Devil's Kiss
Main Cast:
Jeon Wonwoo as Choi Wonwoo
Choi Seungcheol as Choi Seungcheol
Other Cast: Lee Chan as Chan
Genre: Supernatural, Drama
Rate: T/M
-o-o-o-o-o-o-o-
Remake novel Devil's Kiss karya Sarwat Chadda.
-o-o-o-o-o-o-o-
WARNING! Fanfic ini mengandung unsur KEKERASAN dan SADISME! Bagi yang tidak nyaman dan tidak suka dengan hal tersebut, sangat disarankan untuk menekan tombol kembali.
+o+o+o+o+
PROLOG
Membunuh anak laki-laki itu mudah saja, karena dia baru berumur enam tahun.
Namun, mengapa dia merasa mual dan perutnya seperti diaduk-aduk? Mengapa punggungnya dibasahi keringat dingin?
Dia baru berumur enam tahun.
Wonwoo berjalan mengarungi rerumputan tinggi berduri, menuju ke bagian belakang taman. Angin malam musim gugur berbisik padanya, di tempat yang bernama The Pit itu.
Benar-benar nama yang aneh untuk taman bermain anak-anak.
Sudah sejak bertahun-tahun yang lalu tidak ada lagi yang bermain disini. Pagar rendah yang mengeliliginya sudah lama roboh. Yang tertinggal hanya papan-papan lapuk yang mencuat dari dalam tanah seperti gigi-gigi hitam.
Mainan berbentuk binatang yang dulu ditunggangi anak-anak menatapnya dengan mata kosong dan hampa. Pegas tua di bagian bawah mainan tersebut berderik-derik seirig dengan anggukan kepala binatang itu, seolah mengucapkan selamat datang.
Anak laki-laki itu duduk di ayunan, ditengah dari tiga yang tersedia.
Wonwoo berjalan mendekat dengan sebuah pedang Maglite di tangan, sinarnya diperkuat oleh sinar bulan purnama dan lampu-lampu merah menara radio. Antena itu menjulang tinggi bagaikan sebatang pasak raksasa yang menghujam angkasa.
Rantai berkarat mengerang-erang ketika anak itu berayun maju-mundur sambil menatapnya.
Mungkin bukan dia. Mungkin dia cuma seorang anak normal.
Mungkin aku tidak perlu membunuhnya.
Anak itu terlihat normal. Sepatu olahraga Nike butut, celana jins dengan bagian pinggang dari karet, dan baju atasan bermotif garis-garis.
Tampak normal, kecuali tanda-tanda yang ada dilehernya. Lehernya yang putih dipenuhi luka memar berwarna ungu tua.
Wonwoo menarik napas panjang dan dalam, lalu berjalan melintasi pagar tua. Jantungnya berdegup kencang memukul tulang rusuknya.
Taman bermain itu dipenuhi batu kerikil kecil dan juga sampah: kaleng-kaleng bekas, surat kabar yang sudah jamuran, dan dedaunan cokelat rapuh yang terbang dari atas bukit.
Perubahan yang terjadi ditempat ini bukan hanya disebabkan faktor usia. Semua tanda ada disini. Tanda kehancuran dan terbengkalai. Tempat yang jahat. Darang orang tak berdosa telah menodai tanah disini.
Wonwoo berpikir, seandainya dia berani menyimak, dia mungkin masih bisa mendengar jeritan menjelang ajal yang bergema dalam tiupan angin, dan hembusan napas terakhir seorang anak di antara bunyi gemerisik dedaunan.
"Halo," sapa anak laki-laki itu.
"Halo," balas Wonwoo.
Anak itu menatapnya dan tersenyum lembut memamerkan giginya.
Seperti yang tampak dalam foto. Mungkin aku keliru.
Namun, semakin ia mendekat luka-luka memar itu semakin tampak jelas. Luka itu masih saja menampilkan bekas jemari setelah sekian lamanya. Wonwoo berhenti beberapa meter di depannya.
