Hallo, ZOKA bawa fic baru OKAGA, ini karya yang ketiga. Yang pertama Sungguh Hanya Hiburan; itu kalau dibaca lagi ternyata tatanan bahasanya amburadul #malu wkwkwk. Tapi nggak apa-apalah buat pelajaran. Yang kedua, sebenarnya Tomodacchi tapi GAGAL! Gantinya Malam Minggu AoKagazone hihi. Nah, yang ketiga this, Without You I'm Incomplete.
Selebihnya fanfic AoKaga di akun ini karya KURO, apalagi yang berbau rate M-nya. Wew dia itu rajanya rate M. Zoka masih polos mamah, jadi belom berani nulis lebih dari T, kalau ada waktu sih mau jajal/dislepet.
Fanfiction ini dipersembahkan untuk OTP tercinta-tercinta-tercinta sepanjang masa. HAPPY AOKAGA DAY 2016, GUYS!
.
Yosaaaaa …. ENJOY!
.
.
Desclaimer : Kurobas belongs to Tadatoshi Fujimaki-sensei.
WARNING: BAHASA KASAR (yeah, sepertinya fic saya bahasanya memang kasar-kasar), YAOI, typo(s), non EYD, DON'T LIKE DON'T READ!
AOKAGA
Without You I'm Incomplete
By: Zokashime
…
O
o
O
o
O
…
Lembayung terlukis indah di atas sana, hanya bisa dipandang tanpa bisa diraba. Berwarna orange seperti benda yang diboyong di tangan kirinya. Kaos singlet berwarna putih membalut tubuh yang sekal, dilengkapi dengan kolor berwarna gelap. Sepatu sports kesayangan membungkus kaki besarnya dengan apik.
Dia menelusuri jalanan seorang diri. Mulutnya dibuat bekerja untuk mengumpat dan berdecak. Kesal, emosi, mungkin itu yang sedang ia rasakan.
Galau. Bukan karena tidak bisa meraba lembayung yang cantik itu, tapi karena dia tidak menemukan lapangan basket yang kosong. Semua lapangan yang ada sudah dikuasai oleh pemain streetball, yang entah dari mana datangnya, dan tolong ia tidak sudi untuk memikirkan akan hal itu.
Menjadi satu-satunya orang yang tidak beruntung, sangat menyebalkan.
Angin sore bersemilir dengan riang, membelai kulitnya tanpa permisi. Ah, sungguh ia tak suka itu, karena ia suka membelai bukan dibelai(?). "Nggak usah lo nyentuh-nyentuh gue! Pergi sana!" teriaknya songong kepada udara yang gaib, membuat pejalan kaki lainnya menengok.
Dengan kemauan dan niat yang sudah berakar di dalam jiwa, Aomine Daiki melanjutkan perjalanannya dalam pencarian lapangan kosong. Sebenarnya, jika mau bergabung, tinggal bergabung saja dengan orang-orang tadi, tapi sayangnya Aomine ingin menikmati basket seorang diri. Tidak masalah seberapa jauh jarak yang ditempuh, asalkan nalurinya terpenuhi.
Wajah khasnya yang cemberut hingga menampilkan banyak kerutan. Aomine Daiki sudah seperti bapak-bapak yang sedang memikul tanggungan berat anak-anak dan istrinya. Padahal, yang ada dipikirannya hanya basket, basket, dan basket.
Tapi hell, ya, dia tidak akan memusingkan itu semua, karena dengan begitu saja dia sudah terlihat sangat sexi. Iya, kan? jujur saja.
Entah sudah berapa puluh atau ratus mungkin juga ribu jejak kaki yang terlukis semu di sepanjang jalan. Tidak ada waktu bagi seorang Aomine untuk menghitungnya, dia bukanlah orang yang perfect dalam hal tidak berguna.
Seperti para ilmuan-ilmuan yang menciptakan teori semu hingga berdampak ke dalam pelajaran di sekolah. Hukum fisika, hukum kimia, hukum biologi, dan semacamnya. Andaikata dia mengenal para ilmuan itu, akan ia ajak berkenalan lalu bermain basket bersama, bukannnya lebih menyenangkan.
Tiba-tiba Aomine menghentikan langkahnya, lalu geleng-geleng kepala. Kalau para ilmuan itu ia ajak bermain basket, bukannya bersenang-senang yang ada mereka menghitung berapa kecepatan dorongan bola sehingga bisa masuk ke dalam ring.
"HUSS … PERGI!" teriak seseorang dengan suara yang gemetar.
Telinga Aomine tercemar seketika. Dia mengoreknya sebentar, lalu menengok kearah datangnya suara. Dan shit! Akhirnya perjalanan panjang itu membuahkan hasil, sebuah lapangan basket yang lumayan bagus dengan ring yang masih baru.
Oke, walau senang dia tidak akan berjingkrak ala anak gadis. Yang dilakukan hanya melangkah dengan cool penuh kewibawaan sembari memantul-mantulkan bola basket, dan SSSSTTTTT….. mengshoot penuh kesempurnaan dan masuk dengan sexi. Silahkan bertepuk tangan untuknya.
"WOOF~~"
"PERGI BANGSAT!"
Tanpa mempedulikan seseorang yang sedang ketakutan dengan anak anjing yang mendekatinya. Memang dia siapa, temannya? Kenalannya? Hahahaha …. Jangankan dengan orang yang tak kenal, keluarganya sendiri pun kalau ada diposisi itu, dia tidak akan peduli.
Salahkan diri sendiri, kenapa harus takut dengan anjing. Dia benar? Pastilah.
"OI, SIAPA PUN ELO TOLONG USIRIN ANJING ITU!" teriak Kagami Taiga, manusia paling terlihat nista hanya karena didekati anak anjing manis yang meminta makanan ditangannya. Sayang, Kagami tidak kepikiran untuk melempar makanan itu saking takutnya.
"WOOF~~"
Tubuhnya sudah mentok dipagar besi lapangan basket. Kagami tidak bisa mundur lagi menghindari gaungan sang anjing. Semakin dia ketakutan, entah kenapa anjing itu semakin senang. Err … rasanya Kagami ingin sate hewan itu.
