Outcast
by Futsuki Fuzuki
Summary : Jemari mereka yang saling bertautan tak mengubah fakta ikatan ini. Ikatan yang tak semestinya terjalin. Tapi, biarkanlah mereka berharap untuk saat ini. Meski harapan itu hanyalah sebuah impian manis, yang bisa pudar kapan saja.
Disclaimer : Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Warning : AU, mistypo, OOC BANGET, tsundere!Armin, Armin-centric, crack pair!
A/N : Futsuki here...
Awalnya terinspirasi sama parodian Al-Sekoting edisi kolonial *HAHAHA PLS APA BANGET*, terus keinget S.A.R.A *krik*. Akhirnya konsepnya doang yang dipake. Biasanya yang namanya Armin seenggaknya dibikin yandere, tapi di sini beda. Yeah, tsundere buat di sini, TSUNDERE, readers! Makanya kami bilang OOC pake banget~ *ngesot*
Enjoooy!
- Chapter 0 : Prologue -
.
.
" War is a defeat for humanity – Pope John Paul II "
.
.
Sepanjang hari itu, matahari sekali tidak menampakkan rupanya. Awan gelap menyeliputi angkasa pertanda hujan akan turun. Namun, tak ada setetes pun air yang jatuh ke bumi, seolah menunggu waktu yang tepat untuk turun.
Suasana muram itu terjadi di semua tempat, termasuk di sebuah mansion yang ada di jantung kota Trost. Mansion mewah bergaya klasik yang mampu membuat semua orang menoleh hanya untuk sekedar melihatnya. Halaman yang luas serta pepohonan yang rindang membuat nuansa tenang tercipta di sana.
Tapi, hal itu berbanding terbalik dengan keadaan di salah satu ruangan di mansion tersebut. Suara-suara perdebatan bisa terdengar dari balik pintu ruang kerja yang cukup besar, mengusik ketenangan di sore hari itu.
"Shiganshina?" nada tak percaya keluar dari mulut pemuda blonde yang sejak tadi berdiri di ruang kerja itu. Cahaya lentera yang temaram menyinari raut wajahnya yang terlihat tidak suka dengan apa yang baru saja ia dengar. Mata birunya menyipit memandang pria paruh baya yang ada di hadapannya. "Jadi, aku akan ikut dikirimkan karena misi jaminan itu?"
"Ya," pria yang menjadi lawan bicara pemuda itu berkata dengan tegas, tak peduli dengan tanda keberatan yang jelas terlihat di wajah sang pemuda. "Kelihatannya Jenderal Keith akan dikirim ke Shiganshina untuk membereskan masalah yang ditimbulkan oleh Kepolisian Militer. Aku ingin kau membantunya."
"Tidak ada misi yang lebih pantas untukku?" si pemuda meninggikan suaranya, memprotes perintah yang ia terima. "Kalau hanya membantu jenderal itu, kirim saja Daz atau Thomas. Pangkat mereka lebih rendah dariku."
"ARMIN ARLERT," suara yang tegas itu berubah menjadi amarah. "Kau ingat sedang berbicara dengan siapa? Di sini ruang kerjaku dan aku adalah atasanmu, bukan pamanmu."
Suasana ruangan itu menjadi beku dalam sesaat. Lidah Armin kelu, tak bisa membalas perkataan sang paman. Ia terlalu terbawa emosi karena lupa dengan keadaan di sekitarnya. Ruangan yang terlalu familier membuatnya lupa sesaat untuk membedakan urusan militer dan keluarga.
"Maafkan saya, Letnan Jenderal Erwin," ucap Armin dengan nada yang lebih tenang namun sangat jauh dari kata sopan. "Tapi, saya kurang setuju dengan pendapat Anda. Misi ini memerlukan waktu yang lama dan saya merasa tidak akan sanggup melaksanakannya."
Melihat sang pemuda yang sama sekali tidak bergeming, Erwin hanya menghela napas dan memijat kepalanya. Dia memang merawat dan melatih keponakannya itu sejak kecil untuk menjadi seorang prajurit. Tapi, ia tidak menyangka kalau ajarannya malah berbalik ke arahnya saat ini.
"Armin, berhentilah bersikap kekanakan. Aku tahu kau masih kesal karena penundaan kenaikan jabatanmu," ujar Erwin dengan nada menyerah. "Tapi, aku tidak akan mengubah keputusanku. Kau akan ke Shiganshina dan itu final."
Armin membuang mukanya mendengar perkataan tersebut dan memandang ke luar jendela. Rinai hujan yang mulai turun terlihat di balik jendela tersebut, membuat suasana ruangan menjadi lebih sendu. Pemuda itu terus terdiam seribu bahasa, mengerti kalau apapun yang ia katakan sudah tak berguna lagi untuk mengubah keputusan sang paman.
