya counter saja yang sudah bersih dan siap ditinggalkan.

"Ah, sekali lagi maaf merepotkanmu, Kaneki-kun. Aku pamit,mata ashita!" Kaneki melambaikan sebelah tangannya yang tidak menggenggam kain lap.

"Mata ashita!"

.

Pekerjaannya telah selesai ketika jarum pada jam tangan kulitnya menunjuk pada angka sebelas dan tiga, sudah cukup malam pikirnya.

Selesai mengganti seragamnya dengan jaket katun tebal berwarna biru muda dan celana kain berwarna krim halus, pemuda itu mengunci kedai dan beranjak untuk pulang.

.

Udara saat itu cukup dingin, sesekali terlihat uap putih keluar dari mulutnya. Malam ini Kaneki membawa hadiah dari Yomo karena pria itu telah usai 'berbelanja' kemarin lusa ditambah satu kotak penuh persediaan gula imitasi dan kopi kesukaannya.

Pemuda itu sesekali bersenandung riang, setidaknya masa-masanya menjadi setengah ghoul tidak terlalu membuatnya depresi dibandingkan beberapa bulan lalu. Kaki jenjangnya berhenti disebuah taman usang dekat taman kanak-kanak menuju apartemennya. Sesekali netra abunya akan melirik waspada kesegala arah. Samar-samar ia mendengar suara gaduh disekitar semak-semak, Kaneki menelan ludahnya gugup. Mau bagaimanapun, menjadi ghoul atau manusia rasa takut itu masih terasa cukup normal untuk dialami orang seperti dirinya. Bunyi koyakkan membuat sedikit-demi sedikit pikiran negatif berkumpul dikepalanya, dengan perlahan pemuda itu berjalan menuju semak-semak dimana suara itu berasal, dan…..

"Hhggh! Kyaa!" tubuh kurusnya terjengkang ditarik gravitasi, didepannya terlihat sesosok balita-katakanlah begitu tengah bersimbah darah dengan sepotong tangan digenggamannya yang setengah terkoyak.

Rasa mual dan bau menggoda itu tercampur diudara.

.

.

Usai kejadian itu Kaneki langsung menggendeong paksa balita yang menatapnya setengah kebingungan dan menyelimutinya dengan sweater yang ia kenakan tidak peduli akan darah yang merembes ataupun dinginnya udara musim gugur.

BRAK!

Kaneki segera mengunci pintu apartemennya dengan masih menggendong sang batita yang masih acuh tak acuh memakan sisa jari di genggaman tangan mungilnya. Matanya yang heterochrome memperhatikan ulah orang asing yang membawa paksa dirinya yang tengah menyantap makan malamnya.

"Mama?" surai bocah itu terayun angin, jika tidak sedang bersimbah darah mungkin Kaneki akan jatuh hati karena paras manis balita didepannya.

Kaneki langsung membuka satu persatu pakaian bocah didepannya dan menggendongnya kembali hingga kamar mandi dan lekas-lekas membasuhnya dengan air hangat. Ya lagipula mau ghoul atau bukan Kaneki tetaplah pemuda tidak tegaan. Setelah sebelumnya menyalakan water heater dan mengisi bathubnya penuh-penuh ,ia mulai menyabuni bocah mungil itu dengan takaran sabun yang cukup banyak untuk menghilangkan bau anyir yang ada pada tubuhnya, ia juga mengeramasi paksa bocah itu dengan sampo kesayangannya. Sedikit-sedikit balita itu kini tengah asyik bermain buih-buih sabun yang menempel ditubuhnya, sadar karena kini pakaiannya sedikit terciprati darah dan basah, Kanekipun bergabung dengan bocah yang sekarang tengah terkikik senang karena merasa ditemani.

"Mama!" bocah itu memiringkan kepalanya lucu, buih sampo menggunung dikepalanya membentuk kerucut yang meleleh terbawa air, Kaneki memalingkan wajahnya menghadap balita yang tidak ia ketahui asal-usulnya.

"Mama?" bocah itu menyentuk pipi Kaneki dan tersenyum kegirangan.

"Mama! Mama!" ungkapnya girang sembari memukul-mukul air hingga berhamburan meluberi bathub.

Kaneki cukup terhibur dengan aksi bocah dihadapannya, dengan lembut ia membasuh buih-buih sabun ditubuh ghoul mungil tersebut.

"Pejamkan matamu." Surai-surai saljunya terlihat kuyu karena basah.

Kaneki mengangkatnya dari bathub dan mulai membersihkan diri dengan shower bersama ghoul balita disampingnya, sepuluh menit kemudian mereka kini tengah memakai piyama masing-masing. Jangan tanya bagaimana bisa ia menemukan piyama kecil yang nampak pas dibocah mungil yang baru ditemuinya sejam lalu, ia hanya ingat jika didalam lemari mendiang ibunya juga tersimpan baju-bajunya saat ia masih berumur dibawah tujuh tahun.