Dan Kagami tidak mengerti dengan pola pikir orang yang sedang asyik medrabel bola, mengshoot dengan lihai, kecepatan yang lebih baik darinya. Tapi tolonglah, ada seseorang yang sama dengannya, bernyawa, bernapas, makan, bisa berjalan, sedang tersiksa di sini.
Dia sudah berteriak meminta pertolongan beberapa kali, tapi orang songong itu sama sekali tidak menggubrisnya, jangankan untuk mengusir anjing ini menengok saja tidak. Oh, manusia itu tercipta dari bahan apa, ia ingin tahu.
Kagami sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya mengatur napas. Keringat panas sudah berjatuhan dan hilang meresap ke dalam tanah yang tidak terlapisi lantai beton. Anjing itu semakin mendekat, dengan telinga yang berdiri dan lidah keluar. Ia ingin menendang mahluk itu, tapi kakinya lemas seperti tak bertulang. Apa yang harus dia lakukan, tolonglah kali ini saja.
Kagami melihat tangannya yang sedang menggenggam burger, kemudian melihat pemuda yang seumuran dengannya di tengah lapangan. Dia melakukan itu berulang-ulang sampai lima kali.
Setelahnya dia mendapat pencerahan, dengan durasi yang tepat dan kekuatan tangan yang tersisa, Kagami melempar burgernya. "WOY, TOLONGIN GUE!"
.
.
Dan pluk! Tepat sasaran. Tepat mengenai kepala biru yang membuatnya sebal, dia berharap orang itu mau menoleh. "EH …!" pekiknya. Dia memandangi tubuh anjing yang menjauh dan mendekati pemuda lain yang baru saja ia lempar burger.
.
Aomine menghentikan drabelannya dengan wajah yang tak sedap. Dia merasakan kepalanya yang basah akan saus dan keju. Netra sapphire memandang burger yang tergeletak di lantai membelah menjadi dua bagian.
Dia tidak sudi memegang kepalanya sendiri yang penuh dengan saus. Merendahkan diri dan mengambil potongan burger itu. Aomine menciptakan satu seringaian yang membuat Kagami menelan ludah.
"WOOF~~" sang anjing menggonggong girang.
Aomine memandang anjing itu kemudian Kagami. Anjing itu kemudian Kagami. Anjing itu kemudian Kagami. Ting … lampu imajiner tumbuh di atas kepala. Anjing dan manusia tidak diuntung itu sudah mengacaukan permainan basketnya yang menyenangkan.
Mereka tidak tahu, kalau Aomine berjuang keras mencari lapangan hanya untuk mengeluarkan segala potensinya dalam basket. Sungguh tidak terima, siapa pun yang mengganggunya akan mendapat balasan. Lihat saja, Aomine akan membalas langsung sekaligus. "Baka!" gumamnya.
Dia berjongkok, memanggil anak anjing itu dengan lembut supaya mau mendekat dengan iming-iming burger hancur yang ada ditangannya. Dan dia tidak mengira, jika anak anjing manis itu cepat sekali terpancing.
Senyuman tumbuh begitu saja. Kagami yang masih berdiri dipagar takjub melihat orang itu bisa berdekatan dengan anjing.
Aomine mengelus-elus kepala anak anjing itu, ternyata dia sangat senang. Aomine pastikan satu hal, anak anjing ini tidak berbahaya, dia malah terlihat minta diajak bermain. Sayangnya, Aomine bukan orang yang berhati baik.
Karena anak anjing itu sudah takluk tanpa diberi burger, Aomine membopongnya dengan kedua tangan dan berdiri. Melangkah dan mendekati Kagami yang masih bersandar dipagar.
"Oi, apa yang mau lo lakuin!?" kata Kagami tidak mengerti. Dia sudah mengambil ancang-ancang kalau saja Aomine akan melakukan sesuatu padanya.
"Hukuman buat lo yang udah mengganggu basket gue!" katanya tegas. Mendekati Kagami yang sudah mau berlari dengan anjing ditangannya.
"WOOF~~"
"JAUHIN ANJING ITU DARI GUE, SIALAN!" teriak Kagami penuh dengan emosi. Eh, hari ini memang benar-benar menguras tenaga.
"Coba aja kalau bisa lari dari gue!" seringaian Aomine dengan percaya diri.
Dan pada akhirnya yang terjadi adalah kejar-kejaran dua pemuda di tengah lapangan basket.
Kagami yang tidak menyerah untuk berlari menghindari Aomine yang menakut-nakutinya dengan anjing. Dan Aomine yang sangat senang melihat mangsanya menderita. Tidak tahu sudah berapa putaran mereka mengililingi lapangan itu.
"AHO! BERHENTI NGGAK LO!" kata Kagami dengan suara yang tersengal karena kekurangan pasokan oksigen.
Dia tidak tahu siapa nama orang menyebalkan itu, dan tidak salah kan jika dia memanggilnya dengan sebutan aho, karena pada kenyataannya orang itu benar-benar aho. Apa maksudnya kejaran-kejaran seperti ini?
"HAH! DASAR BAAAAAAAKA!" balasnya.
.
.
Ssssssssstttttttt ….. Brukkkk!
"SETAN!" umpatnya. Aomine jatuh tertelungkup karena menginjak bola basketnya sendiri, anak anjing terpelanting kepojokan pagar dengan suara lemah kesakitan. Kagami hanya shock menyaksikan itu semua. Tapi karena dia tak tahan menahan geli diperut, tanpa aba-aba Kagami terbahak sekeras-kerasnya, membuat Aomine berdecak sebal.
"Mampus lo, rasain! Makan tuh anak anjing!" katanya gembira.
Aomine hanya terbaring lesu di lantai lapangan, mulutnya tak henti-henti mengumpat dan memaki bola yang sama sekali tak bersalah.
Kagami menghentikan tawanya, seduktif mengelus kepalanya yang merah, lama-lama dia merasa kasihan dengan orang yang telah menjahilinya. Mendekat dan mengulurkan tangan untuk membantu. "Bangun," katanya.
Dia harus membelalakan mata, ketika pertolongan tulusnya di tolak. Aomine menepis tangannya. "Gue bisa bangun sendiri!" ucapnya. Kagami hanya bisa mundur dan menjauh.
