LEMARI oleh Chocolaput
Sebuah fanfiksi Naruto
Disclaimer: tentu saja Naruto tidak mau menjadi milikku. Dia bukan milikku.
.
.
.
Bahwa aku tidak bersama orang yang sama kali ini. Aku memberitahu hatiku begitu, berharap dengan sia-sia semoga ia tak terlalu kecewa. Tapi, sudah kuduga, rasa sakitnya menjalar kemana-mana hingga mendistorsi aspal gelap yang terhampar di mataku. Basah dan aroma yang merebak adalah lumpur yang terjatuh dari sol sepatu.
Orang berkata bahwa hidup itu mengalir, mengikuti waktu kemana ia membawa kita pergi. Hanya saja untuk kali ini aku tak sanggup mengikuti nasihat itu. Otakku menciptakan seribu rencana untuk menjaga kita stagnan disini. Bersama-sama, tanpa harus peduli masalah waktu. Tapi tidak, ide ini dengan segera dipatahkan oleh pendapat lain, nasihat lain. Dimana ada kebahagiaan, kesedihan akan mengikuti. Sesederhana itu dan aku tetap hancur.
Yang pertama adalah Haruno Sakura, sosok yang ku tahu selalu ingin berada di dekatku. Bertetangga, hidup di lingkungan yang sama, belajar di sekolah yang sama, dan beberapa kali berada dalam kelas yang sama. Aku mengenal dia dengan sangat baik dan sejauh yang ku tahu dia menyukaiku. Jadi kupikir dia akan mengikutiku berkuliah di sini, di Konoha. Tapi Sakura gadis pintar, aku tidak berbicara soal akademis, melainkan batas. Sakura tahu batas untuk menyukai seseorang. Dia akan mengusahakan segala cara untuk dekat dengan orang yang ia sukai, mengetahui kabarnya, pertemanannya, hingga makanan favoritnya. Namun pada saat yang bersamaan ia memutuskan untuk tidak masuk terlalu dalam, dan mengubah rasa sukanya menjadi obsesi mengerikan. Dia tidak pernah mengorek-orek informasi pribadi, bertanya banyak hal tidak penting, dan lain-lain. Mungkin itu yang membuatku tidak merasa terganggu. Dia sdalah sang Pengamat dan Penanti, mengeksplorasi dengan caranya sendiri. Namun ketika ia menebar batas itu di depanku, kekecewaan membumbung tak terbendung. Ia memutuskan Amegakure sebagai tempatnya meraih ilmu-ilmu medis. Sebenarnya di Konoha ada tapi tak sebaik Amegakure. Dan ia telah memilih yang terbaik untuk dirinya. Membatasi diri untuk tidak mengikutiku. Bagus untuknya tidak sehat untuk hatiku.
Berikutnya ada Itachi Uchiha. Satu keluarga satu orang tua, hanya aku yang lebih muda. Resepsi pernikahannya baru selesai minggu lalu. Sore ini aku berjalan pulang usai mengantarnya ke bandara dan berbasa-basi tentang rindu. Rindu yang pada akhirnya ku tanggung sendiri karena orang tua kami telah lama pergi. Tujuannya adalah negara di benua sebelah, dan Itachi dan kakak ipar melangkah. Merengkuh dunia membangun keluarga, dengan janji mengirimkan uang sebulan sekali, mereka pun pergi.
