Satu satunya yang aku ingat saat aku bangun adalah ruangan yang serba putih, juga orang orang mengenakan setelan serba putih yang mengelilingi ku. Mereka mengatakan aku mengalami amnesia pasca kecelakaan.
Ya, katanya semua ingatanku akan kembali dalam beberapa waktu kedepan.
Tapi bagaimana jika dalam usaha ku mencari sepenggal kenangan yang hilang, aku malah menemukan diriku 'yang lain' terbaring diranjang; dengan beberapa selang yang berada disekitar tubuhnya.
.
.
.
Title : Clone
Rated : T
Main Cast : Kim Jongin x Oh Sehun
Genre : Romance , Tragedy
Disclaimer : Semua tokoh yang ada dalam cerita ini milik dirinya sendiri, keluarga, agency yang menaungi mereka, juga (tentunya) milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Ide dan alur cerita sepenuhnya milik Author dan berasal dari kepala super ngawur milik Author. Jika ada kesamaan cerita, tokoh, alur itu adalah ketidaksengajaan. Mohon dimaklumi, Author tidak sempurna karena yang sempurna hanyalah Tuhan Yang Maha Esa #ea
.
.
.
Dalam sebuah ruangan yang sengaja di cat serba putih itu terlihat beberapa orang hilir mudik, diantara mereka berpakaian layaknya perawat dan yang lainnya memakai jas serba putih.
Oh ya, mengingat ini adalah rumah sakit; sudah dipastikan bahwa mereka memang seorang dokter dan juga beberapa perawat yang menemani pemeriksaan.
Adalah seorang pemuda berkulit tan yang terbaring diatas ranjang, dengan kelopak yang mengedip dengan lemah.
"Jongin –kau dengar kami, nak?" Suara bariton terdengar masuk rungu. Begitu asing bagi si pemuda yang terbaring, tapi itu tak menghalangi reaksinya untuk mengubah arah pandang pada seorang pria paruh baya yang tengah berdiri dengan raut wajah yang amat cemas disana.
"Jongin?"
Lagi, sang lelaki paruh baya memanggilnya. Dan lelaki lain yang terbaring disana hanya mengerang pelan sebagai jawaban.
"Oh –dia sudah sadar Ya Tuhan!" Suara lain terdengar, kali ini berasal dari seorang wanita yang berdiri disebelah lelaki paruh baya tadi. Isak tangisnya pecah, tak lupa dengan tubuh tergesa mendekati pemuda yang terbaring; terburu memeluknya erat.
"Jongin-ah!"
Pelukan wanita itu makin erat, dan pemuda yang terbaring –yang mempercayai dirinya sebagai Jongin itu lagi-lagi hanya bisa mengerang pelan. Antara kesadaran yang belum pulih, dan juga tubuhnya yang masih serasa lemas untuk memberikan reaksi lebih.
"Maaf merusak momen bahagia anda Nyonya Kim, tapi kami harus melakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan anak anda benar-benar pulih pasca kecelakaan."
Oh, jadi ini ibunya.
Tapi tunggu –kecelakaan?
Panjang lebar penjelasan yang Jongin dapatkan setelah pemeriksaan, bukan dari dokter; melainkan dari seorang wanita paruh baya yang ternyata adalah ibunya sendiri. Hampir satu jam lamanya Jongin hanya mendengarkan sambil berbaring diatas ranjang, membiarkan sang ibu berbicara soal kecelakaan yang membuatnya koma hampir tiga tahun lamanya.
Ya, tiga tahun. Tepatnya dua tahun, sebelas bulan, dua puluh satu hari Jongin tak sadarkan dirinya.
Jadi wajar kalau saat bangun tadi ia sama sekali tak mengingat apapun. Mungkin otaknya sedikit linglung ketika tubuhnya mendapat kekuatan untuk bangun setelah sekian lama tidur terbaring.
"Ini hanya sementara, sayang. Cepat atau lambat ingatanmu pasti akan kembali." Wanita paruh baya itu coba menenangkan, namun yang terjadi sang ibu malah menangis tersedu-sedu lagi. Untuk yang kesekian kalinya Jongin harus melihat adengan ayahnya yang kembali menenangkan sang ibu yang menangis.
