ENDING OF OUR FATE

Declaimer: Masashi Kishimoto

Pair: NEJITEN

Slight: Neji x Ino

Tenten x Deidara

Rate: T + (semi M)

Genre: Romance, Hurt/comfort, Drama? Family? Friendship?

Warning: typo bertebaran, gaje berterbangan, ooc dimana-mana, EYD entah kemana, kampungan, abal, angus, garing, de el el.

.

.

"Setiap manusia terlahir dengan takdirnya masing-masing. Disetiap daun yang jatuh, disetiap tetes hujan, disetiap tabuhan angin, disetiap telur penyu yang terkubur, dan disetiap jiwa-jiwa yang penuh rasa. Semuanya membawa takdir mereka masing-masing."

~Happy reading~

"J-jadi b-begitu…"

Suara lirihan hambar, kentara akan adanya sesuatu yang tercekat di tenggorokan, kepalanya menunduk, bibirnya bergetar, air bendungan dimatanya telah jebol dalam diam.

"Maafkan aku. Kumohon maafkan aku"

Suara tegas namun terdengar nanar, tak kalah bergetar dengan suara pertama, nafasnya berat, hampir tersendat. Atau mungkin dia lebih ingin tersendat dan mati seketika itu juga. Mati? Yah, rasanya ingin mati saja.

Satu tarikan nafas panjang, kemudian dia hembuskan dengan sama panjang pula…

"Tak apa! A-aku baik-baik saja. Dan a-akan selalu be-begitu. Yah aku akan selalu begitu…"

Sulit. Dia sulit bernafas. Gadis itu kesulitan bernafas.

Jantungnya berdegup cepat. Begitu cepat.

Dia sakit, hatinya terasa sakit. Air matanya masih mengalir hening, suara sendunya masih ia tahan dengan menggigit bibir bawahnya kasar. Kepalanya masih menunduk dalam.

Grepp!

Pemuda di depannya merengkuhnya dalam pelukan erat, begitu sangat erat. Karena ia sadar, Setelah ini, tak akan ada lagi kesempatan menghirup wangi khas yang telah menjadi candu baginya.

Hening…

Hanya air bening yang masih mengalir dalam bisu.

Tak ada suara...

Hanya riuh malam yang mendeskripsikan sendu. Dan ketiadaan purnama menggambarkan pilu.

"Pergilah, Neji!" ia melepas pelukan itu cepat, "I-no me-menunggumu di altar…" suaranya bergetar hebat, "Jangan. Ja-jangan ke-cewakan dia" air matanya makin deras.

"Tenten..."

Baritone yang sendu. Mendesah resah. Berat… sangat terdengar berat.

"la-lakukan, Neji. U-ntuk-ku"

Terdengar terpaksa, terdengar susah payah. Tenggorokannya serasa tercekik. Kata-katanya kini tercekat. Lidahnya kelu, rahangnya tegak namun tak berdaya. Kepalanya masih menunduk dalam. Makin menunduk dalam. Sangat dalam… Makin dalam.

"Tenten... Aku mencintaimu, sangat!"

Kecupan lembut Ia daratkan di pucuk kepala si gadis Auburn bergaun coklat selutut dengan tambahan manik-manik berkerlip, dia terlihat anggun, tapi ekspresinya kacau.

Desahan Nafas pemuda bernama Neji menderu. Air matanya mengalir tak kalah deras. Jantungnya tak beraturan. Menampung emosi yang meluap tertahan. Mati, ia masih ingin mati. Tak berdaya, ia tiada berdaya. Takdir begitu pandai mempermainkannya. Ia benci, tapi tak berdaya. Rantai emas menyeretnya paksa.

Si gadis hanya terpejam. Menikmati sentuhan awal dan akhir. Dari dirinya yang telah lama menjadi nafas. Dari pemuda yang telah lama menjadi jantung. Dari kekasih yang takkan lama lagi jauh dari jangkauan tangannya. Air bening masih meluncur lancar. Tapi kini badannya gemetar. Ia-pun tak berdaya. Mereka tak berdaya.

