Warning : OOC, Typo, Isi cerita sedikit lebay

Disclaimer : Kishimoto Masashi

Ini fanfict pertamaku di fandom Naruto. Silahkan Dinikmati ^^


Setelah mengucapkan janji sehidup semati di altar pernikahan, mereka pun saling memakaikan cincin yang menjadi ikatan pernikahan mereka.

"Baiklah, kau boleh mencium mempelai istrimu," tak lama setelah itu terdengar tepuk tangan riuh para tamu undangan yang menjadi saksi ikatan resmi mereka.

Gaara dan Hinata sudah resmi menjadi suami istri. Latar belakang pernikahan mereka bukanlah didasari rasa cinta. Melainkan karena perjodohan antara tetua Suna dan Konoha. Mulanya Hinata ingin menolak perjodohannya dengan Gaara. Tentulah pernikahan melalui perjodohan tidak akan ada kebahagiaan yang tercapai baginya. Namun mengingat krisis ekonomi yang kini dialami desa tercintanya, Konoha. Maka Hinata pun rela mengorbankan masa depannya bersama orang yang tak dicintainya. Bagaimana bisa mencintai, Hinata sendiri tidak begitu mengenal laki-laki yang akan menikahinya. Ia hanya tahu laki-laki itu adalah seorang kazekage sekaligus mantan jinchuriki. Itu saja yang ia tahu. Tidak lebih.

Dengan berjalannya pernikahan ini, Hinata menaruh harapan agar desa tercintanya ini bisa melalui krisis ekonominya dengan bantuan Suna. Terlebih yang menjadi suaminya adalah seorang Kazekage.


Sebulan berlalu sudah sejak hari 'itu'. Tak ada hari-hari yang berkesan yang ia lalui selama sebulan penuh ini. Entah karena dia belum betah di Suna atau penyebab lainnya. Gaara sendiri sangat sibuk dengan perkejaannya sebagai seorang Kage. Tak sedikit pun perhatian yang diberikan kepada Hinata sejak hari pernikahannya. Gaara yang selalu berangkat sebelum Hinata terbangun dan pulang setelah Hinata tertidur menyebabkan keduanya jarang sekali bertatap mata. Jadi tak heran walaupun pernikahan mereka sudah berumur sebulan, tetapi mereka belum melakukan hubungan sekali pun. Hinata sih tak begitu mempedulikan Gaara yang belum mau menyentuhnya sampai sekarang. Toh dia pun juga belum siap. Namun sebagai istri yang baik, Hinata berusaha memenuhi kewajibannya dengan mengurus suami sebaik mungkin.

Hinata membuka matanya perlahan. Menyadari adanya sinar mentari yang mulai masuk melalui jendela kamarnya. Direnggangkannya badannya di atas ranjang dengan malas. "Hmm...sudah pagi, ya?" Hinata mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Dilihatnya ke samping dirinya. Kosong. Tidak ada suaminya di ranjang.

"Gaara pasti berangkat pagi lagi hari ini?" Dengan langkah gontai Hinata berjalan menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk sarapan. Kagetlah ia melihat dapur yang biasanya kosong kini ada seseorang -lebih tepatnya Gaara- yang sedang menyiapkan teh untuk di seduh.

"Gaara-kun?" Hinata membulatkan matanya melihat suaminya belum berangkat seperti biasanya. Gaara yang menyadari kehadiran Hinata, hanya menatapnya dingin sesaat. Kemudian matanya kembali tertuju pada teh yang baru saja dibuatnya. Tentu saja muka Hinata langsung memerah. Bukan karena tatapan Gaara. Tapi karena ia malu belum menyiapkan apa pun untuk sarapan Gaara.

"Ma-Maaf. Ku-Kupikir kau su-sudah berangkat. Biar kupanggangkan roti untukmu," Hinata bergegas mencari bahan di dapur.

"Tidak perlu," dengan cepat Gaara meneguk teh buatannya hingga habis, "Aku sudah mau berangkat," Gaara berdiri. Memakai jubah kage yang tergantung di dekatnya. Kemudian berjalan menuju pintu.

"Ma-Maaf..." Hinata terus tertunduk. Hingga Gaara pun menghilang dari hadapannya. 'Aku benar-benar istri yang tak berguna,' batin Hinata.


Gaara berjalan menuju gedung Kage. Perutnya sedikit berbunyi mengingat semalam ia tak sempat makan dan pagi ini perutnya baru diisi secangkir teh. Gaara menghela napas pelan, 'Seharusnya tadi tak ku tolak tawaran Hinata untuk memanggangkanku roti,' Gaara sedikit menyesal, 'Tidak-tidak,' Gaara menggelengkan kepalanya cepat, 'Tidak mungkin aku begitu. Sebagai istri yang baik, seharusnya dia tadi memaksaku untuk sarapan terlebih dahulu sebelum aku berangkat kerja. Bukannya membiarkannya seperti tadi. Kalau dia punya kesadaran seharusnya ia berusaha bangun lebih awal walau hanya sekedar membuatkan sarapan untukku. Seharusnya dia begitu,' Gaara kini manggut-manggut sendiri sambil berjalan menuju gedung Kage. Untung saja disekitar Gaara sedang sepi. Kalau tidak, pasti kazekage itu sudah di cap sebagai orang gila.


Hinata duduk terdiam menunduk. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian tadi pagi. Sungguh ia tak bisa menjadi istri yang baik bagi Gaara. Insiden tadi pagi benar-benar membuatnya malu di depan Gaara. Bukan hanya itu, mungkin kini Gaara sudah benar-benar kecewa kepadanya. Walaupun pernikahannya dengan Gaara bukan didasari rasa cinta, tapi Hinata kan sudah berjanji kepada ayahnya untuk menjadi istri yang berbakti pada Gaara. Dan dengan ini pula Hinata sudah melanggar janjinya dengan sang ayah secara tak langsung.

Hinata menghembuskan napasnya perlahan-lahan, mencari cara agar membuat hubungannya dengan Gaara baik kembali.

'Benar juga. Walaupun aku sudah gagal membuatkan sarapan untuknya, tapi aku akan membuatkan makan malam spesial sebagai gantinya,' Pikiran itu sukses membuat Hinata melesat ke dapur, bersiap-siap masak untuk makan malam.


Tok Tok Tok

Pintu ruang kage di ketuk seseorang.

"...Masuk," perintah Gaara, matanya tetap tertuju pada dokumen-dokumen di hadapannya. Gaara tahu siapa yang datang dari ujung matanya.

"Gaara, aku hanya ingin memberikan laporan bahwa anggota tim 7 dari konoha akan melaksanakan misi di Suna selama beberapa hari ke depan. Sasuke pun ikut serta dalam misi tersebut," jelas Temari.

