Disclaimer: Masashi Kishimoto is own Naruto's characters. I do not own anything but the plot.

Warnings: AU, OOC, slight SasuHina. Possibly for misstype, cliché, and bad. Based on true story. Don't like? Don't force yourself to read.


Untuk Lady Mood tersayang, semoga menikmati kisah ini. :)


"Demi apa udah jadian!"

Sebuah teriakan histeris yang disertai suara gebrakan meja dari sudut kafetaria membuat banyak kepala menengok ke arahnya. Sekumpulan mahasiswi—sekitar empat orang, lebih jelasnya—terlihat sedang duduk mengelilingi meja bundar keperakkan yang dipenuhi piring-piring kosong dengan banyak sisa makanan dan gelas jus kosong di atasnya.

"Sssh, Ino! Bisa nggak sih nggak seheboh itu?" gadis berambut merah muda pucat menarik kepala temannya yang tadi berteriak dan membungkam mulutnya dengan satu tangan. Ia menyadari betul banyak pasang mata yang masih memperhatikan mereka. Mereka pasti dinilai mencolok di mata para senior. Gadis yang dipanggil Ino menepis tangan yang membungkamnya dan kembali duduk.

"Tch, nggak bisa! Habisnya, orang itu dia, lho! Dia yang terkenal tukang gonta-ganti cewek, dingin, ketus, dan nggak ramah sama sekali itu!" Ino, gadis dengan pakaian modis yang menutupi tubuhnya dan rambut pirang yang bersinar, hampir saja membuat kerusuhan lagi dengan memukul-mukulkan tangannya ke permukaan meja kalau tidak segera dihentikan oleh Matsuri, temannya yang berperawakan lebih kalem. Ino mendesis lebih dalam ketika Matsuri menghentikannya. Matanya kini salak menatap gadis berambut merah muda di depannya yang menatapnya dengan wajah gugup. Bola mata dengan iris hijau miliknya berkali-kali dimainkan, mengalihkannya berulang kali ke berbagai arah.

"Aku benar-benar tidak habis pikir, Sakura. Kuakui ia memang tampan—saaangat tampan. Tapi sifat-sifat yang kusebut tadi tidak cukupkah untuk membuatmu sadar kalau ia tidak sebaik yang kita pikir sebelumnya?"

Gadis bermata hijau yang dipanggil Sakura itu hanya mampu menggaruk pipinya yang tidak gatal. Entah didapatnya dari mana kebiasaan aneh itu. "A-aku… aku kan hanya mengikuti… arus," sanggahnya dengan suara yang semakin mengecil pada akhir kalimat, kemudian terdengar ragu. Ino memutar bola mata birunya dengan bosan. Dasar gadis payah, cibirnya dalam hati.

"Kau bereaksi –sedikit—terlalu berlebihan, Dear,"

"Oh ya? Lalu aku harus bersikap bagaimana, Nona Temari? Sakura kita sedang dalam bahaya, kau tahu itu!"

Kini Temari—gadis dengan suara bass yang seksi dan memiliki garis wajah tegas, membuatnya selalu dipandang segan pada siapa pun yang pertama kali melihatnya—yang memutar bola matanya, muak. "Kau benar-benar berlebihan."

"Temari benar. Kau sedikit berlebihan, Ino. Sasuke memang—err apa, ya, kau menyebutnya…" Sakura menyipitkan sebelah matanya dan berpikir. "Um… jahat! Tapi ia tidak sejahat yang kaupikirkan. Aku tidak seidiot itu untuk berpacaran dengan orang yang betul-betul jahat, Ino." Sakura mencoba memberi pengertian. Ia kenal betul Yamanaka Ino, sahabatnya sejak bangku SMA. Gadis cantik dengan perangai emosional dan meledak-ledak, apalagi terhadap hal yang baginya sensitif. Uchiha Sasuke, baginya, termasuk hal yang sensitif untuk dibahas.

Gossip yang ia dan teman-temannya dengar mengenai Uchiha Sasuke memang tidak salah. Rumor tentang ketampanannya yang terkenal di seluruh kampus bukan hal yang konyol. Dia. Benar-benar. Tampan.

