Assassination Classroom © Matsui Yuusei
.
Warn : OOC, Typo(s), dsb.
.
Siapa sangka detik jam bisa sebegitu menarik untuk seseorang, terlebih jika dalam posisi menunggu. Yeah, menunggu—hal paling membosankan untuk dilakukan. Mungkin saat itu menghitung tiap pergerakan jarum paling panjang dalam susunan jam adalah hal menarik untuk dilakukan, terlebih jika tatapan bisa membuatnya berputar beberapa kali lebih cepat. Sayangnya itu tidak mungkin, sangat mustahil.
Begitu juga yang dilakukan seorang gadis dengan surai pirang stroberi yang mengamati jam bulat besar yang dipajang di dinding bandara. Ia sudah duduk diam selama hampir dua jam di bagian penjemputan. Nakamura Rio sama sekali tidak tertarik dan tidak memiliki niat untuk pergi dari sana, di sandingnya mantel, koper dan tasnya dibiarkannya bertumpuk berantakan.
Gadis itu hanya diam menopang dagu sambil mengamati jam dan bibirnya menggumamkan suara tik tok tik tok sangat pelan, seolah itu cukup hanya untuk didengarnya seorang diri. Dia tidak sama dengan yang lain yang menginginkan segera dijemput atau pulang ke rumah, tempat dimana ada orang yang menunggunya.
Dia tidak pergi bukan berarti tidak ada yang menunggunya. Ada. Dua orang yang sangat berharga. Dua orang yang mengisi hatinya sama-sama menunggunya—di dua tempat berbeda yang pernah dijanjikannya, dulu.
Nakamura tersenyum miris menatap wallpaper di ponselnya yang ia edit sendiri. Ada dua foto yang digabungkannya, satu foto dengan pemuda bersurai merah, mereka berdua tersenyum sangat lebar ke arah kamera, jari-jari mereka membuat tanda peace di samping pipi. Satu lagi foto dirinya dengan pemuda bersurai oranye yang hanya melirik kamera, Rio tersenyum cerah sedang pemuda itu tersenyum tipis setengah menatapnya.
Rio mengusap foto itu, kunci layar ponselnya terbuka. Sebuah notifikasi pengingat muncul di layar lebar ponselnya. Setetes demi setetes air mata gadis itu menuruni pipinya.
"Maafkan aku Karma... maaf Gakushuu... aku tidak bisa menemui kalian. Maaf aku tidak menepati janjiku. Maaf."
Rio terisak. Tangisannya sama sekali tidak ia tahan, meski suaranya semakin keras pun gadis itu tidak peduli lagi. Ia menangis sambil memeluk ponselnya sendiri.
Ia menyesali keadaannya. Gadis itu menyesali perasaannya. Nakamura menyesali dirinya yang tidak bisa memilih salah satu dari mereka. Rio menyesali akhirnya ia tidak bisa menemui orang-orang yang sangat dicintainya.
.
.
.
Hahahaha.
Tidak ada yang harus ditertawakan sebenarnya, tapi lucu juga melihat orang-orang yang sedang menunggu. Berkali-kali menengok jam, mengecek jalan, menatap langit atau langit-langit, berdiri lalu duduk, bergerak tidak jelas. Ada berbagai macam emosi saat melakukannya, sabar, khawatir, kesal, cemas, marah, kecewa, ketakutan. Ada berbagai macam alasan pula yang mendasarinya, alasan yang membuat merasakan emosi-emosi itu dan alasan yang membuat tetap menunggu. Bahkan jika itu hal yang tak pasti untuk ditunggu, beberapa orang tetap melakukannya.
Termasuk juga seorang pemuda bersurai merah terang yang duduk di pagar pembatas taman. Ia mengamati beberapa orang yang melakukan kegiatan sama dengan dirinya, ia di pusat kota, bukan hal sulit mendapati pemandangan seperti dirinya bertebaran di sekitarnya. Menunggu.
"Aku harusnya tahu dia akan datang, tapi kenapa rasanya gelisah sekali?"
Karma melihat jam di tangannya. Kepala merahnya melongok ke ujung jalan, masih tidak ada tanda seseorang yang ditunggunya akan datang. Pemuda itu menghela nafas panjang.
Ia terkekeh pelan.
