"Kami tidak tahu, Nak. Dia menghilang sehari setelah mengembalikan ingatan kami. Dia hanya memberikan secarik kertas ini untuk kami."
"Jadi—dia benar-benar pergi?"
Harry mengangkat kepala nya yang sedari tadi menunduk. Tangan nya memegang secarik kertas lusuh dan dia menghapus air mata Sang Kekasih—Ginny yang mulai menangis lagi. "Kita akan menemukannya. Kita pasti akan menemukannya. Orangtua nya pun percaya kalau kita akan menemukan nya."
"Bagaimana?" isak Ginny yang membuat semua Orang langsung diam mendengar nya. Ginny meremas tangan Harry erat. "Bagaimana—Harry? Hermione itu pintar! Dia pasti bisa bersembunyi dengan baik dan tidak mudah untuk menemukan nya! Aku tidak mau dia kenapa-kenapa!"
"Tenanglah, Ginny." Kata Luna yang sedari tadi hanya memperhatikan sepasang kekasih itu. "Hermione pasti kembali. Dia syok dan Dia butuh ketenangan. Dia masih tidak terima dengan kematian Ron."
"Tidak—" balas Ginny serak. "—aku tidak yakin, Luna. Jika dia pergi—bagaimana dengan NEWT nya? Dia sudah bilang ke kita semua untuk melanjutkan Tahun Ke-7 saat perang sudah selesai. Tapi—"
"Ginny, sebaiknya kau istirahat sekarang." Kata Sang Ibu—Molly. Menarik paksa Ginny yang masih betah dengan posisi duduk nya, lalu mereka berdua naik ke atas untuk beristirahat. Semua orang menghela nafas bersamaan. Gila—itulah pikiran mereka sekarang. Perang melawan Voldemort berserta pengikut nya sudah selesai. Diantara mereka semua banyak yang gugur—salah satu nya adalah Ron.
Fleur datang menghampiri mereka semua dengan wajah lelah, tapi dia masih mencoba untuk tersenyum. "Sebaiknya kalian makan sekarang. Aku dan Bill sudah menyiapkan nya."
Semuanya bangun dari duduk nya dan mulai berjalan ke arah ruang makan. Tidak melupakan untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besar nya karena Bill dan Fleur telah menyiapkan makan malam. Harry meletakkan kertas lusuh itu ke dalam laci. Aku akan menemukan mu, Hermione. Lalu ia mulai mengikuti yang lain nya untuk pergi ke ruang makan.
Jika kalian menemukan ini, berarti aku sudah pergi. Mungkin kemarin itu adalah pertemuan terakhir kita. Maafkan aku yang langsung pergi seperti ini—tapi aku harus. Aku berharap kalian semua tidak mencari ku. Tenang saja, aku tidak akan bunuh diri. Dan terimakasih untuk segala nya. Aku akan merindukan kalian, Dad dan Mum. Aku cinta kalian semua.
Hermione Jean Granger.
Tentang Rasa © Aura Huang
Draco Malfoy x Hermione Granger
Disclaimer : Harry Potter milik J.K. Rowling
Rating M karena ada umpatan-umpatan jelek. Sorry.
SORRY FOR TYPO(S)
CHAPTER ONE
"Kita butuh bantuan Auror." Kata Percy memecahkan keheningan yang terjadi di ruang Keluarga. Rata-rata semuanya berkumpul—keluarga Weasley, Anggota Laskar Dumbledore, dan Orde Phoenix.
"Tidak—" kata Harry protes. "—berita ini akan tersebar nanti nya."
"Akan aku coba untuk tutupi," Balas Percy mencoba untuk menyakinkan Harry. "Kita tidak bisa mencari nya sendirian—maksudku dia bisa dimana saja."
"Itu benar," Sambung Arthur. "Rata-rata dari kalian masih bersekolah. Serahkah saja kepada kami."
Harry bangun dari duduk nya yang mengagetkan semua Orang. "Tidak bisa! Hermione itu sudah seperti saudara ku! Aku tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi!"
Semua nya sudah tahu itu—tentu saja. Harry tidak mau kehilangan salah satu sahabat terbaiknya lagi. Sudah bertahun-tahun Harry bersama Ron dan Hermione dalam suka atau pun duka. Ron dan Hermione yang menemaninya untuk mencari Horcrux—bahkan mereka di juluki Golden Trio. Harry menutup wajahnya yang memerah karena marah, kesal dan sedih. Ginny memeluk nya dan menangis lagi.