"Sasuke? Oh iya, ku dengar ninja pelarian itu sudah kembali ke Konoha beberapa bulan yang lalu," Gaara menghentikan aktivitasnya sesaat, "Antarkan mereka ke penginapan yang sudah disediakan. Dan katakan pada mereka bahwa aku akan menemuinya setengah jam lagi," Setelah mendengar perintah Gaara, Temari segera keluar ruangan. Gaara menghela napas untuk kesekian kalinya, "Sepertinya malam ini aku harus lembur lagi,"


Hinata mengiris wortel dan buncis. Diosengnya dengan bumbu yang tadi sudah dibuatnya sampai harum. Sesekali ia bersenandung kecil disela-sela aktivitasnya. Ketika akan menghiaskan masakannya, terdengar bel berbunyi. Sesegera mungkin Hinata berlari kecil, membukakan pintu, mengetahui siapa yang datang.

"Hinata, apa aku mengganggu?" Di balik pintu ada Temari, kakak perempuan Gaara, yang selalu rutin tiap harinya menengok keadaan adik iparnya. Hinata menggeleng pelan, "Tidak, tidak mengganggu sama sekali," Hinata menggeser badannya sedikit mempersilahkan Temari masuk ke dalam rumah.

"Bagaimana keadaanmu...dan Gaara?" Temari berjalan menuju ruang tamu, Hinata mengekorinya.

"Seperti biasa. Tidak ada perubahan," ujar Hinata pelan. Temari lalu duduk di sofa, Hinata ikut duduk di sampingnya.

"Hmm...wangi," Temari mengendus-endus ke arah dapur, "Kau sedang masak?"

"I...Iya. A...Aku ingin membuat makan malam khusus untuk Ga...Gaara-kun," Hinata tersipu malu. Temari tersenyum memperhatikan tingkah Hinata. Namun raut wajahnya sedikit berubah.

"Maaf, Hinata. Bukannya aku mau mengecewakanmu. Tapi hari ini Gaara akan lembur lagi," ujarnya yang langsung membuat raut wajah Hinata berubah sedih. Namun tak lama, raut wajah sedih itu memudar digantikan senyum tipis yang kembali menghiasi bibirnya.

"Tidak apa. Aku akan coba menunggunya," Temari merasa kasihan kenapa gadis secantik dan sebaik Hinata bisa-bisanya memiliki suami seperti adiknya, Gaara, yang sangat minim ekspresi, dingin, irit berbicara, tidak mempunyai jiwa romantis, bahkan Gaara terlihat tidak peduli akan keberadaan Hinata. Oh, dunia ini memang tidak adil.

"Maaf, Hinata. Sebenarnya aku ingin sekali lama-lama disini bersamamu. Tapi aku tidak bisa. Ada tugas yang Gaara berikan padaku. Karena tadi aku kebetulan lewat sini, jadi aku kepikiran untuk mampir sebentar," Temari bangkit dari duduknya. Mencoba merapikan baju yang menurutnya kusut. Hinata ikut berdiri. Mengikuti Temari dari belakang menuju pintu rumah.

"Tidak apa-apa, Temari-nee. Terima kasih sudah menyempatkan diri kesini," Hinata sedikit membungkukkan badannya, seraya memberikan senyuman hangatnya.

Sebelum Temari pergi, Temari membalikkan badannya, menghadap Hinata, "Akan kubujuk Gaara agar pulang malam ini," Hinata kaget mendengar ucapan Temari.

"Tidak perlu, Temari-nee. Aku tidak apa-apa. Gaara kan memang selalu sibuk. Apalagi dia seorang kazekage," Temari langsung menggelengkan kepalanya.

"Tidak-tidak. Walaupun Gaara seorang kazekage, tetapi dia tidak boleh menyingkirkan perannya sebagai seorang suami yang berkewajiban membahagiakan istrinya, kan?" ujar Temari lagi. Hinata diam tertunduk. Memang benar sih perkataan kakak iparnya itu. Tapi tak mungkin ia mempunyai keberanian untuk mengatakan kata-kata seperti itu ke Gaara, kan?

"Baiklah, Hinata. Aku pergi dulu," ucapan Temari membuyarkan lamunannya.

"Hati-hati, Temari-nee," ucap Hinata.


"Hai, Gaara!" Naruto melambaikan tangannya melihat Gaara berjalan menuju penginapan.

"Bagaimana keadaanmu dan Hinata?" Naruto menepuk pundak Gaara yang tepat berdiri dihadapannya.

"Baik," jawab Gaara sekenanya tanpa perlu bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama ke Naruto.

"Aku, Sakura, dan Sasuke juga baik-baik saja," ujar Naruto dengan senyum khasnya.

"Silahkan beristirahat dulu. Kalian pasti lelah karena perjalanan dari Konoha ke Suna memakan waktu 3 hari,"

"Hmm, begitulah. Kita juga berniat untuk melaksanakan misinya esok hari saja," tambah Naruto.

"Baiklah, aku pergi dulu. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Selamat beristirahat," Gaara membungkuk hormat. Berjalan kembali menuju gedung kage.

Ketika kembali ke ruangannya, sudah ada Kankurou yang menunggu kehadirannya. Dihiraukannya kehadiran kakaknya itu. Dengan tenang ia duduk di kursinya, lalu kembali meraih beberapa dokumen yang menumpuk di atas meja.

"Bagaimana, Gaara? Apa kau sudah menemui Naruto dan teman-temannya," Kankurou memecah keheningan di antara mereka. Gaara mengangguk sebagai jawaban. Matanya serius membaca dokumen di hadapannya.

"Aku hanya ingin melapor tentang misi yang baru saja kuselesaikan," Kankurou menyerahkan laporan yang dibawanya ke hadapan Gaara.

"Taruh saja di atas meja," Gaara sibuk membolak-balikan halaman dokumen. Kankurou meletakkan laporan tersebut di atas meja. Ia tak berani mengajak Gaara banyak bicara. Takut akan mengganggu pekerjaannya.

"Baiklah, aku pergi," Kankurou berjalan ke arah pintu, namun sebelum ia menyentuh kenop pintu, Kankurou menengok lagi ke arah Gaara. "Oh, iya, Gaara, tadi aku sempat bertemu Temari. Dia titip pesan padaku, bahwa malam ini kau harus pulang,"

"Tidak bisa. Masih banyak pekerjaan yang belum diselesaikan," Gaara meraih pulpen di atas meja. Menulis sesuatu di atas dokumen tersebut.

"Oh, ayolah. Temari bilang, Hinata sudah menyiapkan makanan spesial untukmu," perkataan Kankurou sedikit mengalihkan perhatian Gaara.