Aomine bangun dengan santai, tidak memperlihatkan kelemahannya apalagi di depan orang asing. Dia kembali kebentuk wajah semula, jutek, dan berwibawa. Kagami yang melihat bukan malah takut tapi sangat emosi, ingin rasanya dia cakar wajah songong itu.
"Pergi sana lo!" perintah Aomine dengan garang.
Kagami mengernyit, alis cabangnya menyatu. "Siapa elo, nyuruh-nyuruh gue pergi."
"Mana gue tahu, gue siapa. Yang penting lo angkat kaki dari lapangan ini."
"Maleslah, gue mau main basket," tutur Kagami santai, dan mengambil bola basketnya di pinggir lapangan yang sudah tercueki sedaritadi.
Aomine geram, belum ada orang yang melawannya seperti ini. Dia mengambil bolanya dan di luncurkan ke kepala Kagami. "Oi, gara-gara lo rambut gue bau saus!"
Kagami hanya mengelus kepalanya sayang. Berbalik dan mendekati Aomine di tengah lapangan. "Salah siapa, lo nggak nolongin gue."
"Hah!? Salah gue gitu, lo takut sama anjing. Terus gue harus berbaik hati sama lo! ENGGAK!"
"Yaudah, saus yang ada di kepala lo juga berarti bukan salah gue!"
"Tsk!" Aomine makin sebal. "Pergilah sana, Baka!"
"Lo yang pergi, Aho!"
Mereka berebut omong sampai menghabiskan waktu yang ada. Hari mulai gelap, angin malam mulai terasa. Aomine mengambil tas dan bola basket Kagami yang menjadi korban. "Sana pulanglah!" kata Aomine sembari menyerahkan tas dan bolanya. "Dan jangan ke lapangan ini lagi!"
Kagami makin heran, dia rasa otak orang ini sudah terbentur saat terjatuh tadi. "Perasaan gue yang punya lapangan ini, kenapa lo yang ngusir-ngusir gue terus!"
"WHAT!?" Aomine memandang Kagami tak suka. "Ngomong apa lo barusan?"
"Lapangan ini punya gue, ayah gue yang buatin!"
Aomine terbahak keras. Manusia berkepala merah gradasi hitam ini sangat lucu ternyata. "Nggak usah ngaku-ngaku, Baka," serunya. "Lo lucu juga orangnya."
Kagami sangat tak suka diledek. "Gue seriu-"
"Oi, Taiga! Ternyata kau di sini. Pulanglah, dicari Ayah, dia sudah mau berangkat ke Amerika," tutur lelaki bermata satu, karena mata satunya tertutupi oleh poni yang aduhai. Dan Kagami menganggap dia kakak. "Kenapa ada orang lain di lapangan basket kita?" tanyanya setelah menyeleksi Aomine dari atas sampai bawah.
Kagami hanya menggaruk tengkuknya bingung. "Itu, sepertinya pagar di sana rusak, jadi orang-orang bisa masuk," jelas Kagami, menunjuk lokasi yang dimaksud. Kakanya, yang punya nama Himuro Tatsuya hanya mengangguk paham.
Setelah itu Himuro mengajak Kagami pulang, yang ternyata rumahnya tak jauh dari lapangan ini. Aomine hanya memandangi punggung Kagami yang menjauh dengan malu. Mengambil tas dan bolanya lalu menghilang dari lapangan.
.
.
.
Esok sore.
Aomine datang kembali ke lapangan di mana yang memilikinya adalah orang bermata merah tua dengan alisnya yang bercabang. Sebenarnya, kemarin ingin rasanya ia tertawa gegulingan melihat alis cabang itu, tapi urung karena manusia merah itu membuatnya emosi.
Dia melangkah besar-besar supaya cepat sampai. Senyum mengembang indah di wajah tannya. Bola basket di tangan kiri dan bungkusan besar di tangan kanan, dia datang untuk mengajak ber-konferensi dengan mahluk yang Aomine tidak tahu namanya siapa, intinya ia sudah punya nama panggilan.
"Oi, Baka!" katanya dari luar pagar. Menengok kanan kiri, tapi tidak menemukan pintu untuk masuk. Pagar yang dibobol kemarin ternyata sudah diperbaiki.
Kagami menahan diri untuk mengshoot bola, saat ada suara berat nan dalam yang memanggil. Ah, padahal bukan baka namanya, tetapi tetap saja naluri alami membuat ia menoleh. "A-Aho!" decaknya kaget, tidak menyangka manusia songong itu kembali lagi. Kagami berjalan dengan membawa bola kesayangan. "Apa? lo mau ngusir gue lagi!" katanya.
Aomine memasang wajah masam. Belum apa-apa si Baka itu sudah membuatnya ngajak bertengkar, dengan kedinginan hati yang telah diatur sedemikian rupa, Aomine menjawab, "Biarin gue masuk, gue mau musyawarah sama elo."
"Hah!? Gimana caranya?" Kagami celingukan melihat keseluruh lapangan, dan tidak ada pintu untuk masuk bagi Aomine. Mereka saling berdiri di depan pagar, menatap mata masing-masing. "Lo harus masuk lewat rumah gue," Kagami membuka mulut.
"Maleslah, masa gue harus muter lagi, emang lo kira jalan itu nggak capek, huh?"
"Ya terus? Yaudahlah, lo mau ngomong apa?"
"Nggak maulah, gue harus masuk dulu," Kata Aomine kekeh. Dia melihat ke atas pagar yang menghalangi mereka beriteraksi. "Boleh gue panjat aja?" tanyanya.
Tanpa pertimbangan, Kagami langsung menganggukan kepala. Ia juga tidak mengerti padahal orang itu sangat merepotkan. "Hati-hati," katanya.
Aomine mengangguk. Setelahnya dia melemparkan bola ke dalam pagar, karena jika tidak, akan menghambat proses pemanjatan, tapi lain halnya dengan bungkusan.
Hati-hati, dia mulai memijakkan kaki yang terbalut sepatu kepagar. Kagami hanya memperhatikan dari dalam dengan intens, takut-takut Aomine jatuh dan patah tulang, siapa yang akan disalahkan?
