Hola Minna. Gaktahu kenapa saya pengen ada sekuelnya gini ya?
SEKUEL FROM 'PRICKLY ROSE'
DISCLAIMER : TITE KUBO.
WARNING : OOC, AU, GAJE, MISSTYPO (maaf kalau ada kekurangan pengetikan)
RATE : M (for safe)
ATTENTION : Fic ini adalah fiksi belaka, jika ada kesamaan atau kemiripan situasi dan cerita dengan fic lain atau cerita lain dalam bentuk apapun itu tidak disengaja.
.
.
.
Setelah prosedur imigrasinya selesai, gadis berambut pendek hitam itu tersenyum lebar sambil memasukkan passport-nya kedalam tas tangannya yang berwarna ungu cerah itu. Keadaan bandara Narita memang cukup ramai hari ini. Apalagi kenyataan bahwa ini adalah akhir November dan sebentar lagi adalah bulan Desember. Di Jepang sedang bagusnya pemandangan di saat musim dingin seperti ini.
Sudah 8 tahun lebih wanita ini tak kembali ke negara kelahirannya. Sekolah desainnya memang sangat penting untungnya. Ditambah lagi setelah menyelesaikan sekolah desain-nya dia sudah dapat pekerjaan tetap di negara itu tapi mendadak kemudian ingin kembali pulang. Meskipun di sana rancangannya cukup diminati semua kalangan, dari kalangan kelas atas sampai menengahpun semuanya menyukainya. Hanya saja... sepertinya bukan kehidupan yang seperti itu yang dia inginkan. Bukan.
Dia ingin seperti wanita lain yang memulai kehidupan mereka di negara asal mereka. Memiliki seseorang yang satu visi dengannya dan mengikat janji untuk mengarungi dunia bersama. Itulah yang sebenarnya dia inginkan. Dia ingin memiliki seseorang yang berasal dari satu negara. Bukan orang asing yang bahkan kesulitan bicara dalam bahasa Jepang. Bahkan bagi sebagian orang, bahasa Jepang adalah bahasa yang cukup repot. Karena itu, mau tak mau kadang dirinyalah yang mesti menyesuaikan diri dengan bahasa mereka. Untungnya dia bisa mengusai beberapa bahasa dengan cepat. Meskipun masih belum terlalu fasih, tapi paling tidak dia bisa berkomunikasi dengan lancar.
Setelah tiba di luar bandara, wanita bertubuh mungil itu tersenyum riang dan lebar, bahkan beberapa orang yang melihatnya pasti menyangka dia adalah orang gila. Wanita itu melepaskan kacamata hitamnya dan mulai mengambil nafas panjang.
"TOKYOOOO! TADAIMAAAAAAAAAAAAA!" teriaknya heboh. Dan mengagetkan beberapa orang yang melintas di sekitarnya. Wanita ini sama sekali tidak peduli dengan pandangan orang lain. Dia sudah terbiasa hidup dengan santai dan cuek. Bahkan jarang mempedulikan tata krama di jalan. Dia begitu rindu langit dan awan di sini. Begitu rindu harum udara di sini. Begitu rindu dengan penampilan kota ini. Memang tidak ada tempat sebaik di rumah sendiri. Benar-benar menyenangkan sekali.
"Ahh! Nona Rukia! Anda sudah tiba?" seorang pria dengan penampilan formal berambut kuning, yah dia pakai jas dan dasi hitam lengkap dengan celana dan sepatunya. Pria itu bergegas menghampiri wanita berambut hitam itu dan membawakan 3 koper raksasanya yang masing-masing berwarna ungu, putih dan pink. Koper raksasa itu dia masukkan kedalam bagasi mobil sedan hitamnya.
"Oh! Kira! Wah... kau tidak berubah yah. Hmm aku masih ingat namamu. Kira Izuru 'kan? 8 tahun waktu yang panjang yaa..." celoteh wanita bernama Rukia itu. Pria bernama Kira Izuru itu hanya tersenyum lebar dan kembali memasukkan koper Rukia.
"Ahh~ Nona berlebihan. Aku senang bisa melayani Nona lagi. Kenapa Nona tidak pulang-pulang selama ini? Tuan sangat merindukan Nona."
"Nii-sama? Lalu dimana dia? Tidak menjemputku?" tanya Rukia lagi mengedarkan pandangannya kesekeliling bandara.
"Ohh, Tuan sangat sibuk. Hari ini saja dia ada 3 rapat! Katanya dia akan menemui Nona di rumah saja." Jelas Kira.
Rukia tampak berpikir sebentar sambil mengetuk jari telunjuknya di pelipisnya. Lalu tak lama kemudian, dia menyeringai lebar.
