Warning : Yaoi or boyxboy, OOC, typo, AU, ending ngegantung, non EYD, alur kilat, Oneshoot, Anggap saja, semua GOM satu SMA –oke?
Untuk merayakan AoKagaDays/10-05
Disclamer : Tadatoshi Fujimaki ; Kurobas
Cerita : Kuro
Rated : T
Mempersembahkan
"Foremost"
Batangan besi yang sudah terkelupas, menyisakan karat kecoklatan, berdiri kokoh pada atap bangunan berlantai empat. Sebuah spot favorit untuk para siswa yang masih terjebak dalam masa muda pembelajaran.
Hari itu langit menghitam bercampur cahaya keemasan dari sang surya yang mulai beranjak. Mata crimson menatap sedu, menatap gumpalan-gumpalan kecil yang mulai menguasai langit. Ia bertumpu pada lengan yang tersampir satu sama lain diatas pagar. Sesekali mata itu tertutup ketika angin menari-nari menerbangkan debu.
Ia mendengus, mengeluarkan desahan keras. Energinya terkuras habis, memikirkan sesuatu yang berada diluar kapasitas otaknya. Akhir-akhir ini masalah itu menyeruak mengganjal pikiran, walaupun ia tahu itu bukanlah masalah. Namun, lebih kepada prasangka buruk yang ia rangkai sendiri.
Semua bermula pada seseorang berambut navy yang selalu bermain-main didalam otaknya, bermain dan tidak mau pulang. Ia menggeram, menarik sweaternya agar lapang. Aomine laki-laki bergender sama dengan dirinya, sesuatu yang membuat pikirannya pening tak terkendali.
Kemarin ada pembicaran penting, sesuatu yang berbau masalalu. Malam itu tidak seperti biasanya, ia bisa pulang dari gym bersama dengan anggota Kiseki no Sedai. Lengkap tanpa terkecuali, terimakasihlah kepada Akashi yang mentlaktir mereka makanan kelas atas.
Jalanan sudah gelap, hanya temarang lampu jalan sebagai pencahayaan, namun itu tak menutup canda tawa yang memenuhi rombongan itu. Jujur saat itu ia tertawa, ia melihat sisi lain dari teman-temannya, terlebih orang itu, Aomine. Seseorang yang sedari tadi menjadi pusat gravitasi miliknya.
Ia tersenyum dengan otomatis, gigi putihnya menyembul. Begitu ia teringat malam itu, Aomine tersenyum dengan lebar. Tetapi jauh disana ada yang sakit, didalam sweter biru yang ia kenakan. Lagi-lagi sesak, otaknya ingin mereset semua, walaupun ia akui kemarin termasuk moment yang tak terlupakan.
Malam itu, Aomine dan Momoi berjalan beberapa langkah didepannya bersama Kuroko dan Kise yang sibuk berceloteh. Sedangkan di belakang dirinya Akashi sedang mengobrol dengan Midorima dan Murasakibara, ia sendiri hanya diam dan mendengarkan diantara mereka.
Entah dari mana pembicaraan itu muncul, pembicaraan mengenai sekolah mereka dulu, saat mereka semua masih di Teiko. Ia beberapa kali larut tertawa, saat itu pembicaraan mengenai Aomine menguak. Ia tak menyadari seseorang yang sangat menyebalkan seperti Aomine, ternyata pernah menjadi anak manis yang baik hati. Aomine menggeram tak terima masa lalunya diungkit, ia memukul Kise didepannya.
Tetapi ada satu pembicaraan yang ia baru tahu, yaitu mengenai betapa berharganya Aomine untuk seorang Kise.
"Mungkin jika aku tidak melihat Aomine-cchi bermain basket, aku tidak akan disini bersama kalian –ssu." Itulah apa kata Kise yang ia ingat.
Tetapi kata setelahnya lebih membuat hatinya mencelos, "Aku selalu mengagumi Aomine-cchi, bahkan sampai sekarang ketika aku bertanding dengannya. Aku selalu berharap bisa menang," ia tersenyum, sambil merangkul pundak Aomine, "Tetapi jauh didalam hatiku, aku berharap ia juga tak pernah kalah –ssu."
Suara petir menyadarkan lamunannya, lagi-lagi kata itu terulang. Memang tidak ada yang salah dari kata itu, tetapi kejadian setelahnya, yaitu senyuman Aomine yang lebar sambil diikuti elusan lembut kepada surai kuning milik Kise lah yang membuat dadanya berdesir berkali-kali lipat.
Ia memang tak pernah tahu apa yang terjadi, sebelum ia mengenal Aomine. Dan ia juga yakin, ia tidak akan pernah tahu hal itu.
