Ramen
Park Woojin X Park Jihoon
Genre: Romance, Campus AU.
Warn: !!BL, !!Some words in English Language
By. Senlgi
Happy Reading!
Musim salju yang begitu dingin masih berlangsung di Seoul memicu perut Jihoon selalu saja bergerumuh kelaparan.
"Geez.., aku lapar lagi" Jihoon mengusap-usap pelan perutnya.
"Padahal tadi kau sudah makan malam di kantin" Sahut Daehwi, teman kamar Jihoon.
"I..itu bukan makan malam! Itu makan sore" Jihoon mengelak dan Daehwi memutar bola matanya.
"Kau bahkan makan cemilan setelah itu"
"Its none of your bussiness"
"Whatever you say, kau pasti akan pergi lagi makan ke minimarket seperti kemarin-kemarin"
Jihoon menggigit bibir bawahnya, yang Daehwi katakan sangat betul. Sudah dua minggu berturut-turut Jihoon lapar saat malam hari, cara Jihoon mengatasi kelaparannya ialah memakan ramen favoritnya di minimarket yang terletak tidak jauh dari asrama kampusnya. Bahkan sang kasir pun mulai mengenal Jihoon dengan sebutan Ramen Boy.
Nama julukan apa itu? Seharusnya sang kasir lebih memanggilnya dengan sebutan Tampan atau Pangeran, pikirnya.
"Kau pasti sedang memikirkan ramen" Ucap Daehwi.
"I forgot about something.. kau juga pasti memikirkan nasi" Sambung Daehwi.
"Ibumu akan mengomel dan mengoceh lagi di telefon dan aku disuruh oleh ibumu untuk mengontrol pola makanmu" Daehwi mengomelinya persis seperti ibunya.
Jihoon mengabaikan segala ocehan dan omelan dari Daehwi dan bangkit dari kasurnya dan memakai jaket hitam berbahan parasut tebalnya, meninggalkan Daehwi yang tidak berhenti mengurus pola makannya itu. Ini kan hidupnya, bukan Daehwi atau Ibunya. Mengapa ia harus mendengarkan perkataan konyol dari mereka? Seharusnya ia lebih mengikuti kata hatinya sendiri untuk makan. Walaupun membuatnya lebih tembem.
Disinilah sekarang Jihoon berdiri. Tepat di depan minimarket yang sangat cerah dan begitu segar di mata Jihoon. "Akhirnya aku bebas!" Teriak Jihoon seraya membentangkan kedua tangannya dengan penuh semangat karena terlalu senang.
"Plak!"
"Oh fuck!"
Ternyata membentangkan tangannya adalah hal terburuk di dunia yang Jihoon pernah alami selain naik timbangan. Barusan saja tangan Jihoon tidak sengaja memukul wajah seorang lelaki hingga terjatuh. Lelaki itu terlihat memakai pakaian yang bisa terbilang sangat mahal.
Jihoon refleks membantu lelaki itu untuk berdiri tanpa melihat wajah orang itu. "Oh my god, maafkan aku.. sungguh, aku tidak bermaksud untuk memu—P..park Woo..woojin..?!"
Sepertinya lelaki yang bernama Park Woojin itu hanya meringis kesakitan di bagian hidungnya dan tidak memperdulikan Jihoon.
Park Woojin? Dia adalah salah satu mahasiswa yang terkenal karena dia adalah anak dari pemilik kampus. Jihoon rasa ingin membuang dirinya ke Sungai Han, sudah lenyap harapan beasiswa dan kamar asramanya di kampus. Jihoon pernah dengar ada mahasiswa yang dikeluarkan karena terlibat perselisihan dengan Park Woojin.
Ini semua karena Ramen! Kalau saja ia tidak pergi.. kalau saja ia mendengarkan perkataan Daehwi.. kalau saja ia tidak kelaparan.
Keringat bercucuran dari dahi Jihoon di malam yang begitu dingin. "I'm sorry.." Cicit Jihoon dan terus-terusan membungkuk kepada Woojin.
"Berhentilah membungkuk" Pinta Woojin.
Jihoon pun berhenti membungkuk dan menunduk terus. "Kau, jurusan seni, bukan?" Tanya Woojin dengan nada kesal, Jihoon hanya menganguk.
"Kau, siapa namamu?" Tanyanya lagi. Jihoon sontak mendongak sekilas lalu menunduk kembali.
Jihoon menggeleng keras, "Aku tidak akan memberitahukan namaku"
"Wah.. jadi kau tidak ingin bertanggung jawab?"
"Jika aku memberikanmu namaku, aku bisa saja dikeluarkan dari kampus!" Sergah Jihoon lalu melihat wajah Woojin, menatap kedua matanya bergantian.
'Cutie..'
"Apa yang kau lihat?" Tanya Woojin.
"Ah, tidak..tidak"
"Sepertinya aku membutuhkan plester" Woojin langsung menarik Jihoon masuk ke dalam minimarket. Jihoon hanya terdiam pasrah ditarik oleh Woojin.
"Belikan aku plester yang ini" Tuntut Woojin dengan menunjuk salah satu plester di rak minimarket.
Jihoon pun mengambil plester itu lalu berjalan ke rak paling ujung, lebih tepatnya di rak makanan dan mengambil sebuah cup ramen. Jihoon berjalan ke arah kasir dan diikuti oleh Woojin yang berada di belakangnya. Ketika ingin melakukan transaksi pembayaran, Jihoon meraba kantong celananya dan tidak mendapatkan lembaran won.
"8.200 won, ramen boy" Ucap sang kasir.