Dengan tinggi badan hampir mencapai 180 sentimeter, kulit putih bersih, rahang yang kuat—yang benar-benar membentuk kesan macho pada setiap penampilannya, lengkungan mata sempurna yang dihiasi obsidian di dalamnya… semua itu mampu membuat lemas lutut semua gadis yang melihatnya. Tidak ada yang tidak menarik dari setiap sudut penampilannya. Dari depan, samping, bahkan belakang, ia terlihat sempurna. Entah apa maksud Dewa menciptakan makhluk sesempurna Uchiha Sasuke. oh, mungkin tidak sesempurna itu juga.

Bagi Yamanaka Ino, ketampanan yang sempurna itu tidak dilengkapi koleksi sifat yang sama sempurnanya dengan wajahnya. Rumor tentang 'kejahatan-kejahatan' yang dilakukan oleh senior mereka satu itu pun tidak diragukan lagi kebenarannya. Dewa ternyata memang sangat adil.

Dingin, tidak ramah, selalu melotot pada orang, mengidap penyakit cuek stadium akhir… belum lagi deretan mantan pacarnya yang terhitung ada lebih dari sepuluh orang sejak ia masuk universitas ini dua tahun lalu. Ino, remaja tanggung yang menjadi pengikut setia paham romantisme seumur hidupnya, langsung memindahkan nama Uchiha Sasuke ke urutan terakhir Laki-laki Tampan yang Patut Dijadikan Pacar dalam daftarnya. Laki-laki itu juga tidak pernah disebut-sebut sebagai laki-laki yang romantis dan demi apa pun deretan kejelekan-kejelekan yang dimiliki pria itu malah makin menambah jumlah penggemarnya sampai di luar kampus. Wanita zaman sekarang, yeah, tentu.

Sedangkan bagi Haruno Sakura, cinta telah membuatnya tidak mampu melihat sifat-sifat jelek yang dimiliki oleh Sasuke. laki-laki itu ketus, ya, memang. Tapi Sakura tidak pernah menerima balasan ketus terhadap setiap sapaan yang diberikannya dulu dan sekarang. Sasuke dingin—percayalah, dia itu seperti freezer berjalan!—tapi pria itu selalu diam memperhatikan setiap deret kata yang dikeluarkan Sakura ketika bercerita mengenai dirinya sendiri. di saat mereka sedang berdua, menikmati detik-detik yang terlewatkan, Sakura tahu fokus Sasuke sepenuhnya tertuju padanya. Sasuke memang sangat tidak acuh terhadap orang-orang di sekitarnya, tapi Sasuke memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan tindakan afeksasinya terhadap orang yang penting baginya. Beruntungnya pria es itu, Sakura bukanlah tipe yang benar-benar peduli tindakan romantis apa yang harus dilakukan oleh pacarnya. Memiliki Sasuke seutuhnya saja sudah sangat sangat cukup baginya.

Saat ini, sih, pikiran seperti itu yang meyakinkannya untuk menjalani hubungan dengan seniornya yang di atas dua tahun itu. Saat ini.

"Lalu, Sakura, bagaimana ceritanya ia mengajakmu berkencan?"

Suara rendah Temari mengembalikan Sakura dari awang pikirannya. "Hm… yaaa seperti orang-orang pada umumnya. Ia menyatakan perasaannya—ia bilang ia suka padaku—lalu ia memintaku untuk menjadi pacarnya. Sederhana." Sakura mengangkat kedua bahunya, seakan itu memang bukanlah suatu hal yang 'wah!'. Ino mencuri pandang, sedikit berharap ada percikan romantisme ketika Sakura memulai kembali kronologi ceritanya. Tapi, Sakura bahkan tidak mengatakan satu pun kata lagi dan malah menyeruput habis sisa jus melonnya.

"Berhenti mengharapkan sesuatu di luar karakter senior itu, Ino sayang," layaknya Matsuri bisa membaca pikiran Ino—sebenarnya gadis itu hanya membaca raut lecek dari wajah Ino saja—ia berceletuk dengan ringannya di saat semua terdiam.

"Che, aku tahu. Memang percuma." Ino membuang muka ke arah lain, ke luar jendela kafetaria yang memperlihatkan pemandangan di luarnya. Banyak mahasiswa yang berkumpul maupun sekedar lewat di depan sana. Di luar memang banyak pepohonan yang bisa dijadikan tempat berteduh dan sekedar mengobrol dengan teman. Ino berharap bisa menemukan sesuatu yang menarik di sana sementara ia rasa teman-temannya masih menikmati waktu santai mereka untuk duduk-duduk di dalam kafetaria.