"Makanan spesial? Aku tidak menyuruhnya membuatkan itu untukku?"

"Aku juga berpikir begitu. Makanya malam ini pulanglah. Paling tidak hargailah sedikit usaha istrimu. Mungkin saja ada sesuatu penting yang ingin dia bicarakan," Gaara mengangkat sebelah alisnya.

"Mungkin loh. Aku tak tahu pasti," Kankurou menekankan kata-katanya mengetahui perubahan mimik Gaara. "Pokoknya malam ini kau harus pulang," setelah kalimat itu, Kankurou pun lenyap dari ruangan Gaara. Tentu saja perkataan Kankurou tadi langsung memecah konsentrasi Gaara.

'Sesuatu penting yang ingin dia bicarakan?' terngiang kata-kata Kankurou barusan, 'Apa itu? Apa dia ingin meminta uang lebih padaku? Atau dia rindu dengan Konoha dan ingin pulang kesana? Atau jangan-jangan dia mau menggugatku cerai?' Hal-hal yang mungkin hingga tidak mungkin terlintas begitu saja di pikiran Kazekage. Walaupun Gaara selalu bersikap dingin pada Hinata, tapi dia tetap memikirkan Hinata kok. Hanya saja ia tidak pernah bersikap yang sesuai dengan hati dan pikirannya. Ia sendiri masih bingung perasaannya pada Hinata seperti apa.


Hinata membaca buku di ruang makan. Menunggu kepulangan sang suami yang tak kunjung datang. Sesekali matanya melirik ke jam dinding di dekatnya. Hinata menghembuskan napas pelan. Jarum jam sudah menunjukkan angka 10 lewat 45 menit. "Gaara-kun belum pulang," lirihnya. Hinata bangun dan berjalan menuju halaman rumahnya, mencoba menunggu disana. Namun setelah 30 menit berlalu, tak ada tanda-tanda datangnya sesosok Gaara, Hinata kembali menunggu di dalam rumah. Tak kuat juga dengan cuaca Suna yang semakin malam semakin dingin.


Gaara menutup dokumen terakhirnya. Hari ini benar-benar melelahkan baginya. Gaara melihat jam dinding di ruangannya. 'Sudah pukul 12 malam rupanya. Jam segini Hinata pasti sudah tertidur,' batinnya. Gaara sedikit merenggangkan badannya barulah ia benar-benar bangkit dari tempatnya duduk. 'Yah setidaknya aku menepati janjiku untuk pulang malam ini, kan?' pikirnya. Gaara berjalan menuju rumahnya seorang diri. Jalanan di Suna pada malam hari sangat sepi. Ditambah dengan cuacanya yang dingin, membuat orang enggan keluar di malam hari. Mungkin terkecuali untuk laki-laki yang ditemui Gaara saat ini.

"Naruto?" Gaara menghentikan langkahnya melihat sosok yang dikenalnya di tengah jalannya pulang. Laki-laki pirang itu menoleh ke arah sumber suara.

"Gaara, kau baru mau pulang?" Pertanyaan Naruto tak dijawab oleh Gaara. Matanya menatap penuh laki-laki dihadapannya itu, 'Apa yang dia lakukan di jam segini?' pikir Gaara. Naruto mengerti apa yang ada di benak Gaara.

"Aku tak bisa tidur. Jadi aku berjalan-jalan saja. Ternyata di luar sangat sepi, ya?" Gaara tak berkata apa-apa. Matanya kini beralih menatap lurus ke depan. Tanpa berniat untuk pamit, Gaara melangkahkan kakinya kembali. Naruto segera mencegahnya dengan menepuk pundak Gaara dari belakang.

"Gaara, bagaimana kalau kita ke kedai makanan yang masih buka. Sekalian bercerita-cerita. Kan sudah lama kita tak bertemu," Gaara berpikir sejenak. Ada bagusnya juga usul temannya itu. Gaara mengangguk tanda mengiyakan.


Lagi-lagi Hinata melirik ke jam dinding untuk kesekian kalinya. Sudah jam 2 lewat 20 menit. Pagi akan segera tiba. Tapi Gaara belum juga menampakkan batang hidungnya. Raut wajahnya tampak sedih dan pucat. Tak disadarinya tetes demi tetes air mata mengalir di pipinya dan berakhir di ujung dagunya. 'Aku ini benar-benar wanita yang bodoh,' batinnya, 'Sudah pastikan Gaara tidak akan pulang. Temari-nee sudah bilang sendiri tadi. Walaupun Temari-nee bilang dia akan coba membujuk Gaara pulang, tapi tidak mungkin ia akan mau pulang hanya untuk sekedar makan malam bersamaku. Inilah konsekuensi menjadi istri kazekage. Bukankah hal ini sudah kupikirkan sebelum hari pernikahan,' Hinata menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Menahan pedih yang ia rasakan. Hingga lama-kelamaan ia pun tertidur.


"Begitulah ceritanya, Gaara," selesai bercerita, Naruto kembali melahap ramen dihadapannya. Ramen di Suna ternyata rasanya tak kalah dengan ichiraku ramen favoritnya. "Bagaimana denganmu, Gaara? Giliranmu yang bercerita," Gaara terdiam. Tak ada kata yang dilontarkannya. Ia kembali memakan ramen dihadapannya perlahan seolah tak mendengarkan perkataan sahabatnya. Naruto menghela napas. Ia hapal betul dengan tingkah sahabatnya itu. Terjadi keheningan di antara mereka untuk beberapa saat. Mau tak mau Naruto kembali memecahkan kesunyian.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kau dengan Hinata? Kau sudah membuat generasi penerusmu, kan?" Naruto tersenyum usil. Gaara tetap menanggapinya dengan tatapan dingin.

"Kau dan Hinata baik-baik saja, kan? Bagaimana sikap Hinata kepadamu? Apakah dia manja? Kalian pernah bertengkar, nggak? Bertengkar karena masalah apa?" Pertanyaan Naruto yang secara terus menerus itu membuat Gaara menatapnya heran.

'Ada apa dengannya? Kenapa dia seperti menginterogasiku begini sih? Masalah rumah tanggakan adalah masalah pribadi. Dia tidak berhak bertanya-tanya seperti itu meskipun ia adalah sahabatku. Oh iya, ku dengar dulu Hinata menaruh perasaan pada Naruto cukup lama. Entah sekarang dia masih menyukainya atau tidak. Jangan-jangan sekarang Naruto ingin merebut Hinata dariku. Sepertinya aku harus waspada padanya,' tatapan Gaara penuh selidik ke Naruto. Yang merasa ditatap sedikit merinding dibuatnya. Ia tahu Gaara sudah berpikir macam-macam tentangnya.