"Pergilah! Aku tak apa"

Ia melepaskan diri. Genggaman eratnya ia tepis kasar. Tubuhnya berbalik, tak kuasa melihat elok wajah yang kini penuh air mata. Ia melangkah menjauh. Gadis itu melangkah menjauh. Meninggalkan si pemuda yang bahkan tak mampu melangkah, tak mampu bergerak. Bahkan tak mampu lagi berdiri. Ia rapuh. Tak pernah serapuh ini. Ia tak pernah selemah ini. Yah… dia lemah. Dan selalu lemah di hadapan sosok lemah yang ternyata tegar.

Sosok gadis itu kini hilang. Kegelapan telah merenggutnya. Merenggut apa yang menjadi nafas baginya. Kenapa ia jadi tak berdaya? Kenapa mereka yang saling mencinta menjadi tak berdaya?

Karena takdir telah bicara. Begitu kata mereka.

Kejam. Kenapa sangat kejam?

Karena takdir, akan selalu begitu. Kata mereka.

Mana ada pilihan, yang membuatnya tak punya pilihan.

'Menikah dengan Ino, atau gadis itu mati di depan beribu penonton yang menganggapnya hina? Itu pilihanmu'

'Menikahlah dengannya Neji. Dia mencintaimu!'

'Tidak bisa, Tenten!'

'Menyakitinya, akan lebih menyakitiku, Neji!'

'Kaasan akan bunuh diri sekarang juga, di hadapanmu ! Jika kau tak mau menikahinya. Neji'

'Ino saudariku, Sahabatku, dan... Majikanku, Neji. Akupun tak punya pilihan'

'Aku mencintaimu Neji-kun! Aku tau kau mencintaiku juga, karenanya aku meminta ayah menikahkan kita segera'

'Neji Baka! Aku mencintaimu tau!'

'Apakah pantas seorang sopir pribadinya, yang juga di anggap saudarinya, juga yang merangkap sahabatnya ini, Mengalirkan air matanya, Neji?!'

'Sejak orang tuaku membuangku di tong sampah rumah itu. Sejak saat itu pula takdirku mengharuskanku berbalas budi, terdengar kasar. Tapi aku akan melakukan apapun untuk keluarga itu, Neji-kun!'

'Neji-kun. Dia Tenten! Dia sopir pribadiku, lebih tepatnya, dia temanku!'

'Neji, aku tak tau keluarga Yamanaka menganggapku apa, tapi aku menganggap mereka keluarga. Yah, mereka keluargaku, meski nama Yamanaka tak ada di belakang namaku'

'Aku mencintaimu, Tenten no Baka!'

'Pergilah… Neji!'

'I-ino menunggumu di altar…'

'J-jadi- b-begitu… A-aku tak apa"

Suara-suara itu berputar-putar di kepalanya, memenuhi otaknya. Sakit, pening, berdenyut hebat. Rambut panjangnya ia remas kasar. Sangat kasar.

Semuanya membengkak di kepalanya. Hampir meledak. Atau mungkin sudah meledak. Ia ambruk. Isakannya meraung di kegelapan, mencoba melepaskan semuanya. Hingga tak ada sisa kecuali satu nama.

.

.

.

.

Kini, digulita malam ini. Di penghujung desember ini. Tatapan nanar nan kosong terpampang disana. Di atas altar menyatu janji. Gadis pirang disampingnya mengulum senyum lembut. Selembut gaun putih angsa yang menyapu lantai. Riang hatinya meluap-luap. Terlihat jelas dari senyum yang mengembungkan pipinya. Merona, itulah yang terpatri disana.

Tapi sang mempelai pria hanya terkatup kaku. Sangat kaku. Dan dingin.

Hening….

Tapi hatinya bergemuruh. Membadai. Ia ingin hilang saja. Atau berharap tak pernah lahir.

Atau mati?