"Nona... ada apa?" tanya Kira bingung. Meskipun sudah lama tidak melayani Nona-nya ini, tapi dai hapal betul dengan tingkah mengerikan Nona-nya ini. Sudah pasti ada sesuatu yang dia pikirkan tadi.
"Ulurkan tanganmu." Perintah Rukia.
Meskipun sedikit bingung dia mengulurkan tangannya. Rukia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Rukia mengeluarkan uang kertas 10 ribu yen. Sekembalinya ke Tokyo, Rukia memang sudah menukar semua uangnya kembali ke yen. Jadi sekarang dia punya cukup uang untuk berkeliling Tokyo selama 1 hari.
"Apa ini Nona?" tanya Kira bingung sekaligus penasaran.
"Belikan aku jus jeruk. Aku haus sekali..." rengek Rukia sambil mengusap tenggorokannya.
"Oh, baiklah. Nona tunggu disini yah..."
Baru saja Kira berbalik, Rukia kembali menyeringai lebar. Tanpa membuang waktu, dia segera masuk ke dalam mobil itu dan mulai mencoba mengemudikan mobil itu. Seharusnya dia masih ingat bagaimana mengemudi, mengingat dia sudah 8 tahun tidak pernah lagi mengemudikan mobil Jepang.
Mendengar suara decitan mobil, Kira langsung berbalik dan mengejar mobil yang berhasil di'curi' Nona-nya itu.
"NONAAAAAAAAAAAA! ANDA MAU KEMANA?" teriak Kira karena tidak sanggup mengejar mobil itu.
"KAU PAKAI SAJA UANGNYA UNTUK TAKSI! AKU TIDAK AKAN LAMA!" balas Rukia berteriak sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela mobilnya. Setelah berteriak demikian, dia kembali mengemudi dengan senang. Rasanya gembira sekali bisa mengemudikan mobil kembali. Bahkan Rukia memutar radio lokal sekencang mungkin. Ahh~ mendengar bahasa radio lokal memang menyenangkan sekali.
Sedangkan Kira terduduk lemas di lantai bandara itu. Dia benar-benar ceroboh kali ini. Dia selalu saja kecolongan seperti ini.
"Pasti aku akan direbus hidup-hidup oleh Tuan..." gumam Kira.
.
.
*KIN*
.
.
Awalnya Rukia masih sedikit kikuk dengan lampu lalu lintas yang agak berbeda. Juga karena sudah lama tidak menyetir dengan setir kanan. Rasanya agak canggung. Tapi paling tidak dia pasti sebentar lagi akan terbiasa. Tunggu saja.
Kuchiki Rukia. Adik bungsu dari Kuchiki Byakuya. Kakaknya adalah Presdir di usia yang masih terbilang muda itu. Dia dan kakaknya berbeda 10 tahun. Karena terpaut usia yang jauh itulah, kakaknya memanjakan Rukia. Apapun yang diinginkannya pasti akan segera terlaksana. Tidak ada yang bisa ditunda. Kakaknya sangat menyayanginya melebihi apapun. Sebenarnya awalnya, Kuchiki bersaudara ini diasuh oleh seorang kakek. Tapi kakek mereka sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Rukia juga tak sempat melihat untuk terakhir kalinya karena tidak memungkinkan kembali karena ada sesuatu hal yang harus diurus. Makanya, setelah kembali ini, Rukia berniat untuk menjenguk kakeknya nanti. Yah, sedikitnya Tokyo masih sama seperti dulu di beberapa bagian. Tapi sudah banyak juga yang berubah.
Kelihatannya Rukia banyak ketinggalan. Benar-benar suasana yang damai. Meskipun musim dingin, tapi jalanan masih padat.
Rukia kemudian bertemu dengan jalur menuju pantai. Astaga! Rukia sudah lama tidak melihat pantai! Jalur ke pantai itu cukup sepi. Kelihatannya tidak ada yang kesana. Jalanan ini berada tepat di pinggir pantai. Rukia bahkan bisa melihat ombak-ombak kecil yang beradu dengan pasir di pantai. Pemandangan yang menakjubkan.
Sejak kecil, Rukia selalu mudah kagum akan sesuatu. Dia juga mudah jatuh cinta akan sesuatu. Tapi begitu sulit melepaskan sesuatu yang sudah dia sukai. Mungkin karena sifatnya dari kecil yang menginginkan segala sesuatu dan harus didapat sesegera mungkin. Mungkin dia memang egois. Tapi apa dia salah bersikap seperti itu, jika dia memang dididik seperti itu? Rasanya tidak bisa juga menyalahkan Rukia.
Rukia berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi itu dan turun dari mobilnya. Semilir angin pantai menyapanya lembut. Hari memang masih siang. Tapi kalau di musim yang hampir-hampir jarang ada matahari ini, semuanya jadi terlihat seperti sore yang damai.