"A...Anu, Gaara, aku sudah jadian dengan Sakura loh," berita Naruto barusan membuat Gaara bernapas lega. Naruto juga baru sadar kalau berita semacam itu ternyata bisa menyelamatkan nyawanya yang sudah hampir mati karena tatapan Gaara tadi. Kini Naruto tidak lagi membahas Gaara ataupun Hinata. Ia mulai bercerita tentang hubungannya dengan Sakura hingga fajar datang.


Seperti biasanya, sebelum Temari menjalankan misi, ia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah pasangan muda itu. Diketuknya pintu rumah itu.

'TOK TOK TOK'

Ditunggunya beberapa saat. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya pintu rumah itu sekali lagi,

'TOK TOK TOK'

Ditunggunya beberapa saat. Namun hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban. 'Apa mereka masih tidur?' Temari memegang kenop pintu, dibukanya pintu itu perlahan. Kosong, sunyi, seperti rumah yang tak ada penghuninya. Temari masuk ke dalam, mencari si pemilik rumah.

Ruang tamu...Kosong

Ruang tengah...Kosong

Ruang makan...

Temari kaget melihat Hinata terlelap di ruang makan dengan 2 tangannya melipat di atas meja, dijadikan bantalan. Di meja makan itu terdapat beberapa macam makanan yang sepertinya semuanya adalah kesukaan...Gaara. Makanan itu masih tampak rapi, seperti belum tersentuh. Menandakan belum ada seseorang yang memakannya termasuk orang yang masih terlelap disana. Terngiang di benaknya perkataan Hinata kemarin yang ingin membuat makan malam 'khusus' untuk Gaara. Temari bisa membaca situasi di depannya. Kedua tangannya mengepal, menahan emosi, "Gaara..." geramnya.


'BRAKKK'

Temari membuka pintu ruang kerja Gaara tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Napasnya tersengal-sengal karena ia terus berlari dari rumah Gaara hingga tempatnya sekarang. Gaara memandang aneh sosok dihadapannya itu.

"Semalam kau tak pulang?" tanya Temari tanpa basa-basi.

"Bukan urusanmu," Gaara menjawab datar. Namun membuat situasi makin kacau.

'BRAKKK' kini meja kerja Gaara menjadi korban keduanya.

"Kau gila! Hinata menunggumu semalaman," Gaara mengernyitkan alisnya. Bukankah sudah biasa ia tidak pulang. Kenapa jadi dia yang dimarahi karena masalah sepele ini sih?

"Bukankah sudah kusuruh Kankurou untuk memperingatkanmu agar kau pulang tadi malam?"

"Ada hal yang ingin kubicarakan dengan Naruto semalam," jawab Gaara tenang.

"Jadi kau asyik reunian dengan sahabatmu tanpa mempedulikan istrimu yang terus menunggu? Kau lebih mementingkan Naruto daripada Hinata?" emosi Temari makin menjadi-jadi.

"Tentu saja. Naruto orang pertama yang mengerti perasaanku. Dia sahabat pertamaku," Gaara sedikit meninggikan suaranya. Temari terdiam mendengar kata-kata Gaara.

"Pulanglah sekarang, Gaara," suara Temari terdengar lebih tenang dari yang tadi.

"Ini masih pagi. Waktunya untuk bekerja, bukan bersantai-santai di rumah," Temari kembali mengepalkan kedua tangannya. Mencoba mengatur napasnya yang naik-turun tak karuan. Ia balik badan, berjalan membelakangi Gaara.

'Nyerah?' batin Gaara melihat Temari akan meninggalkan ruangannya.

"Kalau kau belum bisa membagi waktumu antara keluarga dan bekerja. Tak seharusnya waktu itu kau menyetujui tetua Suna yang menjodohkanmu dengan Hinata. Lihatlah keputusanmu ini, kau begitu merugikan Hinata," kehilangan Temari diiringi dengan suara pintu yang tertutup kencang.


Tak seperti biasanya, Gaara sudah tiba di rumah pukul 7 malam. Ia memang berniat pulang cepat karena pertengkaran dengan kakaknya tadi pagi. Suasana di sekitar rumahnya benar-benar...sepi. Gaara membuka pintu rumahnya. Ruangan tempatnya berada benar-benar kosong dan gelap.

'Tuh, kan, kepulanganku saja tidak disambut olehnya,' desah Gaara. Yah walau sebenarnya dia pun tak butuh sambutan hangat dari Hinata. 'Benar-benar gelap. Apa-apaan dia? Kenapa lampu tidak dinyalakan sih? Apa dia berniat untuk menghemat listrik?' Tangan Gaara meraba-raba dinding, mencari letak saklar agar ruangan disekitarnya terang. Selesai menerangi seisi rumah, Gaara pun mencari keberadaan Hinata.

'Disini tidak ada. Berarti dia...di kamar,' Gaara menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. 'Apa jam segini dia sudah tidur?'

'Kriet,' suara pintu kamar terbuka. Benar dugaannya. Hinata sudah tertidur. Entah karena telinga Hinata yang terlalu sensitif, suara pintu tadi berhasil membangunkan Hinata. Dengan pemandangan yang masih samar-samar, Hinata melihat sesosok laki-laki berjalan mendekatinya, menatapnya dingin sesaat, kemudian berakhir duduk di tepi ranjang di sebelah Hinata terbaring sekarang.

"Kau...sakit?" Hinata menggeleng lemah. Ditahannya tangan sang suami yang hendak menyentuh dahinya.

"Aku hanya ngantuk," Hinata tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Gaara bukanlah orang bodoh yang percaya begitu saja dengan omongan Hinata. Sekilas saja ia sudah bisa menilai kalau Hinata sakit. Dibuktikan dengan wajahnya yang nampak pucat dan matanya yang sayu. Hinata sakit mungkin karena kemarin ia menunggu Gaara di luar rumah, tanpa mengenakan baju tebal. Apalagi ia tak terbiasa dengan cuaca dingin Suna di malam hari. Faktor lainnya mungkin karena makannya yang tak teratur sejak pernikahannya dengan Gaara. Namun Gaara tak mau ambil pusing dengan hal ini. Ia bergegas membersihkan dirinya, kemudian tidur.


Hari ini Gaara berangkat lebih siang. Ia membuatkan bubur untuk Hinata terlebih dahulu karena ia tahu Hinata pasti tak kuat untuk masak. Begini-begini Gaara juga punya sedikit sisi baik loh. Setelah menaruh bubur dan obat di meja sebelah tempat tidurnya, Gaara bergegas memakai jubah kagenya.

"Ga-Gaara-kun?" lirih Hinata pelan menyadari keberadaan sang suami di kamarnya. Gaara menengok ke sosok yang memanggilnya.