Sedari tadi ia ingin mati. Tapi tak bisa. Entah mana yang lebih buruk. Hidup dengan gadis di sampingnya dan melihat sang kekasih melanjutkan hidupnya. Atau mati dan sang kekasih akan semakin merana. Atau diam saja dan semuanya berakhir kiamat? Pilihannya adalah yang pertama. Dengan kekelumit harapan, bahwa si dia yang menatap nanar di barisan belakang akan melanjutkan hidupnya. Mencari kebahagiaannya. Dan jaminan ketenangan dari kedua keluarga yang memaksa mereka. Jaminan bahwa hidup sang kekasih akan kembali seperti semula. Jaminan akan hidup yang tenang dan layaknya tak ada apa-apa.

Entahlah…

Tatapannya masih kosong, tak ada isi disana.

Atau mungkin tak benar-benar kosong. Karena satu wajah selalu terlukis disana.

.

.

Hanya setelah sang pendeta meresmikan mereka. Suasana riuh mulai tercipta. Dia tak bergerak dari tempatnya. Dia belum juga memberikan ciumannya. Akhirnya si gadis piranglah yang bergerak menjinjit. Menyentuh bibirnya yang masih terkatup. Dia tak membalas. Ekspresinya masih sama. Namun si gadis pirang tak ambil pusing. Dia masih tersenyum kegirangan. Senyum kemenangan. Menang dalam pertarungannya dengan takdir. Bahwa Hyuuga Neji adalah takdirnya. Yah, dia miliknya. Meski tak benar-benar miliknya seutuhnya. Karena apa yang ada dihatinya. Sama sekali tak ada ruang untuknya.

.

.

.

.

"Tenten! Aku hamil!"

Pelukan erat dari seorang bernama Yamanaka Ino membuatnya sulit bernafas. Tak bisa bernafas. Dan... mati. Mati, hidup lagi, mati lagi.

Yah, bukan karena pelukan itu. Tapi alasan dari pelukan itu. Diiris-iris, disayat-sayat, dibunuh beribu kali. Mungkin masih tak bisa menggambarkan sakit yang mendera. Ia-pun heran, kenapa ia masih bertahan menjadi sopir pribadinya. Tapi sejauh ini ia bisa bertahan. Bertemu dengannya hampir setiap hari. Tak jarang mengantar mereka berdua keluar. Tak jarang pula menyaksikan kebersamaan mereka yang menyakitkan.

Mati rasa…

Yah, dia sudah mati rasa. Tapi kali ini dia benar-benar merasa Mati. Adakah berita yang lebih buruk dari ini, semenjak lebih dari 26 tahun ia tinggal di rumah ini? Oh… takdir, apakah ini hidup? Ataukah neraka?.

"Be-begitu?"

Tercekat, lagi-lagi tercekat di tengah jalan. Kelu, begitu kelu dirasa.

"Senangnya…"

Terdengar riang yang sangat amat terlihat dipaksakan.

Si pirang pucat mengumbar senyum paling manis semanis coklat. Sementara si coklat terlihat hambar dan tersenyum pucat.

"Ini akan jadi kejutan yang bagus untuk Neji-kun saat pulang nanti…" pekiknya.

Si coklat terdiam. Kini baru ia tahu. Mati rasa lebih baik dari merasa mati.

.

.

.

Lagi, di gulita malam, dipenghujung Desember tahun ini. Mata lavender membulat. Ditangannya telah ada kejutan yang sama sekali bukan kejutan yang menyenangkan baginya. Sejujurnya, malam itu ia dalam keadaan mabuk. Bahkan masih lekat dalam ingatannya bahwa yang ia lihat malam itu bukanlah Ino. Melainkan Tenten yang sampai saat ini masih bertahta dihatinya. Malam itu ia meluapkan kerinduan yang telah 3 tahun ia tahan. Ia bahkan tak peduli pada apapun dan siapapun malam itu. Ia sama-sekali tak tau apa yang terjadi padanya Waktu itu. Yang ia tahu, malam itu ia bahagia, karena kerinduannya tersampaikan. Yah, hanya malam itu. Karena paginya ia harus menerima kenyataan yang lain. Bahagia yang dirasanya menguap begitu saja. Berganti putus asa, marah, bersalah, dan jutaan rasa yang entah apa namanya.