Keadaan semua orang saat ini cukup kacau.
Harry tidak ingin mengingatnya—tapi kenangan itu berputar, terus berputar seperti sebuah film. Di saat detik-detik selesainya Perang—dia masih ingat. Bagaimana Ron memeluk Hermione—melindungi Hermione saat mantra Avada Kadavra itu meluncur ke arah Hermione. Bahkan, Harry tidak sempat untuk menyelamatkannya. Lalu Hermione menangis dan memeluk tubuh dingin Ron.
"RON—"
Teriakkan Hermione pun masih bisa ia ingat dengan jelas. Berjalan gontai ke sahabat nya itu dan dia ikut memeluk Ron—seperti yang dilakukan Hermione saat itu.
"—JANGAN TINGGALKAN AKU, RON! BANGUN RON!"
Harry langsung menangis yang langsung ditenangi oleh beberapa Orang di sekitarnya. Tidak peduli apa perkataan Oranglain ketika melihat diri nya menangis—tidak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah Hermione. Ginny mengelus pundak Harry dengan penuh kasih sayang. "Harry—ingat kembali perkataan mu tadi. Kita semua akan menemukannya. Kita semua pasti akan menemukannya."
Harry menghapus air mata nya dan mengucapkan syukur dalam hati. Ada Ginny disampingnya—ada pujaan hati nya. Mengenggam tangan Ginny erat dan memeluknya. Ginny menghapus air mata nya dan membalas pelukan Harry. Dia tahu rasanya—aku tahu. Harry tidak punya siapa-siapa lagi dan Ron berserta Hermione sudah seperti keluarganya, walaupun dia tahu Harry menganggap mereka semua keluarganya—hanya saja, Ron dan Hermione yang benar-benar dekat dengannya. Syok? Semua nya merasakan hal itu.
Sebulan yang lalu, ia dan Harry menemani Hermione berkeliling Australia untuk mencari Orangtua nya untuk mengembalikan ingatannya. Lalu, 2 hari setelahnya, mereka semua di kabarkan bahwa Hermione menghilang. Hermione hanya meninggalkan secarik kertas lusuh untuk Orang tua nya. Ginny tidak habis pikir kenapa dia melakukan itu. Tadi nya dia sempat berpikir bahwa Hermione pergi karena belum rela ditinggal Ron. Tapi—
"Aku sudah rela, Ginny. Walaupun dia sudah pergi, dia masih akan tetap berada di hati ku. Walaupun nanti aku menemukan seseorang yang akan menggantikannya, dia masih akan tetap berada di hatiku. Cinta pertama ku, Ron."
—Ginny berubah pikiran ketika mengingat percakapannya bersama Hermione sebelum ia menemukan Orang tua nya. Di salah satu hotel sederhana di Australia—Ginny masih ingat.
"Tapi—kau tidak akan bunuh diri kan?" tanya Ginny takut-takut. Hermione tertawa kecil mendengar nya. "Tentu saja tidak, Gin. Aku yakin Ron tidak akan menyukai itu."
"Bukan hanya Ron saja yang tidak akan suka—tapi kami semua juga tidak akan suka." Kata Ginny jujur. Hermione menyenderkan kepala nya ke bahu Ginny—Gadis yang dia sudah anggap sebagai adik Perempuan nya sendiri. "Karena aku—Ron meninggal bukan?"
Ginny memandang Hermione tidak percaya. "Tidak—Mione! Dia melakukannya karena dia cinta dengan mu. Dia tidak mau kau terluka—"
"Tapi dia yang terluka, Gin. Bahkan dia meninggal." Balas Hermione sambil menatap cangkir kosong dihadapannya. Ginny terisak pelan. "Jangan salahkan dirimu, kumohon. Mum saja pun tidak suka saat kau berkata seperti itu."
"Jangan bilang—dia pergi karena masih merasa bersalah?" tanya Cho sambil menatap mereka semua satu per-satu. "Kalian masih ingat bukan saat dia menangis dan berteriak-teriak di depan jenazahnya?"
"KARENA AKU—SEMUANYA KARENA AKU. RON PERGI KARENA AKU."
Semuanya mengangguk. Miris memang saat mengingat kejadian yang menyakitkan itu. Molly terisak pelan ketika mengingat kedua anak nya. "Aku—aku sudah menenangkannya, sudah memberitahunya bahwa itu bukan salah nya. Aku tidak marah dengannya. Tapi—aku berharap dia pergi bukan karena alasan dia yang membunuh Ron."