"Pergilah. Siapkan keperluanmu untuk berangkat besok," ujar Erwin sambil menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk keberangkatan sang keponakan.
Armin menerima dokumen itu, membungkuk sedikit, dan langsung pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia sudah akan menutup pintu ketika suara Erwin terdengar lagi.
"Dan Armin..."
Kepalanya menoleh ke arah meja tempat Erwin duduk sambil tetap memegang kenop pintu. Matanya menatap iris biru sang paman yang memandangnya tegas tanpa kompromi.
"Jangan membuat masalah."
.::arucaru::.
BRAAK—
Suara dentuman keras dari buku tebal yang dilempar ke atas meja menggema dalam ruang tidur mewah di mansion tersebut. Lembaran dokumen yang awalnya tersusun rapi di atas meja tersebut, sekarang terlihat berserakan di lantai.
Tapi, Armin tak peduli, ia sudah muak dengan dokumen beserta isinya itu. Kemarahan menguasai pemuda itu sampai ia tak menyadari bahwa ada orang lain yang hadir di ruang pribadinya itu.
"Kudengar besok kau akan berangkat ke Shiganshina."
Suara lembut namun penuh nada sindiran terdengar dari luar ruang tidur tersebut. Armin menoleh ke arah asal suara itu dan mendapati seorang gadis cantik terlihat bersandar pada kusen pintu kamarnya. Iris biru kehijauan dan rambut pirang yang di gelung anggun membuat sang pemuda langsung mengenali sosok tersebut.
"Pergi dari kamarku, Annie," Armin berkata dengan dingin. Matanya memandang tak tertarik ke arah calon tunangannya itu. Ia mengambil dokumen yang tadi berserakan dan mulai membereskannya kembali. Wajahnya tak menunjukkan emosi apapun seolah tidak ada orang lain di sana.
"Kenapa aku harus menurutimu?" Annie tersenyum manis, tak acuh atas perintah Armin. Langkah kakinya semakin mendekat masuk ke dalam ruang pribadi tersebut. "Apa kau tidak ingin mengucapkan salam perpisahan kepada tunanganmu ini?"
Annie sudah berada di hadapan Armin ketika ia menyelesaikan kalimat tersebut. Ia memandang mata biru laut itu sesaat, meraba emosi yang ada di dalamnya. Tangan kanannya mulai terangkat dan menyentuh wajah Armin dan terus turun sampai jemarinya menyentuh bibir sang kolonel.
Beberapa saat sampai jemari itu berpindah lagi ke arah tengkuk sang pemuda, mendekapnya, dan menariknya mendekat ke arah wajahnya. Menyadari apa yang akan gadis itu lakukan, Armin segera menepis tangan Annie dan mundur menjauh dari calon tunangannya.
"Berhenti menyentuhku seperti ini," gurat kemarahan mulai muncul di wajah Armin. Sorot matanya berubah menjadi lebih gelap. Jelas-jelas tak menyukai apa yang baru saja terjadi.
"Kau benar-benar keras kepala," wajah manis gadis blonde itu berubah muram. Bibirnya terkulum turun namun ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya, berganti menjadi wajah datar yang biasa menghiasi wajahnya, sembari melipat tangannya di dadanya. "Tapi, lambat laun kau harus mengakui aku sebagai tunanganmu...Brigadir Jenderal Armin."
Nada sarkasme yang keluar dari mulut Annie membuat Armin mengerutkan keningnya. Genggaman tangannya semakin kuat, membuat dokumen yang ada di ia pegang menjadi lebih kusut. Kekesalannya pada sang paman maupun gadis yang ada di hadapannya ini membuat Armin merasa ingin membunuh seseorang. Kenapa ia selalu terjebak di antara orang-orang macam mereka?
"Kenapa diam saja?" raut wajah sang gadis lambat laun berubah menjadi lebih sadis. "Bukankah kau sudah menanti-nanti kenaikan jabatanmu ini?"
Melihat Armin yang tak kunjung menjawab, Annie semakin mendesak pemuda itu untuk memancing reaksinya. "Padahal kau tinggal menuruti kemauanku jika ingin segera naik jabatan. Tapi, sayang sekali ayahku tidak suka saat kau memperlakukanku dengan buruk tempo ha—"
"Pergi."
Suara dingin Armin memotong ucapan Annie. Sang pemuda sudah mencabut pistolnya dan menodongkannya ke muka gadis blonde itu. Mata birunya menyipit keji seakan tak peduli dengan apa yang akan terjadi jika ia menarik pemicunya.
Namun intimidasi itu tak berpengaruh untuk seorang Annie Leonhart. Gadis itu bukanlah gadis biasa yang hanya tinggal di dalam rumah dan memasak serta menjahit. Ia adalah seorang prajurit, sama seperti pemuda yang ada di hadapannya. Annie hanya menatap datar calon tunangannya itu. "Kau akan menyesalinya suatu saat nanti, Arlert."