Dan kini. Kebodohannya membuatnya nyeri. Tangannya bergetar. Rahangnya menegang, giginya bergemeretak, bahunya naik turun. Emosinya kalang kabut. Ia kembali dibuat tak berdaya, oleh takdir yang dirasanya tak adil. Ia diam. Hanya senyum yang bahkan tak terlihat seperti senyuman. Ada sakit disana, ada pula kegetiran, ada bahagia, dan ada pula kekecewaan. Bahkan sampai saat ini ia tak letih berharap agar tak pernah dilahirkan. Ia ingin hilang, dan tak pernah ada…

.

.

.

.

TAP TAP TAP

Langkah kasar menderu di sebuah lorong rumah sakit. Ini bukan langkah, tapi lari, setengah berlari. Kaki-kaki itu setengah berlari, membawa pasien yang siap melahirkan. Ekspresi khawatir memenuhi setiap wajah. Tak terkecuali dua manusia dengan rasa yang dekat namun tak dapat menjangkau satu sama lain.

Sang pasien di bawa ke dalam ruang penuh alat-alat. Keluarga kedua belah pihak belum datang. Kini di depan ruang opersi itu hanya ada dia, Si gadis coklat bercepol dua yang mengigit kukunya, tanda bahwa dia khawatir. Sangat khawatir. Bagaimanapun dia khawatir. Ino sahabatnya, Ino saudarinya, dan Ino majikannya. Begitulah anggapan mereka selama ini. Terlebih dalam perutnya yang sekarang tengah ditangani akibat pendarahan hebat itu, ada benih orang yang sangat dicintainya. Yah, tak ada yang berubah sejak rasa itu ada dalam hatinya. Tak pernah lenyap. Tak akan pernah lenyap. Ia bertahan, karena wajah itu masih dekat dengannya, ia masih bisa melihat wajah stoic itu, dan itulah kekuatannya. Kendatipun ia takkan bisa menyentuhnya.

Si pemuda berambut panjang yang menyandarkan punggungnya di tembok itu tak jauh beda. Hanya saja, ada tambahan kekhawatiran disana. Yah, dia khawatir akan keadaan Ino, pun juga bayi nya. Tapi mata Lavender itu sama sekali tak beranjak dari sosok yang duduk di kursi tunggu di hadapannya. Matanya menatap lurus kearahnya. Kearah seorang gadis yang selalu bisa membuatnya takluk. Bahkan takluk untuk tak mati. Keinginannya untuk mati masih sama. Tapi ia tak bisa. Karena dia. Tenten.

"Tenten..."

Suara baritone yang kentara akan kerinduan.

Yang dipanggil menoleh. Namun dengan sigap ia memalingkan wajah. Tak mau bertemu tatap dengan si pemilik lavender itu.

"Ya!?"

Jawaban yang sama-sama tersiratkan rindu tertahan.

"Aku…"

"Tak apa! Aku tak apa!" potongnya.

Neji menghela nafas panjang. Ia kembali diam. Debaran jantungnya masih sama. Nyaman. Ia bahkan lupa kapan terakhir ia bicara padanya. ia dekat namun jauh. Sakitnya terasa lagi.

Arrgh... Hanya dengan mendengar suara gadis itu satu kali, mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Itulah Tenten, si gadis yang di pungut keluarga Yamanaka dari tong sampah. di besarkan sebagai pelayan dan teman bagi putri bungsu keluarga itu. Hidupnya untuk keluarga itu, takdirnya di tangan keluarga itu. Menjadi Pelayan, Asisten, Sopir, Bodyguard, saudara, dan sahabat bagi Yamanaka Ino, Itulah takdir yang selama ini di jalaninya.