Shikamaru Nara menyusul melengkapi daftar itu. Aku tak menyangka ada pemalas yang kejam begitu. Pagi terakhir di SMA ia memberitahu ku sesuatu. Telah dicabutnya status mehasiswa baru di universitas yang sama denganku. Sebagai gantinya ia mendaftarkan diri di Suna. Tempat yang tepat untuk memulai riset tentang fisika. Dan sekali lagi jiwaku terasa mati. Ini tak seburuk itu, ku yakinkan diriku saat aku membuka kunci pintu flat ku. Namun aku sendiri tahu ini akan seburuk itu. Bau furniture baru mengusik hidung kala aku menghempas tasku di sofa dan aku juga rebah di sana. Kunyalakan televisi yang sedang menyiarkan berita. Sebuah headline news karena ada meteor yang jatuh di pinggiran Konoha. Kuusap keringat dan dering ponsel memikat atensi. Pesan dari Itachi bahwa pesawatnya delay selama dua jam kedepan, gara-gara meteor tadi. Aku mengetik kata sabar, sebagian untuk Itachi sebagian untukku. Senja merekah merah menyala di cakrawala, ku lihat lewat jendela. Ku ambil remote TV dan ku seret kakiku ke kamar mandi. TV mati dan ku harap aku tidak mati. Semuanya masih baik-baik saja, kecuali hati.
.
.
.
Sore yang berbeda, perasaan yang sama. Jadwal kelas telah ku atur tak begitu padat, agar aku bisa mencari uang untuk berjaga-jaga kalau uang dari Itachi tak kunjung mendarat. Padahal hanya kuliah sepagian, tanpa imbuhan kerja paruh waktu kemudian. Namun tubuhku tetap remuk redam. Mungkin sebenarnya bukan fisik tapi jiwa yang terlalu banyak memikul beban. Genap tiga hari sudah aku sendirian.
Kemudian aku mendengar suara itu. Tuk. Tuk. Tuk. Belum usai tali sepatu terlepas, aku menahan napas. Sungguh mungkin aku mulai kurang waras. Mencoba tak peduli, ku raih tali sepatu lagi. Tuk. Tuk. Tuk. Tidak mungkin tempat ini dihuni hantu. Suara itu terdengar seperti dua ujung kayu yang saling berbenturan. Sekali lagi aku mengabaikan dan beranjak ke kamar mandi. Mungkin ada keluarga tikus yang mulai tinggal disini.
Tuk. Tuk. Tuk.
Tuk. Tuk. Tuk.
Dan mulai saat ini kesabaranku habis. Suara itu benar-benar menggangu konsentrasi aku yang tengah mencoba menulis. Ku ambil sapu dari sudut kamar dan mulai menyisir sudut-sudut yang mungkin menjadi lokasi bersembunyi keluarga tikus itu.
Tuk. Tuk. Tuk. Aku curiga pada lemari besar tempatku menaruh baju. Benar juga, semakin aku mendekat suara itu semakin nyata. Pintu lemari ku sentakkan dan aku terjerembab tanpa mendapati keluarga tikus disana. Keterkejutan menyergap hingga aku tak mampu bersuara.
Makhluk itu, aku tak tahu apa. Ia hanya menatapku dengan mata birunya yang berkilat, tampak sama terkejutnya denganku.
Humanoid itu berkulit kecoklatan tanpa cela. Meringkuk sedemikian rupa dia menempatkan dirinya di sela-sela bajuku dan membuat semacam sarang disana. Rambut pirangnya berantakan dan panjang nyaris menutupi mata. Sekilas ia tampak sangat manusiawi, namun kedua tangannya sangat panjang dan masing-masing berjari tiga. Begitu pula kakinya, tiga jari pendek-pendek yang tampak kuat. Sepertinya baik tangan maupun kaki ia tak memiliki telapak.
Aku tak mungkin memukulnya, mata biru itu berkaca-kaca entah karena apa. "Kau ini apa?" tanyaku penasaran. Ia hanya menatap balik, dengan bibir gemetar.
Apa ini cuma khayalan? Katakan padaku bahwa aku terlampau kesepian. Tapi mungkinkah kesepian macam itu mampu melahirkan kegilaan? Makhluk ini tampak lebih nyata dari sekadar bayangan halusinasi.
"Sa ... su ... ke ..."