Aomine sudah berada di puncak. "Baka, tangkep bungkusan ini," katanya. Kagami dengan segera merespon apa yang diperintahkan Aomine. "HIAP!" teriak Aomine sembari loncat dari pucuk pagar. Dan akhirnya sekarang, mereka bisa saling tatap dengan damai tanpa penghalang. "Sini bungkusannya!" sentak Aomine dengan kasar, Kagami hanya speechless menyaksikan itu.
"Mau ngapain? Lo ada perlu apa sama gue?" tanya Kagami, berdiri di depan Aomine yang sudah terduduk di lantai lapangan.
Grep! Tanpa aba-aba Aomine menarik pergelangan tangan Kagami dan dipaksa duduk di sampingnya. "Sini duduk, gue mau ngomong sama lo."
Kagami seduktif memegang bokongnya yang terasa sakit. "Apaan!" bentaknya. Tolong Kagami yang sudah gila meladeni orang asing ini.
"Gini ya, Baka," Aomine mulai berseru sok serius. "Ini lapangan punya lo, kan?"
"Terus?"
"Gue mau ajak lo berunding," katanya tegas. "Gue mau main basket setiap sore, tapi masalahnya lapangan umum selalu penuh sama orang-orang. Nah, gue mau, lo izinin gue main basket di sini,"
"Ta-"
"Ini gue bawain burger yang banyak buat lo," potongnya, tanpa memberi waktu untuk Kagami berbicara. "Itu gue beli di Majiba, sama kayak burger yang kemarin lo mau makan tapi nggak jadi, gue lihat bungkusnya logo Majiba jadi gue simpulin lo suka burger di sana," jelasnya dengan panjang lebar.
Dan Aomine harus berekspresi seperti apa ketika lawan bicaranya menguarkan mata yang berbinar-binar.
"Oke, gue setuju," sahut Kagami senang. "Tapi janji ya, bawain burger setiap lo main di sini."
Mereka bersalaman dan mengucapkan 'DEAL'. Aomine goyang dumang dalam hati, seraya rencananya telah berhasil hanya karena dipancing dengan burger. Manusia yang sedang melahap makanan itu memang benar-benar baka.
Ah, Aomine berterima kasih pada siapa pun, akhirnya jika ingin bermain basket dia tidak perlu lagi mencari lapangan susah-susah, tinggal datang dan membawa burger, masalah selesai. Ugh, rasanya gemas dan ingin mengacak-ngacak surai merah itu.
.
.
Dengan rencana yang telah disetujui kedua belah pihak. Besoknya, besoknya, dan besoknya, Aomine tak pernah telat datang untuk latihan basket. Bahkan, dia tak perlu naik-naik pagar lagi untuk masuk. Kagami telah membuatkannya pintu, dan Aomine menguasai satu kunci.
Hidup memang indah, jika bisa memanfaatkan seseorang. Dan dia harus memuji kecerdasan tiada tara ini.
Pada suatu hari, Aomine menantang Kagami one-on-one. Dia ingin menguji seberapa bagusnya permainan basket si Baka.
Jika dilihat dari raut wajah, manusia berambut merah itu sangat mencintai basket seperti dirinya. Dan dilihat dari segi permainan, entah mengapa dia mirip sekali dengan dirinya sendiri, apalagi semangatnya yang membara.
Aomine tersenyum penuh tanpa beban, orang yang ia tantang benar-benar hebat, dia mengakui itu dari dalam hati. Buktinya nilai one-on-one mereka seri.
Aomine jatuh cinta dengan lompatannya yang tinggi. Aomine jatuh cinta dengan semua gaya permainannya. Aomine jatuh cinta dengan watak pantang menyerahnya. Dia, dia terlihat sexi.
.
Duapuluh satu hari berlalu, Aomine datang dengan burger dan Kagami menerimanya, selalu begitu, tanpa henti.
Aomine tak menganggap Kagami teman, begitupun sebaliknya. Mereka hanya bertemu di lapangan basket, bermain dengan senang-senang, setelah merasa puas mereka pergi masing-masing.
Dia tidak mempunyai nomor ponsel Kagami, atau sesuatu yang berhubungan dengannya, begitupun dengan Kagami kepada dirinya.
Dia tak tahu Kagami sekolah di mana. Dia juga belum pernah sama sekali berkunjung ke rumah yang selalu telihat jika sedang bermain basket.
.
.
Satu minggu kemudian, Aomine tak pernah datang lagi untuk bermain basket. Kagami bingung sendiri, apa salahnya sampai orang itu tak mau datang lagi.
Dia berpikir, apa dirinya tidak seru jika diajak bermain basket, padahal waktu itu dia tahu si Aho tersenyum kepadanya.
Kagami selalu menunggu jika waktu sore sudah tiba. Tapi mata biru itu tak kunjung datang. Ingin menghubunginya, tapi sayang ia tak tahu bagaimana caranya. Dia tidak mengetahui sedikit pun informasi tentang Aomine.
Err .. entah ini hanya pemikiran Kagami saja atau bagaimana. Entah dia terlalu berlebihan atau bagaimana, intinya ada yang hilang saat si rambut biru gelap itu tidak datang untuk bermain basket bersama.
.
.
Kagami menendang kaleng minuman yang baru saja ia tegak habis isinya dengan brutal. Menuju lapangan kesayangan dengan bola basket di tangan.
Wajahnya ditekuk sudah seperti emak-emak kehabisan uang belanjaan. Ayahnya yang baru pulang tiba-tiba harus ke Amerika lagi karena pekerjaan, begitupun dengan kakak angkatnya.
"Yo. Lama banget datangnya," kata suara dalam dengan tenang.
Kagami mengerjap, menatap siapa gerangan yang berbicara, ternyata si mata biru itu. "Kirain nggak bakal dateng lagi," katanya, melempar bola dan ditangkap sempurna oleh Aomine.
"Baru juga dua minggu gue nggak dateng, kangen, ya?" goda Aomine dengan cengkiran khasnya.
"ENGGAK!" bentak Kagami tiba-tiba.
"Nggak usah malu-malu, gue aja kangen sama lo, masa lo nggak kangen gue."