Bahkan ia tak pernah menyangka bahwa dia-pun harus menjadi saingan bagi Yamanaka Ino dalam Cinta. Dan sekarang dia akan menjadi bibi bagi anak yang kini tengah di tangani dokter itu. Lengkaplah sudah! Tapi bukan berarti Tenten menyesal. Tidak. Sama sekali tidak. Ino memperlakukannya dengan baik. Yah Ino orang baik, dia gadis cantik dan anggun, lembut dan pandai memasak, tipe wanita ideal harapan semua laki-laki. Setidaknya, itulah yang membuat Tenten agak lega karena Neji mendapatkan wanita terbaik seperti Yamanaka Ino. Ino tak pernah memperlakukannya sebagai budak, babu, pelayan, atau apapun. Ino selalu menganggapnya saudara, sahabat. Ino adalah orang pertama yang tak akan terima jika ada orang yang menghina dirinya. Bahkan masih segar dalam ingatannya bagaimana seorang Yamanaka Ino yang lemah lembut itu menampar keras wajah Tayuya waktu SMA dulu, karena berani memanggil Tenten anak sampah. Masih segar pula dalam ingatannya bagaimana Ino langsung pergi dan menepis semua makanan di meja restaurant tempat ulang tahun salah satu temannya, hanya karena menghina Tenten yang ikut dengan Ino.

Selamanya Tenten tak akan pernah melupakan jasa keluarga Ino. Baginya merekalah keluarga, baginya Yamanaka Ino adalah Prioritasnya. Ia bisa mengesampingkan yang lain, bahkan cinta, hanya untuk gadis pirang itu. Baginya, seorang Ino pantas mendapatkan kebahagiaan terbaik. Dan Tenten akan melakukan apapun untuk itu. Termasuk merelakan apa yang selama ini menjadi nafas baginya.

"Kenapa?"

Kalimat tanya yang tiba-tiba terdengar dari pemilik lavender menyentakkannya. Rupanya mata itu tak jua lepas darinya, entah sudah berapa lama.

"Apa?"

Mereka beradu tanya.

Lagi-lagi Neji Menghela nafas panjang…

"Tidak apa-apa" tidak bukan ini yang ingin di katakannya. Seharusnya bukan ini.

Ada banyak yang ingin laki-laki itu tanyakan, ada banyak yang ingin dia katakan, dan masih banyak lagi sesuatu yang ingin di ungkapkannya. Kenapa kau bertahan? Kenapa kau setegar itu? Kenapa kau tak mencari kebahagiaanmu? Apakah kau punya kerinduan yang sama? Apa perasaanmu masih sama? Apa yang kau harapkan dari hidupmu? Kau tau aku masih sama, perasaanku masih sama. Tak berkurang se-inci-pun. Aku ingin memelukmu, aku rindu senyummu yang kau sunggingkan untukku, aku rindu padamu. Ingin sekali ia katakan semua itu, tapi kata-katanya seolah tak keluar.

.

.

.

Segerobol orang berjalan cepat menuju kearah keduanya. Yah,, keluarga Yamanaka yaitu Inoichi Yamanaka, dan Deidara Yamanaka, yang baru datang dari China setelah di hubungi tadi terlihat resah. Sedangkan Keluarga Hyuuga, Hizashi Hyuuga dan Hinata Hyuuga yang juga berada di luar negeri pada saat di hubungi tadi, juga tak kalah risau. Sudah dua jam lebih dan dokter belum juga keluar. Perasaan khawatir telah menjadi warna pada pukul 23.00 pm.

"Bagaimana keadaannya?" Inoichi langsung menghampiri Neji.

"Dokter sedang menanganinya, Tousan. Dia mengalami pendarahan" jawab Neji

"Oh Tuhan… Semoga persalinannya lancar" Hizashi menambahkan. Hinata membawa paman-pamannya itu untuk duduk.