Suara kecilnya menawan seluruh perhatianku. Dia masih duduk disana, meletakkan dagu runcingnya di atas lutut yang ia tekuk. Kecuali sekarang mata biru itu tertuju ke mataku. Aku tak percaya, dia menyebut namaku.
"Bagaimana kau tahu? Kau ini apa?"
"Sasuke. Lemari."
Cukup sudah keanehan ini berlangsung. Kupaksa kakiku berdiri dan berjalan menjauh. Ponsel yang tergeletak di nakas ku ambil dan aku mencoba mengingat-ingat berapa nomor telepon polisi di sekitar ...
... ketika sesuatu yang keras menghantam punggungku yang jauh dari kata waspada.
"Aaargghh ..."
Makhluk itu, ternyata lebih kuat dari sangkaanku. Tiga jari tebalnya masih menempel di punggungku saat aku menolehkan sedikit kepalaku. "Apa-apaan kau ini?" napasku rasanya tersesat di suatu tempat antara jantung dan lidahku, namun dia hanya tersenyum. Atau menyeringai... aku tak yakin.
Ia meluruskan apa yang seharusnya bernama tangan dan berdiri dengan canggung. Menatapku dengan begitu banyak rasa bersalah hingga mata biru itu kembali berkaca-kaca. Lenyap sudah niatku menelepon polisi.
.
.
.
"Sasuke. Lemari."
"Aku tahu," kataku jengkel. Sejak tadi ia hanya mengucap dua kata itu. Kuajak dia untuk duduk di sofa namun dengan satu gelengan keras kepala, ia kembali duduk di ceruknya di dalam lemari.
"Kau sudah tahu namaku, sekarang giliranku. Siapa namamu?"
"Nama?"
Aku mengangguk, mencoba bersabar. "Iya. Orang-orang memanggilku Sasuke. Kau memanggilku Sasuke. Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Itu ..." ia tampak kebingungan. "Ada Naruto di dalam lemari."
Helaan napas lega menerobos keluar jiwaku. "Jadi aku bisa memanggilmu Naruto?"
"Hunn ... Sasuke memanggil Naruto di dalam Lemari." Aku tak mengerti kenapa makhluk ini terus menerus menyebut kata lemari. Namun mendengar cara bicaranya yang lirih itu sungguh membuatku geram. Jika ia mampu membuat punggungku memar, kenapa ia harus bicara pelan?
"Darimana asalmu, Naruto?"
"Asal?" ia mengernyit padaku. "Naruto tidak punya asal. Naruto hanya punya rumah. Tetapi paman mengajak Naruto mendatangi bintang dan Naruto meledak. Paman menghilang dan ternyata bintang yang Naruto datangi tidak bersinar dari dekat. Sekarang Naruto ada di dalam Lemari."
Penjelasan macam apa itu! Aku bahkan ragu makhluk ini mengerti perkataanya sendiri. Aku lelah dan kesepian tetapi bukan berarti aku harus meladeni humanoid ini sebagai kawan. Paling tidak polisi harus mendengar, ada makhluk aneh yang mencoba menginvasi bintang.
Lalu malam itu dihabiskan oleh obrolan. Rambut kuningnya menantangku untuk tetap begitu tegar.
.
.
.
"Apa kau mau memakai jaket ini?" Naruto menggeleng dan mencengkeram kaus cokelat lengan panjang yang sudah melekat di tubuhnya.
"Apa kau mau makan roti?" Gelengan lagi dan Naruto menunduk memandangi lututnya.
"Apa kau keberatan jika ku tinggal sendiri?"
Naruto menggeleng dan aku pergi. Meninggalkannya dengan rasa bersalahku di pintu lemari. Dan aku masih belum juga menghubungi polisi.
Kemudian pagi menghadangku di sudut toko makanan yang baru membuka gerainya. Seorang pria berambut merah menghentikan jalanku dan ia menyapa setelah mematikan cerutunya. Asap mengepul di ujung-ujung kepalanya sehingga rambutnya tampak terbakar. Bau tembakau terbakar memenuhi udara lokal. Aku terbatuk sebentar sebelum menyadari ia menanyakan sesuatu hal.