Rukia bersandar pada pintu mobilnya sambil menikmati angin pantai tersebut. Rukia suka pantai. Terutama deburan ombak dan pasir basah yang dingin. Terasa seperti di dunia dongeng. Menyenangkan. Dulu sebelum pergi ke sana, Rukia selalu menghabiskan akhir pekan di pantai. Kapanpun itu. Dan dia tidak pernah sekalipun merasa bosan kesana. Sekali saja Rukia menyukainya, maka selamanya dia tidak akan pernah bosan.
Begitu Rukia bergerak ingin menyusuri pantai, matanya menangkap seseorang yang juga berdiri lumayan jauh darinya. Rukia yakin itu adalah seorang pria. Seorang pria yang memiliki warna rambut yang aneh. Kalau saja Rukia tidak melihat pakaiannya, Rukia pasti menyangka dia adalah anak remaja yang bergaya Harajuku. Lihat saja warna rambut yang aneh itu. Mana ada orang Jepang yang punya warna rambut aneh seperti itu.
Meskipun jauh, Rukia bisa melihat pria itu nampak begitu dalam memandang laut. Pria itu mengenakan pakaian formal. Tapi tidak mengenakan dasi. Kemeja putihnya juga acak-acakkan. Jasnya yang disampirkan di bahunya perlahan merosot kebawah. Lalu tergeletak begitu saja di pasir pantai itu. Orang itu kenapa sih?
Sekilas Rukia melihatnya seperti seseorang yang habis putus cinta. Apa dia baru saja diputuskan oleh kekasihnya? Rukia tak mau ambil pusing pada orang yang seperti itu. Orang yang hanya diputus cinta berwajah berlebihan seperti itu tidak pantas di kasihani. Rukia bermaksud untuk mengabaikannya saja. Sampai...
Pria itu bergerak lurus kedepan tanpa ragu. Dia berjalan pelan menuju pantai―tidak! Bukan pantainya, tapi air lautnya. Bahkan begitu melihat ombak besar yang datang saja, Pria itu tidak takut. Dia masih berjalan lurus bahkan ketika hampir separuh kakinya terendam air laut. Orang itu sudah gila!
Rukia melihat kesekeliling. Ini tidak bagus. Kenapa tidak ada orang? Kalau tidak ada orang begini nanti dia bisa jadi saksi orang bunuh diri. Kesannya pria berambut aneh itu mau bunuh diri. Yah! Bunuh diri! Apa pria itu bermaksud untuk masuk kedalam laut dan tenggelam?
Rukia berjalan cepat bermaksud untuk menghampiri pria itu. Kini jarak Rukia dan pria itu hanya 10 meter. Tapi 10 meter itu, kalau dibiarkan, pria itu akan benar-benar tenggelam.
"HEI! APA YANG KAU LAKUKAN DI SANA?" teriak Rukia. Tapi pria berambut aneh itu tidak menggubrisnya. Rukia jadi panik sendiri. Dia memang tidak bisa membiarkan hal seperti ini yang terjadi. Dia terlalu panik. Mana tidak ada orang.
Tak lama kemudian, datang sebuah ombak yang sangat besar. Rukia jamin, pria sinting itu pasti akan langsung hanyut dengan ombak itu. Akhirnya tanpa pikir panjang, Rukia berlari menyusul pria itu masuk kedalam air laut. Rukia sedikit lagi bisa menjangkau pria itu. Bisa... kalau memang Rukia beruntung, dia pasti bisa!
Dan yah... Rukia berhasil menarik tangan pria aneh itu dan mendorongnya menuju pantai. Mereka berdua terbawa arus ombak dan sampai dipinggir pantai dengan baju basah kuyup. Ini gila! Luar biasa gila!
"Uhuk! Hei! Apa kau kurang waras? Apa yang kau lakukan tadi itu hah! Kalau kau diputuskan seorang wanita kau tidak perlu bertindak memalukan seperti ini 'kan?" oceh Rukia setelah dia bisa menghilangkan batuknya karena terminum sedikit air laut. Well, kedatangannya di hari pertama malah bertemu orang aneh ini!
Pria itu terduduk di pasir itu. Tepat di samping Rukia. Pria berambut aneh ini memasang wajah putus asa yang sangat mengerikan. Well, seperti wajah horror hantu. Gelap, suram, putus asa, tidak ada harapan hidup dan mengecewakan. Sebenarnya wajahnya cukup tampan, apalagi tampaknya dia orang Jepang, tapi kalau wajahnya seperti itu wanita mana saja pasti akan kabur.
"Kenapa kau... menarikku dari laut?" lirih pria itu.
"Hah?"
"Apa yang kau lakukan tadi! Kau tidak berhak melakukan hal tadi!" bentak pria itu sambil memandang garang pada Rukia. Tentu saja wanita berambut hitam ini kini terlonjak kaget. Dia susah payah menolongnya malah dibentak?
