A/N: Halo, penghuni fandom Fairy Tail! Saya author baru di fandom ini, mohon bantuan senpai-senpai sekalian (bows)
Fic ini hadiah anniversary buat temen saya! Yah, telat dua hari sebenernya sih ==" Maaf Zaa, ficnya ngaret ;_; Anyway, long last ya buat kamu dan bf-mu \(^o^)/
Aoife mendapat inspirasi coretsedikitcoret banyak dari lagu Vocaloid yang berjudul Floating Love, Moon Flower dan Paper Plane. Buat Zaa, coba dengerin deh lagunya, enak lho! (promosi)
Disclaimer: Fairy Tail punya Hiro Mashima, bukan punya saya!
Warning: Typo(s) bertebaran layaknya bunga(?), alur kecepetan, cerita gak jelas.
Hint: Kalau ada tulisan Paper Plane and Wheelchair, artinya ada pergantian POV. Paper Plane berarti isi surat mereka berdua. Wheelchair berarti pergantian waktu sama latar tapi POV-nya masih sama.
Enjoy my fiction^^
Paper Plane and Wheelchair
Chapter 1 : Paper Plane
Natsu's POV
Gadis itu lagi..
Seperti biasa, dia berdiri di balik jendela kamarnya. Setiap sore, dia selalu berada di situ, memandang ke luar. Sementara aku hanya bisa memandanginya dari balik pagar rumahnya yang seperti istana. Setiap sore pula, setelah aku selesai mengerjakan semua tugasku, aku selalu berada di sana. Memandangi gadis itu..
Karena aku jatuh cinta padanya..
Silakan katakan aku bodoh. Silakan katakan kalau perasaanku hanya cinta semu. Silakan katakan kalau aku, Natsu Dragneel, seorang rakyat jelata, takkan pernah mendapatkan cintanya, seorang putri bangsawan Heartfilia yang bahkan aku tidak tahu namanya. Tapi begitulah kenyataanya, aku jatuh cinta padanya!
Aku tidak peduli kalau perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan. Aku tidak peduli walaupun kami berbeda status. Yang penting, aku bisa melihatnya setiap hari, walaupun pandanganku selalu dihalangi oleh pagar dan jendela kamarnya.
Seperti biasa, sore ini dia berada di balik jendelanya. Sementara aku bersembunyi di sesemakan di luar rumahnya. Aku selalu bersembunyi di sini sejak 2 tahun yang lalu, sejak aku berumur 14 tahun, lebih tepatnya. Selalu di tampat yang sama, selalu di waktu yang sama.
Aku memandangi rambut pirang sebahunya melambai-lambai lembut di sekeliling wajahnya karena dimainkan oleh angin sepoi-sepoi. Aku menyaksikan jari-jari lentiknya mengetuk-ngetuk kusen jendelanya selagi dia memandang keluar jendelanya, seperti biasanya.
Dan hal yang terjadi berikutnya sangat di luar biasanya.
Seakan-akan dia tahu aku memandanginya, dia menoleh ke arahku. Aku membeku, aku menyadari kalau gadis itu tahu aku ada di sana. Aku yakin kalau tubuhku tersembunyi dengan baik oleh rimbunnya dedaunan di sekitarku. Tapi dia dapat mengetahui kalau aku bersembunyi di situ, karena kedua iris coklatnya bertemu pandang dengan mataku.
Dan hal yang terjadi kemudian membuatku semakin membeku. Gadis itu menggerakkan kedua belah bibirnya.
Oh Tuhan! Dia tersenyum padaku!
Paper Plane and Wheelchair
Lucy's POV
Seperti biasanya, aku berdiri di balik jendela kamarku, memandang ke luar. Aku menghirup udara segar dari luar. Ah, segarnya! Udara segar ini membuat pikiranku jernih setelah seharian berkutat dengan pelajaran yang diberikan guru privatku.
