Title : Forest of No Return

Author : Ninja-edit

Fandom : Naruto

Disclaimer : Semua tokoh dalam kisah ini adalah milik Masashi Kishimoto; Author tidak menerima profit dalam bentuk materi dari kisah ini.

Genre : Drama/Romance

Pairing : Various

WARNING : AU— mengambil setting dunia kerja masa kini, namun dibuat seringan mungkin agar dapat dinikmati semua kalangan; OOC-ness yang memiliki alasan, namun author belum akan menjabarkannya saat ini karena akan spoiler. (bilang gini juga udah spoiler haha…)

Baru kembali dari kebinasaan. Mohon maap kalau kurang memuaskan. ^^;;

NOTE : Dibuat setelah tiba-tiba saja wangsit datang menghampiri saat tidak sedang dicari. Dan inilah alasannya fic ini keluar lebih dulu daripada lanjutan fic multichap saya yang terbengkalai (uhuk, gomenchai, minna). Draft fic ini sudah dibuat hingga tamat. Dengan kata lain, semua plot sudah ada dalam kepala saya.

Kesamaan dengan fic lain (bila ada) sama sekali tidak disengaja. Dalam 2 tahun ini saya udah jarang baca fic. Jadi maaf kalau ide yang sama sudah pernah digarap author lain. Semoga fanfic ini cukup menyenangkan untuk dinikmati. Enjoy

Summary : Jika persahabatan adalah hal yang sangat penting bagi Uchiha Sasuke, maka gadis yang disukainya jauh lebih penting lagi. Alasan yang sama yang membuatnya meminta bantuan Haruno Sakura untuk memikat hati Uzumaki Naruto—agar berpisah dari Hyuuga Hinata yang disukainya. Sesederhana itukah?

.

.

.


Forest of No Return

Prologue: The Game of Love

.

.

.

Rintik-rintik hujan membasahi petak-petak paving block segienam yang mengalasi trotoar. Di ujung trotoar selebar satu setengah meter itu, tampak dua sosok anak muda dengan payung mereka masing-masing berdiri berhadapan tepat di belokan pertigaan jalan. Dari payung putih berlogo hitam khusus yang kedua orang itu gunakan, dapat Sakura simpulkan bahwa keduanya adalah teman satu kantornya yang juga turut serta dalam wisata kantor ini.

Semakin dekat Sakura berjalan, kian dapat dilihatnya dengan jelas rupa dari kedua orang itu. Yang perempuan, memiliki rambut panjang hitam berponi yang terawat dan dibiarkan tergerai lembut hingga menyentuh pinggang langsingnya. Senyumnya terlihat lembut dan menyejukkan hati. Sementara yang laki-laki, memiliki wajah tampan dengan garis muka tegas yang akan dengan mudah menempati ingatan setiap orang yang memandangnya. Senyumnya tampak hangat dan penuh kepercayaan diri. Mereka tengah bercakap-cakap.

Kecipak air yang dilewati Sakura saat ia berjalan kian dekat membuat si laki-laki tampan menolehkan kepala ke arahnya.

Sakura tidak senaif itu untuk percaya takhayul mengenai cinta pada pandangan pertama. Dia juga tak sekonyol itu untuk dengan sangat percaya diri meyakini bahwa seorang laki-laki terpesona padanya. Namun, ia juga tak sebodoh itu untuk tidak menyadari saat seorang laki-laki menatapnya dengan ekspresi terkejut dan mengerjap memandanginya seolah baru saja melihat hantu siang bolong.

Tidak setiap saat seseorang merasa tengah ditelanjangi oleh tatapan lawan jenisnya dengan penuh kekaguman, dan tidak setiap saat pula seorang wanita akan menyadarinya. Dan saat ini adalah saat yang langka tersebut. Dalam benak Sakura, otaknya menerima informasi bahwa si laki-laki tampan berambut hitam legam itu tertarik kepadanya. Atau pada fisiknya, lebih tepatnya. Mengingat bahkan mereka tak mengenal satu sama lain dan saling berbicara pun tidak—tak mungkin laki-laki itu tertarik pada kepribadiannya.