Tapi sesudah membentak wanita itu, pria berambut aneh ini menatap kaget pada Rukia. Entahlah. Ekspresi seperti baru bertemu setelah berpisah bertahun-tahun, atau baru menemukan apa yang hilang, atau seperti akhirnya bertemu kembali. Ekspresi seperti itu. Tak lama kemudian, pria itu malah nyaris menangis.
"Yukia?" gumamnya. Rukia tak mengerti gumamannya tapi pria itu langsung memeluknya tanpa ragu dan menangis di pundaknya. Kontan saja Rukia membelalakkan matanya selebar mungkin.
"Kemana saja kau? Aku rindu padamu... aku... sangat merindukanmu. Aku bahkan ingin... mengakhiri hidupku untuk bersamamu..." guma pria itu jelas di telinga Rukia. Karena kaget, Rukia langsung mendorong kencang tubuh pria berambut aneh itu, yang sepertinya... tidak terlalu kuat. Akhirnya pria itu malah terjungkal kebelakang.
"Hah? Maksudmu... aku... kau benar-benar mau bunuh diri?" tanya Rukia ragu. Beberapa detik kemudian, pria itu menatap wajah Rukia dan kembali ke alamnya lagi. Lalu menatap kesal pada Rukia.
"Yah! Lalu apa masalahmu! Jangan campuri urusan orang lain!" bentak pria aneh itu lagi. Jujur saja... selama ini Rukia belum pernah dibentak siapapun. Bahkan dengan kakaknya sendiri! Dan ini... pria aneh ini sudah membentaknya dua kali!
"Hei! Kenapa kau marah-marah padaku! Aku menyelamatkanmu tahu! Jangankan berterimakasih! Kau malah membentakku!" teriak Rukia geram.
"Makanya jangan sok baik jadi orang! Kau pikir akan ada orang yang berterimakasih padamu kalau kau bertindak seenaknya? Kau pikir kau malaikat? Makanya aku harus bersikap baik padamu! Jangan mimpi!"
Pria itu berdiri dari tempatnya dan tanpa membersihkan tubuhnya dari pasir, pria itu langsung beranjak pergi. Rukia masih melongo di sana. Dia... apa? Dia menolong orang dan dibentak? Lalu... orang itu sudah sembarangan memeluknya? Astaga!
.
.
*KIN*
.
.
Karena awal kedatangannya yang tidak menyenangkan ini, Rukia istirahat sebentar di hotel yang tak jauh dari pantai itu untuk berganti pakaian dan mandi. Jujur saja, air laut tadi membuat seluruh tubuhnya jadi asin. Rukia mengambil salah satu kopernya untuk mengganti pakaian basahnya. Hari ini dia benar-benar sial. Bertemu pria aneh dan dibentak seperti itu. Memang siapa dirinya?
Setelah selesai membersihkan dirinya, Rukia duduk dipinggir ranjang hotel itu. Wajah pria itu kembali terlintas dalam benaknya. Awalnya Rukia menyukai wajahnya. Tampan. Tapi tidak ada keceriaan sedikitpun terlintas di sana. Tidak ada sedikitpun sinar kebahagiaan di sana. Dia seperti sedang kehilangan sesuatu. Tapi Rukia keburu kesal karena diperlakukan seperti itu. Seharusnya dia bisa bicara baik-baik pada Rukia. Kenapa harus membentak seperti itu?
Rukia ingat ini sudah malam, akhirnya dia memutuskan keluar dari hotel dan langsung menuju rumahnya. Tapi dia hampir lupa jalan menuju rumahnya sendiri. Rasanya ada beberapa belokan yang dulunya tanah kosong kini jadi bangunan-bangunan lain. Benar-benar aneh dan sulit dimengerti. Kalau tidak cepat pulang, pasti Rukia akan kena omel. Setelah berkeliling selama kurang lebih 1 jam, akhirnya Rukia menemukan kembali rumahnya. Rukia benar-benar kesulitan menemukan rumahnya sendiri.
Baru masuk ke halaman luas menuju rumah megahnya ini, Rukia melihat supirnya tadi masih bersembunyi di balik tanaman hias yang sengaja di tanam di pinggir jalan menuju rumahnya. Apa yang dia lakukan?
"Kira?" panggil Rukia setelah menjulurkan kepalanya keluar dari jendela kaca mobilnya. Supirnya itu mendongak dan melihat Nona-nya sudah kembali.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Rukia lagi.
"Syukurlah Nona pulang dengan selamat. Saya khawatir sekali! Tuan tadi sedikit marah karena Nona belum sampai ke rumahnya. Saya takut nanti Tuan marah besar karena saya membiarkan Nona berkeliaran sendiri. Jadi... saya memutuskan menunggu Nona di sini." Jelas Kira.