Dari sudut mataku, aku menangkap gerakan dari semak-semak yang berada di luar pagar rumahku. Aku menoleh ke arah gerakan itu. Aku terkekeh kecil, seperti yang kuduga, rupanya pemuda itu yang bersembunyi di sana.
Umur pemuda itu kira-kira sama denganku, 16 tahun. Pemuda itu selelu bersumbunyi di sana setiap sore, aku tidak tahu mengapa. Pada awalnya, aku tidak terlalu memperhatikannya. Tapi lama-lama, dia membuatku tertarik. Syal putih yang selalu dia kenakan bahkan pada musim panas, rambut merah muda jabriknya, wajah kekanak-kanakannya, dia begitu.. unik! Tidak seperti bangsawan-bangsawan membosankan yang biasa aku temui.
Entah mengapa, hari ini aku ingin mengenalnya lebih jauh. Jadi, aku tersenyum padanya. Aku melirik ke arah meja belajarku. Kertas-kertas berserakan di sana, sebuah pena tergeletak di atas mereka. Sebuah ide terbersit di otakku.
Aku segera memberikan isyarat tunggu kepada pemuda itu, yang entah kenapa sepertti membeku di tempat. Aku segera meraih selembar kertas dan pena dari atas meja belajarku dan mulai menulis sesuatu. Setelah selesai, aku melipat kertas itu menjadi sebuah pesawat kertas.
Aku kembali ke jendela. Bagus, pemuda itu masih berada di sana. Aku mengambil ancang-ancang dan melemparkan pesawat kertas itu. Untung saja jarak antara kamarku dan pagar rumah tidak terlalu jauh. Pesawatku melewati pagar rumah dengan mulus, pemuda itu segera menangkapnya.
Hei, balas suratku, ya?
Paper Plane and Wheelchair
Natsu's POV
Aku melihat gadis itu melemparkan pesawat kertas itu kepadaku. Aku menangkapnya dengan refleks. Aku memandang pesawat itu dengan kebingungan. Aku melirik kembali ke arah gadis itu. Dia mengisyaratkan agar aku membuka lipatan pesawat kertas itu. Dengan rasa penasaran yang membuncah, aku menuruti isyarat gadis itu.
Rasanya aku mau pingsan! Siapapun, katakan kalau ini bukan mimpi!
Di atas kertas putih polos itu, yang kini sudah terlipat-lipat di beberapa tempat, terdapat tulisan tangan gadis itu. Tulisan itu meliak-liuk dengan indah di atas kertas putih itu dengan tinta hitam. Dengan cepat, aku membaca apa yang tertulis olehnya.
Paper Plane
Hai, siapa namamu? Aku selalu melihat kau berada di sana setiap hari. Apa sih yang kau lakukan di situ?
Hei, maukah kau menjadi temanku? Aku kesepian di sini. Aku jarang bertemu dengan anak-anak seumuranku. Kalau kau mau, kita berkomunikasi seperti ini saja.
Kalau kau mau membalas suratku, lakukan saja seperti yang aku lakukan. Kau boleh membalasnya kapan saja, kok! Aku selelu berada di sini. Aku tidak boleh keluar dari lingkungan rumah sendirian sebelum aku berumur 17 tahun. Hah!
Jangan lupa balas, ya!
Lucy Hearfilia
Paper Plane
Jadi nama gadis itu Lucy? Nama yang menurutku sangat indah. Aku membisikkan nama itu beberapa kali, seakan-akan merasakan bagaimana rasa nama itu. "Lucy.." bisikku. Ya, Lucy. Itulah nama cinta pertamaku.
Aku memeluk surat itu dan membiarkan bibirku tersenyum lebar. Aku memandang jendela kamar gadis itu, yang baru saja aku ketahui namanya. Dia sudah tidak ada di sana. Aku membalikkan tubuhku untuk pulang. Tenang saja Lucy, suratmu pasti akan kubalas!