Sakura memalingkan muka, berpikir bahwa laki-laki itu tak pantas memandanginya seperti itu sementara gadis pilihan hatinya berdiri tepat di hadapannya. Ia berjalan melewati pasangan sejoli itu dari samping si gadis berambut hitam panjang.

.

.

.

.

.

Gagang telepon baru saja diletakkan kembali pada tempatnya saat sekuriti datang membungkukkan badan di samping mejanya.

Sakura mengangkat kepalanya, memberi kesempatan pada sekuriti bertubuh gelap tegap itu menyampaikan keperluannya.

"Ada orang developer yang ingin ketemu Ibu. Katanya ada yang perlu didiskusikan mengenai proyek The Green." Sekuriti itu berusaha memberikan senyum terbaiknya—yang gagal total.

Kening Sakura mengernyit. "The Green sudah dilimpahkan pada anak perusahaan kita yang lain."

Sekuriti itu bergeming menatapnya.

Sakura memijit keningnya, kembali meraih gagang telepon di atas mejanya dan menekan tujuh digit nomor di sana.

"Halo, Zero Furniture Company kantor agen Setagaya. Dengan Uchiha, ada yang bisa dibantu?" nada suara penuh formalitas dan profesionalisme terdengar dari seberang saluran telepon.

Sakura mengerutkan dahinya mengingat nama yang barusan diucapkan lawan bicaranya itu.

"… Maaf, bisa disambungkan pada Nara Shikamaru? Dari Haruno Sakura, kantor cabang Tokyo-Nakano."

Ada jeda sejenak sebelum si lawan bicaranya kembali bicara di telepon, kali ini dengan nada yang lebih antusias dan intim dari sebelumnya. "Oh! Haruno Sakura yang..."

'Yang'? 'Yang' apa? Sakura mengerutkan keningnya menunggu si lawan bicara melanjutkan kalimatnya. Sedikit terpintas dalam benaknya, apa gerangan imej dirinya di mata rekan sejawatnya yang lain hingga laki-laki yang tak dikenalnya itu sampai berkomentar 'Sakura yang—'.

"Ah. Shikamaru siap di line 3. Akan kusambungkan, ditunggu ya." Suara ramah itu kembali terdengar, tanpa menyelesaikan kalimat sebelumnya.

Nada pengalihan telepon terdengar sebelum sempat Sakura bertanya pada si lawan bicara yang memperkenalkan diri sebagai 'Uchiha' itu. Sakura hanya bisa menghela napas dan bicara dengan Shikamaru setelah rekan kerjanya yang satu itu mengangkat panggilan darinya. Dalam sepuluh menit, mereka terlibat dalam diskusi mengenai The Green yang disinggung sekuriti yang masih berdiri tegap di samping meja Sakura.

Telepon sudah hampir ditutup kembali ketika suara Shikamaru yang tergesa menyeruak memintanya untuk menahan panggilan mereka sejenak. Sakura mengerutkan dahinya, menempelkan kembali gagang telepon itu di cuping telinganya.

"Kau tahu, barusan saat kita sibuk bicara soal The Green, di sini juga ada yang sibuk memberiku kode," kata Shikamaru dengan nada canda.

"Kode?" Sakura menyobek secarik kertas dari memo di atas mejanya, meliukkan pulpen bertinta hitam di atasnya dan menuliskan sesuatu di sana.

"Yup. Yang mengangkat teleponmu tadi, Uchiha Sasuke. Katanya dia minta alamat emailmu. Boleh kuberikan?"

Gerakan tangan Sakura yang tengah menulis di atas carikan kertas itu terhenti. "Mau apa?"