Sakura hanya menghela nafas pasrah, tidak tahu harus berkomentar apa terhadap sikap skeptis Ino atas Sasuke. benar-benar apa boleh buat, karena meski terkesan tidak suka begitu, Sakura tahu Ino tidak benar-benar membenci Sasuke dari lubuk hatinya yang terdalam dan mendukung keputusannya untuk berpacaran dengan Sasuke.

Temari dan Matsuri pun tidak berkomentar banyak dan menikmati setiap cerita Sakura mengenai Sasuke ketika mereka masih pendekatan. Saat tahu kini statusnya berubah dengan Sasuke, keduanya pun hanya tersenyum mendukung. Apa lagi yang kurang baginya saat ini? Memiliki teman-teman yang mengerti dan menyayangi dirinya, pacar yang sangat sangat menarik dan tampan, kehidupan perkuliahan yang aman dan stabil… ia merasa hidupnya lengkap sekarang.


Deru mesin motor membelah kesunyian malam itu. Kompleks tempat tinggal keluarga Haruno sudah sangat sepi, padahal malam masih panjang. Motor besar itu terlihat menepi dan berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dan berlapiskan cat merah muda pada dinding depannya. Saat malam, dinding rumah itu tidak memperlihatkan kecerahan warnanya yang lembut, malah terlihat seperti menyatu dengan malam dan kabut-kabutnya. Banyak pot-pot tanaman kecil yang ditaruh di bawah jeruji pagar berwarna merah tembaga dan di bawah jendela yang saat ini tertutupi gorden putih.

Haruno Sakura turun dari motor hitam itu sambil melepaskan helmet merah dari kepalanya. Rambutnya yang pendek terlihat sedikit lepek karena seharian ini ia meninjau lokasi pengambilan gambar untuk tugas sosial masyarakatnya yang harus dikumpulkan tiga hari lagi.

Gadis itu sedikit merapikan rambutnya dan mengeyahkan beberapa helai merah muda yang menempel di keningnya. Sasuke juga sudah terlihat melepas helmet hitam yang selaras dengan jaket kulitnya. "Mm… terimakasih, sudah mengantarku sampai rumah."

Sakura menjadi gugup hanya dengan ditatap lekat-lekat oleh iris obsidian milik Sasuke. tapi, memang begitulah cara pria itu melihat segala sesuatunya. Lekat dan tajam. Menarik kita untuk balik menatapnya dan menahan kita di sana. Tidak akan dilepas sampai sang pemangsa berniat melepas diri. Tipikal mata seorang pangeran es yang egois, seenaknya sendiri. wanita mana pun yang tidak memiliki kapasitas jantung yang kuat pasti tidak akan bisa tahan kalau harus bicara face to face dengannya.

Bahu Sasuke terangkat sedikit. "Bukan hal besar." Sahutnya singkat, seperti biasa. Seorang Uchiha Sasuke juga tipikal pangeran es egois yang irit bicara. Tapi Sakura sudah terbiasa dengan sifat itu—harus terbiasa. Hanya senyum yang bisa dikeluarkan Sakura untuk menanggapinya.

Diam menguasai sebentar. Merasa bodoh dengan situasi kaku itu, Sakura mencoba untuk menawarkan Sasuke minum teh sebentar di rumahnya. Memang bukan pertama kalinya Sasuke berkunjung ke rumah Sakura, entah itu untuk sekadar silahturami atau mengantar-jemput, tapi itu hanya se-ben-tar. Sangat sebentar karena Sasuke adalah orang tersibuk yang pernah dikenal Sakura sepanjang hidupnya. Sasuke adalah mahasiswa fotografi yang sangat suka hunting gambar—entah itu berhubungan dengan tugas kuliah atau pekerjaannya sendiri sebagai fotografer lepas—dan bisa menghabiskan waktu satu minggu penuh tanpa pulang ke rumahnya hanya untuk mencari objek atau inspirasi.

Sakura memang suka laki-laki berdedikasi—siapa yang tidak?—tapi dinomorduakan oleh sebuah kamera… rasanya benar-benar miris. Sakura bahkan yakin kalau Sasuke tidur dengan kamera yang menggantung di lehernya, atau diletakkan di samping bantal sebagai pengganti boneka Teddy Bear. Ia langsung tergelak dalam hati ketika membayangkannya.