Paper Plane and Wheelchair
Lucy's POV
Keesokan sorenya, aku menunggu kedatangan pemuda itu di halaman. Aku tahu, akuan sulit untuk melempar pesawat kertas itu ke kamarku yang berada di lantai dua. Jadi, aku menunggunya di sini. Aku sudah menyiapkan selembar kertas dan sebatang pena agar aku nisa membalas suratnya dengan cepat.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu datang. Aku hanya bisa melihat paruh atas tubuh pemuda itu, karena bagian tubuhnya yang lain tertutupi oleh tembok pagar den sesemakan. Dia tersenyum gugup.
Aku melirik kearah kanan dan kiriku, memastikan kalau tidak ada orang yang melihat kami. Aku mengacungkan jempol kananku, tanda kalau dia boleh melemparkan pesawat kertasnya. Pemuda itu segera melemparkan pesawat kertasnya, aku menangkapnya dengan sigap. Aku membukanya dengan perasan berdebar-debar.
Paper Plane
Hei, namaku Natsu! Erm, kau yakin mau berteman denganku? Aku kan hanya rakyat jelata, sementara kau adalah seorang putri bangsawan!
Dan, erm, tentang aku yang selalu berada di sini, itu karena aku memperhatikanmu..
Natsu Dragneel
Paper Plane
Begitulah isi surat itu. Singkat, padat, dan jelas. Tapi aku tidak kecewa, aku sudah bahagia karena dia mau membalas suratku. Jadi, nama pemuda itu Natsu? Artinya musim panas, kan? Nama yang cocok dengannya.
Aku pun segera duduk bersimpuh dan menulis balasan untuk surat itu. Setelah selesai, aku segera melipat kertas itu menjadi pesawat kertas den menerbangkannya kembali.
Paper Plane
Tentu saja aku yakin! Apa sih bedanya rakyat biasa dengan bangsawan? Menurutku sih, tidak ada bedanya. Kita tetap sama-sama manusia, kan?
Apa? Kau memperhatikanku? Jangan-jangan kau adalah.. stalker? ._.
Lucy Heartfilia
Paper Plane
Hehe, iya juga, ya? Kita sama-sama manusia!
Heh, siapa bilang aku stalker? Aku cuma suka ngikutin orang!
Natsu Dragneel
Paper Plane
Aku tersenyum geli ketika melihat isi-isi surat kami yang semakin melenceng dari topik utama. Sepertinya, kita berdua akan cocok.
Sejak saat itulah, persahabatan di antara kami terjalin oleh pesawat-pesawat kecil itu.
Wheelchair
Kira-kira sudah enam bulan kami menjalin persahabatan melalui cara tidak biasa ini. Besok, usiaku akan genap 17 tahun! Akhirnya, aku akan diperbolehkan untuk pergi ke luar rumah sendiri! Asyiknya!
Aku pun segera menulis surat untuk Natsu. Seperti biasa, sore hari itu aku pergi ke halaman dengan surat untuk Natsu berada di tanganku.
Paper Plane
Hei, Natsu! Besok aku akan berulang tahun yang ke 17, lho! Akhirnya, aku akan diperbolehkan pergi ke luar rumah sendiri!
Natsu, berhubung besok adalah hari pertamaku keluar sendiri, kau mau kan mengantarku ke taman? Sudah lama aku tidak pergi ke sana! Kalau kau mau, tunggulah aku di tempat kau berada pada saat kau menerima surat ini jam 12 siang besok. Aku akan menghampirimu!
Aku harap kau berkata iya!
Lucy Hertfilia
Paper Plane
Tentu saja aku mau, Lucy! Omong-omong, selamat ulang tahun, ya!
Natsu Dragneel
Paper Plane
Aku merasa seperti terbang ketika membaca balasan Natsu. Aku memandang Natsu yang masih berada di sana. Aku tersenyum padanya, dan dia membalas senyumanku dengan senyuman hangat miliknya. Oh, aku tidak sabar menunggu hari esok!