"Kau bisa makan bubur dan minum obat yang sudah kusiapkan," Hinata menengok ke arah meja di sampingnya. Di atas meja sudah ada segelas air putih, obat-obatan, dan bubur...buatan Gaara yang sepertinya tidak begitu layak untuk dikonsumsi. Gaara memang tidak bisa masak. Jadi maklumi saja jika bubur itu terlihat acak-acakan. Dapat dipastikan rasa bubur itu hambar atau bahkan lebih dari itu. Hinata tersenyum melihat bubur buatan Gaara. Kalau saja dia sedang tidak sakit, mungkin dia sudah tidak bisa menahan tawanya lagi.

"Aku pergi dulu," Gaara hendak pergi. Namun tangan Hinata mencegahnya dengan mencengkram ujung jubah kage yang dikenakan Gaara.

"Te-Temani aku sebentar lagi," susah payah Hinata berusaha duduk, "Bisakah kau suapi aku bubur itu?" lirih Hinata. Lagi-lagi Gaara menatap Hinata dingin.

"Maaf, aku tidak bisa," Gaara mencoba melepaskan cengkraman tangan Hinata dijubahnya.

"Se-Sebentar saja...Kumohon..." lirih Hinata dengan suara seraknya.

"Hinata, aku ini kazekage. Aku tidak bisa berlama-lama denganmu disini. Kau harus tahu itu," Hinata menahan air matanya agar tidak jatuh saat itu juga. Lama-kelamaan cengkramannya di jubah Gaara melemah, hingga akhirnya tangannya pun melepas ujung jubah kage yang dicengkramnya.

"...Maaf," setelah itu Gaara pun meninggalkan Hinata sendirian yang masih lemah.


"Kau meninggalkannya sendirian?" tanya Kankurou disela-sela aktivitasnya-membantu Gaara- menangani dokumen yang sudah menjulang tinggi di atas meja kerja adiknya itu.

"Kurasa dia tak sendiri. Temari pasti akan merawatnya. Bukankah setiap pagi dia selalu berkunjung untuk melihat keadaan Hinata?"

"Yah seharusnya begitu. Tadi aku dan Temari berkunjung kesana. Kami terkejut melihat Hinata sendirian dengan demam yang cukup tinggi. Untunglah Hinata masih mau memakan buburnya itu," cerita Kankurou, "Bubur itu...buatanmu?" tanya Kankurou mencoba menahan tawanya agar ia tak mati sukses di tangan adiknya.

'Apa maksudmu?' Gaara memandang Kankurou tajam, "Dia pasti tidak menghabiskan buburnya," ujar Gaara. Mukanya menaruh sedikit kekecewaan. Tapi langsung ditanggapi gelengan oleh Kankurou.

"Tidak. Dia tetap menghabiskannya...walau dengan susah payah. Aku tahu itu," Kankurou jelas-jelas tahu bahwa Gaara tidak bisa masak. Makanya dia merasa kasihan melihat Hinata yang mau menghabiskan buburnya itu. Ia yang melihat bubur itu saja sudah merinding.

"Tidak sepertimu. Hinata adalah orang yang menghargai jerih payah orang lain," lagi-lagi Gaara menatapnya sinis. Namun tatapan kali ini tak dihiraukan oleh Kankurou.

"Hari ini Temari tidak bisa merawat Hinata. Ada misi khusus yang harus ia jalani. Ia juga tahu kalau kau tak punya waktu untuk merawatnya. Maka itu, dia pun memaksa Hinata agar mau dirawat intensif di Rumah Sakit. Ia juga meminta tolong pada Sakura, kalau kunoichi itu sudah selesai melaksanakan misinya, agar segera menemani Hinata di Rumah Sakit. Kasihan dia sendiri," jelas Kankurou.

"Baguslah kalau begitu," Gaara kembali berkutat pada dokumennya. Kankurou memandang adiknya yang kian serius membaca dokumen-dokumen itu.

"Hari ini dokumen-dokumenmu biar aku yang ambil alih," Gaara menatap bingung dengan perkataan Kankurou, "Temuilah istrimu. Ia lebih membutuhkanmu sekarang," Gaara mengerti maksudnya. Ia menatap langit senja dari jendela di ruangannya.

"Baiklah," Gaara bangkit dari duduknya. Berjalan keluar ruangan.

"Gaara, sebelum itu..." Kankurou mengambil bunga yang entah tadi ia simpan dimana, "Aku memetik bunga ini saat aku misi beberapa hari yang lalu. Kurasa bunga ini tak cocok untukku. Ini kuberikan untukmu," Kankurou menyodorkan bunga yang dipegangnya ke depan Gaara, "Tapi kau harus memberikan bunga ini untuk istrimu," Gaara menatap bunga dihadapannya.

'Apa maksudnya? Itu sih sama saja diberikan ke Hinata. Bukan untukku,' batinnya.

"Anggap saja itu adalah buah tanganmu untuk Hinata," lanjut Kankurou. Gaara mengangguk, menerima bunga di hadapannya. Ia kembali berjalan meninggalkan ruang Kage.


Gaara menuju ruangan yang tadi diberitahukan oleh suster. Tangan kirinya memegang bunga yang diberikan Kankurou, sedang tangan kanannya bersiap untuk mengetuk pintu di depannya. Namun, ia dengan cepat menghentikan gerakannya, ketika mendengar Hinata berbicara dari dalam ruangan.

'Berbicara dengan siapa? Sakura?' Gaara mendekatkan telinganya ke arah pintu. Berusaha mengenali suara lawan bicaranya Hinata, 'Ini bukan suara Sakura. Ini suara...laki-laki. Siapa?' Gaara pernah mendengar suara laki-laki itu di suatu tempat. Naruto? Tentu bukan. Suara di dalam tidak seperti suara sahabatnya.

Gaara memegang kenop, membuka pintu perlahan agar tidak ada yang menyadari kehadirannya. Gaara mengintip dari celah-celah pintu yang berhasil ia buka sedikit. Ia langsung mengenali siapa laki-laki yang kini dengan istrinya.

'Sasuke? Apa yang dilakukannya?' pikirnya. Tangan Gaara mengepal. Ia langsung mengurungkan niatnya menjenguk Hinata. Ia membalikkan badannya, berjalan keluar dari Rumah Sakit itu. Namun, ia langsung berpapasan dengan seseorang.

"Gaara-sama," Gaara menoleh, mencari sosok yang baru saja mengenalinya. Matsuri rupanya.