Jongin tersenyum, diantara selang yang dipakai dihidungnya ia terkekeh pelan. "Tak usah khawatir, Bu. Aku bisa bertahan sejauh ini, semua ingatan yang hilang itu tidak berarti selama Ibu bisa tersenyum kembali."
Niat hati ingin membantu ayahnya yang menenangkan sang ibu yang menangis, tapi kata-kata Jongin malah membuat wanita paruh baya disana makin terisak.
Oh tidak, sepertinya Jongin salah bicara.
Hari yang normal kembali menghampiri Jongin, sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dikatakan normal. Karena untuk ukuran dirinya yang baru kembali dari koma selama tiga tahun dan harus melakukan beberapa bulan latihan agar otot-ototnya bisa kembali terbiasa bergerak, Jongin harus mengulang masa sekolahnya yang sempat ia tinggalkan selama dirinya terbaring dirumah sakit.
Dan jadilah sekarang, seorang lelaki berkulit tan mematut dirinya didepan cermin; mengenakan seragam sekolah yang sebenarnya sedikit tidak cocok untuk dirinya.
Apa ini tidak terlalu memaksakan?
Jongin tersenyum kecut, melihat raut wajahnya yang lebih pantas mengenakan setelan jas ala pegawai kantor; tapi sekarang dirinya malah tengah sibuk merapikan dasi khas anak sekolah menengah atas.
"Jongin-ah! Sarapan sudah siap. Cepat turun, nak!"
Teriakan sang ibu terdengar sampai ke lantas atas, menginterupsi Jongin yang masih bersiap didepan cermin. Persetan dengan dasi, pikir Jongin sambil menyambar ranselnya ditepi ranjang. Kemudian bergegas keluar kamar.
"Ya ya ya, aku turun, Bu." Sahutan Jongin tak kalah keras, sembari tungkainya menuruni anak tangga; celah bibirnya kini mengulum senyum untuk beberapa wanita yang ada didapur.
Ah, itu sang ibu dan beberapa pembantu yang menolong ibunya memasak.
Sebenarnya Jongin berasal dari keluarga yang bisa dikatakan sangat berkecukupan –ralat; keluarga Jongin memang kaya raya. Dan sebenarnya lagi, sang ibu tak perlu repot-repot memasak untuk sarapan. Karena sudah ada beberapa pembantu yang dipekerjakan, sehingga dalam hitungan menit saja hidangan bisa tersaji dimeja makan tanpa sang ibu yang ikut turun tangan.
Tapi hari ini pengecualian, karena kata ibunya 'hari ini hari special' jadi sang ibu lah yang akan memasak.
"Ayah dimana?" Sebuah pertanyaan terlontar seiring dengan Jongin yang duduk dikursi sebelah ibunya, menunggu para pelayan yang menyiapkan hidangan dipiringnya.
"Sebentar lagi dia keluar –oh Yeobo cepatlah, Jongin sudah menunggu!" Nada suara ibunya meninggi, terlihat tak sabaran ketika melihat suami yang baru membukakan pintu.
"Ya ya ya, aku sedang berjalan. Tidakkah kau lihat, sayang?"
Jongin terkekeh geli, bergantian menatap ayah dan ibunya yang kini bertengkar heboh hanya karena keterlambatan menuju meja makan.
Tak ada yang istimewa dari hari pertama sekolah; selain dirinya yang jadi pusat perhatian saat perkenalan didepan kelas. Selebihnya terasa biasa menurut Jongin, entah karena dirinya yang belum mengingat apapun atau memang sifat Jongin yang lebih pendiam ditengah keramaian. Dirinya sama sekali tak nyaman berbaur dengan yang lain.
Bukan tak bisa, hanya merasa tak nyaman. Tolong garis bawahi itu. Karena sejatinya 'tidak bisa' dan 'tidak nyaman' adalah dua hal yang sangat berbeda.
Mungkin Jongin belum terbiasa.
Tapi entah kenapa kegiatannya disekolah membuat dirinya terasa familiar.
