Perpustakaan itu tidak terlalu besar. Terlihat mencolok diantara bangunan-bangunan baru yang bermunculan di Shibuya, lantaran seluruh bangunan masih menggunakan kayu sebagai material utamanya. Dari luar, kalian akan melihat banyak sekali rak buku yang berjajar rapi dari balik jendela besar di lantai pertama. Atap nya yang tinggi, membuat ruang membaca di perpustakaan itu terlihat luas dan nyaman untuk berlama-lama di dalamnya. Tak banyak buku baru di rak-rak tua tersebut. Membuat perpustakaan itu sepi pengunjung lantaran banyak anak muda jaman sekarang yang mulai memilih komik sebagai buku favorit mereka. Kemajuan jaman. Sungguh, tak bisa di hentikan.

"Anak-anak itu." Seorang perempuan belia bergumam dari balik jendela perpustakaan. Rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai ikut terguncang saat ia menggelengkan kepalanya. Bola matanya terlihat tegas mengikuti sekelompok anak laki-laki berseragam sekolah yang sedang asyik dengan Weekly Shonen Jump di tangan mereka. Ia menaruh kedua tangannya di depan dada. Keningnya masih berkerut sejak tadi. "Bagaimana bisa mereka melewati perpustakaan begitu saja." Ia menggerutu lagi.

"Ma... Kau tau, buku bergambar sepertinya lebih menarik untuk anak-anak jaman sekarang." Seorang pria bertubuh besar menanggapi dari balik meja administrasi. Ia tertawa kemudian. "Aku pernah membacanya satu kali, dan ceritanya cukup menarik. Shishishi."

"Saulo-san, kita semakin kekurangan pengunjung, kau tau?" Gadis itu mendelik kemudian berjalan ke salah satu rak dan memilih satu buku.

Saulo terkekeh. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada surat kabar yang sejak tadi dibacanya saat melihat gadis belia itu telah larut dalam buku favoritnya. Ia tahu betul, gadis itu tak akan berbicara sampai ia menyelesaikan bukunya. Atau paling tidak, hingga pengunjung datang.

"Oh, selamat datang, anak muda!" Saulo berseru saat melihat pintu terbuka. Masuk dari sana seorang pria berambut hijau dengan setelan seragam sekolah yang masih lengkap – jas, dasi yang sedikit turun, dan tas sekolah yang tersampir di pundak. Berjalan mendekat ke salah satu rak kemudian duduk di salah satu bangku di sudut ruangan tanpa mengambil buku apapun.

"Kami memiliki banyak buku sejarah dan buku ilmu pengetahuan umum lainnya. Tapi maaf sekali, kami tidak memiliki banyak buku baru. Apalagi komik yang sering dibaca oleh anak-anak seusiamu. Tapi nikmatilah, semoga kau nyaman berada disini," lanjut Saulo ramah.

"Terima kasih," balas pria itu seraya membungkukkan badannya. Kemudian mengeluarkan buku dari dalam tas dan terlarut di dalamnya.

Kini sunyi mendominasi. Hanya terdengar sayup-sayup suara derap langkah kaki dan kayuhan jitensa yang merambat melalui kaca jendela. Detik jam kembali melewati angka dua belas. Bergerak bersamaan dengan jarum menit yang menggapai angka yang sama. Jarum jamnya berhenti di pukul enam. Namun musim semi membuat langit masih terlihat berwarna di luar.

Gadis berambut hitam itu menutup bukunya. Baru satu jam sejak ia membaca buku tua tersebut, namun ia sudah berhasil menghabiskan setengahnya. Saulo bahkan sudah tertidur dengan surat kabar yang menutupi hampir sebagian tubuh besarnya. Dari tempatnya duduk, ia dapat membaca dengan jelas salah satu berita yang terpampang di surat kabar hari itu.

BERSITIRAHAT DENGAN TENANG, HOSHINO TATSUKO

PENYAIR HAIKU ERA SHŌWA

15 NOVEMBER 1903 – 3 MARET 1984

Ia meringis. Ia ingat baru beberapa hari yang lalu membaca haiku perempuan tersebut. Sayang sekali ia harus pergi.

Gadis itu kemudian melirik ke arah lain. Dilihatnya seorang pria muda tengah menatap kosong langit-langit dengan mulut menggumam. Di hadapannya, sebuah buku sejarah terbuka.

Ia mendekat. Memperhatikan buku milik pria itu dengan seksama.

"Apa ini buku baru?" tanyanya antusias.

Pria itu menoleh. Sedikit terkejut mendapati gadis seusianya tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Ah, ya."

"Boleh ku lihat?"

Pria itu mengangguk. Mengamati dengan seksama betapa bahagia gadis bermata biru dihadapannya. Ia membulak-balik halamannya. Membaca dengan teliti judul-judul pentingnya.

"Darimana kau dapat buku ini?"

"Dari sekolah, tentu saja. Apa kau tidak mendapatkan buku yang sama?"

"Bolehkah aku meminjamnya?"

"Pinjam?" Pria berambut hijau itu membulatkan matanya. "Apa maksudmu? Aku membutuhkan buku ini untuk ujian besok."

"Kalau begitu pinjamkan aku setelah selesai ujian. Aku janji akan membacanya dengan cepat."

Pria muda itu terdiam. Tak menyangka ada gadis yang memohon hanya demi sebuah buku sejarah. Lagipula, bukankah ia seharusnya berusia sama? Apa sekolahnya memiliki masalah finansial sampai-sampai muridnya tidak mendapatkan buku pelajaran?

Ia menghela nafas panjang. Rasanya tak masalah juga jika meminjamkannya.

"Baiklah," katanya datar. "Aku akan kembali besok."

"Benarkah?"

"Pastikan kau ada disini pukul empat sore. Aku tak suka menunggu," tambahnya seraya bangkit dan berjalan menjauhi tempat duduk setelah memasukkan kembali bukunya ke dalam tas.

Gadis belia itu tersenyum. "Tenanglah kau tak akan menunggu, aku bekerja paruh waktu disini," katanya santai, membuat pria dihadapannya berhenti sejenak.

Ia menoleh sebentar. "Bagus kalau begitu," jawabnya singkat. Kemudian kembali berjalan dan menghilang dari balik pintu.

"Fufufu, dinginnya," kata gadis itu seraya menggelengkan kepala kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.