"Najis! Mana burger buat gue," tanyanya. Karena mata Kagami sedari tadi sudah berkeliling lapangan untuk mencari bungkusan yang biasa Aomine bawa.
"Nggak ada burger untuk hari ini dan seterusnya," tutur Aomine sembari memasukan bola yang sudah ia drabel.
"Kok? Lo nggak mau main basket lagi di sini?" tanyanya khawatir.
"Kalau iya, kenapa?"
Kagami tak menjawab, hanya memandang tubuh yang sedang meliuk-liuk diudara bebas.
"Baka, temenan, yok?" ucap Aomine pada akhirnya setelah hening selama sepuluh menit, dia membuang bola dan mendekati Kagami dengan mengulurkan tangan.
Kagami tak paham dengan ucapan yang baru saja Aomine ajukan. Seingatnya mereka sudah berteman sejak bertemu. "Maksud lo?"
"Kita temenan, bukan hanya dalam basket, tapi dalam segala hal. Kita punya hobi yang sama. Dalam perteman itu nggak ada itung-itungan, kayak gue harus bawain lo burger kalau mau main basket," jelasnya.
Tujuannya selain ingin mengetahui lebih banyak tentang manusia merah itu, Aomine juga sudah sekarat isi dompet kalau harus membelikan Kagami burger setiap hari, serius. Jadi inilah jalan satu-satunya yang Aomine harus lakukan, meminta perteman.
Untungnya ada dua, bisa lebih banyak tahu tentang Kagami dan hemat uang. Pepatah yang mengatakan, 'Sambil Menyelam Minum Air' itu ternyata memang tidak salah. Aomine bisa mengaplikasikannya sekarang. Walau, pertama kali dia menyimpulkan, bahwa orang yang melakukan pepatah itu akan mati, bagaimana tidak dia menyelam sambil minum air, kan tidak masuk akal.
"Gue … Aomine Daiki, lo?" Jderrrr … basi, woy!
Kagami baru sadar ternyata selama ini mereka belum memberi tahu nama masing-masing, hanya panggilan baka-aho yang mewakili. Kagami menganggukan kepalanya beberapa kali, supaya apa coba? Aomine yang melihat gagal paham.
"Taiga, Kagami Taiga," jawabnya.
"Nama lo nggak keren, Baka," ejek Aomine dengan sengaja. Dia tahu sifat si Kagami Taiga sekarang, selalu bereaksi dengan menyolot.
"Nama lo juga nggak keren, Aho!"
Kan, Aomine bilang juga apa.
.
OoOoOoOoOo
.
Itu.
Itu cerita mereka satu tahun yang lalu, bagaimana dan di mana mereka bertemu, menjadi teman yang kemudian menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Sekarang mereka sudah kelas dua SMA.
Aomine tahu di mana Kagami sekolah. Walau dia tak pernah sekalipun berkunjung ke SMA yang bernama SEIRIN, begitupun sebaliknya dengan Kagami.
Jika mereka ingin bertemu, waktunya adalah sepulang sekolah. Membuat janji, entah di lapangan basket atau Majiba.
Sekarang, Aomine sangat-sangat paham dengan sifat dan pribadi Kagami, luar dalam, tak ada yang tidak dia ketahui. Saling berbagi jika ada masalah, saling menolong dan saling membutuhkan.
Kagami tahu di mana ia tinggal, karena Aomine sering mengajak Kagami main ke rumahnya. Bukan berarti, Aomine tak tahu kediaman Kagami, malah sangat hapal. Bagaimana bentuk dan bau kamarnya, kamar mandi, pakaian, sampai celana dalam. Oke, abaikan.
Oh, Aomine tahu, ternyata Kagami pintar masak. Hampir setiap saat ia berkunjung ke sana, meminta untuk dibuatkan makanan walau hanya semangkuk mie rebus atau segelas susu.
Meski sudah menjadi teman akrab, masalah bertengkar dan saling memaki tak pernah hilang dari hidup mereka. Itu bisa dikatakan sebagai …. nyawa hidup mereka. Iya, nyawa hidup.
Bertengkar dengan tidak jelas bisa membangun kemistri yang sebenarnya. Karena dari sana kita bisa paham sifat dan watak masing-masing, tak ada yang disembunyikan, dan jika salah paham langsung bisa diluruskan.
Setelah berebut omong tidak jelas, mungkin mereka hanya tertawa lepas dan berteriak, "Apa sih yang sebenernya kita permasalahin!"
Benar, kan? Lagipula, apa sih yang mau mereka salah pahamkan. Mereka hanya tahu tentang basket, basket, dan basket. Tentang dirinya dan sahabat. Tentang Aomine dan Kagami. Tentang Aho dan Baka. Tentang perasaan yang tak bisa saling melepaskan. Tentang satu kenyataan, bahwa, "TANPA LO, GUE NGGAK LENGKAP"
Meskipun satu bulan yang lalu, mereka membawa hubungan ke tingkat yang lebih tinggi satu oktaf. Secara umum orang-orang mengartikannya dengan 'pacaran'.
Iya, mereka berdua berpacaran. Tapi Aomine dan Kagami mengartikannya sangat berbeda, bukan kata pacaran yang mereka paham, tapi mereka menyebutnya 'lo milik gue'.
Kejadiannya sangat konyol.
Pasalnya, sore itu, tepatnya pukul enam. Mereka terengah dengan napas yang kembang kempis di tengah lapangan setelah selesai sesi one-on-one. Mereka duduk saling berhadapan satu sama lain.
"Aho, lo curang!" kata Kagami memulai pembicaraan, setelah napas keduanya normal.
"Curang apa sih, Baka. Lo aja yang lengah, jadinya hari ini gue yang menang, yeheeyy …" jawab Aomine dengan gembira tanpa dosa.
"Bukannya lengah, gue belum siap, bangsat!"
Aomine terkekeh geli. Mengacak surai Kagami dengan gemas. "Kalah itu ya kalah, jangan banyak alesan, Baka …" kata Aomine masih memegangi kepala Kagami.
Kagami hanya mengerutkan dahi. Sangat sebal rasanya kalau dikalahkan dengan yang namanya Aomine fucking Daiki. Kagami tak suka dengan senyum songongnya, berasa diejek dan diinjak-injak. Padahal, Kagami tak kalah keren dengan Aomine.
