Why People Prefer Snows Over Rain
Pairing : Akashi OC
Warning : Omega verse. Future AU where everyone is in their respective jobs. Cameos from other fandoms.
Genre : Romance, Drama, humor dan beberapa genre lain yang bakalan bikin spoiler kalo dikasih tahu sekarang.
Summary : Sebuah eksperimen bisa jadi sesuatu yang gawat di tangan yang salah. Untuk Kotori Yoshitsune, hal ini mengakibatkan kematian untuknya… dan dibuangnya dia ke selat Jepang, bertemu teman lama, dan bertemu seorang pria tampan bermata kucing. Omega Verse. Second part of Docile Universe.
Author's note : It's about time, Akashi! Finally he gets into Docile!
.
.
.
.
.
.
.
.foreword : The Snowflakes.
,
.
.
.
.
,
,
,
.
.
.
While we are in the northern part on earth, Japan is involved in four different seasons. Winter, spring, summer, autumn, and then back to the first cycle where we endure the biting frostnip in the middle of lonely night. Expecting the topic above, as expected when we see snows then we will be immediately remembered by winter. Winter is the condition whereupon the land of the earth was covered by substance which white-colored, iced water fog on the sky. While it was similar to the rainy condition we usually endure in the midst of fall, for reasons unknown, people prefer snows over rain. I, as assumed, don't really keen on the particular fact.
Why people prefer snows over rain? Let us open the beautiful mystery that is weirdness.
I for once don't exactly understand as to why people love snows. In a scientifically extensive research, science revealed that snows carried PH that was more acidic than the usual water, due to its coagulation in the sky while it was frozen. Snows can also caused light frostnip, but in severe cases, we can very conclude that snows can caused damaging frostbite, asphyxiation, emphysema, and generally many other breathing diseases in high induce. It is dangerous.
Rain, in other hand, is there to wash the dirtied soil and pollution that hung in the air. It was there because of carbon cycle and water cycle that was going on. It hydrates the plants that produce oxygen for our breathing, and it sometimes helps to irrigate the farm in villages. Not only that. Rain evidentially nudges the soil to pour out a particular scent named petrichor, the watered-soil scent. It can relax our nerves and soothe our never-ending day in a minute.
Based on the text above, after exponential thinking, I decided that I don't understand as to why people like snows more than rain, even after snows harsh windstorm and rain's maternal water. How in tarnation did they choose snows over rain? Summer over falls? Butterfly over caterpillar? Love birds over bats? Why do they judge everything by its cover? Why didn't they just dissect the dognammit things open and see what happens inside?
In summary, I don't get people, at all.
.
.
.
.
"Kotori."
Jas lab yang kupakai sekarang terasa berat disekitar badanku. Bau formaldehid menguar dari tanganku, dan aku mengusap hidungku. "Molly." Aku tersenyum pada wanita yang lebih tua dariku tersebut. Dia masih terlihat manis dengan senyumnya yang canggung, rambut tebal panjang yang dia ikat, dan pipinya yang terlalu kurus. Bau formaldehid dan asam sitrat menguar darinya, seperti parfum alami, tak bisa dilepas. Namun tak seperti aku, ada jejak bau vanilla dan rokok dari jaketnya, dan aku berfikir darimana dia sebelum datang kemari. Molly tidak merokok. "Kau sedang off?" tanyaku pada seniorku tersebut. Aku melepas karet tanganku dengan tenang, menaruh pipet tetes di sebelah labu angsa. Test ELISA bisa menunggu.
(aku tidak siap.)
"Yah, bisa dibilang begitu. Hari ini aku bolos kerja." Molly bolos kerja? Hal yang tidak biasa. "Apa terjadi sesuatu?" tanyaku pada akhirnya. Aku tidak ingin terdengar terlalu ingin tahu (terlalu cerewet, terlalu ikut campur) dan sepertinya Molly mengetahui hal itu juga, dilihat dari sekelibat rasa kaget di wajahnya. Aku mencoba untuk tenang dan tidak menggigit bibir. Kebiasaanku ketika aku tidak percaya diri. "Aku ingin memberikan ini." Molly menyodorkan sebuah amplop kuarto. Berpita emas dan marun, serta sedikit benang lilac. Mataku melebar. Aku tahu ini amplop apa.
"Finally, huh?"
Molly memerah. darahnya seperti tidak akan pernah menghilang dari pipinya, selamanya.
Aku tersenyum. "Kau seharusnya tidak repot-repot melakukan ini…"
"Tapi bukankah ini yang selalu kamu inginkan?" senyum Molly sangat, sangat lembut, aku ingin menangis di pangkuannya. "Saat temanmu akan menikah… kamu ingin dia memberikanmu surat berpita emas berwarna marun, kan?" Molly tersenyum lagi, dan aku bisa melihat diriku di masa depan meninju wajah pria yang akan menyakitinya. (aku tahu hal itu, aku sangat tahu. Tapi aku diam, karena Molly terlihat bahagia dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa.)