Sang pemuda hanya berdiri angkuh mendengarnya, sama sekali tak menurunkan pistol yang ada di tangannya. Ia malah semakin mendekatkan moncong pistolnya ke wajah Annie dan memaksa gadis itu semakin mundur, perintah tak langsung untuk keluar dari ruangannya.
"Setidaknya aku tak akan menyesal sekarang," Armin memandang manik biru sang gadis yang tetap berdiri di hadapannya. Ketegangan dalam ruangan itu begitu menyesakkan sampai akhirnya salah seorang dari mereka mulai bergerak, memecahan kesunyian yang mencekam itu.
"Kau tak mungkin bisa menarik pelatuk itu, Armin," Annie berbalik pergi meninggalkan pemuda blonde itu. Ia berhenti sebentar dan berkata datar di telinga Armin untuk terakhir kalinya. "Kau harus sadar di mana posisimu saat ini."
Dua pasang iris biru saling bertatapan dengan tajam. Mata tanpa perasaan yang dimiliki oleh keduanya membuat siapapun pasti bergidik ngeri ketika melihatnya. Interaksi itu terputus ketika akhirnya sang gadis pergi keluar dari ruang tidur itu dan menutup pintunya, meninggalkan sang pemuda sendirian.
Melihat pintu yang baru saja tertutup entah kenapa membuat emosi yang tadinya Armin pendam, meluap keluar dengan cepat. Pemuda itu melempar pistol yang ia genggam ke lantai dan meremas kertas dokumen yang sejak tadi ada di tangannya. Semua omong kosong tentang kenaikan jabatannya ini membuat kepalanya berdenyut tidak nyaman. Ia memandang dokumen keberangkatannya dan mengingat ucapan Erwin kepada dirinya sebelum meninggalkan ruang kerja tadi.
"Jangan membuat masalah, heh?" mata Armin menatap tajam ke arah dokumen di tangannya. "Apa jaminanku untuk tidak melakukannya?"
.::arucaru::.
Cuaca cerah menyambut hari keberangkatan sang kolonel ke Shiganshina. Angin yang berhembus sangat cocok untuk berlayar, membuat segalanya terlihat lebih mudah. Lonceng tanda kapal akan berangkat sebentar lagi mulai berdentang, menggema di dermaga itu.
Armin Arlert sedang keluar dari kereta kuda saat ia mendengar suara lonceng tersebut. Baju seragam angkatan darat dan rambutnya yang di ikat rendah membuat penampilan sang pemuda semakin atraktif. Namun, semua hingar-bingar keberangkatannya sama sekali berkebalikan dengan suasana hati pemilik mata biru laut itu.
Armin memandang muram ke arah kapal yang akan membawanya pergi ke provinsi di ujung negara Shina. Dermaga terbesar di jantung kota Trost itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Keberangkatan Jenderal Keith yang sudah melegenda membuat orang-orang berkumpul di sana hanya untuk sekedar melihat sosok pahlawan tersebut. Beberapa orang penting terlihat berada di sana, termasuk sang Jenderal Besar Dallis Leonhart.
Tapi, sang pemuda hanya berjalan cepat ke arah tangga yang menuju ke arah kapal. Ia mengabaikan serdadu-serdadu yang memberikan penghormatan kepadanya dan menatap lurus ke depan. Ia sudah akan naik ke atas kapal ketika seseorang melontarkan pertanyaan padanya.
"Jadi...kau yang bernama Armin Arlert?"
Suara tegas nan berwibawa menghentikan langkah Armin untuk naik ke atas kapal. Keith Shardish yang tadinya sedang berbicara dengan Jenderal Besar Dallis, sekarang sudah berdiri di belakangnya, membuat sang pemuda sedikit terkejut, tapi dengan cepat menguasai dirinya lagi. Ia membungkuk rendah kepada calon atasannya itu.
"Benar," ujar Armin sambil mengamati ekspresi Keith. "Saya yang ditugaskan oleh Letnan Jenderal Erwin untuk mendampingi Anda ke daerah Shiganshina."
"Hm... Kelihatannya kau masih sangat muda. Berapa usiamu?"
"Sembilan belas tahun," ujarnya sedikit kaku.
Sang jenderal tidak terlihat peduli dengan jawaban Armin. Matanya memandang tajam sang pemuda dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah sedang menilai kualitas kolonel muda itu. Beberapa saat berlalu, sampai akhirnya Keith mengalihkan pandangannya dan beranjak naik ke dalam kapal.
Jika ada hal yang tidak Armin sukai di dunia ini, maka itu adalah saat seseorang meremehkannya. Sang pemuda memandang punggung Jenderal Keith dengan tatapan nanar. Tak ada tanda rasa hormat dalam mata biru itu, yang ada hanya kebencian yang muncul entah sejak kapan.