"Astaga... kenapa kau begitu bodoh? Di udara dingin begini kau malah menungguku. Masuklah. Biarkan Nii-sama melihatmu mengantarku." Ujar Rukia sambil berpindah menuju kursi penumpang.
"Terima kasih banyak Nona!" kata Kira sambil menundukkan kepala berkali-kali.
Kira kembali masuk ke dalam mobil itu dan berpura-pura seakan mengantar Nona-nya keliling kota.
Begitu sampai di pintu besar rumahnya, Rukia langsung melompat dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumahnya. Sungguh ini adalah saat paling membahagiakan untuknya. Kebetulan kakaknya baru saja turun dari tangga. Rukia tersenyum lebar dan langsung berlari memeluk kakaknya.
"Nii-sama! Tadaima!" kata Rukia terharu. Dia begitu merindukan kakaknya ini.
"Kau bilang akan tiba di siang hari. Lalu apa yang kau lakukan baru tiba sekarang?" tanya Byakuya pelan sambil mengelus kepala adiknya itu.
"Nii-sama belum menjawabku tadi..." rengek Rukia.
"Okaeri." Jawab Byakuya singkat. Dan akhirnya Rukia melepaskan pelukannya lalu menatap kakaknya yang super baik itu dengan wajah berbinar.
"Tadi jalan-jalan sebentar dengan Kira. Sepertinya Tokyo banyak berubah ya Nii-sama."
"Yah... kan sesuai denganmu yang tak pernah pulang bahkan ketika Kakek meninggal." Sindir Byakuya.
"Nii-sama!"
"Lalu... cerita apa yang akan kau bagi padaku selama kau di Paris? Kuharap kau sama sekali tidak merencana menyuruhku untuk menerima seorang pria asing untuk jadi suamimu."
"Hah? Memangnya aku pernah bilang mau menikah dengan pria asing?"
"Karena kau bilang ingin segera menikah. Kau terus merengek ingin menikah sebelum umurmu 30 tahun. Dan 4 tahun lagi kau akan berumur seperti itu."
"Aku memang ingin segera menikah. Tapi bukan dengan pria asing. Aku ingin menikah dengan orangku sendiri."
"Asalkan pria baik-baik. Aku tidak mau kau salah memilih pria dan sakit hati karena menyimpan pedih di pernikahanmu."
"Tenang saja. Aku tahu pilihanmu. Nii-sama juga. Menikahlah. Aku akan senang sekali bisa mendapat kakak ipar."
Byakuya hanya tersenyum tipis.
"Mau makan malam?" tawar Byakuya.
.
.
*KIN*
.
.
Rukia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuknya setelah makan malam itu. Dia ingin istirahat setelah penerbangan jauh tadi.
Tapi kepalanya masih terpenuhi dengan bayangan pria tadi. Kenapa bayangan pria itu tidak mau hilang? Apa yang membuatnya begitu suram?
Untuk pertama kalinya Rukia merasa seperti itu. Merasa begitu penasaran dengan seorang pria.
.
.
*KIN*
.
.
Pagi ini Abarai Renji serasa ingin melempar sebilah pisau ke arah labu orange itu. Dan ini adalah sekian paginya selama 3 tahun terakhir ini dia melihat sahabat kentalnya ini berjalan seperti tanpa jiwa di koridor kantornya. Selama 3 tahun terakhir ini dia memang bekerja dengan baik. Bahkan kelewat baik. Tapi yang anehnya, dia seakan tak punya semangat sama sekali. Seakan tak menginginkan apapun. Sering Renji melihatnya duduk termenung seusai jam kerjanya di pinggir taman. Lalu duduk sendirian sampai malam tiba di pinggir laut. Bahkan menyebrang tanpa melihat kanan kiri. Lalu makan hanya satu sendok saja. Dia bahkan tak pernah melirik wanita klub manapun. Renji bahkan berputus asa untuk membujuknya hidup dengan normal. Jujur saja, selama 3 tahun terakhir ini sahabatnya itu sudah hidup dengan tidak normal!
Dia benar-benar makhluk tanpa jiwa yang berkeliaran di alam manusia. Walaupun begitu, Renji tahu benar apa yang di alami sahabatnya sejak SMA ini.
Dengan susah payah memperjuangkan cinta dan hidupnya, memperjuangkan wanita yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya, tapi semuanya sia-sia saja. Bahkan hilang karena tidak sengaja. Bagi yang tahu penderitaan sahabatnya itu mungkin tak akan ada satupun yang menyalahkan keadaannya sekarang. Untungnya pria itu tidak jadi gila. Renji mengerti situasinya... tapi... bukan seperti ini caranya menerima kenyataan.
"Ichigo!" panggil Renji. Tapi pria berambut orange itu tetap jalan maju tanpa melihat apapun.