"Harusnya aku tahu, dia tidak akan datang padaku. Yappari... mungkin yang ditemuinya bukan aku. Heh, aku terlalu berharap."
Karma pergi dari sana dengan mengepalkan tangannya. Meski begitu, ia masih saja menoleh ke belakang, setiap beberapa langkahnya.
Ia kecewa, tapi ia berharap orang yang ditunggunya muncul. Nakamura Rio.
"Kau bohong Rio."
.
.
.
Ajaib memang, satu kata itu—menunggu.
'Ah, kenapa aku juga melakukannya? Termasuk dalam kategori menunggu sesuatu yang tak pasti. Orang rasional sepertiku berharap pada hal tak irasional. '
Ironis.
Tapi itulah yang dilakukan orang rasional seperti Asano Gakushuu. Duduk bersandar di kursi taman yang ikut membeku karena suhu udara yang semakin turun sejak malam semakin gulita.
Hanya sepi yang menemani Gakushuu. Pemuda itu menunduk dengan kedua tangannya yang dimasukkan di saku jaket. Di sampingnya duduk ponselnya tergeletak begitu saja, mungkin sama dinginnya dengan kursi besi yang ia duduki.
Raut wajah pemuda itu datar. Ia menyadari hal pasti yang menimpanya. Orang yang ditunggunya tidak akan datang. Itu jelas, sudah lewat tiga jam dari waktu yang dijanjikan.
Gakushuu mendengus dengan apa yang dilakukannya sekarang. "Aku tidak tahu kalau aku begitu bodoh. Hal yang tidak pasti harusnya tidak perlu ditunggu."
Gakushuu sebenarnya sadar akan itu. Hari saat ia melihat gadis yang dicintainya berada di bandara, saat ia akan memberikan salam perpisahan yang mengejutkan justru ia yang terkejut.
Ia harusnya tahu untuk tidak datang ke tempat itu karena tidak akan ada yang ia temui di sana. Tapi Gakushuu tetap melakukannya.
"Sudah sangat terlambat Nakamura. Kau pembohong."
Ia bergegas pergi dari sana. Tangannya mengepal, raut wajahnya dingin dan ia menggigit bibirnya sendiri. Asano Gakushuu menahan kekecewaannya.
.
.
.
"Aku akan menjemputmu di bandara."
Rio menggeleng. "Kau tunggu saja di sini. Aku akan langsung berlari ke sini dari bandara."
"Hee... benarkah? Aku akan menunggumu lho. Aku akan duduk di pagar ini dan melihat jamku terus."
"Aku akan datang dan melihatmu dalam posisi itu," ucap Rio dengan senyum.
.
.
.
"Aku orang pertama yang kau lihat setelah keluar bandara," kata Gakushuu.
"Bagaimana jika kuganti dengan... kau orang pertama yang kutemui setelah aku mendarat?"
"Kau mau melakukan itu?"
"Aku akan duduk di sampingmu seperti ini. Di bangku ini. Dan kita akan bicara banyak."
Gakushuu tersenyum kecil. "Aku tunggu."
.
.
.
"Rio..."
"Nakamura."
Nakamura Rio tidak menginginkan perpisahan menyedihkan, karena itu ia tidak mengajak seorang pun mengantarnya ke bandara. Tapi, dua orang pemuda itu malah memberi kejutan dengan menunggunya di bandara.
Jika saja tidak di waktu yang sama. Jika saja hanya salah satu dari mereka yang datang. Jika saja mereka tidak menghampirinya bersamaan.
Gadis itu menatap Gakushuu dan Karma dengan perasaan bersalah. Ia bergumam maaf beberapa kali dengan derai air mata.
Meski tidak ada penjelasan yang diberikan semua mengetahui ada hal yang tidak perlu dijelaskan dengan hubungan mereka. Tidak ada kata tanya. Tidak ada tuntutan jawaban.
"Aku harus pergi." Nakamura Rio berbalik dan pergi dengan tergesa. Sebelah tangannya terus menerus mengusap air mata yang membanjiri pipinya.
Pada akhirnya tidak ada kata-kata perpisahan yang diam-diam Rio susun.
Pada akhirnya tidak ada yang bahagia. Tidak ada satu janji yang akan dipenuhi.
.
.
.
Owari