"Gaara-sama pasti habis menjenguk Hinata-sama, ya? Aku juga ingin menjenguknya. Bagaimana keadaan Hinata-sama? Apa sudah baikan?" Matsuri berjalan menghampiri pemuda itu. Gaara yang tentu masih kesal mengingat Hinata bersama laki-laki lain selain dirinya menjawabnya ketus.

"Aku tak tahu," Matsuri memandang gurunya heran.

"Gaara-sama tidak menjenguk Hinata-sama? Jadi apa yang Gaara-sama lakukan disini?" tanya Matsuri lagi.

"Aku menjenguk shinobi yang terluka karena misi berbahaya yang kuberikan beberapa waktu yang lalu," jawab Gaara asal. Matsuri mengangguk mengerti. Walaupun sebenarnya merasa aneh dengan alasan Gaara. Namun ia tak berani menanyakannya lebih jauh.

"Oh iya, ini untukmu," Gaara memberikan bunga yang daritadi dipegangnya ke Matsuri.

"Eh, ini untukku? Dari Gaara-sama?" Matsuri seolah tak percaya. Namun ia menerimanya dengan senang hati. Jarang-jarangnya kan Gaara memberikan bunga untuknya. Tidak, ini baru pertama kalinya.

"Itu bukan dariku. Itu dari shinobi yang kujenguk tadi," ucap Gaara makin ngawur, lalu pergi meninggalkan Matsuri tanpa pamit. Matsuri tak peduli apa yang tadi Gaara katakan. Yang penting bunga itu ia dapat dari Gaara, orang yang lama menjadi incarannya.


Beberapa hari setelah kejadian itu, Gaara tidak kembali ke rumah. Padahal ia tahu Hinata sudah sembuh dan sudah balik ke rumah. Hanya saja Gaara memang sedang malas menemui Hinata. Namun karena ada suatu hal yang mendesak –dokumen penting yang disimpan di rumah- mengharuskannya untuk mengambil barang itu ke rumah dan mau nggak mau ia harus menemui Hinata.

"Gaara-kun," tak dihiraukannya sapaan sang istri. Ia beranjak ke kamarnya. Membuka laci meja yang terkunci lalu mulai mengobrak-abrik barang di dalamnya.

"Gaara-kun, beberapa hari yang lalu kau ke Rumah Sakit? Kenapa kau tidak menemuiku?" tanya Hinata yang setia berdiri di belakang suami yang masih sibuk mencari barangnya.

"Aku tahu ini semua dari Matsuri ketika ia datang menjengukku beberapa hari yang lalu. Katanya, pada hari itu kau juga memberikannya bunga yang cantik, ya?" Tak ada jawaban dari Gaara. Hinata menelan salivanya, ia kembali berbicara, "Aku memang tak heran. Seorang guru memberikan hadiah ke muridnya adalah hal yang biasa bukan? Tapi ketika mendengar cerita Matsuri..." Hinata memutuskan kata-katanya, berharap agar air matanya tidak jatuh sekarang juga.

"Mendengar cerita Matsuri tentangmu... tentang kau yang begitu memperhatikannya...kau yang begitu menyayanginya dibandingkan yang lain...membuatku sedikit merasa...cemburu," suara Hinata makin lama makin pelan. Tapi Gaara tetap masih bisa mendengar.

"Sepertinya Matsuri menyukaimu. Aku merasa sedikit bersalah karena katanya setelah kita menikah kau mulai menjauhinya. Padahal sebelum itu kau sangat dekat dengannya," air mata Hinata mulai menggenang di ujung matanya. Hinata mengedipkan matanya beberapa kali agar air mata yang keluar tidak semakin banyak. Sedangkan Gaara masih tetap diam. Ada satu kesimpulan yang ia dapatkan. Matsuri sudah cerita yang tidak-tidak tentang dia ke Hinata.

'Bagaimana aku tak dekat dengannya? Aku dan dia adalah Guru dan murid. Setelah aku menikah, tugasku membimbingnya kan sudah selesai. Sudah pasti aku tak dekat lagi dengannya kecuali jika ada hal penting,' batin Gaara yang setia mendengar perkataan demi perkataan istrinya itu.

"Aku tak tahu ada apa kau dengan Matsuri. Tapi...jika memang karena Matsuri yang membuatmu selalu menghindariku. Aku...Aku rela diceraikan olehmu, agar kau bisa menikahinya. Jika...Jika memang itu yang bisa membuatmu baha..."

'BRAKKK' kata-kata Hinata terpotong karena ulah Gaara yang dengan sengaja memukul meja di depannya. Hinata sontak kaget dengan tingkah Gaara.

"CUKUP" teriak Gaara, "Aku sudah pusing dengan pekerjaanku. Jangan buat aku tambah pusing dengan urusanmu," Gaara meninggalkan Hinata tanpa sempat mengunci kembali laci mejanya. Hinata tahu, ia sudah bicara yang salah di waktu yang salah. Tapi ia tidak ingin memendam hal itu terlalu lama. Hinata terduduk sambil memeluk kakinya. Wajahnya ia benamkan di lututnya. Ditumpahkan semuanya yang tadi ia coba tahan.


Hari ini Gaara bebas kerja. Bukan karena ada hari khusus yang meliburkan semua pekerjannya hari ini digantikan dengan senang hati oleh Kankurou dan Temari. Kedua kakaknya itu berharap, agar hari ini Gaara bisa cepat menyelesaikan urusannya dengan Hinata. Mereka tahu, ada masalah antara Gaara dan Hinata, meskipun Gaara tidak pernah menceritakan apapun kepada mereka.

Sayangnya Gaara tidak menggunakan kesempatan itu dengan baik. Ia malah tidur seharian, tapi bukan di kamarnya. Ia numpang tidur di kamar Naruto dan Sasuke tempati. Tentu saja Temari dan Kankurou tidak tahu tentang hal ini. Kalau tahu, Gaara pasti tidak jadi libur.

Hinata sendiri ternyata tidak tahu akan keliburan Gaara. Dari pagi ia sibuk berjalan keliling Suna, mencoba menenangkan pikirannya akhir-akhir ini.

"Hai, Hinata," sapa seorang laki-laki yang dikenalnya.

"Sasuke-kun?" Hinata menghampiri sosok laki-laki yang melambaikan tangan ke arahnya.

"Sedang apa kau sendirian?" tanya Sasuke ketika Hinata sudah tepat di depannya.

"Aku sedang berjalan-jalan saja," jawab Hinata seadanya.

"Kebetulan aku senggang. Sebenarnya sih aku lebih ingin menjalani hari ini di dalam kamar penginapan saja. Tetapi karena ada yang numpang tidur di kamarku, aku jadi ingin menikmati pemandangan di luar saja," jelas Sasuke, "Bolehkah aku ikut bersamamu?" tanya Sasuke. Hinata mengangguk. Mereka pun jalan berdua berdampingan. Tadinya Hinata ingin menanyakan siapa orang yang numpang tidur di kamar Sasuke. Tapi karena takut dikira ikut campur, Hinata mengurungkan niatnya.