"Yakin tidak mau istirahat dulu sebentar?" Sakura meyakinkan kekasihnya setelah pria muda itu menggeleng, menolak ajakan manis Sakura untuk minum teh di rumahnya. Belum tahu saja dia kalau Sakura pandai meracik teh.

"Hn. Lebih baik aku langsung tidur di rumah." Jawabnya sambil mempersiapkan helmet. Kepalanya ditolehkan ke samping ketika didengarnya Sakura terkekeh.

"Kali ini ingat rumah, hm?"

"Cih. Berisik."

"Tidak boleh berkata 'cih' pada pacarmu sendiri, Sasuke-kun," Sakura berkata dengan nada bernyanyi dan mimik yang lucu, membuat ia terlihat bersinar di gelapnya malam kali ini. Salah satu kesukaan Sasuke, yaitu wajahnya ketika tersenyum. Takkan bisa dijelaskan dengan apa pun, deh.

"Pastikan kau langsung pulang ke rumah, ya, jangan mampir ke rumah Naruto dulu." Pesan Sakura sambil mengingat cerita Uzumaki Naruto, satu-satunya sahabat Uchiha Sasuke yang sudah diakui seluruh dunia—sedikit berlebihan, tapi Naruto dan Sasuke memang sudah bersahabat sejak kecil. Naruto sering bercerita pada Sakura—tentu saja tanpa sepengetahuan lelaki stoic itu—kalau Sasuke suka main ke rumahnya kalau sedang malas berada di rumah.

Tanpa menjawab, Sasuke menyalakan mesin motor. Deruannya membuat anjing rumah keluarga Inuzuka, Akamaru, menggonggong karena terkejut.

"Tch, anjing itu harus segera terbiasa dengan suara ini." Sasuke menggerutu sambil memasang helmetnya. Detak jantung Sakura berhenti sepersekian detik ketika mendengar gerutuan pemuda di depannya tadi. O'ow, itu tadi maksudnya…

"Kenapa wajahmu memerah?" Sasuke bertanya di balik helmet dan Sakura langsung mengerjapkan mata. Benarkah wajahnya merah? Pikirnya panik.

"Tidak. Aku tidak apa-apa." Didengarnya Sasuke mendengus. Gigi motor dimasukkan dan jemari Sasuke mulai meninggalkan rem perseneling kalau saja Sakura tidak memanggil namanya dengan tiba-tiba. Laki-laki itu menginjak lagi pedal perseneling untuk memosisikannya di angka nol lalu membuka kaca helmet. Matanya bertanya pada Sakura.

"Hati-hati di jalan. Mampirlah kalau ada waktu lebih, ya?" ujarnya sambil tersenyum lembut. Obsidian itu terpana melihat kelembutan sang emerald. Tanpa sadar, tangannya terulur menuju pipi gadis itu. Sakura sedikit tersentak namun tak menghindar ketika jemari dinginnya menyapu lembut pipi yang sekarang kemerahan itu.

"Sampai jumpa besok."

Sasuke langsung menutup kaca helmetnya dan melesat pergi meninggalkan Sakura yang masih terpaku di depan pagar rumahnya. Terpaku dengan wajah merah, mata berair saking tidak percayanya, dan lutut gemetar.

Oh Tuhan, Ino, ia berani menjamin dan bersumpah kalau Sasuke adalah laki-laki terlembut yang pernah ada di dunia. Dunia Sakura, maksudnya. Ia benar-benar yakin dan sama sekali tidak menyesal dengan pilihannya untuk berhubungan dengan Uchiha Sasuke seperti sekarang ini.

Hampir lima bulan yang lalu mereka berkenalan dan tidak kehilangan kontak sama sekali setelahnya—berhubung keduanya satu jurusan di kampus. Pertemuan secara tak sengaja sering terjadi selama satu bulan pertama, namun di bulan kedua, Sakura mengambil inisiatif sendiri untuk membuat kesengajaan menjadi sebuah kebetulan. Pertemuan dan hubungan mereka semakin intens dengan terus saling menyapa di kampus, mengobrol sebentar—ingat kalau Sasuke adalah orang yang sibuk, kan?—bahkan saling mengirim e-mail. Sampai dua bulan yang lalu, tanpa disangka-sangka Sakura, Sasuke menjadi lebih gesit dan frontal untuk mendekati Sakura.