"Astaga.. for god sake, uangku ada di dalam tas.." Gumam Jihoon. Jihoon mulai sedikit panik karena tidak membawa uang. Tidak mungkin Jihoon pergi kembali ke asrama dan mengambil uangnya, itu pasti memalukan.
Woojin lalu mengeluarkan lembaran 20.000 won dan memberikannya kepada kasir, "Aku akan membayarkannya dan ambilkan aku yang seperti biasa" Ujar Woojin.
Sang kasir pun mengambil sebungkus rokok dan memasukkan ke dalam kantongan yang berisi sebuah cup ramen Jihoon. Sang kasir memberikan kantongannya kepada Woojin, "Ini tuan Park, makasih sudah ingin berbelanja"
Woojin menyeret Jihoon lagi untuk duduk di kursi yang di sediakan di luar minimarket. Jihoon hanya duduk terdiam menatap Woojin terus-menerus.
"Makanlah ramenmu"
"Anu.. itu, maafkan aku sudah memukulmu dan membayarkan ramenku.., nanti aku akan menggantinya"
"Tidak masalah" Ucap Woojin seraya mengeluarkan sebuah puntung rokok dan menaruhnya di perpotongan bibirnya, menyalakan api untuk menghidupkan batang itu. Jihoon rasa itu bukan hal menjijikkan, dirinya juga pernah merokok sesekali untuk mencobanya.
"Berhentilah menatapku seperti itu, ambillah air panas untuk ramenmu" Ujar Woojin sambil mengeluarkan asap dari bibirnya yang agak tebal.
Jihoon langsung merasa salah tingkah dan pergi mengambil air panas untuk ramennya lalu kembali duduk di hadapan Woojin. Woojin hanya melihatnya sambil merokok.
"Kenapa kau merokok?" Tanya Jihoon.
"Hanya mau saja"
"Bagaimana kalau kau memakai plester dulu saja?" Tawar Jihoon melihat hidung Woojin yang agak lecet.
"Aku akui, pukulanmu sangat bertenaga"
"Well, Aku pernah ikut les tinju.."
Woojin menaruh puntung rokoknya ke asbak lalu mengambil plester itu dan mencoba menempelkannya ke hidungnya, Woojin bingung ingin menempelnya ke arah horizontal atau vertikal. Jadi dia menempelnya dengan cara vertikal, bodoh bukan? Anak dari pemilik kampus menempel plester dengan arah vertikal.
Jihoon terkekeh kecil melihat Woojin, "What do you laughing at?" Tanya Woojin. "Bukan begitu cara memakai plester"
Jihoon lalu mendekat ke arah Woojin. Woojin mati-matian menahan nafasnya ketika wajah Jihoon mendekati wajahnya, melihat wajah Jihoon sedekat ini, membuat hati Woojin berdegup kencang. Jihoon melepas plester di hidung Woojin dan memperbaikinya. "This is how you do it"
"Anak pemilik kampus sepertinya sedikit bodoh" Gurau Jihoon dan Woojin hanya tersenyum.
Jihoon menyantap ramennya, sesekali melirik Woojin untuk melihat Woojin merokok. Entahlah, Woojin sangat terlihat tampan ketika merokok di matanya.
Ia mengira Woojin adalah tipikal orang yang tidak memperdulikan orang lain karena dia selalu sendiri di kampus, tidak memiliki teman. Semua siswa takut kepadanya karena dia adalah anak pemilik kampus, tidak ada ingin macam-macam dengannya. Dan ternyata Woojin memiliki kepribadian yang lumayan hangat, Jihoon pikir mungkin mereka bisa menjadi teman.
"Namaku Jihoon, Park Jihoon" Ucap Jihoon, Woojin mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, "Park Woojin"
"Kau tidak perlu memberi tahu namamu, kau kan anak pemilik kampus, siapa yang tidak mengenalmu" Namun begitu Jihoon tetap saja membalas jabatan tangan Woojin.
"Oh, really?" Tanyanya. Jihoon hanya menganguk sambil memakan ramennya.
"Aku bahkan baru mengenal satu siswa dalam dua tahun"
Mata Jihoon terbelalak mendengar Woojin. "Including me?"
"Yeah.. entahlah aku.. hanya susah bersosialisasi" Ungkap Woojin.
"Kalau begitu.. Kenapa kau menemaniku sekarang?"
"Hanya kau yang berani berbicara denganku seperti sekarang"
Jihoon mendengarkan Woojin dengan penuh simpati. "Lets be friend then, how's that?"
"Okay if you insist" Woojin bangkit dari kursinya.
"Mulai dari besok kau akan menemaniku sampai seterusnya..ah.. maafkan aku kalau itu terdengar konyol"
"Itu tidak terdengar konyol, I like it" Ujar Woojin dan mendekat ke arah wajah Jihoon.
"Aku juga ingin menemanimu makan ramen lagi atau mungkin setiap malam" Lanjut Woojin lalu mengusap ujung bibir Jihoon yang terkena kuah ramen dan menjilat kuah ramen itu dari jemarinya. Jihoon sangat-sangat tersipu memerah, tidak dapat mengatakan apa-apa.
"See you tomorrow, Jihoon"
Jihoon masih membatu di kursinya, melihat kepergian Woojin menaiki mobil sport putihnya yang mungkin harganya lebih mahal daripada rumahnya.
Mungkin tidak sengaja memukul wajah Woojin adalah hal paling beruntung yang ia lakukan.. mungkin memakan ramen ketika kelaparan adalah hal yang paling beruntung ia lakukan juga.
They said
"you dont get lucky
you create lucky"
TBC
Aku penulis pemula, ff pertama, semoga kalian suka. Ehe