"Maaf? Kau bilang apa tadi?"
Pria itu memutar mata. "Aku tanya apa kau mahasiswa astronomi?" tanya pria itu dan aku menggeleng.
"Bagaimana mungkin?" tangannya telah meraih sebatang rokok lagi dari saku celananya. Dan aku bertanya-tanya apakah ia sudah sarapan.
"Bagaimana mungkin apanya? Apa kau mau meminjam teleskop bintang?" Dia mendecih dan aku menguap, malas dengan basa-basi aneh yang ia lontarkan. Satu langkah ia mendekat, kemudian ditepuknya pundakku, sekali, seolah menepis sesuatu. Lalu tertawa, jenis tawa yang menerobos telingamu dengan cara menyakitkan dan dia berkata pelan padaku. Kalimat yang membuatku tertegun sementara ia menyelipkan kartu namanya ke genggamanku.
"Ada serbuk bintang di bajumu. Kau tahu 'kan meteor yang jatuh kemarin? Nah, mungkin karena itu."
.
.
.
Namun untuk apakah kartu nama itu aku masih tidak tahu. Dan serbuk bintang apa yang mengotori pundakku, itu malah terkesan tak masuk akal dan lucu. Ngomong-ngomong soal bintang ...
... ada seseorang yang mencoba menginvasi bintang ini dan sekarang dia meringkuk di lemariku. Mendung gelap menggantung mengancam diriku yang tidak membawa payung. Aku dipermainkan cuaca yang kemarin sangat panas dan menarik meteor jatuh lalu sekarang gelap dan bau hujan menembus sisi-sisi paru-paru.
Antara ya dan tidak hatiku berada. Kantor polisi sudah ada di depan mata, namun pemikiranku tergoyahkan di saat aku sudah sampai di tujuan. Aku harus bilang apa? Bahwa ada makhluk humanoid yang menyusup ke dalam lemariku. Mungkin dia alien atau hantu atau apapun itu yang berasal dari dunia khayal. Mereka hanya akan menertawaiku. Tapi menyimpan sesuatu sebesar ini hanya membuat rasa frustasi merambah ke seluruh organ tubuhku. Fakta bahwa aku tidak mampu bercerita pada siapapun, memperjelas bahwa orbit persahabatan semakin meninggalkanku. Aku kecewa.
Segumpal asap berbau tembakau melebur bersama mendung. Aku menoleh menyadari pria berambut merah itu telah berdiri tak jauh dariku. Memberi kode dengan tatapan matanya, ia mengirim seringai. Tangannya yang tak ia pakai untuk memegang rokok melambai.
"Apa kau mengikutiku?" todongku langsung padanya dan ia hanya tertawa.
"Kau yakin bukan mahasiswa astronomi?" ia malah balik bertanya, pertanyaan aneh yang sama dengan tadi pagi.
Aku sekali lagi menggeleng. "Kau boleh memeriksa kartu mahasiswaku kalau perlu. Apa kau kehilangan teleskop bintangmu?"
"Kalaupun kau mahasiswa astronomi pun rasanya aneh. Kau masih baru, mana mungkin ada serbuk bintang yang melekat padamu? Itu sungguh mencurigakan." Kalimat itu tidak ia tunjukkan padaku melainkan untuk dirinya sendiri.
"Kau bicara apa, 'sih?"
"Aaa ... sesuatu yang jarang kau pahami."
"Lalu kenapa kau bertanya ini itu padaku?"
Dia mendesah dan dengan seringai setengah ia berkata, "Kenapa kau ke kantor polisi? Ada yang perlu dilaporkan? Ada yang aneh dengan harimu?"