Suara lonceng panjang yang berdentang membuat Armin tersentak dari pikirannya dan mulai beranjak naik ke atas kapal. Suara lonceng terus terdengar meski kapal mulai berangkat pergi dari dermaga. Pemuda blonde itu memandang ke arah kota Trost yang terlihat semakin menjauh. Perasaan tak rela untuk pergi dari kota itu masih mengusik hati Armin. Tapi, sang pemuda mengacuhkan perasaannya itu dan berbalik menatap lurus ke arah tempat tujuannya.
Tanpa menyadari permainan takdir yang akan menyambutnya di sana.
.::arucaru::.
Tak terasa, langit biru berarak telah berubah menjadi jingga keemasan. Waktu terasa berjalan sangat cepat jika kalian tertidur. Tidak terkecuali untuk pemuda Arlert ini. Sedari tadi, ia memilih untuk tidur di atas kursinya di dalam dari pada menikmati cuaca segar hari itu bersama Jenderal Keith. Rasanya ia akan terus di situ seharian bahkan mungkin sampai mereka tiba di Shiganshina. Tapi, salah seorang bawahan sang jenderal mengusik aktivitasnya itu untuk mengajaknya makan malam bersama. Armin mengangguk malas dan dengan penuh keengganan ikut dalam makan malam itu meski ia sama sekali tak tertarik mengeluarkan satu pun kata-kata dari bibirnya. Setelah mereka selesai ia sama sekali tak meminta ijin untuk pergi duluan—tentu saja ke ruang duduknya lagi. Sungguh terlihat seperti cara hidup siput.
Saat satelit bumi menampakkan dirinya dari ufuk barat, seseorang-lagi-lagi salah satu bawahan Keith—muncul di ambang pintu ruangan tempatnya terduduk sedari tadi, mengajak bermain kartu di geladak kapal, yang segera Armin tolak mentah-mentah dengan alasan ia sedang ingin sendiri. Tanpa bertanya-tanya lagi, prajurit tadi menuruti kata-katanya dan segera meninggalkan sang kolonel. Pemuda blonde itu menghela napas sebelum akhirnya ia kembali tertidur dalam keadaan duduk.
.::arucaru::.
Malam telah bertukar dengan pagi, arakan putih kembali terbentuk di lapisan biru cerah. Dan bunyi keras seperti sesuatu yang terjatuh ke air membangunkan Armin dari tidurnya. Sebuah hantaman jangkar yang dijatuhkan pada dasar laut dangkal membuat kapal itu sedikit goyah dan membuat sepasang mata biru memandang ke luar jendela—ke arah daratan di samping kapal. Terlihat dari balik jendela itu sebuah dermaga kecil yang sederhana, sungguh sangat bertolak belakang dengan dermaga tempat kepergiannya tadi. Ya, itulah dermaga milik Kota Shiganshina.
Tak lama sampai sebuah tangga disampirkan oleh petugas dermaga pada sisi kapal yang terbuka, mempersilahkan seluruh penumpangnya untuk mendaratkan kaki mereka pada tanah Shiganshina. Armin segera ke pinggiran kapal untuk saat terlihat Keith menuruni anjungan kapal. Jenderal itu berjalan menuju pinggiran kapal untuk turun, melewati Armin yang tengah membungkuk simpel untuk memberi penghormatan padanya. Namun, Keith tak terlalu menghiraukan perlakuan itu, seolah pemuda itu sama nilainya dengan tumpukan kotak-kotak kayu berisi perbekalan yang ada di pinggir kapal.
Setelah perlakuan pria paruh baya itu terhadap dirinya di dermaga Trost, Armin tahu hal itu akan terulang lagi. Tetapi, formalitas menuntutnya untuk tetap memberi hormat pada sang jenderal, tak peduli sampai kapan, dan tak peduli akan rasa muak yang tergambar di kilatan kedua irisnya.
Di dekat pintu gerbang dermaga itu, terlihat dua buah kereta kuda yang sengaja telah disiapkan untuk menjemput kedatangan Jenderal Keith dan para pendampingnya. Ketika semuanya telah turun dari kapal, beberapa serdadu Kepolisian Militer daerah Shiganshina mempersilahkan mereka untuk menaiki kereta kuda itu, sedangkan barang-barang lainnya diangkut di kereta kuda yang lain. Setelah semua persiapan telah usai, para kusir memerintahkan kuda-kuda mereka untuk berjalan, langsung menuju ke markas Kepolisian Militer Shiganshina.
.::arucaru::.