Tatap matanya. Itulah yang dikatakan mereka padanya. Bukankah itu pelajaran pertama yang ia dapatkan dari Ordo? Mata adalah jendela hati.
Anak itu turun dari ayunan, dan Wonwoo melangkah mundur.
Anak itu menatapnya. Wajahnya yang tembam, dengan gigi yang ompong, tertimpa sinar rembulan. Matanya berkilauan. Wonwoo menatap kedalamnya. Namun, tidak ada apa-apa, hanya ada pantulan kosong.
Memang dia.
"Apa kamu datang kesini untuk bermain?"
"Maaf, Chan. Aku datang untuk menjemputmu."
"Darimana kamu tahu namaku?"
Bagaimana? Wonwoo sudah membaca surat kabar lama, mengobrak-abrik arsip perpustakaan selama seminggu, dan menontong sebuah film buram berukuran delapan milimeter yang diproyeksikan ke selembar kain putih.
Chan. Enam tahun. Bertempat tinggal disebuah rumah kelas menengah ke atas. Murid sebuah sekolah dasar tertua di kota itu. Saudara dari seorang anak perempuan bernama Byul dan putra satu-satunya dari keluarga Lee.
Terakhir terlihat pada tahun 1970.
"Tapi aku baru saja sampai. Aku ingin bertemu ibuku."
Wonwoo ingat kedua orang tuannya duduk bersama ayahnya, sambil menunjukkan album foto keluarga mereka. Meraka bilang pada ayahnya, terkadang mereka masih memimpikan Chan, bahkan sampai sekarang.
Dan terkadang mereka melihat wajah anak itu diluar jendela pada malam hari.
"Aku tahu, tapi kamu tidak bisa tinggal disini."
Wonwoo sempat berdebat bahwa dirinya masih tiga belas tahun, satu tahun dibawah syarat mengikuti ujian terakhir sebelum menjalani inisiasi Ordo.
Namun, tidak ada yang bisa berdebat dengan Choi Seungcheol.
Wonwoo kira dia akan menghadapi makhluk gila bertaring atau yang lainnya. Lalu, untuk apa dia dulu berlatih pedang hingga tungkai kakinya dipenuhi bekas memar?
Bukan yang seperti ini yang diharapkan Wonwoo. Bukannya membunuh seorang anak kecil.
"Mengapa? Ini tidak adil!"
Ayunan disisi kiri kanan anak itu berderik-derik. Bulu kuduk Wonwoo berdiri. Chan memancarkan rasa dingin.
"Aku tahu, Nak."
Wonwoo menoleh.
Ayahnya sedang melangkah melewati paga rusak dan berjalan ke arah mereka. Dia memakai setelan –satu-satunya yang ia punya– yang berwarna biru tua. Ia menggenggam sebuah pedang di tangan kanannya. Mata pedang yang lebar memantulkan kilauan perak. Benda itu dapat memancung dengan brutal.
Anak itu menatap Seungcheol.
"Apakah kamu juga datang untuk membunuhku?"
"Tidak, Nak. Kamu tahu aku tidak bisa melakukannya."
Dia melirik ke arah Wonwoo.
"Kau sudah mati."
To Be Continued...
-o-o-o-o-o-o-o-
1. Fic ini remake dari novel favoritku ^^ Oiya aku bikin remake ini untuk mengganti fic yang terbengkalai :v IYKWIM, Maafkan saya /bow
2. Seventeen comeback yay! Yampun mashua ganteng bighit *o* Selamat untuk penghargaannya World Performer ^^ bangga deh sama uri sebongies.
3. Unsur sadis dan kekerasan ada di Chapter 1, ini baru prolog hehehe xD
4. Oiya aku bimbang ini rated T ato M :3
5. Terima kasih telah membacah fic ini /bow ^^ Review juseyoo. Jangan lupa klik Follow Favorite ya? ^^
-Wonu-