Aku menatapnya, antara penasaran dan kesal. Namun masalah serbuk bintang dan humanoid penghuni lemari mendorong pikiran untuk berbicara. Berbicara kepada seseorang yang tidak menganggap tolol masalah ini.
"Siapa kau sebenarnya?"
.
.
.
Berakhir di sebuah cafe bersama seorang perokok berambut merah bukanlah pilihan bagus untuk mengakhiri hari. Tapi sejauh yang bisa ku ketahui ia bukan orang jahat. Kecuali aneh, suka meracau, perokok dan mengikuti orang tanpa permisi, dia sama sekali bukan orang jahat. Malah nada sendunya ketika berbicara dan kebiasaannya menyeringai setengah membuatku agak merasa kasihan. Beberapa hari ini aku terlalu sibuk mengasihani diriku sendiri hingga tidak begitu peduli dengan orang sekitar.
Gaara, begitu ia menyebutkan nama. Mantan mahasiswa Universitas Konoha dia nyaris mendapat gelar sarjana. Nyaris kubilang, sebab tugas akhirnya ditolak lebih dari yang bisa kubayangkan dan akhirnya terbengkalai tak keruan. Namun nyatanya tak ada kata menyerah baginya. Pilihan untuk drop out dan meneruskan risetnya secara mandiri justru membuatnya menjadi ilmuwan betulan. Betulan dalam dunia yang dihuninya. Temuannya soal serbuk bintang membuat waktunya terkuras untuk meneliti lebih lanjut tentang hubungannya dengan makhluk luar angkasa. Dan sekarang sampailah ia pada tahap mencari bukti bahwa makhluk luar angkasa benar-benar ada.
"Aku bisa melihat serbuk bintang itu. Saat praktikum bersama-sama di semester ke lima, saat itulah aku pertama kali melihatnya. Bertebaran di seluruh ruangan, menempel di teleskop, mengotori meja dan buku catatan, berkilau biru kehitaman. Kemudian besoknya ada meteor jatuh di dekat kampus dan aku sangat terkejut ketika melihat serbuk bintang memenuhi halaman."
Gaya ceritanya menerawang, jauh ke masa lampau ketika otak cerdasnya masih diakui, ketita penglihatannya belum dicemooh sana-sini. "Kenapa cuma kau yang bisa melihat serbuk bintang itu?" selidikku penuh penasaran.
Ia menggeleng, "Tak pernah aku merasa seheran itu. Tapi pemandangan itu tidak pernah muncul sebelumnya. Aku sudah mencoba menyimpan serbuk-serbuk itu, memungutinya dan memasukkannya dalam stoples, menaburkannya di seluruh lorong kampus, namun tak seorang pun melihatnya. Mereka hanya melihat stoples kosong."
"Pantas saja tidak ada yang memercayaimu. Kau tidak bisa menunjukkan buktinya, kalau yang mampu melihat hanya dirimu," ujarku yang lama-lama merasa aneh juga saat mendengarnya.
"Ku beri tahu satu hal," nada bicaranya penuh konspirasi, "sebelum aku mampu melihat serbuk bintang itu, aku menjalani operasi mata. Dokter bilang aku koma tiga hari, ada kesalahan dalam operasi ku tapi nyatanya aku malah bangun dan mampu melihat hal-hal itu."
Aku tak mampu bicara. Yang dikatakan orang ini begitu mudah dipercaya sekaligus rumit dicerna. "Buktikan," kataku.
Ia terperanjat kemudian menatapku. Mata coklatnya dalam dan kalau ku perhatikan lamat-lamat aku bisa melihat bekas luka kecil di masing-masing sudut luar matanya. Lalu ia tertawa, "Baiklah kalau itu maumu."
.
.
.
TBC
.
.
.
Oke. Jadi bukannya melanjutkan fanfic yang lama saya malah membuat fanfic baru. Fanfic ini cuma akan jadi two shot atau mungkin three shot. Oh tolong abaikan typo yang bertebaran.
Chocolaput