Mereka saling tatap tepat di manik. Aomine belum melepaskan tangannya dari surai Kagami. Dia menyeringai licik, sesuatu membangunkan kejailannya. "Baka, udah pernah ciuman belum?" katanya sembari cengar-cengir.
Padahal, niat Aomine hanya bercanda, dia hanya ingin menjaili macan merah itu. Tapi, tapi Aomine sungguh tidak tahan dengan wajah Kagami yang menggelengkan kepalanya, mulutnya terbuka begitu saja.
Demi kebun wortel Midorima, di bawah sinar lampu listrik bibir Kagami terlihat …. Arrrrrggghhhh begitu sexi, begitu menggiurkan, bibir madu dengan sedikit ludah yang membasahinya.
Angin apa yang mendorong, Aomine tidak mau tahu. Yang dia tahu mata Kagami terpejam saat dia mendekatkan wajahnya, melumat bibir madu itu lembut. Mengigit bibir bawah dan bibir atas secara bergantian. Setelah itu Aomine hanya menempelkan bibirnya tanpa lumatan atau apa pun, hanya saling menempel, tapi sangat dalam. Membawa Kagami ke dalam pelukannya.
Aomine menarik diri setelah banyak detik yang terlewat. Untuk apa? dia hanya tersenyum dan mengatakan, "Cie … lo deg-degan, ya, Baka?" godanya dengan tidak tahu diri.
PLAK!
Bola basket mendarat di wajah Aomine dengan sukses tanpa kendala.
SUPAH! Kagami ingin rasanya mematah tulang leher Aomine. Apa maksudnya mengatakan itu semua. "NGGAK PERLU KAN SEGALA SESUATU ITU HARUS DIPERJELAS, AHO BANGSAT!" teriaknya geram.
Aomine menyingkirkan bola basket dari wajahnya yang ganteng ke mana-mana itu, lalu dia tertawa sekeras-kerasnya, sayang hari sudah malam, coba siang-siang pasti Aomine bakal menjadi orang yang paling bahagia melihat wajah Kagami yang memerah semerah rambutnya. Aomine foto, setelahnya akan dijadikan bahan ejekan Kagami setiap saat.
Hidup memang indah.
"DIEMLAH AHO!"
Oke, Aomine diam. "Baka, menurut buku harian Satsuki yang gue baca," katanya sembari senyum-senyum. "Kalau kita deg-degan sama orang yang paling dekat dengan kita, itu tandanya jatuh cinta," ocehnya serius. "Mana tadi itu, lo deg-degan-nya keras banget," tawa Aomine.
Kagami tidak menghiraukan tawaan Aomine, dia hanya berkata, "Berati gue jatuh cinta sama lo?"
"Iyalalah."
"Terus?" Kagami meminta penjelasan.
"Terus?" Aomine pun meminta penjelasan.
"Lo milik gue," ucap mereka secara bersamaan, tanpa peluk tanpa ciuman, yang ada hanya saling tendang dan saling ejek setelahnya. Tapi di hati terdalam, mereka mengerti.
Oh, satu hal saja yang harus kalian ingat. Jangan tanyakan kenapa mereka bisa menjalin hubungan itu, padahal mereka berdua laki-laki, sampai kapan pun, sampai Kagami punya anak pun mereka tidak akan sanggup menjawabnya apalagi memberi alasan.
.
.
.
"Aomineeeeee …. letakkan ponselmu, atau kuhancurkan!" teriak sang kapten yang sangat beringas dengan perempatan memenuhi kepalanya. "Sekarang sudah mulai latihan, sialan!"
"Summimasen~~summimasen, Wakamatsu-senpai …" dengan laga yang khas Sakurai membungkukkan badannya.
Wakamatsu marah gorila. Anggota basketnya tak ada yang tidak membuat kepalanya hampir pecah. Tuhan tolong. Apakah ini yang di rasakan oleh Imayoshi-san? Sepertinya tidak. Dia memang bukan orang yang penyabar.
Aomine tak peduli, dia masih dengan ponselnya. Mau senpainya marah sampai mengeluarkan air mata darah juga sebodo amat, tak ada yang menyuruhnya untuk berbuat seperti itu, jangan suka merugikan diri sendiri.
"Dai-channnnn … latihanlah, atau tidak akan lagi kuberi contekan PR!" ancam Satsuki kala itu, yang prihatin melihat nasib kapten timnya.
"Tsk, Satsuki!" decaknya. Kalau sudah menyangkut berbau tugas Aomine agak lemah. Karena pengalamannya sungguh kelam. Dia pernah dihukum mendapat kelas tambahan sampai tidak bisa bermain basket selama dua minggu.
Berdiri ogah, meletakan ponselnya sembarang untuk kemudian berlari ke lapangan. Satsuki tersenyum ceria melihat Dai-channya. Maniknya yang baby pink menelisik ke arah benda yang menghasilkan getaran, ternyata itu hanya bunyi getaran ponsel Aomine.
Sepuluh detik ia pandangi ponsel yang berwarna senanda dengan manic sahabat kecilnya.
Sejak kapan seorang Aomine gemar bermain ponsel? Sejak kapan ponsel Aomine bergetar-getar rame seperti itu. Bahkan, Satsuki sering bertengkar hanya karena Aomine tidak mengangkat telponenya.
Jika ia tanya, "Dai-chan, kenapa telponku tak diangkat?" dia pasti hanya menjawab, "Oh iya, aku lupa kalau punya benda itu." kan menyebalkan. Satsuki tak pernah berpikir panjang kalau orang itu sekarang sangat serius dengan sebuah ponsel.
Penasaran. Persona mana pun pasti mempunyai rasa tersebut, begitupun dengan Satsuki. Dengan cepat tanpa ragu, tangannya mencomot ponsel itu yang sedari tadi selalu bergetar.
Satsuki menyipitkan mata. "Siapa, Baka?" gumamnya. Apa dia pacar Aomine? Apa orangnya cantik, sexi, berdada besar? untuk menjawab rasa penasarannya, dia langsung membuka pesan itu tanpa permisi.