"Will you drop by at five?" Molly akhirnya berkata setelah beberapa menit hening. Suara hening yang biasa diisi oleh nafas kematian disekitarku.
Aku menatap mata cokelat Molly. "Can't. Atasanku memanggilku. Wait, don't tell me… it's not the so-called Hen Night, right?!" aku menggodanya. Molly memutar bola matanya, namun senyumnya bertambah lebar. "Bukan, bodoh. Pernikahanku masih dua minggu lagi. Aku tidak mungkin mengadakan pesta para perawan hari ini. Aku hanya ingin kau bertemu dengan seseorang." Molly tersenyum. Aku mengangkat tanganku, menyerah tanpa aba-aba. "Kalau kau ingin aku bertemu dengan Sherlock Holmes yang terkenal, tidak, terima kasih. I've been through so many of his sassiness, I can't even anymore."
Molly mengerutkan dahi, walau dia terlihat terhibur. Baguslah, aku tak ingin membuatnya terluka. "He's not sassy, he's just inadequate in relationship." Molly tertawa. Aku berusaha untuk terlihat geli, tapi aku tidak bisa. Tidak ketika aku ingin menangis sejadi-jadinya.
"Uh-huh, he's not sassy. He's assy, for God's sake."
(Aktingku terdengar meyakinkan, kan?)
"Berhenti memperlakukan Sherlock seakan-akan dia tokoh antagonis!" tawa Molly bergema dalam ruang disseksi ini. (bau rokok yang kucium tadi segera membuatku mengerti.)
"Sudahlah, waktunya untuk pergi. Pasti Sherlock cintamu itu sedang menunggu disuatu tempat, memainkan jarinya, terlihat bosan. Kau tidak akan membuatnya bosan, Molly, kau dengar aku? Sekarang pergilah. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan." Aku mendorong Molly menjauh, Molly kemudian melambai dan segera berlalu.
Aku memandang amplop di tanganku. Warna marun dan warna emas, cantik sekali.
Suara handphone terdengar dari jauh, dan aku tahu ini adalah bel kematian untukku.
"Hello?" aku mengangkatnya, jantungku berdebar kencang, perutku melilit. Rasanya seperti ketika kau menghadapi ujian akhir sekolah, tapi yang ini lebih parah.
"You have met with my soon-to-be in law, then." Suara yang angin-anginan dan terdengar royal itu memenuhi gendang telingaku. Aku menutup mata dan berkata, "Tinggalkan aku sendiri, Mycroft." Rasanya seperti bicara ke sebuah raksasa yang tahu dia punya kekuatan untuk emnghancurkan kita. Mycroft mungkin benar-benar raksasa, dengan semua kekuatan dan koneksi yang dia punya untuk membangun London yang kita kenal sekarang ini. "My dear, aku tidak bisa melakukan itu. Kamu tahu pasti kenapa." Aku tidak ingin tahu.
"Tinggalkan aku sendiri, Mycroft." Bisikku.
" Test ELISA belum kamu lakukan juga?"
"Leave me alone, Mycroft."
"…Apakah ini keinginan terakhirmu?"
Suaranya menghantuiku. Tiba-tiba aku dipenuhi perasaan benci kepada orang ini—orang yang sudah memerasku, mengambil sari pati kehidupanku, orang yang berjasa akan kematian yang akan aku temui. "Ini permintaan terakhirku!" jeritku, dan suaraku menggema, lagi-lagi terdengar mati. Aku tercekat. "Apa kau puas, Mycroft? Kau puas?" mataku panas, tapi aku tahan, aku tahan, karena aku tahu dia akan mendengarnya. Dan aku tidak menginginkan hal itu. Demi Tuhan, aku tidak menginginkan hal itu.
"I've never been satisfied, from defiling a very brilliant mind."
"That said you have killed one of your very brilliant minds." Ucapku dengan tajam dan bara panas itu lagi-lagi menusukku.
"Aku tahu kamu tahu apa yang kita bisa lakukan, My Bird. Ini semua hanyalah perihal kecil, lihat—"
Aku menghela nafas. "Tinggalkan aku sendiri, Mr. Holmes."
Hening. "…very well. I do wish for your excellence, My Bird. See you… in a jizz." Dan aku tahu, kalau aku akan benar-benar melihatnya dalam waktu yang dekat. Kakiku lemas ketika aku melepaskan handphone ini, dan rasanya seperti penuh sekali dari dalam. Air mata segera keluar dari mataku, dan aku merasa ketakutan. Isakan tidak beraturan yang sudah lama sekali tidak terdengar keluar dari bibirku. Mengingat kalau aku tidak akan pernah menangis lagi, aku menjerit, hampir histeris. Aku takut, aku takut, aku takut.
"Uhh… aaah, hu… hiks… hiks… hnggkk," aku menggigit bibirku,
Takut kalau aku masih belum berguna untuk orang-orang disekelilingku.