"Dia depresi. Aku bisa melihat nya dari ciri-cirinya." Kata Cho memberitahu mereka semua. "Aku tahu karena aku sedang mengikuti pelatihan untuk menjadi Dokter di Rumah Sakit Muggle."
"Bagaimana cara menyembuhkannya?" tanya Neville. Cho menatap Neville sambil berpikir. "Berolahraga, tidur cukup, berjalan-jalan, mengkonsumsi buah dan sayuran atau memakan coklat. Tapi agak susah untuk mengajaknya. Aku pernah mengajaknya untuk berjalan-jalan, dia menolak."
"Kapan kau mengajaknya?"
"Sehari sebelum dia pergi ke Australia." Balas Cho sambil mengigit bibir bawahnya. Yang lain nya mengangguk mengerti. Harry melirik Cho penasaran. "Bagaimana cara dia menolaknya?"
"Aku tidak bisa—katanya begitu."
"Baiklah," kata Arthur menghentikan pembicaraan. "Kalian masih ingin menginap atau pulang ke rumah masing-masing? Aku tidak enak karena sudah beberapa hari ini kalian menginap disini. Takut kalau keluarga kalian khawatir."
"Aku ingin pulang—bolehkan? Dad dirumah sendirian." Kata Luna sambil mengangkat ranselnya. Arthur mengangguk. "Baiklah—hati-hati."
Setelah Luna angkat kaki, semua nya langsung mengikutinya. Berpamitan dan langsung ber-apparate ke rumah masing-masing. Tinggal keluarga Weasley dan Harry—yang membuat keadaan yang tadi nya ramai menjadi sepi karena semua Orang sudah pergi. Harry menutup kedua mata nya—frustasi, lelah, syok.
"Sebaiknya kalian istirahat sekarang." Kata Molly sambil menarik anak-anaknya satu per-satu tak terkecuali Harry. Harry masuk ke dalam kamar yang dulu nya di tempati oleh Ron. Menatap sedih kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dia masih tidak percaya kalau kedua Sahabat terbaiknya tidak ada disini.
"Harry?"
Harry melihat Hermione yang sedang berdiri di sebrang jalan—ia masih bisa melihat Hermione dengan jelas walaupun disekitar nya terdapat kabut putih. Dia memakai seragam Hogwarts nya dan rambut coklat nya ia kuncir kuda. Nafas Harry tertahan melihat nya. "Hermione?"
"Jangan cari aku, Harry."
"Kenapa? Kenapa kau pergi, Mione? Apa kau tidak tahu kami semua khawatir karena mu?" tanya Harry frustasi dan hampir menangis. Hermione menghela nafas. "Kau tidak akan mengerti."
"Aku akan mengerti jika kau bercerita dengan ku." Balas Harry dengan senyum lembut nya. Senyum menggembang di wajah cantik Hermione dan mulai melangkah mendekatinya. Harry ikut melangkah dan—
—Hermione berubah menjadi debu.
Harry membuka kedua matanya. Nafasnya terengah-engah. Keningnya penuh dengan keringat. Melihat ke arah jendela dan menemukan hari masih gelap. Dia selalu bangun seperti ini ketika Hermione menghilang. Menatap sekitar nya dan tersentak kaget saat melihat Ginny yang sedang duduk di tepi jendela kamar Ron—kamar yang sedang ia tempati. "Ginny?"
Ginny melirik Harry. "Aku tidak bisa tidur."
"Kenapa?" tanya Harry sambil menghampiri Ginny. Ginny tersenyum sedih. "Aku merindukan Fred dan Ron. Dan aku khawatir dengan Hermione."
Harry membiarkan Ginny menyenderkan kepalanya ke bahunya. Ginny menggapai tangan Harry dan mengelusnya. "Harry, apakah kau akan pergi ke Hogwarts saat buka nanti?"
Oh—iya. Harry bingung, semakin bingung. Aku harus ke Hogwarts atau tidak? Tapi bagaimana dengan Ginny? Walaupun dia punya banyak teman—ia tahu Ginny mengharapkannya. Melirik Ginny yang sedang memandanginya dan tersenyum tipis. "Sepertinya aku akan pergi ke Hogwarts."