[Me: Baka, gue dapet nilai Matematika gede lho?
Baka: Hah? Penting buat gue. Emang berapa?
Me: Ngapain tanya kalau nggak penting, bego. 45 dong.
Baka: HAHAHAHA … makan tuh nilai 45. Gue dong 46.
Me: Kok bisa gede dari gue? Lo nyontek ya, kan? gue sih ngerjain sendiri.
Setelah itu isinya hanya saling ejek, karena nilai yang tak beda jauh. Satsuki geli, dia tidak bisa menahan napas. Ternyata sahabatnya punya bakat lawakan yang terpendam.
Apalagi, yang katanya dia mengerjakan soal Matematika sendiri, padahal seingat Satsuki Aomine hanya bisa mengerjakan satu soal, itu pun salah. Karena tak tega melihat wajah yang biasanya dibuat sok cool terlihat sangat menderita, seperti manusia yang tak ada nyawa, Satsuki dengan senang hati memberikan contekan.
Satsuki berhenti tertawa saat dia membaca kalimat….
Me: Liat aja, gue bakal hukum lo nanti malem, Baka. Nggak akan gue lepasin, gue siksa dulu, habis itu gue perkosa sepuasnya.
Baka: GUE YANG BAKAL PERKOSA LO YA! HATI-HATI AJA!
Me: Gue tunggu! Kalau gagal, jangan salahin gue pantat lo sobek. Nanti pulang bereng, ya?
Baka: FUCK AHO! Gimana caranya beda sekolah, idiot!
Me: Pikir dong pake otak lo yang nggak ada itu, gue jemput ke sekolah jam lima. Udahlah, gue mau latihan basket dulu, biar lo nggak akan pernah bisa ngalahin gue.
Baka: GANTUNG DIRI SANA!
Baka: Gue tunggu di sekolah.
Baka: BANGSAT! LO MASUKIN SEMPAK LO YANG KOTOR KE DALEM BUKU TUGAS GUE!]
Satsuki hanya berkedip-kedip, imajinasinya melayang ke mana-mana. Meletakkan kembali ponsel itu dengan tangan gemetar.
Kalau pacarnya wanita, Satsuki kira tak mungkin bahasanya sebegitu kasar. Tapi kalau pria? Ah, dia geleng-geleng untuk meyakinkan diri. Tapi tidak menyangka saja sahabat redupnya itu punya teman. Oh, dia paham, jadi Aomine meninggalkanya di Konbini sendirian tadi malam karena orang ini.
"Harus ada penjelasan!" gumamnya.
.
.
.
Aomine mengap-mengap di tengah jalan setelah dia berhenti dari aktivitas yang cukup melelahkan. Melarikan diri dari kaptennya dan Satsuki ternyata bukan hal yang mudah. Aomine harus menyusun siasat supaya rencananya berhasil.
Dengan segenap jiwa dan raga, akhirnya dia dapat tersenyum dengan bebas. Melanjutkan langkahnya untuk menemui seseorang. Biarkan saja kaptennya mati berdiri, yang terpenting dia tadi sudah memenuhi kewajiban untuk berlatih walau hanya separuh waktu.
Hell ya, kan dia punya urusan sendiri, apalagi ini menyangkut si Bakanya. Manusia setengah jadi yang dia temukan di tengah lapangan basket. Manusia yang selalu membuat hidupnya tertawa dengan pola tingkah laku yang absurd. Manusia yang kini dia klaim sebagai miliknya.
Aomine terbahak seketika, mengacuhkan mulut orang yang bergumam mengenai dirinya sampai dia tak sadar kalau sudah sampai di halte bus. Dirinya naik setelah sang supir mengklakson satu kali.
Melirik jam yang tergantung di depan sana. Duapuluh menit lagi.
Aomine tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menempuh SMA Seirin dari sekolahnya, tapi semoga dua puluh menit waktu yang tepat. Kalaupun telat, siapa sih yang akan marah? Si Bakanya? Gampang, Aomine tinggal bilang akan traktir burger sepuasnya, nanti juga dia kembali kemode normal. Lagipula yang Aomine tahu, Kagami bukanlah orang yang seperti itu.
.
Pukul 05.10 p.m Aomine sudah berdiri ditembok gerbang sekolah yang katanya baru didirikan tiga tahun yang lalu. Dia sangka Kagami sudah ada di sini, ternyata nihil. Mengeluarkan ponselnya dari penjara tas untuk menghubungi macan imut kesayangan.
Mengernyit, itu mimic wajah pertama yang Aomine bentuk. Dan dia langsung paham pasti ini kerjaan Satsuki. Pesannya dari Kagami sudah terbuka semua, tapi mimic itu langsung hilang digantikan dengan senyuman saat membaca pesan Kagami yang terakhir.
Hidup memang anugrah bila bisa menjaili orang terkasih.
Me: Sayang, cinta, buruan geh, pangeranmu ini sudah capek menunggu, love you, emmmuuuachh.
Tak menunggu menit, ponselnya sudah bergetar, berani taruhan dengannya?
Baka: NAJIS! MENDING PULANG LO SANA!
Lihat, kan. Bagaimana Aomine tak tertawa setiap hari kalau si Bakanya selalu bersikap menggemaskan.
.
.
"Oi, Aho?" panggil Kagami yang melihat Aomine sedang memejamkan mata dengan tubuh bersandar ketembok, kedua tangan masuk ke dalam saku, dengan telinga tersumpal headset. Sepertinya ia terlalu lama membuat sang panter menunggu.
Alis cabangnya naik, mata Aomine tak kunjung terbuka. Wah, jangan-jangan mahluk remang itu kebablasan, mengingat orang itu suka tidur, atau mungkin juga karena music yang diputar terlalu kencang.
Kagami maju tiga langkah menepis jarak. Mendekatkan wajahnya, bukan untuk membangunkan secara lembut dan manja, tapi untuk menarik headset yang terpasang dan meneriaki Aomine sampai tuli. "AHO BANG-"
Terpotong. Teriakan itu mengantung diudara tanpa makna. Dan dia bungkam karena bibirnya yang terisolasi oleh bibir lain. Membelalak kaget, Kagami mendorong tubuh manusia di depannya. "TSK, AHO!"