Terdengar suara tawa dari seberang telepon. "Ya ampun Sakura, apa lagi yang akan dilakukan seorang laki-laki yang meminta alamat email seorang gadis walau tak ada keperluan khusus?"

Sakura bergumam ringan, menimbang sembari memainkan batang pulpen di tangannya. "Boleh. Berikan saja," ujarnya pada akhirnya.

Shikamaru berdengus takjub. "Oke. Nanti kuberikan. Have fun~" ia masih sempat bercanda sebelum memutuskan pembicaraan mereka.

Sakura hanya tersenyum simpul. Diberikannya carikan kertas yang kini berisi memo untuk orang developer yang ingin menemuinya di lobi pada si sekuriti. "Sampaikan padanya agar datang ke kantor agen Setagaya dan temui Shikamaru. Ini yang harus kau katakan padanya."

Sekuriti itu mengangguk seraya menerima carikan memo singkat itu dari tangan Sakura dan berlalu pergi.

Akhir hari itu dilalui seperti biasa tanpa satu pun kabar lebih lanjut mengenai alamat emailnya yang diberikan pada 'Uchiha Sasuke' itu.

.

.

.

Menghempaskan tubuhnya di atas ranjang empuknya, Sakura mengecek ponselnya. Kebiasaan yang dilakukannya setelah mandi air hangat sepulang kerja dan sebelum tidur.

Icon email di bagian atas layar ponselnya berkedip-kedip. Ada sebuah email untuknya.

Dibukanya email tersebut dengan sedikit rasa penasaran, dan benar saja dugaannya. Email dari Uchiha Sasuke.

Halo, Haruno?

Terima kasih sudah memberikan alamat email pribadimu padaku. Aku sangat menghargai itu. Dan aku sangat senang.

Sakura mengerutkan keningnya, tertawa kecil sebelum mengetik email balasan.

Tak masalah.

Terlanjur ia mengklik tombol Send saat baru saja ia berpikir untuk member jeda waktu sejenak sebelum mengirim balasan. Karena yah, kalau terlalu cepat dibalas, kelihatan sekali bahwa ia juga tertarik pada lawan bicaranya itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau gengsi di kesampingkan.

Sedang apa?

Sudah pulang?

Datang balasan yang juga sama cepatnya dari si lawan bicara.

Sakura mengulum senyum, kini telah sangat yakin bahwa Uchiha Sasuke ini memang memiliki ketertarikan khusus padanya. Ia pun mengetik balasan dan melanjutkan percakapan ringan mereka hingga akhirnya jatuh tertidur satu jam kemudian. Tahu-tahu saja mereka telah membahas mengenai jumlah saudara kandung, alamat rumah, dan keluhan-keluhan dalam pekerjaan masing-masing.

.

.

.


Email itu datang semakin sering. Sakura dan Sasuke telah semakin intens mengobrol, dari hal-hal yang sangat ringan hingga diskusi alot, dari canda tawa hingga debat sehat, dan tak lupa diselingi kalimat-kalimat rayuan dari si laki-laki untuk si gadis. Yang biasanya ditanggapi dengan tawa dan canda dari si gadis.

Nanti malam ada janji?

Bagaimana jika kita mengobrol langsung di kafe atau semacamnya sepulang kantor nanti?

Aku senang bicara via email seperti ini denganmu, tapi kubayangkan pasti akan lebih menyenangkan mengobrol langsung bertatap muka denganmu.

Sakura menatap layar ponselnya, sedikit tak percaya dengan apa yang dibacanya.

Bukan kali ini saja seorang laki-laki pernah mengajaknya keluar, tapi baru kali ini ada laki-laki yang mengajaknya kencan hanya berselang dua hari dari perkenalan mereka.

Hmm tidak ada rencana apa pun.

Boleh saja, bertemu di mana?

Dan Sakura tak ragu sedikit pun untuk menekan tombol Send.

.

.

.

.

.

.