"Kalian punya jam bebas sampai pukul tiga sore nanti. Setelah itu, orang markas Shiganshina akan mengajak kita berkeliling markas, lalu kita ke ruang rapat." Kira-kira, seperti itulah perkataan yang selalu diucapkan pria paruh baya berpangkat jenderal itu pada serdadu-serdadunya di sarapan pagi bersama. Terdengar membosankan, memang. Tapi, setelah dipikir-pikir kesempatan yang bagus juga bagi para serdadu untuk melakukan berbagai kegiatan. Beberapa dari mereka bermain tenis atau berenang di gedung belakang milik markas Shiganshina tersebut. Sebagian lagi bermain catur atau mencoba berkenalan dengan serdadu-serdadu Shiganshina. Tidak dengan Armin Arlert. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku yang berjejer rapi di rak buku ruangannya. Ketika bosan, ia tidur begitu saja dengan menyampirkan kepalanya di atas meja. Sungguh, dirinya merasa kali ini ia ditugaskan dalam misi yang sangatlah tak berguna dan membuang-buang waktu.
'Mendampingi Jenderal Keith'. Mendampingi. Hanya sekedar mendampingi? Namun, dari apa yang dibicarakan setiap rapat, katanya ia akan segera diberi tugas. Tapi, segera itu KAPAN?
Dan ini sudah seminggu sejak kedatangan rombongan sang jenderal di markas Kepolisian Militer tersebut. Entah sudah berapa kali Armin menghela napas. Kini, jemarinya membolak-balik halaman buku yang sedang dibacanya untuk kesekian kalinya. Ya, sebenarnya dalam semingguan itu sang kolonel muda sudah melahap habis seluruh buku yang ada di ruangannya.
Tuk tuk tuk.
Suara ketukan terdengar pelan dari pintu ruang tidur yang cukup sederhana itu. Beberapa ketukan kembali terdengar sampai akhirnya sang pengetuk berhenti sejenak, menunggu tanggapan dari dalam. Namun tak ada jawaban meskipun ia yakin bahwa pemilik ruangan tersebut ada di dalam. Karena hanya ada kesunyian meski telah menunggu lama, pintu itu mulai di buka perlahan oleh salah seorang serdadu.
"Permisi, Kolonel Armin Arlert?"
Si pemilik nama yang sedari tadi membaca sebuah buku tebal di meja kerjanya, tak membuka mulutnya sama sekali, hanya merespon dengan tatapan tajam dari manik birunya kepada orang yang baru saja memasuki ruangan pribadinya. Dan itu sukses membuat bulu tengkuk yang bersangkutan berdiri, ingin pergi dari situ secepatnya. Namun, sang serdadu muda itu menguatkan hatinya dan menghadapi sang kolonel yang suasana hatinya jelas terlihat sangat buruk.
"Jen...Jenderal Keith memanggil Anda ke ruang rapat," ujar serdadu berpangkat lebih rendah tersebut dengan sedikit gemetar. "Anda diminta untuk ke sana sekarang juga."
Hee? Tumben sekali, masih pagi sudah ada rapat. Dan lagi, Jenderal Keith memanggilnya secara khusus? Ia kira pria paruh baya itu tak pernah mengacuhkan dirinya.
"Aku segera ke sana," jawab Armin sekedarnya, kemudian menutup bukunya dengan kasar. Sebenarnya ia merasa sangat malas berhadapan dengan sang jenderal, orang yang telah meremehkan kemampuannya itu.
Armin melirik ke arah ambang pintu dan serdadu yang tadi berdiri di sana, sudah lenyap dari pandangan sang kolonel, hanya menyisakan pintu yang sudah tertutup. Namun, Armin sama sekali tak menghiraukan hal itu. Suasana hatinya saat ini sama sekali tak dapat diajak bersahabat. Merasakan situasi sekitarnya hanya membuatnya ingin menarik pelatuk atau menggoreskan mata pisau di atas kulit seseorang.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Perlu beberapa saat sampai ia bisa menguasai dirinya dan bergerak perlahan untuk mengambil seragam yang tergantung di dinding. Armin memakai seragamnya dan bergerak malas ke luar kamarnya, menuju ke ruang rapat yang ada di ujung markas tersebut. Kakinya kemudian terhenti pada sebuah pintu yang dijaga oleh dua serdadu bersenjata lengkap. Ia memandang pintu yang familier itu sesaat kemudian berdiri di depannya dan mengetuk perlahan.
"Kolonel Armin Arlert datang menghadap," teriak salah satu serdadu penjaga di sana.
Pintu terbuka perlahan dan menampilkan pemandangan di dalam ruangan tersebut. Armin melihat Jenderal Keith Shardish beserta salah seorang ajudannya duduk di seberang meja. Tak terlihat tanda-tanda orang lain di sana. Armin menutup pintu ruang rapat dan segera duduk di kursi yang berada paling jauh dari tempat sang jenderal.
"Langsung saja kita bicara tentang alasanmu kupanggil ke sini," Keith berbicara dengan cepat, tak menghiraukan kelakuan kolonel muda itu yang jelas sangat tidak pantas. "Aku akan mengirimkanmu ke pabrik di sebelah timur Shiganshina. Laporan menyebutkan bahwa beberapa minggu ini banyak pekerja yang kabur dari sana dan itu menyebabkan proyek pembangunan jalan protokol menjadi terhambat."