"Kau yakin? Bagaimana dengan Hermione? Kita tidak akan berhenti mencarinya bukan?"
Hermione.
"Jangan cari aku, Harry."
"Hermione pasti akan marah besar jika dia mengetahui Sahabat nya tidak melanjutkan sekolahnya. Tapi aku akan tetap mencarinya." Balas Harry. Ginny mengalihkan pandangannya dan menatap langit malam dari jendela kamar. Bintang yang muncul tidak terlalu banyak seperti malam sebelumnya. Ginny menatap sedih bintang itu satu persatu. Tidak pernah ia bayangkan kejadian ini sebelumnya—tidak pernah.
Pemuda berambut pirang itu mengigil kedinginan. Mengeratkan jaket tebalnya dan melirik ke kanan-kiri, takut ada yang memperhatikan. Lalu ia berjalan menjauhi Supermarket yang tadi ia kunjungi dan mengeluarkan sekotak rokok dari kantung jaket nya. Menyalakan rokok nya dan mulai menghisapnya dengan perlahan. Lalu mengeluarkan asap dari mulut nya.
Ini adalah kebiasaan barunya. Merokok dan ber-apparate ke kota manapun untuk berjalan-jalan. Dia juga lupa dari mana asal mulanya—kenapa dia merokok dan berjalan-jalan tidak tentu arah seperti ini. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Orangtuanya ketika mengetahui hal ini. Hanya saja, Perang melawan Voldemort sudah selesai. Dia ingin hidup bebas—memilih hidupnya sendiri, memilih calon Istrinya sendiri, bersenang-senang. Dari dulu dia selalu menginginkan itu. Sudah cukup muak ia menuruti semua peraturan yang di buat Ayahnya dulu.
Semuanya mengenalnya—mungkin. Dia adalah seorang Malfoy—Draco Malfoy. Seorang Darah-Murni. Rambut nya pirang tapi sekarang berantakan—tapi hey, itu membuat Penggemarnya semakin bertambah. Tidak peduli dulu nya ia adalah seorang Pelahap Maut, tapi penggemarnya semakin bertambah seiring waktu. Draco sendiri aneh kalau memikirkannya.
Tapi kesenangan ini tidak akan bertahan lama. Sebentar lagi dia akan melanjutkan belajarnya di Hogwarts. Dia tidak akan bisa berjalan-jalan di malam hari dengan santai sambil merokok atau menggoda gadis muggle yang ia temui di pinggir jalan. Lalu—
"Pergi atau kubunuh kau!"
—siapa yang berteriak itu?
Draco melirik kanan-kiri dan menemukan jalan sempit yang gelap. Draco menajamkan mata nya dan mendapati seorang Wanita yang sedang di tahan oleh empat Pria. Draco mendengus kasar melihatnya. Hei—berani-berani nya kau memperlakukan wanita seperti itu!
Sejak kapan Draco mempedulikan Oranglain? Terlebih lagi dia mempedulikan seorang Wanita—WANITA. Dia tidak pernah mempedulikan seorang Wanita kecuali Ibu nya—tentu saja. Tapi melihat sosok Wanita itu berteriak dengan serak membuatnya ingin melindungi nya—iya.
"Oh—kau berani membunuh kami, Sayang?" sindir salah satu Pria bertubuh besar yang membuat ketiga kawannya tertawa. "Sebelum kau membunuh kami, kami sudah lebih dulu membunuh mu."
Draco mulai berjalan menghampiri mereka dengan rokok yang berada di tangan kanannya, dan dia mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Jalan sempit ini gelap—tidak ada penerangan sama sekali. Sial. Sebenarnya ia hanya perlu untuk mengeluarkan tongkatnya, tapi ia enggan menyentuh tongkat itu. Salah satu Pria menyadarinya dan tertawa sinis. "Wah—tamu tak di undang!"
Draco menatap sinis ke mereka ber-empat. "Enyalah kalian!"
"Oh—maaf, Pak. Kami sedang ada urusan dengan nya." Kata Pria bertubuh kurus sambil menunjuk Wanita yang ditengah-tengah mereka. "Sebaiknya Anda pergi sekarang juga."