"Apa sih?"
"L-LO … Ahhh!" Kagami frustasi harus memaki Aomine dengan bahasa apa.
"Makanya jangan jail sama gue," ejeknya dengan senyum menggoda.
PLUK!
Aomine terhenyak saat ada cup minuman jatuh, jikalau tidak menghindar mungkin sepatunya yang jadi korban.
"Aomine-kun …"
Bola mata besar sewarna langit pagi, memandang dirinya datar tapi dengan aura horor yang mengguar. "LO SIAPA!" hentak Aomine ketika itu juga, untung jantungnya tak melarikan diri.
Nyawa Kagami sudah hilang setengahnya. Malu parah.
"Aomine-kun, tak mengingatku,"
"Sialan, Tetsu! Ngapain kau di sini, huh?" bentaknya. Menyadari itu ketika eksistensi Kuroko sudah jelas di matanya.
Kuroko Tetsuya, mengelap wajah yang terkena semburan ludah Aomine, dengan pandangan menuju ke bawah, "Aomine-kun, ganti minumanku," katanya, meratapi cupnya yang telah hancur teraniaya sepatu besar Aomine.
"LO YANG JATOHIN KAN!" Aomine emosi. "SAKIT BAKA!" teriakannya berlanjut ketika bokongnya terasa panas ditendang Kagami.
"Dia temen gue, dan kita satu kelas. Jangan bentak-bentak anak orang, Aho!" nasehatnya. "Tunggu … kalian saling kenal?"
"Dia temanku saat SMP, Kagami-kun," jawab Kuroko cepat. "Tadi apa yang kalian lakukan?" tanyanya tanpa berkedip.
"I-itu … anu .." Kagami menggaruk pipinya dengan tampang senyum paksa, satu butir keringat jatuh terjun bebas.
Aomine menyeringai, sekali lagi mencuri ciuman dari seseorang yang sedang gugup najis. Dengan ancang-ancang yang telah dipersiapkan, energy sudah ditransfer ke saraf kaki, dirinya lari dari hadapan Kagami yang sudah memancarkan aura membunuh.
"AHOMINEEE JANGAN LARI LO, BANGSAT!" teriak Kagami yang tidak terima. Mengerjarnya, akan dia ladeni sampai mana Aomine kuat berlari. Jangan harap nanti akan mendapat ampun.
Dan mereka melupakan satu karya Tuhan yang mengharapkan jawaban. Kuroko diam mematung, berdiri tegap memandang punggung-punggung riang berlari menjauh sampai tidak terlihat.
Dia paham sekarang, tentang arti kalimat 'Menemukan nyawa dalam hidup yang sama' secara tidak sadar telah Kagami lukiskan dalam buku catatanya.
Kuroko melangkahkan kaki mungilnya selaras, mengingat tinggal dirinya seorang yang berdiri di depan gerbang sekolah.
.
OoOoOoOoO
.
Aomine ngambek dipojokan kamar, hanya karena tidak dibuatkan susu coklat. Kagami sih sebodo amat, itu hukuman sudah membuatnya malu mampus di depan Kuroko tadi sore. Lagipula, memangnya dia bayi? Tinggal buat sendiri apa susahnya.
Lama tidak dipedulikan, Aomine merasa encok karena jongkok yang terlalu ekstrim(?) dia bangkit berdiri memegangi pinggang yang nyeri, mendekati Kagami yang sedang bermain ponsel di atas kasur.
"Ka, lo bisa mainin ponsel. Tapi buatin gue susu aja nggak mau," celetuk Aomine yang sudah duduk di samping Kagami.
"Buat sendiri. Lo udah dianugrahi tangan dan kaki yang lengkap sama Tuhan. Harusnya lo bersyukurlah dan bisa gunain semua itu untuk keperluan lo?" ceramah Kagami sok bijak.
Aomine tersenyum, merampas ponsel dari tangan Kagami. Menatap si Bakanya tepat di manic. "Berarti nggak salah dong, gue nyuruh lo?" ucap Aomine.
"Hah?"
"Karena gue udah dianugrahin seseorang oleh Tuhan, dan gue sangat bersyukur atas itu," tutur Aomine.
"Sok lo!" jawab Kagami cuek tak peduli.
BANGSAT! Wadehel, wadepak(?) Aomine sudah seperti penyair pro, malah tidak ditanggapi oleh Kagami. Wajahnya datar lebih datar dari Kuroko, mungkin arwahnya baru saja keluar lewat lubang hidung, membuatnya seperti tak bernyawa. Entah acting atau sungguhan, intinya Kagami ingin tertawa dan menendang wajah itu sejauh mungkin.
Kata hanyalah kata, perungkapan untuk memuaskan hasrat diri. Yang Kagami lakukan malah mencium bibir Aomine sekilas lalu memeluk tubuh kaku itu. "Oke, nanti gue buatin susu coklat," ucapnya.
Aomine membalas pelukan, tentu saja, jangan lupakan dirinya yang tak mau kalah itu. "Makasih," katanya.
"Karna gue mau buatin susu?" tanyanya.
"Bukan."
"Terus?"
"Karna lo udah lahir …"
Kagami tersenyum, Aomine tahu itu karena dagu panjang Kagami menyentuh bagian pundaknya. Aomine merasa sesak, dirinya dipeluk terlalu erat. "Lahir untuk selalu gue jailin, hahahahah!" tawanya dengan nista.
Sialan!
Ya Tuhan, lenyapkan mahluk menyebalkan ini dari muka bumi. Kagami emosi tingkat dewa. Tapi sayangnya, dia tak bisa melepaskan diri dari cengkraman Aomine.
"Baka, mau main perkosa-perkosaan, nggak? Kita buat susu sama-sama," bisik Aomine menggoda.
"AHOMINEEEEEE!"
...
END
…
Hehehehe. Maaf kalau ficnya terlalu aneh, tapi semoga menghibur. Terima kasih sudah membaca, ditunggu responnya :))
SEKALI LAGI HAPPY AOKAGA DAY!
#TEAMAOKAGA #AOKAGADAY2016 #AHOBAKAFOREVER
REGARDS,
ZOKA