Oh, mungkin aku pernah bersekolah sebelum kecelakaan.
Otak Jongin menjawab sementara hatinya meragu, rasanya ada beberapa potong kilas kenangan yang terbayang dalam angan; walaupun Jongin tak yakin itu dirinya atau bukan.
"Kau baik-baik saja, kawan?" Tepukan dipundak terasa, menginterupsi lamunan Jongin disudut ruang kelasnya.
"Yeah."
"Kerjaanmu melamun terus." Komentar si penepuk pundak terdengar setelahnya, tak lupa memposisikan dirinya duduk tepat dihadapan Jongin. Sok akrab sekali, suara imajiner Jongin meringis risih –walaupun celah bibirnya mengulum senyum.
"Perkenalkan, aku Kim Doyoung."
Oh ya? Sungguh, aku tak mau tahu. Seulas senyum terpatri sebagai jawaban, rasanya Jongin tak perlu balas memperkenalkan diri; seisi kelas sudah tahu namanya saat pelajaran pertama tadi.
"Kau tidak mau pergi ke kantin, Jongin?"
Kini pertanyaan dari lelaki yang sama-sama bermarga Kim ini sukses membuat atensi Jongin mengedar, dari pemandangan lapangan diluar jendela ke penjuru ruang kelas yang hanya menyisakan beberapa murid termasuk dirinya dan juga Doyoung. "Tidak."
Doyoung menggerutu, jangan lupakan bibir yang sengaja dibuat mengerucut itu. Bukan menggemaskan, bagi Jongin itu malah menggelikan.
"Kau memang tidak banyak bicara, ya?" Lagi, pertanyaan dari Doyoung terlontar. Tapi kali ini terkesan kesal-kesal-manja.
Oh, ayolah. Jongin bukan tidak mau banyak bicara. Ia hanya perlu waktu beberapa saat untuk sendirian, untuk memikirkan kilasan kenangan yang terasa familiar ini.
Jongin berdeham, sementara Doyoung yang duduk dihadapan Jongin mengubah posisi duduknya membelakangi sang pria tan. "Kau tidak asik." Katanya sambil menyandarkan kepalanya diatas meja, dengan tangan yang terlipat sebagai alas. "Lebih baik aku tidur saja." Lanjut Doyoung masih terdengar sedikit manja.
Sementara Jongin sendiri hanya bisa memutar bola mata, sedikit jengah mendengar cara bicara Doyoung yang terkesan sok akrab.
Mungkin bukan sok akrab, tapi Jongin yang terlalu tertutup dan sedang ingin sendirian.
Kedekatan Jongin dengan Doyoung berlanjut, bukan layaknya persahabatan anak sekolah pada umumnya. Tapi Jongin yang melihatnya lebih merasa seperti 'anak ayam yang baru menemukan induknya yang hilang'.
Dimana ada Jongin, pasti disitu ada Doyoung yang selalu mengekori.
Bahkan seperti sekarang ini, Jongin yang sedang menunggu jemputan ayahnya pun tak luput dari aksi menempel manja milik Doyoung. Sebenarnya tak benar-benar menempel, tapi posisi duduk Doyoung yang berdekatan ini yang membuat Jongin sedikit risih.
"Disana banyak ruang, kenapa menempel padaku terus, sih?!" Jongin menggerutu, lengannya terdorong untuk membuat bahu Doyoung menjauh.
Namun sia-sia, karena Doyoung malah cengengesan tak berdosa disana. "Disana dingin, kalau dekat-dekat 'kan jadi hangat."
Alasannya terdengar tak masuk akal, Jongin memutar bola matanya malas. Pada akhirnya membiarkan Doyoung bersandar pada bahunya. Seperti biasa.
"Kau dijemput ayahmu?"
"He em."
"Tidak mau pulang bersamaku saja?"
"Hm."
"Yakin?"
"He em."
"Padahal aku mau kenalkan kau pada seseorang."
Alis Jongin terangkat, menatap Doyoung dengan sepasang manik yang terlihat curiga. Apa bocah ini sedang mengatur kencan buta untuknya?