'Brak!'
Suara pintu menjeblak, membuat ia sedikit berjingkat. Ia tidak repot menengok, karena sudah sangat hapal siapa gerangan sosok itu.
"Belum pulang?" suara khas khuskynya mengalun rendah.
"Lagi males."
"Oh," jawabnya singkat, ikut bertumpu pada pagar. Matanya menjelajah angkasa.
Ia terhipnotis. Mata biru itu indah, sesuatu didalam hatinya ingin batu saphir itu hanya menatapnya. Ingin hanya untuknya, mengunci makhluk itu selamanya.
Egosi. Dia sudah tau itu.
"Puas liatin guenya?" ia tertawa renyah, tetapi tidak cukup lebar untuk mengganti ingatan indahnya kemarin.
"Pede lo!"
Setelah itu hening, diam yang cukup menyiksa, ingin berucap tetapi sang empunya belum membalas sepatah katapun. Ia merasa gengsi, bahkan untuk mananyakan kabar atau sekedar basa-basi.
Hingga lelaki disampingnya. Makhluk yang ia kagumi, mulai menatapnya dalam. Ia tahu itu, tapi tak cukup kuat untuk menatap balik, ia lengoskan arah pandangnya.
"Kagami, lu kenapa?" tanyanya, "Gak biasanya lu bolos latihan."
Ketika sebuah pertanyaan dimana seharusnya ada jawaban, itulah sebuah percakapan. Tetapi saat ini Kagami, seseorang yang terkikis pikirannya sendiri, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu bukan jawabanlah yang ingin ia utarakan, tetapi sebuah pernyataan. Pernyataan yang selalu ia pendam, sedari ia mengenal Aomine.
"Lo sendiri?"
Dan penyataan itu, tidak pernah berani terangkat dari bibirnya.
Aomine terkekeh, "Gak ada lu, gak asik."
"Kise ada. Biasanya juga one-on-one sama dia."
"Gak se-asik lo lah." Tangan dim itu, meraih pundaknya.
Kagami sudah biasa diperlakukan seperti ini, tetapi bayangan-bayangan kemarin, terus saja menghantuinya. Bayangan selain pundaknya yang sedang dirangkul dekat.
"Kagami..." panggilnya, ada suara yang berbeda disana, "Lo kenapa?"
"Apanya?"
Ia pandang, berharap didalam hati, Aomine tidak menatapnya balik. Setidaknya ia diberikan jeda agak lama, untuk kembali mengagumi makhluk indah itu.
"Dari semalem diem mulu,"
"Perasaan lu aja."
"Gue seriusan, kalo lo ada masalah cerita sama gue," Ucapnya mulai menatap balik, setidaknya Kagami sudah teragak puas menatap Aomine.
"Biasa aja," toyolnya pada pipi Aomine, agar menjauh dari hadadapan wajahnya.
Aomine menghela nafas, ia juga sudah menarik tangannya, "Gue kenal lo, ada apa sih!?"
Tetapi kali ini perasaannya menang, ia tidak mau berucap. Biarlah semua orang mengatai dirinya terlalu berlebihan atau pengecut sekalipun. Karena memang tak ada yang pernah tau perasaannya saat ini.
|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|
"Dai-chan sama Ki-chan selalu saja berantem, sampai buat Akashi-kun marah," tawa Momoi mengalun kencang.
"Semua salah Aomine-cchi, dia sering sengaja memukulku dengan bola –ssu," Kise berontak, mengadu pada Kuroko, "Bahkan kepalaku sampai kena tendang, hidoi..."
"Enak aja, kau yang selalu merepotkanku, itu hukumanmu!" Aomine membalas, menjitak puncuk kepala Kise.
Kuroko yang mendengar percakapan itu diam-diam tersenyum kecil, ia berniat ikut menjahili, "Tetapi Aomine-kun memang dari dulu selalu berkelahi dengan Kise-kun. Padahal selalu one-on-one tak kenal waktu."
Momoi mengangguk setuju, "Betul, bahkan mereka pernah terkurung digym semalaman, sangking lupanya waktu," ia tertawa semakin keras.
"Ah, aku ingat wajah mereka dipagi hari," Midorima akhirnya menyahut dari arah belakang, beberapa kali ia membetulkan letak kacamatanya.
Dengan itu, semua tertawa kencang. Bercerita bagaimana mereka melakukan hal-hal konyol, tentang Teiko, tentang ini itu, hingga waktu terus berdentang mengisi perjalanan.
.
.
.
–Dan Kagami disana baru menyadari, dimana ia disaat itu?