"Oi! Si Babon ini memanggilmu tahu!" teriak Renji. Tapi tetap tak ada hasil. Selama 3 tahun ini juga dia sudah bersusah payah mengembalikan semangat pria aneh ini. Tapi tetap nihil. Rasanya mukjizat sekali bila Ichigo mau kembali normal seperti biasa.
"Kulihat kau kemarin ke pantai lagi. Kali ini ada apa? Kau tidak memutuskan untuk bunuh diri di sana 'kan?" tanya Renji. Mengerikan rasanya membayangkan pria ini pernah berkali-kali ingin bunuh diri. Tapi untungnya Renji selalu setia setiap saat dan mengawasinya. Untuk di awal, Renji memang berubah jadi babysitter. Membuntuti kemanapun Ichigo pergi. Bahkan Renji membuang semua pisau dapur, tali, botol racun, obat nyamuk, pembersih lantai, kapak, parang, dan apapun namanya yang biasa digunakan untuk bunuh diri di apartemen pria berambut orange ini. Setelah setahun berlalu, perlahan Ichigo kembali agak normal. Meski dia masih tidak mau bicara kalau bukan urusan penting. Dan tidak mau makan kalau tidak ada nafsu. Dan kalau dipaksa, dia akan marah-marah sampai melempar barang apapun didekatnya. Seumur hidup mengenal Ichigo, Renji tak pernah melihatnya begini parah. Ini benar-benar di ambang batas. Ternyata pengaruh wanita itu... benar-benar mengubah seluruh dunia Ichigo.
"Ichigo." Renji menghentikan langkah Ichigo dengan menekan pundak pria itu. Ichigo berhenti dan menoleh menatap Renji tanpa ekspresi. Oh well,... dia jadi pria kurus yang tidak bahagia. Bahkan wajahnya kelihatan lebih tirus seperti kakek-kakek. Berapa puluh kilo saja beratnya yang hilang selama 3 tahun ini. Untungnya dia masih bisa sanggup bertahan selama ini.
"Tidak ada gunanya kau bersikap kekanakan begini. Ini sudah 3 tahun! Berhentilah memikirkan dia. Apa kau tidak tahu kalau kau seperti ini dia juga tidak akan pernah tenang! Kau tidak kasihan padanya? Bahkan setelah dia pergipun kau masih membuatnya khawatir!"
"Agar tidak membuatnya khawatir, makanya aku ingin menyusulnya. Tapi kau selalu menghalanginya!"
BUGHH!
Satu pukulan mendarat di wajah Ichigo. Yah ini juga bukan pukulan pertama dari sahabatnya. Ini adalah pukulan kesekian kalinya setiap kali Ichigo berkata seperti itu pada Renji.
"Kalau kau benar-benar ingin mati, baiklah. Ajak aku. Aku akan ikut denganmu kalau kau ingin mati. Agar aku tidak perlu khawatir padamu lagi!" ujar Renji setelah puas menghadiahi wajah memalukan itu dengan tinjunya. Dan Renji selalu bicara serius selama 3 tahun ini. Dia tidak mau membiarkan sahabatnya selama ini jadi seperti itu.
.
.
*KIN*
.
.
"Kau ingin ikut ke kantor?" tanya Byakuya setelah menyelesaikan sarapannya bersama adiknya itu.
"Aku ingin lihat seperti apa kantor Nii-sama. Aku'kan sudah lama tidak melihat Tokyo. Nii-sama tidak keberatan'kan?" pinta Rukia.
"Kau yakin mau ikut? Kau'kan orangnya cepat bosan."
"Tenang saja. Kalau aku bosan, aku akan segera pulang.
Byakuya menuruti permintaan adiknya. Sesungguhnya itu bukanlah permintaan yang sulit 'kan?
Hanya butuh waktu 30 menit dari rumahnya menuju kantor kakaknya. Rukia dengan riang bergelantungan di lengan kakaknya dengan manja. Bahkan banyak orang yang melihat penampilan baru Presdir mereka kini. Byakuya sempat merasa malu dengan tingkah kekanakan Rukia. Tapi dia juga tidak bisa melarang. Byakuya sudah menunggu Rukia selama 8 tahun. Jadi apapun yang dilakukan Rukia, Byakuya tak akan marah.
Setelah tiba di ruangan Byakuya, Rukia segera berkeliling memeriksa isi ruangannya. Sedangkan kakaknya sibuk dengan sekretarisnya membicarakan tentang beberapa hal. Tempat kakaknya memang membosankan. Semuanya penuh buku dan tidak ada yang menarik. Dia terlalu sibuk. Hhh... seharusnya Rukia memilih berkeliling mall di Tokyo saja daripada melihat hal-hal seperti ini.