Suasana kafe yang cukup ramai tak membuat Sakura yang duduk di meja sudut berhadapan dengan Sasuke tampak canggung. Keduanya berbincang dan bersenda gurau seolah mereka adalah teman lama yang baru saja berjumpa kembali setelah sekian lama.

Sakura menyuap gulungan spaghetti bolognaise di garpunya dengan sisa tawa di mulutnya. "Kukatakan saja." Ia mengulum senyum. "Kurasa pacarmu tidak akan senang jika memergoki kita di sini saat ini."

Sasuke mengerjap dan mengerutkan keningnya, meletakkan gelas sodanya di atas meja. "Pacar siapa? Aku tidak punya pacar."

Kini gantian Sakura yang mengerjap. Memilih kalimat yang enak didengar untuk menyuarakan pikirannya. "Gadis berambut hitam panjang yang waktu itu? Yang kulihat bersamamu di Kuala Lumpur?"

Sasuke membulatkan bibirnya, sebelum tertawa kecil. "Itu Hyuuga Hinata. Dia berpacaran dengan Uzumaki Naruto, sahabatku."

Sakura memainkan garpu di tangannya. "Hmm? Kukira kalian pacaran."

"Tidak, tidak." Sasuke mengibaskan tangannya santai. "Aku hanya menemaninya karena saat itu Naruto sedang pergi mengambil barang yang ketinggalan." Ia tersenyum.

Kalau dipikir ulang, tidak semua laki-laki dan perempuan yang berdiri berhadapan dan saling tersenyum mengobrol adalah pasangan kekasih. Sudah sangat lazim di zaman sekarang persahabatan antara pria dan wanita.

Namun entah bagaimana, kesan yang ditangkap benak Sakura saat melihat keduanya di hari berhujan itu adalah bahwa mereka sepasang kekasih.

Namun tentu saja, karena yang bersangkutan mengatakan mereka bukan pasangan, ia tak bisa berkomentar lebih lanjut.

"Kenapa kau tidak punya pacar?" Mungkin agak sedikit kurang ajar dan tidak sopan, tapi semenjak Sasuke memutuskan agar mereka berdua saling memanggil nama kecil masing-masing artinya Sakura sudah berhak untuk merasa akrab dan menanyakan hal-hal yang bersifat peribadi.

Sasuke bergumam sejenak seraya mengulum es batu di mulutnya. "Mendapatkan seorang pacar itu hal yang mudah. Tapi sangat sulit menemukan yang cocok. Dan aku tidak mau lagi harus berulang kali putus dengan wanita karena ternyata tidak cocok denganku."

Sakura mengangguk, kembali menyuap santapannya. "Cukup bijak. Aku setuju."

"Kau sendiri?" Sasuke melipat kedua tangannya di meja, mencondongkan tubuhnya ke arah Sakura yang duduk di seberang meja. "Kenapa gadis cantik sepertimu tidak punya pacar?"

Sakura meringis dengan tawa masam. "Hampir serupa denganmu. Bagiku sangat sulit menemukan yang cocok denganku. Aku susah menyukai seseorang. Tertarik itu mudah, tapi tidak dengan rasa suka."

Sasuke ikut tertawa bersamanya. "Kalau begitu, mari bersulang untuk pencarian jodoh yang pas untuk kita." Ia mengangkat gelas tinggi sodanya yang dingin berembun. Sakura turut mengangkat gelasnya dan melanjutkan percakapan santai mereka hingga cukup larut malam dan Sasuke memutuskan untuk mengantar Sakura pulang ke rumahnya.

.

.

.

.


Lantunan nada dering ponselnya membuat Sakura yang tengah melepaskan lensa kontak dari matanya sedikit tersentak. Dibiarkannya ponselnya itu terus berdering dan bergetar, hingga ia selesai melepaskan satu lensa kontaknya dan memasukkannya ke dalam tempat mungilnya.

"Ya, halo." Sakura menyambar ponselnya setelah panggilan kedua kembali masuk.