Paper Plane and Wheelchair
Normal POV
Seorang pemuda berambut sewarna bunga sakura tampak sedang menunggu seseorang dengan gelisah. Dia memakai rompi hitam tanpa lengan dengan celana putih selutut, sehelai syal putih bermotif kotak-kotak melingkari lehernya. Kedua iris cokelatnya memandang sekelilingnya, mencari seseorang.
"Natsu!" pemuda yang dipanggil Natsu itu menolehkan kepalanya. Kedua iris cokelatnya menangkap sosok seorang gadis berambut pirang sebahu yang sedang berjalan ke arahnya. Natsu tersenyum kepada gadis itu, gadis itu, yang bernama Lucy, membalas senyumannay. Gadis itu mempercepat langkahnya menjadi lari kecil. Natsu merasa berdebar-debar ketika dia melihat Lucy. Maklum, baru kali ini dia bertemu langsung dengan Lucy tanpa adanya pagar atau sesemakan yang membatasi.
"Hei, Natsu! Kau sudah lama menunggu? Maaf kalau aku terlambat!" kata Lucy setelah dia tiba di depan Natsu. Baru kali ini Natsu mendengar suara Lucy, dan dia menyukainya. Suara Lucy sangat merdu, seakan-akan dia sedang bernyanyi.
Di sisi lain, ini juga kali pertama bagi Lucy untuk bertemu dengan Natsu secara langsung. Sama halnya dengan Natsu, dia juga merasa berdebar-debar.
"Ah, Lucy tidak telat, kok! Aku juga baru datang!" begitu mendengarnya, Lucy langsung menyukai suara Natsu. Suara pemuda itu terdengar sangat menikmati hidup, tidak seperti suara-suara datar yang selalu Lucy dengarkan dari orang-orang di sekitarnya.
Lucy menundukkan kepalanya, entah kenapa, dia merasa salah tingkah, "Jadi, kita ke taman sekarang?" tanyanya pelan. "Kenapa aku jadi salah tingkah begini?" jerit hati gadis manis itu.
"Dia manis sekali!" jerit hati Natsu. Dalam hati, dia bersyukur karena Lucy menundukkan kepalanya. Jadi, Lucy tidak melihat rona merah yang mulai menjalari wajahnya. "Terserah Lucy saja! Hari ini hari ulangtahunmu, kan? Ne, maaf ya, aku belum sempat membeli hadiah untukmu!"
Lucy mengangkat kepalanya, dia tersenyum manis, "Tidak apa-apa kok, Natsu! Kalau begitu, ayo kita ke taman!"
Wheelchair
i tepi sebuah kolam yang berada di taman kota. Mereka baru sampai lima menit yang lalu, dan sejak saat itu mereka hanya berdiri diam, menikmati panorama yang terhampar di depan meeka.
"Eh? Menurutku sih menyenangkan! Memangnya kenapa?" Natsu balik bertanya. Dia bingung kenapa Lucy menanyakan hal itu.
"Menyenangkan, ya?" gumam Lucy sedih. Beberapa saat kemudian, Lucy duduk di atas rerumputan. Natsu mengikuti apa yang Lucy lakukan. Lucy memungut beberapa kerikil, kemudian dia melemparkan salah satunya ke arah kolam. Baru kecil itu melayang sebentar, kemudian menyentuh permukaan air dan tenggelam.
"Kau tahu, Natsu? Aku selalu ingin menjadi rakyat biasa!" kata Lucy dengan nada muram. Dia kembali melemparkan sebutir kerikil lagi.
"Orang-orang selalu berkata, menjadi putri bangsawan itu menyenangkan. Mereka salah! Menjadi putri bangsawan adalah neraka dunia! Apa yang harus kau lakukan, apa yang harus kau makan, bagaimana sikapmu, apa yang harus kau ketahui, bahkan siapa yang harus kau nikahi, semuanya diatur oleh orang lain!" Lucy berkata pahit.