Jantung Sasuke berdetak lebih cepat ketika berjalan dengan Hinata. Ia tak tahu kenapa ini bisa terjadi. Perasaan ini mulai muncul ketika Sasuke menemani Hinata di Rumah Sakit beberapa hari yang lalu.

"Jadi, besok pagi kau akan kembali ke Konoha?" tanya Hinata setelah mendengar semua cerita dari Sasuke.

"Begitulah. Misi kami sudah selesai dari kemarin. Hari ini kami hanya bersantai-santai saja di Suna," jelas Sasuke. Hinata menunduk. Tergambar ekspresi sedih di wajahnya.

"Wah, kau sedih ya?" Sasuke menyeringai melihat ekspresi orang disebelahnya. Hinata menggeleng cepat.

"Ti-Tidak. Hanya saja aku merasa...kembali kesepian," Hinata menundukkan kepalanya semakin dalam," Tidak ada lagi yang mengajakku ngobrol seperti sekarang ini.

"Bagaimana dengan Gaara dan kedua kakaknya?" tanya Sasuke.

"Kedua kakak Gaara memang sangat baik. Tapi mereka sangat sibuk. Terutama Gaara. Dia adalah seorang kazekage. Waktuku untuk bisa bersamanya sangatlah sedikit," cerita Hinata dengan raut wajah yang sedih. Sasuke menjadi iba akan nasib Hinata.

"Bagaimana kalau kau ijin berlibur ke Konoha. Untuk beberapa hari saja kok," usul Sasuke. Namun Hinata langsung menggelengkan kepalanya. Tanda tak menyetujui usulnya.

"Maaf, aku tak bisa. Sebagai istri Gaara. Aku harus selalu berada di sisinya," Hinata tersenyum lembut ke arah Sasuke. Sasuke menyadari, walaupun cinta belum tumbuh di hati Hinata, tapi Hinata selalu berusaha untuk setia dengan Gaara. Hal ini makin membuatnya susah untuk mencuri hati Hinata. Dia tak tahu entah kenapa terlintas pikiran ingin merebut Hinata dari sisi Gaara, meskipun pada kenyataannya ia sudah tahu kalau Hinata dan Gaara sudah menikah.

Tak terasa mereka sudah sangat lama berjalan. "Sudah waktu makan siang. Lebih baik kita mampir dulu di kedai makanan. Setelah itu baru kuantar kau pulang," usul Sasuke. Hinata mengangguk.

Selesai makan, mereka pun pulang. Hinata terkejut melihat Gaara sudah menunggunya di depan rumah dengan tatapan dingin dan perasaan cemburu melihat ia berjalan dengan Sasuke.

"Ga-Gaara-kun," Hinata berlari menghampiri Gaara, "Ma-Maaf..." Hinata membungkukkan badannya dalam-dalam. Takut melihat wajah marah Gaara. Cepat-cepat Hinata merogoh saku celananya, mencari kunci rumah lalu membuka pintu rumah yang sedari tadi terkunci. Hinata pun kembali membungkukkan badannya, "Gaara-kun, sekali lagi aku minta maaf," Gaara dan Sasuke saling bertatapan tajam. Hinata sepertinya tahu apa yang Gaara rasakan.

"Gaara-kun, aku hanya kebetulan bertemu dengannya kok. Kami hanya jalan-jalan bersama, kemudian dia mengantarkanku pulang. Itu saja," Hinata mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Takut Gaara akan berpikiran yang tidak-tidak.

"Aku tak peduli," ujar Gaara datar tapi penuh kebohongan. Jelas-jelas sedari tadi dia mondar-mandir bingung karena Hinata tak ada di rumah. Ia takut Hinata kabur lagi seperti dulu ketika sehari setelah pernikahan mereka. Untungnya Gaara dengan cepat menemukan keberadaan Hinata dan langsung menariknya pulang.

"Ga-Gaara-kun sudah me-menunggu lama?" tanya Hinata takut-takut.

"Baru 2 jam," Hinata kembali membungkukkan badannya lagi.

"Maaf...Aku benar-benar minta maaf. Aku tak tahu kalau Gaara-kun akan pulang cepat," Hinata benar-benar menundukkan wajahnya takut melihat wajah Gaara yang murka padanya.

"Hari ini dia libur, apa kau tak tahu?" Hinata mengangkat kepalanya. Melihat sosok yang berbicara dengannya.

"Dari semalam ia menumpang tidur di kamarku dan Naruto," jelas Sasuke tanpa wajah dosa. Gaara menatap Sasuke sinis.

'Apa-apaan dia membongkar rahasiaku segala? Ingin cari muka dengan Hinata, ya?' tatap Gaara penuh selidik, 'Sepertinya yang harus aku waspadai bukan Naruto tetapi dia,'

"Hinata aku pulang dulu, ya," pamit Sasuke sopan.

"Iya. Terima kasih sudah mengantarkanku pulang," Hinata membungkuk hormat.

'Pamit ke seorang kazekage saja tidak. Benar-benar tak tahu sopan santun,' batib Gaara kesal sambil menatap punggung Sasuke yang lama-lama semakin menjauh. Gaara pun masuk ke dalam rumah. Hinata mengikuti di belakangnya.

"aku...lapar," ujar Gaara pelan. Tapi kata-katanya mampu didengar oleh Hinata.

"Ga-Gaara-kun belum makan?" tanya Hinata kaget.

"Waktu menunggumu tadi tak ada makanan jatuh dari langit sih," jawab Gaara asal.

"Ma-Maaf. Pasti tadi benar-benar lapar. Biar kusiapkan makanan untukmu," Hinata bergegas ke dapur. Mencari bahan makanan yang bisa diolah untuk santapan sang suami. Sedang Gaara menunggu di ruang makan. Ketika hidangan sudah siap, Hinata mengambil kursi, duduk berhadapan dengan kaze muda itu. Gaara menatap Hinata sebentar.

"Kau tidak makan?" Gaara mengambil sumpit yang tersedia di sebelah kanannya.

"Eh? A-Aku...Sudah..."

"Kau sudah makan dengan Sasuke?" Gaara memotong perkataannya. Hinata mengangguk pelan. Gaara pun makan dengan hening. Tak ada yang mau membuka pembicaraan. Hinata pun akhirnya memberanikan diri mengangkat suara.

"A-Anu...Ga-Gaara-kun, maafkan aku tentang pembicaraanku waktu itu,"

"Masalah itu tidak perlu kita bahas lagi," ujar Gaara dingin. Hinata mengangguk. Suasana kembali hening.

"Bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah benar-benar sehat?" tanya Gaara disela-sela makannya. Hinata mengangguk cepat.

"Ya, aku sudah kembali sehat," Hinata tersenyum lembut.

"Siapa yang menjagamu ketika kau di Rumah Sakit," tanyanya lagi.

"Sakura yang menemaniku. Tapi ketika dia berhalangan datang, Sasuke atau Naruto yang akan menggantikannya," jelas Hinata.

'Jadi waktu aku menjenguknya, Sakura sedang berhalangan hadir, ya,' batin Gaara. Ia pun bangkit dari duduknya setelah menghabiskan semua hidangan yang disajikan Hinata.

"Hinata, malam ini kau tak perlu masak makan malam. Naruto mengundang kita makan malam di luar, karena besok ia sudah harus kembali ke Konoha," Gaara kembali ke kamarnya.

"I...Iya. Aku tahu,"


"Hmm...ternyata jadi kazekage itu sulit, ya?" keluh Naruto mendengar cerita Gaara tentang pekerjaannya sebagai kage.

"Makanya Naruto, sudahi saja mimpi hokagemu," sambung Sakura.

"Tidak. Aku tidak akan menyerah. Justru karena penuh rintangan itulah yang membuatku makin bersemangat," ujar Naruto dengan semangat yang menggebu-gebu.

"Huh, Naruto, kau selalu saja begitu," gerutu Sakura.

Di kedai makanan inilah kini mereka semua berada. Letak kedai itu memang tak jauh dari tempat penginapan Naruto. Mereka sengaja memilih tempat duduk di pojok dekat jendela agar mereka bisa sambil menikmati pemandangan Suna di luar. Sasuke, Naruto, dan Sakura duduk berhadap-hadapan dengan Hinata dan Gaara. Sedari tadi hanya Naruto, Sakura, dan Gaara saja yang asyik ngobrol. Tepatnya sih Gaara yang dipaksa Naruto untuk bercerita tentang kerjanya sebagai kage. Sedang Sakura dengan setia mendengar cerita datar Gaara sesekali memberikan tanggapan. Namun Hinata dan Sasuke sejak mereka kumpul hanya diam. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tiba-tiba saja mata Sasuke melirik ke arah piring Hinata yang tepat berada di depannya.

"Kau tak suka ini?" tanya Sasuke, sumpitnya menunjuk ke sayuran yang dipinggirkan Hinata. Hinata menggeleng pelan. Pandangan Gaara, Sakura, dan Naruto langsung beralih ke Sasuke yang dengan sigap mengapit sayur itu dengan sumpitnya, kemudian menyodorkan sayuran itu tepat di depan mulut Hinata. Sakura dan Naruto tentu heran dengan perilaku sahabatnya itu. Gaara? Dari tadi dia sudah mengepal tangannya mencoba menahan diri agar dia tidak membunuh si Uchiha itu di tempat ini juga.

"Ayo, makan. Enak, kok," Sasuke sedikit memaksa agar Hinata mau membuka mulutnya.

"Sa-Sasuke-kun, ti-tidak perlu," muka Hinata memerah dengan perlakuan Sasuke. Namun itu kesempatan bagi Sasuke untuk segera memasukkan sayuran itu ke dalam mulut Hinata. Mau gak mau Hinata harus mengunyah makanan yang sudah terlanjur berada di mulutnya.

"Tuh, kan enak," Sasuke tersenyum setelah berhasil membuat Hinata memakan Sayuran yang dari tadi dipinggirinya.

'BRAKKK'

Gaara memukul meja di depannya. Semua pengunjung di kedai itu sontak melihat ke arah sumber kebisingan itu.

"Aku lelah, mau pulang," Gaara langsung berdiri.

"Gaara-kun, tapi kau belum menghabiskan makananmu," Sakura menunjuk ke piring Gaara yang masih tersisa banyak.

"Aku tak nafsu," Gaara langsung menatap Sasuke penuh dengan niat membunuh. Sasuke tentu membalas menatapnya.

'Kenapa? Kau ingin menyuapiku juga seperti yang kau lakukan pada istriku?' batin Gaara. Ia lalu segera keluar dari kedai itu. Hinata mengejar Gaara. Sebelum itu ia membungkukkan badannya ke ketiga temannya, pamit pulang. Sakura dan Naruto tahu apa penyebab Gaara seperti ini.

"Dia cemburu?" cengir Naruto.


"Gaara-kun," panggil Hinata berlari kecil menghampiri Gaara yang makin mempercepat langkahnya. Gaara mengacuhkan panggilan sang istri. Hinata sendiri jadi susah menyamakan langkahnya dengan Gaara.

Sesampainya di rumah, Gaara langsung masuk ke dalam rumah, tak mempedulikan Hinata yang tertinggal di belakang. Di depan rumah mereka ada sebuah surat. Hinata yang melihat amplop putih itu langsung mengambil, membuka, dan membaca isi surat yang diperuntukkan untuknya. Hinata membulatkan matanya membaca isi surat itu. Ia masuk ke dalam, mencari Gaara yang sudah lebih dulu masuk ke rumah.

"Ga-Gaara-kun, kumohon tolong baca ini," Hinata menyodorkan secarik kertas yang tadi dipegangnya. Gaara sebenarnya enggan membacanya, tapi pada akhirnya ia mau juga.

"Kau mau, bagaimana?" tanya Gaara setelah selesai membaca isi surat itu.

"A-Aku ingin ke Konoha untuk merawat ayahku," ujar Hinata tertunduk. Sedih melihat isi surat itu tentang ayahnya yang sedang sakit parah.

"Tapi aku tak bisa menemanimu. Aku sedang sibuk," Gaara melipat kembali kertas yang dipegangnya.

"Tak apa, aku bisa sendiri,"

Gaara menghela napasnya, "Kapan kau akan berangkat?" tanya Gaara lagi.

"Secepatnya. Mungkin besok pagi. Kebetulan, aku jadi bisa pergi bersama Naruto, Sasuke, dan Sakura,"

Gaara membulatkan matanya, 'Benar juga. Mereka kan akan kembali ke Konoha besok pagi. Ini sih menurutku bukan kebetulan namanya,' pikiran Gaara mulai kacau. Apa yang akan dilakukan si Uchiha itu jika ia akan pulang bersama Hinata besok. Ada dirinya saja dia sudah berani macam-macam ke Hinata. Apalagi kalau tak ada dirinya. Tamatlah ia jika membiarkan Hinata berdua dengan Sasuke di Konoha.

~ TBC ~

Kritik, Saran, Hujatan, Flame, Saya terima dengan senang hati ^_^