"Sakura? Ini aku…"

Sekali dengar saja Sakura dapat menebak bahwa yang tengah bermain rahasia di telepon itu adalah Shikamaru. Rekan kerja sekaligus juniornya yang sangat akrab dan cukup dekat dengannya. "Shikamaru?"

"Ya, ini nomorku yang lain. Aku sedang mencari ponsel yang biasa kugunakan, kurasa aku meninggalkannya di kantor tadi sore. Atau mungkin sebetulnya kubawa pulang, kukeluarkan dari tas kerjaku, dan aku lupa meletakkannya di mana. Entahlah." Terdengar helaan napas panjang di akhir kalimatnya yang diucapkan dengan cepat itu.

"Kau tidak akan bilang kau meneleponku hanya untuk mengoceh soal ponselmu yang lenyap itu, kan?" Sakura sedikit tak sabar, mengingat ia masih punya urusan penting lainnya yang perlu diselesaikan. Melepas lensa kontaknya yang sebelah lagi.

"Ah! Maaf, maaf." Shikamaru tertawa. "Hmm ada yang ingin kukatakan. Lebih tepatnya, kusampaikan. Atau….. kuakui."

Kening Sakura berkerut.

"Kau tahu, saat minggu lalu Sasuke meminta alamat emailmu, sebetulnya… dia memintanya sejak sepulang dari Kuala Lumpur." Terang Shikmaru.

Sakura mendengarkan, membiarkan kawan karibnya itu melanjutkan.

"Saat itu tak kuberikan alamat emailmu. Karena… kau tahu, dia… terkenal sebagai seorang playboy di sini."

Sakura tidak terkejut.

"Aku tidak bermaksud menilai seseorang dan memutuskan seenaknya tentang orang itu. Karena aku pun tidak terlalu dekat dengannya. Karenanya aku diam saja. Tapi… karena setelah itu kau menelepon ke kantorku dan kebetulan ia yang mengangkatnya, ia kembali mendesakku dan meminta alamat emailmu."

Cukup jelas bagi Sakura.

"Dan karena kau bilang berikan saja, maka kuberikan ." Shikamaru menghela napas.

"Begitu? Hm…" Sakura hanya bergumam. Masih tak mengerti arah pembicaraan ini menuju.

"Ya, begitulah." Dapat Sakura tangkap nada canggung dari nada bicara Shikamaru. "… Kau tahu, aku sudah menganggapmu seperti kakak perempuanku sendiri. Karenanya, aku juga merasa tak enak hati jika tidak menyampaikan semua ini padamu."

Sakura menunggu Shikamaru melanjutkan.

"Aku takut kau terluka karena menganggap serius hubungan kalian—kau dan Sasuke, maksudku—padahal ternyata Sasuke hanya menganggap ini semua main-main." Kali ini Shikamaru bicara lebih tegas. Walau dapat tertangkap rasa tak enak hati saat ia mengucapkan kalimat barusan.

Sakura lekas menyahut. "Sebentar, sebentar. Aku perlu meluruskan sesuatu di sini."

Shikamaru memberinya kesempatan.

"Aku tahu dia sangat narsis. Dia tahu dirinya tampan, pintar, jago olahraga dan pandai menyanyi. Dan aku tahu dia sangat tahu banyak sekali perempuan yang akan bertekuk lutut di hadapannya jika ia ingin. Aku tahu dari bincang-bincang kami dalam satu minggu ini."

Shikamaru tak menyela.

"Tapi, aku dan dia sama-sama tahu bahwa kebersamaan kami dilandaskan atas dasar ingin senang-senang. Aku sedang bosan, dia sedang bosan, kita pergi berkencan. Apa salahnya? Hubungan kami mutualisme. Aku terhibur, dia terhibur. Tanpa perlu ikatan perasaan yang dalam."