"Kan! Kau terlihat penasaran." Telunjuk Doyoung tepat mengarah pada hidung Jongin, dan sukses membuat Jongin mendengus kesal. "Baiklah, baiklah." Tawa Doyoung terdengar, dan itu menjengkelkan menurut Jongin. "Aku akan memberitahukanmu, kalau kau mau pulang bersamaku."
"Tidak."
"Ayolah."
"Tidak."
"Padahal aku tidak sedang mengatur kencan buta untukmu."
Eh? Bocah ini bisa baca pikiran Jongin?
"Mungkin kau mengenalnya sebelum kecelakaan."
Alis Jongin terangkat. Lagi. Kali ini sedikit menjauhkan tubuhnya dari Doyoung, hanya untuk melihat keseriusan raut dari teman sok akrab yang selalu mengekorinya kemanapun Jongin pergi.
"Dia bilang ingin bertemu denganmu, makanya aku ajak kau pulang bersamaku."
Sial –Doyoung memang tidak sedang bercanda.
Dan disini lah Jongin, disebuah cafe dengan Doyoung duduk dihadapannya. Dua gelas dengan menu yang sama tersaji (sebenarnya itu karena Jongin yang tak ingin memesan, namun karena paksaan akhirnya ia memesan minuman yang sama dengan Doyoung).
"Minuman ini yang paling mahal, kau harus mencobanya!" Doyoung terlihat antusias menyeruput isi dalam gelas, namun Jongin memilih memalingkan wajah keluar jendela.
"Seseorang yang akan aku kenalkan ini sangat kaya, dia bilang akan mentratirku apa saja jika bisa membuatnya bertemu denganmu."
Oh sudah Jongin duga, pasti ada udang dibalik batu. Doyoung tidak mungkin tiba-tiba jadi malaikat penolong jika tak ada bayarannya.
"Jadi, pesan saja yang paling mahal. Nanti biar dia yang bayar." Lanjut Doyoung setelah menghabiskan setengah isi dalam gelas.
Sebenarnya bocah ini kehausan atau bagaimana?
Menit demi demi Jongin habiskan dalam diam, memperhatikan Doyoung yang malah sibuk memesan beberapa makanan lagi.
Ini bukan jebakan, kan? Jangan bilang kalau si Doyoung menyebalkan ini sengaja memesan banyak makanan kemudian membuat Jongin membayar semuanya?
"HYUNG!"
Teriakan Doyoung membuyarkan lamunan Jongin, lambaian tangan dari pemuda dihadapannya membuat Jongin mengikuti arah pandang Doyoung.
"Doyou –ASTAGA JONGIN!" Lelaki itu setengah berteriak, terburu menghampiri Jongin dan memeluknya. Rasanya seperti deja vu.
Rasanya sama seperti dirinya yang baru sadar kemudian dapat pelukan erat dari ibunya.
Bedanya ini pelukan dari seorang lelaki. Dan Jongin tak mengenalnya.
Belum. Mungkin belum mengenalnya.
"Bagaimana kabarmu, kawan? Aku tak percaya ketika Doyoung mengatakan ia satu sekolah denganmu. Ya Tuhan, sudah lama sekali sejak–"
"Maaf, kau siapa?" Jongin menginterupsi, rasanya akan ada banyak pertanyaan lain yang ditujukan padanya. Sementara ia sendiri masih kebingungan dengan identitas sang lelaki asing ini.
"Kau tidak mengingatku?" Mencelos. Suara lelaki yang merenggangkan pelukannya pada Jongin itu berubah 180 derajat, terasa ada kekecewaan yang terselip disana.
"Sudah kubilang, hyung. Jongin amnesia. Dia tidak mungkin mengingatmu." Doyoung menginterupsi ditengah dirinya yang tengah menyantap hidangan yang baru dipesannya.
Manik lelaki itu beralih, menatap Doyoung dengan sama kecewanya. Hei, bagaimana tidak kecewa jika bertemu dengan sahabat lama mu tapi dia malah tidak mengingatmu sama sekali?
Itu menyedihkan sebenarnya.