"Seperti yang kau tahu, kepolisian militer daerah ini sama sekali tidak berbuat apapun untuk menyelesaikan masalah itu dan sekarang hanya tersisa setengah dari jumlah pekerja dari yang seharusnya ada di sana," Keith berhenti sebentar dan memandang ke arah Armin. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan?"
"Aku hanya tinggal memastikan mereka tidak kabur dari tempat kerja," jawab Armin dengan nada bosan. 'Sudah berapa kali kau ulang kalimat ini di rapat kemarin kakek tua.' Ia berkata dalam hati sambil memincingkan matanya ke arah jenderal yang sudah berumur itu.
"Ya," Keith menjawab singkat. Sunyi beberapa saat karena sang Jenderal tidak terlihat akan melanjutkan ucapannya sampai Armin mulai membuka mulutnya lagi.
"Dan aku boleh melakukan segala cara?" suara kolonel itu terdengar sedikit ganjil.
"Maksudmu?"
Armin tidak menjawab pertanyaan tersebut. Keith memandang kolonel muda itu dengan curiga, namun tidak mengatakan apapun.
"Yang jelas jangan sampai para pekerja di sana berkurang lebih dari ini," Keith melanjutkan penjelasannya. Ia lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan bicaranya itu seperti menyuruh pergi. "Sudah. Bersiaplah untuk pergi ke sana sekarang."
Sang kolonel segera pergi dari ruang pertemuan itu tanpa sekalipun memandang ke arah sang jenderal. Hanya sesaat setelah pemuda itu menutup pintu, ajudan Keith yang sejak tadi diam, mulai membuka mulutnya melihat adegan yang tersaji di hadapannya."
"Jenderal Keith, apakah tugas itu tidak terlalu 'kecil' untuk seorang kolonel seperti dia?" ujar si ajudan dengan ragu-ragu.
"Dia masih muda. Apa yang kau harapkan dari orang semuda itu?" Keith berkata dengan datar. "Lagipula, aku tak suka kolonel manja seperti dia. Kelihatan sekali kalau anak itu masih tidak rela ikut dalam misi kali ini."
"Tapi..."
Keduanya terus melanjutkan pembicaraan tanpa menyadari sesosok manusia yang sedari tadi bersandar di pintu ruangan tersebut.
Ya. Armin Arlert masih ada di sana dan mendengar semuanya.
Tidak tahan mendengar percakapan itu lebih lanjut, pemuda berambut blonde itu segera berjalan cepat kembali ke kamarnya. Suara sepatu boots-nya terdengar lebih keras dari yang seharusnya, menandakan sang pemilik menapakkan kakinya dengan kekuatan lebih besar.
Armin segera mengambil mantel dan senjata di kamarnya, lalu bergegas keluar dari markas militer tersebut tanpa menoleh ke belakang. Sang kolonel naik ke atas kereta kuda yang akan membawanya pergi ke daerah proyek dalam diam, bahkan saat kereta kuda itu mulai berjalan, melewati padang rumput yang ada di sepanjang jalan tersebut. Armin tak peduli dengan pemandangan tersebut. Matanya sama sekali tidak melihat pemandangan teduh yang terlihat dari jendela. Ekspresi muram menghiasi wajahnya mengingat percakapan yang ia curi dengar tadi. Tangannya terasa gatal, ingin mengenggam senapan dan mengarahkannya pada jenderal tua itu.
Hal yang tak mungkin dia lakukan.
Benar-benar menggelikan. Sekarang ia terjebak dalam situasi yang ia benci lebih dari calon tunangannya yang ada di Trost.
'Kau harus sadar di mana posisimu.'
Ucapan terakhir Annie berdengung di telinganya, membuat pemuda itu semakin jengkel. Apalagi kalau memikirkan semua ini hanya karena gadis bangsawan itu memaksa Armin untuk bertunangan dengannya.
Mungkin karena terlalu larut dalam kekesalannya, tanpa sadar kereta kuda yang ia naiki mulai berhenti, tanda sudah sampai ke tempat tujuan. Ia keluar dari kereta kuda tersebut dan mendapati dirinya berada di sebuah pabrik yang lumayan besar. Pabrik yang memproduksi bahan baku untuk membuat jalan tersebut memang cukup megah, namun hanya terlihat sebuah pintu masuk yang cukup besar dan ventilasi yang terlalu tinggi untuk di jangkau manusia.
'Dan si tua bangka itu menyuruhku menjaga tempat ini? Memangnya seberapa susah menjaga tempat yang hanya punya satu pintu masuk?' Armin menggertakkan giginya dengan kesal. 'Dia benar-benar meremehkanku. Sialan.'
"Kolonel Armin Arlert?"