"Menjadi seorang bangsawan itu seperti burung yang terkurung di dalam sangkar. Orang-orang mengatakan kalau kau cantik, tapi kau tidak memiliki kebebasan! Natsu, aku benci! Aku benci menjadi putri bangsawan! Mungkin kalau ibuku belum meninggal dan aku bukan putri pertama, nasibku tidak akan seburuk ini! Aku benci! Aku benci!"
Lucy mulai menangis, bulir-bulir air mata menuruni kedua pipinya. Natsu, yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa memeluk Lucy dan membisikkan kata-kata penghibur kepada gadis itu. Beberapa saat kemudian, Lucy mulai bisa menenangkan dirinya. Kemudian dia melanjutkan kembali perkataanya.
"Natsu, mungkin kebebasanku sekarang tidak akan berlangsung lama. Aku... sudah ditunangkan!"
Paper Plane and Wheelchair
"Natsu, mungkin kebebasanku sekarang tidak akan berlangsung lama. Aku... sudah ditunangkan!"
Kata-kata itu seakan-akan menusuk hatiku. Rasanya sakit sekali! Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana ras sakitnya. Aku berusaha agar suaraku tetap tenang, tapi aku tahu suaraku pasti terdengar aneh, "Benarkah itu Lucy?"
"Ya!" jawab Lucy hampa. "Tapi aku tidak mencintai orang yang menjadi tunanganku! Memang sih, dia lumayan tampan. Tapi dia playboy! Lagi pula, aku sudah mencintai orang lain. Dan dia adalah..."
Pada detik ini aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri. Aku mengencangkan pelukanku terhadap Lucy. Kemudian aku membisikkan kata-kata sakral itu.
"I love you, Lucy!"
Keheningan terjadi di antara kami ketika kata-kata itu meninggalkan bibirku, kata-kata yang kuucapkan tanpa sadar. Aku melepaskan pelukanku dan menunduk malu. Dapat dipastikan wajahku kini sudah semerah tomat. Dalam hati, aku menjerit, "Natsu, kau bodoh! Lucy pasti membencimu sekarang!" Rasanya aku ingin menghilang. Kalau di situ ada lubang, pasti aku sudah melompat ke dalamnya.
Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan lembut di kedua pipiku. Sentuhan itu memaksaku untuk mendongak, dan aku menurutinya. Kedua mataku langsung menatap wajah Lucy. Gadis itu tersenyum manis, kedua iris coklatnya menatap lurus ke arah kedua iris-ku yang juga berwarna coklat. Lucy mendekatkan wajahnya, bibirnya bergerak untuk membentuk sebuah kalimat.
"I love you too, Natsu!"
Kemudian kedua bibir kami bertemu. Ah, aku tak menyangka rasa bibirnya akan semanis ini!
Paper Plane and Wheelchair
Normal POV
Sejak saat itu, Natsu dan Lucy resmi menjadi sepasang kekasih. Mereka lalu memutuskan untuk merahasiakan hubungan mereka, demi keamanan mereka sendiri. Tapi, seiring berlalunya waktu, sebuah rahasia akan terkuak dengan sendirinya, bukan?
Suatu sore, kira-kira dua bulan sejak Natsu dan Lucy memulai hubungan baru mereka, seseorang melihat Natsu dan Lucy yang sedang berduaan di sebuah taman. Tentu saja, orang itu melapor kepada ayah Lucy.
Cobaan pertama akan segera menghampiri mereka
TBC
Yak, akhirnya chapter ini Aoife selesaikan juga! Semoga Zaa dan para readers suka^^
Rencanya fic ini mau Aoife buat oneshoot, tapi kayaknya kalau dibikin oneshoot kepanjangan, jadinya Aoife jadikan twoshoot. Terus karena Aoife lagi pengen bikin fic tragedi, jadinya fic ini malah jadi fic tragedi, hehe. Oiya, chapter dua akan Aoife publish bersamaan dengan chapter ini^^ Dan untuk para readers, diharapkan memberi author ini kritik, saran, dan flamenya^^
See ya in next chapter..