"Aku Kim Jungmyeon. Teman sekolahmu dulu, kita sebangku dan kita pernah dalam satu kelompok yang sama –dan –dan –yeah, banyak yang kita lalui bersama saat sekolah dulu." Harapan dimanik lelaki bernama Jungmyeon itu tak bisa disembunyikan, namun Jongin menggeleng lemah dengan tatapan bingung yang sama sekali tak berubah.
"Maaf." Bisik Jongin menyesal, sementara Jungmyeon yang sudah duduk diantara Jongin dan Doyoung hanya tersenyum pahit. "Aku belum mengingatmu."
"Dulu kita sering membolos bersama, bahkan berebut wanita yang sama. Kau ingat Krystal? Si gadis populer dari kelas A itu? Kita bahkan pernah berkelahi karena dia."
Kembali dengan senyuman, Jongin kembali menggeleng. Antara menyesal dan bingung, juga tak bisa melakukan apa apa. Karena memang sudah tidak ada kenangan dalam angan yang bisa diingat otaknya.
Helaan napas terdengar dari Jungmyeon terdengar, mungkin lelaki itu kecewa lagi. Tapi sejatinya Jongin memang tidak bisa melakukan apa-apa.
"Terakhir aku melihatmu kau masih terbaring diatas ranjang, dengan beberapa selang yang tersambung ditubuhmu. Dan disinilah kau sekarang–" Jungmyeon tak bisa nyembunyikan isakannya, terdengar mengharukan; namun Jongin yang kebingungan hanya bisa menepuk bahu Jungmyeon pelan. Reaksi yang ia berikan untuk membuat lelaki yang satu ini sedikit tenang.
Membolos sekolah dan berkelahi dengan anak dari sekolah lain adalah hobinya –setidaknya itu yang Jungmyeon katakan. Jungmyeon dan dirinya adalah dua berandalan sekolah, dan ketika satu berandalan hilang; Jungmyeon merasa kehilangan. Itu yang bisa Jongin simpulkan dari cerita Jungmyeon yang ia dengarkan hingga langit jingga berubah jadi kelam.
Sekitar pukul tujuh lebih tiga puluh lima menit ketika para lelaki itu menyetujui untuk mengakhiri reuni yang penuh haru –setidaknya untuk Jungmyeon pertemuan dengan Jongin begitu terasa sangat mengharukan.
"Jadi, bagaimana perasaanmu setelah bertemu denganku?"
Jongin menoleh, menatap Jungmyeon yang tengah menyetir. Harapan dalam manik lelaki itu masih tak berubah, walaupun Jongin sudah sedaritadi menekankan kalau dirinya belum bisa mengingat Jungmyeon.
"Yeah, terasa aneh buatku–" Sengaja menggantung perkataannya, melihat reaksi Jungmyeon yang mungkin akan kecewa (lagi). Namun raut wajah yang tengah fokus menyetir itu sama sekali tak berubah. " –tiba tiba ada seseorang yang tak aku kenal, kemudian menceritakan hal yang bahkan aku sendiri tak pernah ingat pernah melakukan itu semua. Rasanya aneh." Sekali lagi Jongin menegaskan perasaannya diakhir kata, dan lagi lagi harus melihat ekspresi Jungmyeon. Tak ingin menyinggung perasaan Jungmyeon.
Sepertinya Jungmyeon masih fokus menyetir.
Keadaan sunyi mendominasi setelahnya, Jongin tak ada niatan untuk mencari topik pembicaraan. Dan Jungmyeon sendiri masih tenggelam dengan pikiran dalam kepalanya –walaupun ia berusaha mati matian menyembunyikannya dengan alibi fokus menyetir. Apalagi Doyoung sudah terlebih dahulu turun.
Ya, Jungmyeon mengantar Jongin pulang setelah memastikan Doyoung –adik sepupunya itu sampai tepat didepan gerbang rumahnya.
Jalanan aspal yang mereka lalui mulai diterpa tetesan air yang turun, tak lebat –namun berhasil membuat Jungmyeon mendengus kesal.
"Aku benci hujan." Tuturnya tanpa aba-aba. "Saat itu hujan." Lanjutnya membuat Jongin membalas dengan raut bingungnya.
"Saat?"
"Saat kau kecelakaan."