.
.
.
"–hoi Kagami!" bentak Aomine memukul pundaknya, "Ngelamunin apa sih!"
Matanya mengerjab-ngerjab, baru tersadar. Pikiran Kagami melayang, sadar bahwa ia hanya orang asing, yang baru mengenali Aomine.
"God! Lu ngapa sih?" Aomine kesal, ia tarik dagu pemuda disampingnya agar mendekat berpapasan langsung dengan mata birunya.
"A-Aomine.."
"Iya, dari tadi gue disini. Lu ada masalah apa?"
Kagami sadar dirinya tak ada masalah, hanya saja saat ini pikirannya sedang melayang-layang tepat dihari kemarin. Kejadian itu terus terulang diotaknya, tetapi ia kenal Aomine, orang yang keras kepala sama seperti dirinya. Ia tahu, dirinya tidak akan dilepaskan sebelum apa yang diinginkan Aomine benar-benar diberikan olehnya.
"Kalau gue ketemu lu dari dulu, kayaknya asik ya?"
"HAH?" Aomine menaikkan tensi suaranya, tidak mengerti topik dari mana yang Kagami angkat, "Maksudnya?"
"Maksud gue," Kagami menimbang-nimbang kata yang tepat, "Kayak waktu lu main one-on-one sama Kise, coba gue ikutan."
"One-on-one sama Kise?" tanya Aomine menaikkan alis.
"Iya, atau waktu lo masih semangat maen basketnya." Kagami buru-buru menjawab, takut Aomine salah sangka.
Aomine tertawa keras, ia tepuk jidatnya, "Demi apa Kagami, gue kira lu kenapa. Ternyata gara-gara basket," Aomine kembali merangkul Kagami, "Bukannya sekarang gue udah semangat lagi?"
"Gue tau, tapi..." Kagami melepas rangkulan Aomine, suaranya menggantung, "Gue mau tau lu dulu kayak gimana."
Aomine bingung maksud Kagami, ia arahkan pandangannya untuk berfikir. Kebetulan ia melihat langit dan warnanya sudah benar-benar gelap, hitungan menit dia rasa akan turun hujan.
"Lu mau tau, gua gimana apanya?"
Kagami diam, pertanyaan Aomine benar-benar ia tak tau harus menjawab apa.
"Gue kan disamping lu, bego!" lanjut Aomine, ia menumpukkan kedua tangannya pada pagar, rambut biru cepaknya sedikit berkibar terkena angin, dan lagi-lagi Kagami mengagumi sosok disampingnya itu.
"Gue dulu gak penting, yang penting itu sekarang,"
Kagami kembali memilih diam, menunggu lanjutan maksud Aomine.
"Lagi pula, gue bersyukur ketemu lu baru-baru ini," Aomine tersenyum, tulus sekali.
"Kenapa?" entah mengapa mulutnya berucap cepat, spontan tanpa kesadaran.
"Setidaknya kalau lu ketemu gue dari dulu, gue gak jamin satu hal,"
"Jamin apa?"
"Jamin lu ada disana," Aomine menghirup udara bercampur tanah sebanyak-banyaknya. Ia genggam erat pagar berkarat itu, "Berdiri disana, dengan tatapan sangar nantang gue."
Kagami menahan napas, entah mengapa Aomine tidak seperti biasanya, ia lebih serius berkali-kali lipat.
"Terus, ngalahin gue..." Aomine terkekeh pelan, "Gue bahagia."
"Lu bahagia karena kalah dari gue?"
Aomine tertawa makin kencang.
"Karena lu ada disana Kagami," Aomine melepas pagar, memilih meremas kesepuluh jarinya keras-keras. Dengan berakhirnya pembicaraan itu, Aomine arahkan wajahnya tepat menatap Kagami. Senyum lebih lebar dari apapun yang pernah Kagami lihat, yaitu senyum dengan bibir tertarik keujung pipi menampakan gigi, sampai mata sipitnya tertutup sempurna.
"Disana... Hadir sebagai penyelamat gue."
–Dan Kagami bersumpah, ia bersyukur sekarang ia telah berada dimana.
.
.
.
"Aomine, gue suka lo!" Akhirnya pernyataan itupun, ia berani ucapkan.
.
.
.
FIN *dengan fluffynya*
Quots : Sumpah cerita macam apa ini, maaf kalau jelek banget! maaf kalau susah dimengerti. Saya memang orang tidak berguna dan tak bertalenta #maso. Ya pokoknya, yasudahlah ya~ :'3
Next : Sequel 'Savior'
Review : Jawaban Aomine atas pernyataan Kagami.