"Rukia... aku pergi rapat sebentar. Kalau kau mau pulang, hubungi aku ya." Ujar Byakuya sambil bergegas membereskan barangnya.
"Ok!" jawab Rukia singkat. Sekarang kakaknya sudah pergi. Otomatis ruangan ini kosong. Asyik juga kalau dipakai main-main.
Tapi mata Rukia terpaku pada sebuah lemari kaca. Urutan buku tebal didalam lemari itu nyaris bersampul sama. Tapi ditengah-tengahnya ada sebuah buku tipis yang agak lebih panjang. Bukankah itu mirip majalah?
Karena penasaran, Rukia membuka lemari kaca itu. Agak aneh kakaknya meletakkan buku yang tidak sesuai tempat seperti ini. Perlahan Rukia menarik buku yang aneh itu. Dan ternyata benar. Ini memang majalah. Rukia akhirnya berhasil menarik buku. Tapi matanya langsung melebar tajam.
Di cover majalah itu ada 2 orang yang mengenakan pakaian pengantin. Satu pria dan satu wanita. Pria itu berdiri dibelakang sofa sambil memeluk erat leher wanita yang duduk di sofa itu yang memegang buket mawar putih dengan senyum cerah. Pria bertuksedo putih itu nampak bahagia seperti layaknya pasangan pengantin yang bari menikah. Rukia pernah melihat pria ini. Dia'kan...
Rukia menutup mulutnya tak percaya. Dia adalah pria yang dia temui di pantai kemarin. Pria yang berwajah suram dan menakutkan itu yang mau bunuh diri itu. Lalu apa yang terjadi dengan wajahnya yang di cover majalah ini. Pria ini nampak begitu hidup dan bahagia. Wajahnya segar dan sangat tampan. Bahagia sekali. Semburat merah tipis membayangi wajah putihnya. Jujur, Rukia langsung jatuh cinta pada wajahnya yang tampan saat di majalah ini. Apa Rukia salah orang? Tidak-tidak mungkin. Warna rambutnya sama! Cuman mungkin sekarang agak jauh lebih panjang dan wajahnya kemarin, tidak bercukur.
Kali ini mata Rukia terarah pada wajah wanita itu. Wajahnya juga sama seperti pria ini. Cantik dan bahagia. Segar dan sangat menawan. Dia terlihat anggun dengan gelungan rambut dengan hiasan mahkota kecil itu. Juga kain penutup kepalanya yang digerai indah. Model gaun itu victorian. Tertutup dan anggun. Tapi tunggu dulu! Wajahnya tidak asing. Kenapa Rukia merasa pernah melihat wajah wanita ini?
Tiba-tiba Rukia mendongak dan melihat wajahnya sendiri di kaca lemari itu. Wajahnya. Wanita ini... mirip dengannya.
Mata Rukia membelalak lebar. Bahkan warna matanya sama dengan Rukia. Mereka punya iris berwarna ungu. Tidak mungkin mereka semirip ini! Mana ada orang yang begitu mirip begini...
Tapi... seharusnya pria ini bahagia'kan bersama dengan wanita ini? Mereka tampak serasi. Meski... sepertinya mereka hanya model cover majalah ini saja. Lalu apa yang terjadi dengan pria itu? Mungkinkah... dia diputuskan wanita ini?
Mungkinkah karena wanita ini makanya pria itu ingin bunuh diri?
Rukia mendadak jadi tidak suka pada mereka berdua. Apa yang sebenarnya terjadi. Rukia jadi penasaran. Dan Rukia tidak suka penasaran.
Rukia melihat tanggal edisi majalah ini. Tanggalnya adalah akhir tahun 3 tahun yang lalu. 3 tahun yang lalu?
Tapi ini juga misteri. Kenapa kakaknya punya majalah ini. Kenapa kakaknya... punya majalah yang berisi foto kedua orang ini? Siapa kedua orang ini? kenapa―
"Maaf Presdir aku mengganggu. Ada yang ingin―"
Rukia terlonjak kaget karena ada yang menyelonong masuk kedalam ruangan kakaknya. Pria itu... membolak balik dokumennya dan langsung terperangah melihat Rukia berdiri di depan lemari kaca itu. Mata mereka bertemu. Dan benar... pria itu adalah pria kemarin. Kenapa begini kebetulan?
Baru saja Rukia akan mengatakan sesuatu, maksudnya ingin bilang kakaknya pergi rapat, tapi pria itu langsung pergi dari ruangan itu. Seakan tidak ingin bertemu dengan Rukia. Apa salah Rukia? Mungkinkah... Rukia menyinggungnya kemarin?
Rukia berniat mengejar pria itu, tapi... lagi-lagi.
"Oi Ichigo! Kau mau kemana? Katanya mau ketemu Presdir?" teriak seorang pria berambut merah yang membelakangi Rukia. Tapi pria berambut orange itu sudah pergi.