Kali ini Shikamaru menimpali cepat, "Oh, bagus. Syukurlah kalau begitu. Aku hanya tidak mau melihatmu patah hati. Seperti mantan-mantan pacarnya yang lain."

"Itu takkan terjadi." Sakura tertawa dan berkata tegas. "Lagipula, kau tidak boleh lupa bahwa posisi saat ini adalah dia yang mendekatiku. Dia yang menunjukkan ketertarikan khusus padaku. Aku hanya menyambutnya."

Shikamaru bergumam. "Kuharap masih akan tetap seperti itu."

Sakura tertawa lagi. "Takkan berubah. Aku tahu bagaimana memainkan kartuku."

Dan percakapan mereka pun selesai sampai di situ.

Dikatakan tidak mungkin, sebetulnya sangat dekat pada kemungkinan. Dan Sakura tahu itu. Sasuke adalah orang yang sangat menarik. Bukan hanya dari segi fisik, namun cara berbicaranya, gayanya bertingkah, bahkan pola pemikirannya juga menarik. Setidaknya, bagi Sakura. Sangat mudah baginya untuk menyukai Uchiha Sasuke.

Namun tentu saja, ia tidak bisa bilang bahwa ia ingin hubungan mereka ini jadi serius, sementara ia tidak tahu apa yang dipikirkan Sasuke tentangnya dan hubungan mereka yang samar-samar ini, kan?

Bohong besar jika dikatakan Sakura tidak punya rasa gengsi untuk mengakui daya tarik Sasuke. Tapi tentu saja, ia tidak mau jadi pihak yang kalah. Jika Sasuke hanya menganggap ini semua permainan, maka Sakuralah yang akan berdiri paling akhir sebagai pemenangnya. Jika saat ini Sasuke unggul dengan lima kartu Full House di tangannya, maka ia akan memenangkan semua ini dengan Royal Flush.

Tentu saja jalan termudah untuk menghindari semua kemungkinan terburuk adalah dengan mengakhiri pertaruhan ini dari sekarang, sebelum semuanya berkembang semakin luas dan rasa keterikatan mengakar semakin dalam. Namun Sakura paham, bahwa baginya Sasuke memiliki peluang besar untuk jadi sosok yang disukainya. Dan seperti yang Sasuke katakan, mereka berdua sama-sama sedang mencari sosok sejati pasangan hidup mereka. Sakura masih ingin mencobanya dengan Sasuke.

Jika ini adalah permainan, biarlah ia bertaruh dengan segala yang dimilikinya dan jadi pemenangnya.

Sakura meraih ponselnya kembali dan mengirimkan email.

Besok sudah punya rencana?

Mumpung weekend, bagaimana kalau kita pergi karaoke?

Mengingat Sasuke senang dengan dunia musik—seperti pengakuannya pada Sakura—kemungkinan besar pergi ke tempat karaoke akan membuat suasana hati Uchiha Bungsu itu senang.

Dan tentu saja, hal yang akan dilakukannya besok adalah mengorek sebanyak mungkin informasi mengenai masa lalu Sasuke dan kebenaran dari gosip-gosip yang beredar tentangnya. Walaupun dalam seminggu ini mereka telah banyak mengobrol santai dan bercanda, belum banyak mereka singgung mengenai kehidupan pribadi masing-masing.

Inilah saatnya memulai permainan.

.

.

.

Email yang dibalas sepuluh menit kemudian itu berisi tentang kegirangan Sasuke dan persetujuannya untuk pergi karaoke besok siang. Sakura mematikan ponselnya setelah membicarakan detail waktu janjian, tanpa tahu bahwa permainan yang dibayangkannya ini bahkan belum dimulai sama sekali.

Ia adalah pion dalam papan catur yang telah disusun apik dari awal, dan Sasuke takkan membiarkan bidaknya bertindak di luar ekspektasinya. Semua sesuai dengan alur permainannya.

.

.

.

.

.

*** To be Continued… ***