Ia, Sakura, tentu saja tidak menyangka kalau Sasuke akan meresponnya dengan positif. Seperti rumor yang sudah sering ia dengar, Sasuke adalah playboy super ketus, dingin, dan cuek terhadap sekitarnya—bahkan kekasihnya sendiri. e-mail yang dikirim Sakura mendapat balasan saja, rasanya sudah sangat cukup bagi gadis itu. Lama kelamaan, laki-laki itu yang justru menjadi agresif—dalam caranya sendiri, tentu—dan akhirnya… hubungan mereka telah resmi berpacaran sejak tiga hari yang lalu.

Tanpa hadiah, sajak roman, lagu mellow dengan gitar, atau bunga sekalipun. Hanya sebatas kalimat pernyataan dan permintaan, sekeliling Sakura sudah terasa sangat manis. Tidak butuh cokelat mahal atau apa pun yang berbau romantisme lainnya—dia bisa dilempar gelas oleh Ino kalau gadis itu sampai mendengarnya—untuk memastikan bahwa Uchiha muda itu bersungguh-sungguh. Obsidian paling menawan itu telah menjelaskan semuanya. Dan Sakura memang tidak butuh apa-apa lagi darinya.

Ia mendorong pintu pagar yang belum terkunci dan masuk ke dalam rumah sambil bersenandung pelan.

Ia yakin Sasuke adalah laki-laki yang lembut dengan caranya sendiri. Sakura lebih suka itu. Laki-laki memang harus memiliki gayanya sendiri agar bisa memesona wanita—dan Sasuke membuktikannya lewat rekor pacarannya. Kini ia hanya perlu berdoa agar Sasuke tidak akan pernah merasa bosan ketika sedang bersamanya, karena siapa pun tahu kalau Uchiha Sasuke adalah seorang cuek yang cepat bosan. Dan Sakura yakin kalau ia tidak perlu kahwatir soal itu. Ia tahu dirinya cukup pantas untuk menjadi penyeimbang Pangeran Es satu itu.

Sebuah senyum terkembang ketika memikirkannya.


Di lain tempat…

"Halo,"

"Ah, selamat malam, Sasuke-kun," sapa sebuah suara lembut—sangat lembut—di ujung sana. Sasuke memutar kunci motor untuk mematikan mesinnya dan menyisir rambutnya ke belakang sementara angin berhembus menyegarkan kulit kepalanya yang telah tertutup helmet selama hampir setengah jam.

"Apakah kau sedang di luar?" tanya suara itu memastikan. Suara bising seperti laju kendaraan bermotor yang memberi tahunya.

"Hn, begitulah. Ada apa, Hinata?"

"Ah, begini… dango pesanan ibumu sudah jadi. Kapan mau kau ambil?"

Sasuke melirik Rolex perak di pergelangan kirinya. Jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam, namun ia tahu betul keluarga Hinata cukup kolot jika mengenai jam malam. "Apa masih sempat kalau ke rumahmu sekarang?"

"Eh? Tentu saja. Lagipula ayah sedang tidak ada di rumah," Jawab gadis itu, terdengar semangat. "Jadi… kau akan mengambilnya sekarang?" lanjutnya.

"Hn. Lima belas menit lagi aku sampai."—dan telefon dimatikan. Satu lagi kebiasaan buruk Sasuke ketika bertelefon. Ketika dirasanya tidak perlu ada lagi pembicaraan, maka ia akan langsung memutuskan panggilan secara sepihak tanpa memberikan kesempatan lawan bicaranya untuk sekadar berkata 'Oke, sampai nanti' atau semacamnya.

Ia segera memakai kembali helmetnya dan menancap gas menuju rumah gadis yang bernama Hinata tadi, melupakan pesan Sakura sebelum ia meninggalkan rumah kekasihnya itu.

"Pastikan kau langsung pulang ke rumah, ya, jangan mampir ke rumah Naruto dulu."


B E R S A M B U N G


Catatan Terakhir Penulis

Yang bagian Sasuke bawa motor aneh ya deskripnya? Ehe. Saya ga ngerti cara jalanin motor kopling, jadi itu semua ngasal. Maaf yaa :D /dor

Untuk Lady Mood, karakter Uchiha Sasuke udah mirip belum sama si Mr. O'on? Tell me, k? :)

Terakhir, review apa pun dan concrit sangat diperlukan di sini :] beritahu saya kekurangan fic ini supaya bisa lebih baik lagi ke depannya. Terimakasih sebelumnya. Sampai bertemu di bab berikutnya! /wave