Sementara Deidara langsung mengambil posisi duduk disebelah Tenten. Kemudian gerak bibirnya berucap…

"Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." katanya membaca ekspresi Tenten yang Pucat. Bahkan kuku-kuku panjangnya kini telah memendek tak beraturan.

Tenten tak menjawab, ia terlalu khawatir. Kaki-kakinya tak mau diam beradu dengan lantai. Melihat itu Deidara merangkul bahunya, mencoba menenangkan gadis coklat yang selama ini selalu di harapkannya. Tenten menoleh, namun tak mau memberontak. Karena ia memang butuh sandaran sekarang. ia benar-benar tak tenang. Deidara tersenyum lembut, sambil lalu menggiring kepala Tenten untuk bersandar di bahunya.

"Tenanglah…" katanya.

Tenten mengangguk kecil di bahunya. Matanya terpejam mencoba untuk tenang. Deidara memang selalu bisa menenangkannya disaat ia resah. Kakak dari Ino inilah yang selalu menenangkannya disaat ia sedang kalut. Dialah satu-satunya orang selain Hizashi yang tahu bagaimana perasaan Tenten, termasuk bagaimana perasaan gadis ini pada pria yang sekarang telah menjadi adik iparnya itu. Yah, dia tahu semuanya, tapi diapun tak bisa berbuat apa-apa. Adiknya yang seakan mau gila jika tak bersama Neji, dan kedua keluarga yang membatu, membuatnya hanya bisa diam membisu. Dan saat hari terburuk itupun, Deidara-lah yang selalu menjadi sandarannya. Ia hanya bisa menangis meraung-raung dibahunya. Mengeluarkan beban lewat air mata yang membanjir.

Deidara mengelus pelan bahu Tenten yang terasa tegang, kemudian arah matanya sedikit melirik kearah Adik Iparnya yang masih mematung bersandar ditembok. Yah, pemandangan yang sudah diduganya terpampang disana. Tatapan tajam membunuh, namun ekspresinya terbunuh, tangan yang mengepal pelan, urat-urat leher yang agak keluar, cemburukah? Apa dia masih bisa cemburu disaat-saat seperti ini? Deidara tak ambil pusing. Karena baginya yang terpenting adalah ketenangan Tenten. Meski dirinya juga tak kalah khawatir akan keadaan adik satu-satunya yang kini tengah berjuang di dalam ruang operasi.

"Aku permisi dulu..."

Suara itu membuat semua mata menoleh kesumber suara, bahkan Tenten yang terpejam itupun membuka matanya.

"Hei Neji, mau kemana kau?!" Hizashi langsung berdiri dari duduknya setelah melihat putranya itu melenggang pergi dengan pelan.

"Mencari kopi, menenangkan pikiran" jawabnya tanpa menghentikan langkahnya.

"Sudahlah Hizashi, mungkin dia butuh waktu menenangkan pikirannya" mendengar ucapan Inoichi, diapun hanya menghela nafas kemudian duduk kembali. Dia melirik sekilas pada Tenten yang masih tertunduk.

'Gadis ini, kheh?! Aku harus melakukan sesuatu padanya. Dia tak boleh lagi menyentuh kehidupan Neji'

Melihat tatapan tajam Hizashi, membuat Deidara mempererat pelukannya. Seolah mengatakan bahwa Tenten ada dalam lindungannya. Seolah mengatakan 'Berani menyentuhnya, kubunuh kau!'

Tengah malam, di akhir Desember…

Hening…

.

.

.

TBC

Maaf saya kembali menambah timbunan sampah. Hehehe , maaf ya jika cerita ini gak layak baca, alur yang cepet, atau gak jelas dan merusak mata anda. Saya benar-benar minta maaf *nunduk

Semoga kalian suka, dan terima kasih udah membaca.

EDIT 05-10-2016

(pengennya gak saya edit, biar saya tahu sejauh mana perkembangan cara penulisan saya. Tapi beberapa sahabat saya menyarankan untuk diedit saja, demi kenyamanan membaca. Terimakasih pada para sahabat sekalian. Lope yu :* )