Bocah itu terlihat segar dengan surai saljunya yang berantakan dan setengah kering, saat ini mereka berada dikamar Kaneki dan sang tuan rumah sedang bersiap untuk mengintrogasi bocah manis dihadapannya yang kini asyik mengayunkan kedua kakinya yang tidak menapak lantai secara bergantian.

"Etto…." Kaneki menggaruk pipinya gugup dan bocah itu kini tengah memandangnya lekat.

"Etto, kau em… sebenarnya siapa? Mengapa kau sendirian ditaman itu?" Kaneki membuka sesi tanya jawab diantara mereka, menurut asumsinya seorang anak dari ghoul pasti akan bersama dengan salah satu dari orang tuanya, seperti Hinami misalnya.

"Shiloneki!" ucap bocah yang kini terlihat semakin identik dengannya itu lantang.

"Shiloneki?!" gurat kebiingunan nampak jelas diwajah manis pemuda itu.

"Iie, Shi-lo-ne-ki!" ucap balita itu mengeja namanya secara terpisah.

"Shilo, Shironeki maksudmu?"

"Un!" dan pertanyaan searah Kaneki hanya dibalas dengan anggukkan semangat bocah dihadapannya.

"Nama yang manis." Kaneki memuji sembari mengacak surai balita didepannya gemas.

"Dimana orang tuamu, Shiro-kun?"

"Umm…. Tidak tahu, Papa bilang akan mengantal Shilo beltemu ibu tapi waktu Shilo dan Papa pelgi kesu..sa..se..sutasiun?!" bocah itu kembali berpose menggemaskan dengan dahi berkerut dan kedua tangan mungilnya yang memegang kepalanya bingung.

"Stasiun maksudmu?" Kaneki mengoreksi.

"Un, Papa dan Shilo telpisah." Bocah itu kini terlihat murung, buru-buru Kaneki mengganti topik pembicaraan mereka.

"Ne Shiro-kun, apa Shiro-kun sudah merasa mengantuk?"

"Tidak, Shilo masih bisa bangun kalena didepan Shilo sudah ada mama!" bocah itu tersenyum dan menerjang Kaneki.

"Ne, namaku Kaneki Ken, Shiro-kun. Yoroshiku!" ucapnya sembari memeluk bocah itu erat-erat agar tidak terguling jatuh.

"Mama!" panggilnya senang.

"Ah iya, kenapa sejak tadi kau memanggilku dengan sebutan mama?" Kaneki cukup heran, karena sejak awal bertemupun Shiro terus-terusan memanggilnya dengan sebutan mama.

"Kalna Kane-chan milip Mama!"

"Mirip?!" Kaneki menunjuk dirinya sendiri, bagaimana bisa? Batinnya menjerit miris.

"Kalna Kane-chan milip mama, jadi mulai hali ini Shilo panggil mama ya?" bocah salju itu menyandarkan wajah bulatnya pada dada bidang Kaneki.

"Ne Kane-chan, Kane-chan tidak boleh meninggalkanku ya." Permintaan itu terucap dari bibir mungilnya, lama-kelamaan piyama putihnya mulai terasa lembab dan basah dan lelaki dengan netra argentin itu telah memutuskan, setidaknya dia tidak mengabaikan seseorang yang benasib sama dengannya. Memang cukup aneh, karena mereka pertama kali bertemu adalah satu setengah jam yang lalu dan kini bocah itu telah mempercayakan dirinya pada Kaneki.

Sekitar lima menit dihinggapi keheningan, kini pemuda itu menggulirkan iris sewarna asap itu pada balita yang tengah asyik menyesap jempol kirinya dan tangan lainnya meremat lemah piyama Kaneki.

Sedikit tersenyum, Kaneki dengan hati-hati membaringkan posisi mereka kedalam posisi yang cukup nyaman.

Ah, rasanya diumurnya yang belum menginjak kepala dua. Kaneki sudah dapat merasakan hangatnya menjadi seorang ayah-walaupun bocah dipelukannya kekeuh memanggilnya dengan sebutan manis.

Chu~

"Oyasumi." Barintone lirih itu menjadi bisikan halus pengantar tidur untuk keduanya.

.

.

.

Tbc


A/N:
Shironeki: Kaneki setelah terkena Marie Antoinette syndrome (ending S1)

Dedikasi: untuk reader (khususnya saya) yang belum bisa move on dari Kaneki ke Haise haha.

Untuk ide, fict ini terinspirsi dari karya Ritsuneko-san ditumblr berupa fanart Kaneki-chibi yang jadi oyabun kelabang.

Saya reader baru difandom ini, yoroshiku minna-san.

Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk perbaikan karya-karya saya selanjutnya (itupun kalau bikin lagi-bercanda).