"Kau ada disana saat aku kecelakaan?"
"Kenapa aku bisa kecelakaan?"
Hujan masih tak mau berhenti, begitu juga dengan kelopak mata kelelahan milik Jongin; masih tak mau terpejam walaupun tubuh sudah merengek meminta istirahat.
Ia tak mau tidur.
Tak bisa tepatnya.
Cerita Jungmyeon masih berputar dalam kepalanya, terkadang membuat Jongin kesal sendiri karena suara Jungmyeon yang menceritakan kejadian yang merenggut kesadarannya selama tiga tahun ini terasa begitu nyata. Suara Jungmyeon terasa nyata, dan begitu dekat ketika Jongin tak bisa menghilangkan kata demi kata yang terlontar dari celah bibir Jungmyeon.
"Malam itu kita sembunyi sembunyi keluar, kau tahu; setiap akhir pekan kita selalu mengikuti balap liar hanya untuk menang taruhan yang tak seberapa." Jungmyeon menghela napas, menghentikan laju mobilnya mengingat tempat tujuan untuk mengantar Jongin pulang sudah sampai. "Kau hampir sampai digaris finish, kau bahkan sempat melambaikan tanganmu. Namun tepat sebelum garis finish, tiba-tiba sebuah truck datang. Dengan cepat menghantam tubuhmu, membuatmu terseret beberapa meter." Jungmyeon terdiam, sedikit sesak untuk melanjutkan perkataan."Lalu?""Lalu, disanalah kau terbaring; dengan tubuh yang berlumuran darah. Kaki yang patah. Wajah yang tersungkur ke tanah." Jungmyeon mulai terisak. Sejatinya ia bukan lelaki cengeng, tapi entah kenapa setiap mengingat jengkal kejadian saat Jongin kecelakaan; selalu sukses meledakan tangisannya. "Aku bahkan tak percaya sekarang yang ada dihdapanku ini seorang Kim Jongin. Dengan tubuh sehatnya duduk disebelahku."Lagi-lagi Jongin menepuk pundak Jungmyeon."Kau tahu betapa aku merasa dihantui rasa penyesalan selama tiga tahun ini, dan melihatmu disini sekarang membuatku sedikit lega. Terimakasih sudah bangun, kawan. Kau berhasil menyiksaku selama tiga tahun ini." Jungmyeon terkekeh ditengah tangisnya, dan Jongin tahu kalau lelaki dihadapannya ini memang sahabat yang pernah ia kenal dulu –namun tak bisa ia ingat untuk sekarang. "Maaf selama ini aku bersembunyi seperti pecundang."
Coba memejamkan mata, namun lagi-lagi Jongin menghela napas sambil membuka perlahan kelopak. Menampilkan manik karamel yang sarat akan kebingungan, tersimpan disana keraguan; namun tak jarang dirinya memaksa untuk percaya.
Ini tidak akan berhasil.
Memaksa tidur dengan berpura-pura memejamkan mata tak akan berhasil.
Bangkit dari ranjangnya, Jongin kini melangkah keluar kamar. Menyusuri anak tangga secara perlahan, tak ingin membangunkan siapa pun mengingat sekarang sudah hampir lewat tengah malam.
Sial, padahal besok ada ujian kimia. Tapi Jongin sampai saat ini masih terjaga dengan isi kepala yang dipenuhi soal dirinya dan cerita Jungmyeon.
Jika memang tubuhnya terluka sebegitu parah, kenapa tak ada bekasnya saat ia bercermin?
Ruangan remang adalah satu-satunya kesan yang Jongin dapat saat berada dilantai bawah, kembali langkah terangkai demi bisa menuju ruangan lain yang bernama dapur. Mungkin segelas air putih bisa membuatnya sedikit tenang, begitu pikir Jongin.
Jemari kokohnya dengan hati-hati mengambil salah satu gelas disana, mengisinya dengan air dari botol yang sudah ia ambil dari kulkas sebelumnya.
Kenapa tak pernah ada satu pun perban yang melilit tubuhnya saat ia siuman di rumah sakit?