Takut kalau pada akhirnya aku, akan berakhir seperti ayahku. Takut karena aku tidak ingin mengecewakan apapun. Takut karena pada akhirnya akan akan menjadi sebuah hujan yang terlupakan, hujan merepotkan, payah, menyebalkan. Takut jika orang-orang melupakan aku.
("Wasurerarenaide, Onegai.")
"Ibu," sesenggukan. "Okaa-san…"
Ibu. Aku ingin bertemu ibu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
-Two months later-
"Why People Prefer Snows Over Rain." Suara berat itu terdengar, membuat Takao berpaling.
"Shin-chan, sudah selesai beli lucky itemnya?" Tanya Takao. Pria berambut hijau disampingnya hanya mengangguk kecil. "Buku itu…"
"Oooh. Aku suka karena judulnya yang lucu." Takao berpaling lagi. "Buku itu buatan Yoshitsune, kan?" ucap Midorima. "Kau mengenalnya juga, Shin-chan?" Tanya Takao. "Bagaimana aku tidak mengingatnya? Dia satu-satunya orang biasa yang melemparku dari tangga nilai tertinggi, nodayo. Aku tidak akan melupakannya, Kotori Yoshitsune." Midorima, bahkan setelah delapan tahun lulus dari Shuutoku, tidak juga berubah. Takao menemukan bahwa ternyata Midorima bisa menjadi seorang yang pendendam. "Aku dulu cukup dekat dengannya." Ucap Takao pada akhirnya. "Tapi sejak beberapa tahun yang lalu, kami lost contact."
Midorima menatap pasangannya, mengeratkan rangkulannya di bahu Takao. "Dia sekarang berada di London." Midorima berkata. "Ingat ketika aku menghadiri press conference di London? Dia menjadi spokepersonnya. Sangat lihai dalam berbicara, dia itu. Benar-benar pintar juga. Terdengar sedikit sok tahu, tapi apa yang dia bicarakan benar semua."
"Ya," Takao tersenyum lebar. "Seperti itulah Kotori-ku yang kukenal. Pintar dan sok tahu."
"Kau sedih."
Takao tersenyum kecil. "Aku ingat ketika dia membuat esay Inggris saat kelas dua. Judulnya seperti buku ini juga."
"Judul?"
"Why People Prefer Snow Over Rain. Dia berkata di esay itu bahwa dia tidak mengerti kenapa orang-orang lebih menyukai salju dibandingkan hujan. Aneh, kan?" tawa Takao. "Di lain pihak, setiap aku melihatnya, dia selalu kelihatan sendirian di ruang UKS. Dia juga sok tahu sepertimu, Shin-chan. Aku jadi tidak bisa membiarkan dia sendiri."
Midorima diam.
"Shin-chan… kau cemburu, ya?"
"Urusai, nodayo."
Takao tertawa terbahak-bahak, namun tangannya melingkari pinggang Midorima, mencari kehangatan dibalik masker dingin tersebut.
"Sepertinya dia punya karakter yang rumit ya, si Yoshitsune itu." Midorima berkata setelah sekian lama berdiam diri. Takao menatapnya. "Kenapa kamu pikir begitu, Shin-chan?"
Midorima menyapukan pandangannya ke buku Takao. "Aku sudah pernah membaca buku itu. Pandangannya begitu luas mengenai dinamika masyarakat kita, hampir seperti terlepas, tidak memiliki rasa kedekatan sama sekali. Biasanya penulis akan berusaha untuk masuk ke dalam alam bawah sadar para pembaca, namun tulisannya begitu impasif. Bukan berarti dia tidak pedulian ketika menulis, tapi… dia seperti…"
"…Seorang penonton?"
Midorima mengangguk kecil. "Dia seperti suporter yang dikirim untuk menonton."
Takao tertawa kencang sekali, dia hampir tersandung.
"Bagaimana kalau kita pergi ke reuni besok?"
"Reuni apa?"
"Reuni basket SMP-ku, bakao. Kau tidak mendengarku?"
"Boleh saja. Tapi pulang nanti, kau yang bikin makan malam."
"Ch-Oi, Takaaooooo!"
("Wasurerarenaiyo, Kotori-chan.")
.
.
.
.
.
.
.
JENGJENGJENGJENGJEEENG! Mungkin fanfik ini bakalan panjan g kali ya? Abisnya kalau nggak panjang nggak asyik sih. BTW, itu ada hint Sherlolly lho. Ada yang suka Sherlock Holmes, ga? Oh ya, kalo para pembaca kepengen ada cameo dari fandom lain, caranya gampang! Tinggal kasih tau siapa yang mau di cameo-in trus komen ceritanya, ocrit?
P.S maaf Akachin masih belum muncul. Abisnya kalau tiba-tiba muncul ngga asyik nih.
Maeshika, signing out!