Armin menoleh ke asal suara yang memanggil namanya dan mendapati seorang gadis yang berpakaian polisi militer tersenyum kepadanya. Senyum yang dibalas dengan sorotan tajam dari sang kolonel. Perlu beberapa detik sebelum gadis itu sedikit mengedarkan pandangan waspada ke sekitarnya. Dan sepertinya kurang lebih Armin tahu apa penyebabnya.
"Letnan Annie Leonhart tidak ikut dalam misi ini. Jadi, berkonsentrasilah pada pekerjaanmu sekarang, Kapten Mina Carolina," ucap pemuda pirang itu tidak mengubah air mukanya. Dalam satu-dua kali lihat, Armin langsung tahu kalau gadis di depannya itu satu angkatan dengannya dan Annie dahulu saat masih di sekolah militer Trost. Dan Annie adalah salah satu orang yang gadis itu takuti saat itu.
"Bu..bukan begitu—ah, umm...Anda ingat saya rupanya... Oh ya, saya yang akan menemani Anda bertugas di sini—" gadis manis itu tertawa kecil, sebelum akhirnya mengerutkan dahi. "Anu...dari mana Anda tahu saya menjabat sebagai kapten di sini?"
"Mereka," Armin memandang ke arah dua orang di belakang sang kapten yang masih mempertahankan senyumannya. Keduanya menghentikan obrolan berbisik mereka dan terlihat tegang ketika sang kolonel menoleh ke arah mereka. Armin mengamati para prajurit berpangkat letnan dua itu—menilai kemampuan mereka berdua.
"Ah. Ini Nic Tius dan Mylius Zeramuski. Mereka juga akan membantu Anda," suara ramah Mina mengalihkan tatapan Armin kembali kepadanya.
"Kenapa kalian ada di sini?" ujar Armin sambil bertampang masam. "Apa perlu orang sebanyak ini untuk mengawasi sebuah pabrik?"
"Perlu," suara Mina tiba-tiba berubah menjadi serius—sedikit membuat Armin terkejut. "Aktivitas para pemberontak itu semakin menggeliat akhir-akhir ini. Kelihatannya mereka sudah mendengar tentang kedatangan pasukan bantuan dari pusat dan mulai menyusun strategi baru untuk menguasai pabrik ini."
"Beberapa hari terakhir jumlah orang yang mencoba kabur semakin bertambah," Nic melanjutkan penjelasan atasannya itu. "Memang, desain bangunan pabrik ini bisa mencegah para pekerja yang ingin kabur karena hanya memiliki satu pintu masuk. Tapi, itu juga berarti jika mereka ingin pergi dari pabrik, mereka hanya harus menguasai pintu itu."
"Dan itulah yang mereka lakukan," Mina menambahkan dengan sedikit muram. "Biasanya kami menugaskan satu sampai dua orang untuk berjaga di sekitar area pabrik. Awalnya tidak ada masalah karena para pekerja saat itu masih tidak berani melawan."
"Yah...sampai dia datang," ujar gadis itu dengan pahit.
Telinga Armin sedikit tegak mendengarnya. Rasa penasaran mulai muncul mendengar cerita dari calon—bukan—bawahannya itu. "Dia?"
"Rivaille Ackerman," Mylius Zeramuski—yang sejak tadi diam—ikut berbicara. "Pria itu masuk ke dalam rombongan pekerja yang datang dari daerah paling utara Shiganshina. Kami tidak tahu bagaimana awalnya, tapi sebulan setelah dia datang, tiba-tiba para pekerja mulai berani untuk kabur dari pabrik. Termasuk si Rivaille itu."
"Eh... Tapi, kami berhasil menangkap beberapa dari mereka dan memberi peringatan," Mylius berkata dengan gugup karena sang kolonel menatapnya dengan tajam seperti elang. "Tapi kelihatannya itu tidak ada pengaruhnya sama sekali dan tak lama kemudian malah muncul gerakan pemberontakan di beberapa daerah Shiganshina."
"Peringatan apa yang kau berikan kepada mereka?" Armin bertanya dengan sedikit nada sindir di dalamnya.
"Mereka mulai berani untuk menyerang para penjaga di pabrik ini. Jumlah prajurit yang menjaga tidak sebanding dengan para pekerja yang mulai melawan dan orang yang berhasil melarikan diri dari tempat ini semakin bertambah," ujar Mina menyelesaikan ceritanya. Ia kemudian menatap atasan barunya itu dengan tatapan khawatir. "Sebaiknya Anda juga berhati-hat–"
"Aku bisa menjaga diriku sendiri," Armin memotong ucapan kapten berparas manis tersebut dengan ekspresi datar. "Jangan samakan aku dengan prajurit rendahan macam mereka yang dengan mudah bisa takluk karena hal semacam itu."
"Tapi—"
"Kau berani melawan perintah atasanmu?"