Teguk demi teguk melewati kerongkongan, Jongin memejamkan matanya ketika merasakan sensasi dingin yang menjalar masuk tubuhnya. Ia lebih suka air dingin, walaupun jika ibunya tahu ia akan kena marah. Katanya tidak sehat minum air dingin apalagi dimalam yang juga dingin karena hujan diluar sana tak mau berhenti.
Atensi Jongin teralih, manik karamelnya menangkap potret keluargnya dari dapur tempat ia berdiri. Tepat diatas televisi dengan layar super besar itu tergantung foto keluarganya, dibingkai dengan kayu yang sengaja di cat berwarna emas; terkesan elegan dan mewah disaat yang bersamaan.
Ukiran senyum terpatri, masih dengan gelas yang berada dalam genggaman; Jongin melangkah menuju ruang tengah. Tepat dimana potret keluarganya tergantung.
Ia berdiri tepat disana, dihadapan gambaran sang ibu dan ayahnya juga Jongin sendiri yang berada dalam satu bingkai.
Mungkin Jongin hanya terlalu lama tertidur sehingga luka pada tubuhnya bisa hilang dengan sendirinya.
Meletakan gelas yang tinggal berisi air setengahnya itu diatas meja dengan perlahan, jemari Jongin kini teralih mengambil salah satu album foto didekat televisi. Memposisikan dirinya duduk diatas sofa dengan keadaan lampu temaram yang menemani.
Lembar demi lembar dalam album foto Jongin buka, perlihatkan potret keluarga dengan satu-satunya anak lelaki yang jadi pusat perhatian disana. Itu sukses membuat Jongin tersenyum sendiri. Ada perasaan haru yang tak ia mengerti saat menatap portret keluarga kecilnya, namun entah kenapa rasa sesak lebih mendominasi; mungkin perasaan bersalah karena tak dapat mengingat sosok ibu dan ayah yang selama ini merawatnya.
Atau mungkin Jongin merasa dirinya satu-satunya yang menjadi asing dalam keluarga.
Mungkin.
"Oh!? Kau belum tidur, nak?" Suara parau milik wanita paruh bayar berhasil menginterupsi pergerakan Jongin yang tengah membuka lembar dalam album foto.
Jongin menoleh, mendapati sang ibu yang berjalan mendekat setelah menutup pintu kamarnya.
"Aku tidak bisa tidur." Keluh Jongin terdengar manja, memberikan sedikit ruang untuk ibunya agar bisa duduk disebelahnya. "Ibu belum tidur?"
"Ibu sudah tidur, sayang. Tapi terbangun karena haus."
Jongin sedikit menggeser posisi duduknya, menggapai gelas yang sebelumnya ia letakan dimeja. "Ibu harus banyak istirahat, aku tidak mau ibu jadi sakit hanya karena jam tidur yang kurang." Katanya sambil memberikan gelas yang isinya tinggal setengahnya itu.
"Oh, ya?" Sang ibu terkekeh, meneguk pelan minuman yang diberikan Jongin. Walaupun maniknya tak bisa benar-benar lepas dari sosok pemuda yang ada dihadapannya.
"Ya, seseorang memberitahuku kalau aku harus mempunyai kualitas tidur yang cukup agar tubuhku–"
Tunggu.
Sebuah gerakan cepat yang terkesan refleks tiba tiba Jongin buat; jemarinya meremas kepalanya sendiri karena tiba-tiba terasa nyeri. Bahkan kupingnya terasa berdengung sekarang.
"Jongin kau baik baik saja–"
"Kepalaku sak–agh!"
BRAKK!
Keadaan jadi berubah kacau ketika Jongin hilang kendali dan menjatuhkan album foto yang ada dalam pangkuannya, tubuhnya tak lagi duduk; melainkan sudah terbaring dilantai dengan kejang yang cukup parah.
"YEOBO!" Teriakan sang ibu terdengar. "JONGIN –TOLONG JONGIN, YEOBO!" Isakan tangis menyusul, wanita paruh baya itu coba mendekat; sedikit mendekap Jongin yang masih kejang disana.
Atau mungkin Jongin memang tak pernah mengalami kecelakaan.
.
.
.
To Be Continue