"Apa-apaan sih dia itu? Seharusnya kan―astaga!" begitu pria berambut merah itu berbalik, dia langsung terlonjak kaget dan menjatuhkan dokumennya. Ekspresinya sama dengan pria berambut orange itu kemarin saat pertama kali bertemu dengan Rukia. Jelas ini bukan pemandangan yang bagus. Rukia masih mematung berdiri di sana.
Tapi perlahan pria itu mendekati Rukia dengan takut-takut sambil memperhatikannya dari atas ke bawah. Lalu tanpa sadar menunjuk pipi Rukia. Lalu kembali menarik tangannya dengan secepat kilat. Kini Rukia merasa seperti diperlakukan seperti hantu.
"Kupikir hantu. Tapi kakinya ada. Pipinya juga lembut. Tapi mana mungkin ada hantu secantik dan senyata ini." Gumam pria berambut merah itu.
"Hei! Apa yang kau lakukan! Akan aku laporkan pada Nii-sama nanti! Karena pelecehan!" bentak Rukia geram.
"Nii-sama? Kau punya kakak di sini?" tanya pria aneh yang mirip monyet itu.
"Yah! Namanya Kuchiki Byakuya! Awas saja kau!" ancam Rukia.
"Hah? Kau... adiknya... Presdir?" ulang pria aneh itu.
"Namaku Kuchiki Rukia tahu!"
"Tapi... kenapa bisa mirip begini?" lirih pria itu lagi.
"Mirip? Apanya yang mirip? Oh! Apa aku... mirip seperti ini?" tunjuk Rukia pada majalah yang tidak sengaja terbawa olehnya.
"Ah! Benar! Mirip seperti itu! Kalian benar-benar sama! Makanya aku heran mana mungkin ada orang mati hidup lagi... tapi kau temukan dimana majalah itu?"
"Di lemari Nii-sama. Tapi... apa maksudmu orang mati hidup lagi?" ulang Rukia merasa aneh dengan jawaban itu.
"Yah... wajar saja kau tidak tahu. Kau baru tiba-tiba muncul disini dan aku tidak pernah melihatmu sebelum ini. Wanita itu... sudah meninggal 3 tahun yang lalu."
Jantung Rukia mendadak mencelos pula. 3 tahun yang lalu?
"Kakakmu dan Ichigo punya hubungan dengan wanita itu. Ceritanya panjang. Tapi kalau kau penasaran, kau bisa tanyakan pada kakakmu. Sekarang aku sedang sibuk, kalau kau ingin bertemu denganku lagi katakan saja. Aku tidak menolak bertemu wanita cantik."
"Tunggu dulu! Maksudmu Ichigo itu..."
"Pria dengan rambut berwarna orange seperti labu. Namanya Kurosaki Ichigo. Ahh~ dia orang yang ada di majalah yang kau pegang itu. Sampai jumpa Nona Kuchiki."
Kurosaki Ichigo... dan wanita ini... juga kakaknya... punya hubungan? Hubungan yang seperti apa?
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
!
*jambakrambut*
saya heran sama diri saya sendiri. apakah segitu banyaknya inspirasi rate m yang saya miliki? bahkan ada fic yang lum kelar kembali menambah fic lain. mending kalo diupdate. ini aja perjuangan banget ngapdetnya.
maaf senpai... saya awalnya sama sekali gak mau bikin sekuelnya. biar dibuat penasaran aja gitu. tapi lama-lama saya kasihan sama Ichigo sampe dibuat ngegantung gak karuan gitu. hiks. apalagi banyak senpai yang nggak nyangka sama akhir Prickly Rose itu. wkwkwkwk
disini bayangkan Rukia dengan rambutnya yang sekarang dan rambut Ichigo yang waktu dia latihan 3 bulan pas mau ngalahin Aizen itu loh.. kyaa saya suka banget rambutnya panjang gitu. bukannya jigrak gini... dan saya buat kayaknya Ichigo jadi berhati dingin sama perempuan deh... hohoho
jadi saya mau buat sekuelnya aja. dan tenang. gak bakalan banyak kok. mudah-mudahan gak sampe 20 chap. pegel bok... hehehe
ok deh. saya gak tahu apa jadinya fic ini. tapi mohon diterima aja dulu. kalo menurut senpai wajib di lanjutkan silahkan review. karena lanjutan fic ini tergantung dengan review senpai. saya nunggu sampe 100 review... *ditampol*
kayaknya gak mungkin ya? satu chap dapet 100 review? wkwkwkw... maafkan otak saya yang suka kumat malem jum'at gini... *nundukdalem*
ok deh... review ya senpai... supaya saya tahu fic ini layak lanjut atau nggak...
Jaa Nee!