Draco menatap mereka sinis. "Pergi atau kalian akan tahu—"
Pria bertubuh gemuk langsung memukul pipi Draco. Draco terhuyung ke belakang dan empat Pria itu tertawa keras. Draco mulai bangkit dan menghajar balik ke Pria bertubuh gemuk dengan tinjuan nya. Saat Pria bertubuh gemuk itu jatuh, salah satu Pria bertubuh pendek langsung mengarahkan pisau lipatnya ke punggung Draco. Draco menyadarinya dan mulai menghajar rahangnya dengan tangan nya yang membuat Pria itu terjatuh dan pisau lipatnya terlempar. Draco tidak mempedulikannya dan mulai menghajar Pria bertubuh besar dengan menendang perut nya. Draco menatap sang Wanita yang sedang berdiri di ujung jalan sempit dengan menutup mulutnya dengan syal. Draco mulai menghajar mereka ber-empat dengan cepat—tidak peduli dengan darah yang keluar dari bibir nya, dia tetap menghajar mereka ber-empat. Memukul rahang, pipi, perut, kaki mereka dengan sekuat tenaga.
Nafas Draco terengah-engah. Mengelap darahnya yang keluar dari sudut bibirnya dengan kasar dan menatap empat Pria itu galak. "Enyalah, kalian!"
Salah satu dari Pria itu bangkit dari duduk nya dan mulai berlari yang langsung diikuti oleh yang lain nya. Draco tersenyum senang bukan main dan melirik Wanita itu kembali. Dia masih disana dengan posisi yang sama juga. Draco melangkah canggung mendekati Wanita itu. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja." Kata Wanita itu dengan suara serak. "Terimakasih."
Baru saja Draco ingin membuka mulut—Wanita itu langsung berjalan melewatinya, berjalan dengan cepat dan tidak menengok kebelakang lagi. Draco mengernyitkan dahi nya dan mulai berlari-lari kecil menghampiri Wanita itu. "Rumah mu dimana? Aku bisa mengantar mu. Untuk jaga-jaga."
Wanita itu berhenti dan menatap Draco. Rambutnya ia pakaikan topi dan mulut nya di tutupi oleh syal. Hanya kedua mata nya saja yang terlihat—membuat Draco diam-diam penasaran dengannya. "Aku tidak apa-apa. Sebaiknya Anda pergi sekarang."
Eh—Draco menatap curiga Wanita di depannya.—suara nya mirip seseorang. Draco tersenyum untuk mencoba meluluhkan Wanita ini. "Bagaimana kalau ada Pria jahat seperti tadi?"
Bisa ia lihat Wanita itu memutar kedua bola matanya malas. "Aku bisa menjaga diriku sendiri, Tuan."
Draco tersinggung ketika mendengar Wanita itu menekan kata terakhir nya. Draco berdeham dan menatap Wanita itu dalam. "Kalau kau bisa menjaga dirimu—kenapa kau tidak menghajar Pria-pria tadi?"
"Aku ingin menghajarnya. Tapi kau mendahului ku. Sebaiknya kau pergi sekarang." Balas Wanita itu geram. Dia mulai melangkah—menjauhi Draco seperti tadi. Draco tidak menyerah—ia langsung menyambar lengan nya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Wanita itu menggeleng. "Tidak. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya."
Dan Wanita itu pergi kembali. Dan kali ini, Draco tidak menahan Wanita itu pergi. Ia hanya memandang punggung Wanita itu yang semakin lama semakin menjauh. Suara siapa? Pikir nya dalam hati. Dia merasa kenal dengan suara itu—sangat kenal.
"Enyalah, Malfoy."
Tiba-tiba dia teringat dengan suara itu—mirip dengan seseorang. Berambut coklat megar, salah satu dari Golden Trio, Nona-Sok-Tahu atau apalah itu. Granger? Italia? Mana mungkin! Batin nya. Tapi—untuk apa aku peduli? Draco menatap sinis punggung Wanita itu yang semakin menjauh dan ber-apparate ke rumahnya—Malfoy Manor.
"Di Godric's Hollow tidak ada."
"Di Spinner's End tidak ada."
"Di desa Hogsmeade tidak ada."
"Di Diagon Alley tidak ada."
Ginny menghela nafas mendengar nya. "Apa kita harus mencari dia di setiap hotel London?"
"Ya."
"Tidak." Kata Percy yang membuat semua Orang yang sedang berada di The Burrow menatapnya. "Aku yakin dia sudah pergi dari London."
Arthur mengangguk mendengarnya. "Aku juga yakin seperti itu. Dia pasti sudah keluar Negeri."
"Semakin sulit saja untuk menemukan nya." Balas Harry sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ginny meliriknya dan menatap Arthur lagi. "Bagaimana dengan Orangtua nya?"
"Mereka juga masih mencari." Balas Fleur sedih. "Kasihan Nyonya Granger, dia tampak sangat frustasi."
"Tentu saja—dia itu anak satu-satunya dan terlebih lagi dia anak perempuan. Pasti mereka sangat frustasi dan juga khawatir." Balas Molly sambil memijat kening nya—pusing. Harry menatap wajah lelah mereka satu persatu dan menghela nafas setelahnya. Mereka semua rela untuk tidak berkerja dan istirahat karena mencari Hermione, tapi dimana dia sekarang? Kenapa dia menghilang? Sebentar lagi Hogwarts akan membuka sekolahnya kembali. Apa Hermione tidak ingin melanjutkan belajarnya? Menggaruk kepalanya lagi dengan frustasi dan menutup kedua matanya.
"Sebaiknya kalian bersiap-siap untuk masuk Hogwarts." Kata Molly. "Terutama kau Harry, walaupun kau bisa langsung menjadi Auror—kau harus tetap belajar juga."
"Mum—" kata Ginny. "—jangan memaksanya. Biar saja dia yang memilih jalannya."
"Aku akan melanjutkan belajar ku di Hogwarts, Gin. Bukannya aku sudah bilang pada mu?" tanya Harry sambil tersenyum tipis. Ginny ikut tersenyum dan menyenderkan kepala nya. "Masih ada waktu untuk berpikir ulang, Harry."
"Tidak, Gin. Keputusan ku sudah bulat." Balas Harry menyakinkan sang Kekasih. Ginny mengangguk mengerti mendengarnya. Molly menatap mereka berdua dan tersenyum lembut. "Sebaiknya kalian berkemas sekarang untuk pergi ke Hogwarts."
Harry mengangguk dan bangun dari duduk nya yang diikuti oleh Ginny. Menatap punggung mereka berdua dari belakang dan menatap Percy. "Percy, apa kau yakin sudah memeriksa semua nya?"
"Sudah, Mum." Balas Percy serak. "Bahkan dengan bantuan Auror pun dia tidak bisa ditemukan."
"Kalian tidak menemukan apapun di rumah Hermione atau kamarnya?" tanya Molly yang membuat Percy mengalihkan pandangannya. Mengambil sebuah lembaran foto yang tidak bergerak dan menunjuknya ke mereka semua. "Tidak. Tapi kami diberitahu oleh Auror yang bertugas di Italia tepatnya di desa Tellaro—dia menemukan Gadis yang mirip Hermione di CCTV."
Semua nya menatap foto yang tidak bergerak itu. Wanita itu menutupi rambut nya dan setengah wajahnya ditutupi oleh syal. Molly mengernyitkan dahi nya. "Itu pada malam hari kan? Kita tidak bisa memastikannya."
"Ya—" balas Percy. "—tapi aku yakin ada yang bisa memastikannya."
"Siapa?" tanya Harry yang membuat semuanya tersentak kaget. Harry menghampiri mereka semua dengan marah. "Kalian tidak memberitahu ku!"
"Tenang—"
"Bagaimana aku bisa tenang!" teriak Harry. "Kalian tidak memberitahu ku!"
"Kami akan memberitahu mu, Harry." Balas Percy menenangkan. "Tenangkan dirimu! Aku ingin memberitahu mu jika aku selesai memberitahu mereka."
"Oh—ya?" balas Harry sinis. Ginny memukul lengan Harry tidak sabar. "Harry! Percy sudah berusaha untuk membantu! Dia pasti punya alasan sendiri kenapa tidak langsung memberitahu mu!"
"Aku sengaja memberitahu mu paling terakhir agar kau langsung menemui seseorang ini. Seseorang yang mungkin tahu dia dimana." Balas Percy sambil mengeluarkan foto yang lain nya yang menampakkan seorang Pemuda yang sedang berhadapan dengan Gadis yang mirip Hermione dan memperlihatkannya langsung di depan Harry. Harry melotot melihatnya. "Dia—"
Percy mengangguk. "Draco Malfoy."
BERSAMBUNG
Sebenarnya ini fanfiction udah lama dibuat tapi ga dipublish. Dan akhir nya Saya putuskan untuk dipublish. So, lanjut atau tidak? Silahkan berikan review kalian. Mau berisi kritik atau saran atau apapun itu diterima kok. Dan terimakasih.