Kalimat yang di ucapakan dengan nada yang lebih dingin dari es tersebut sukses membuat ketiga anggota polisi militer itu diam seribu bahasa. Tak perlu seorang ahli untuk menangkap kekejian yang terdengar jelas dari nada kalimat itu. Tanpa disadari, mereka berdiri lebih tegak dari biasanya dan merasakan bulu kuduk mereka berdiri setelah mendengar ucapan sang kolonel. Meskipun sepertinya yang bersangkutan sama sekali tidak peduli dengan efek yang ia timbulkan terhadap para bawahannya tersebut.
"Aku akan membereskan masalah disini dengan caraku sendiri," mata biru Armin menyipit. Sama sekali tidak menyembunyikan kebengisan yang ada dalam nada suaranya.
Ketiga prajurit itu hanya diam seperti kehilangan kemampuan mereka untuk bicara. Armin mengartikan kebisuan itu sebagai jawaban "iya" dan tanpa ba-bi-bu segera masuk ke dalam area pabrik, meninggalkan sang kapten dan letnan yang masih terguncang dengan apa yang baru saja terjadi di hadapan mereka.
.::arucaru::.
Armin berhenti di depan pintu pabrik dan mulai membukanya. Pemandangan para pekerja yang sibuk menyambut kedatangannya untuk pertama kali. Beberapa orang menoleh ke arah pemuda blonde itu dan menatapnya heran, tak mengenali sosok yang berdiri di sana.
"Ah! Apakah Anda Kolonel Armin yang ditugaskan oleh Jenderal Keith?" seorang pria yang berpakaian militer mendekat ke arahnya dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum, "Perkenalkan, saya Samuel Jackson. Saya yang biasanya mengawasi para pekerja di sini."
Armin hanya mengawasi tangan yang terulur di hadapannya dan memalingkan wajahnya ke arah para pekerja yang sekarang melihat ke arahnya dengan tatapan benci.
Menarik.
"Hei, kalian! Kembali bekerja!" hardik Samuel yang sedikit kesal karena penolakan jabat tangan sang kolonel. Para pekerja itu terkesiap kaget dan segera sibuk kembali dengan pekerjaannya masing-masing—kecuali satu orang.
"Anjing baru milik pemerintah rupanya," nada menghina keluar dari mulut seorang pemuda yang berada di ujung ruangan pabrik. Wajahnya terlihat tak peduli dengan ancaman-ancaman yang tersaji di depannya barusan.
"Kirschtein!" Samuel berteriak frustasi. "Kau ingin masuk ke sel hukuman lagi?!"
"Mengonggong saja seperti itu terus," pemuda yang bernama Jean Kirschtein itu hanya mencibir ancaman tersebut. "Mau berapa saja yang datang tetap saja mereka semua kaki tangan pemerintah busuk itu."
-klik-
"Sepertinya kau tak pernah diajari soal sopan santun kepada atasan, ya."
Mata Jean membulat ketika ia melihat sebuah pistol diarahkan tepat di depan matanya oleh atasan barunya itu. Mata biru terang menatapnya balik dengan dingin, membuat bulu kuduknya berdiri. Semua mata di ruangan pabrik itu mengarah ke kedua sosok itu. Menahan nafas dengan tegang, tak berani menggerakkan anggota tubuh mereka, sekalipun itu hanya sebuah jari. Bahkan, bawahan-bawahan baru di belakang kolonel blonde itu hanya dapat memasang wajah pucat pasi—ingin menegur, namun nyali sudah menciut duluan melihat pistol yang digenggam atasan mereka.
"Kelihatannya kau perlu diajari sekali lagi."
Jantung Jean terasa berhenti sesaat.
"Hei," Armin mengarahkan moncong pistolnya ke pelipis pemuda yang menghinanya tadi. "Kau ingin tahu bagaimana rasanya timah panas bersarang dalam otakmu?" Ia memutar pistolnya sedikit ke atas. "Mungkin itu bisa membuat kepalamu bisa berpikir dengan lebih baik."
Api perlawanan yang tadinya bersinar di mata cokelat sang pemuda redup, hilang tanpa bekas. Sinar itu tergantikan oleh kengerian yang teramat sangat terhadap sosok kolonel yang lebih muda darinya itu."Ma...maafkan aku—"
Armin tak bergerak dari posisinya. Senapannya tetap berada di pelipis pemuda itu dan malah semakin mendekat sampai membuatnya bisa merasakan rasa dingin dari moncong pistol yang di arahkan oleh kolonel dari Trost itu. Si pemuda Kirschtein menutup kedua kelopak matanya, bersiap untuk situasi yang terburuk.
Namun tak ada yang terjadi. Bahkan ia mulai merasakan kalau senjata yang ada di pelipisnya tadi mulai bergerak menjauh. Si pemuda mulai bernafas lega, berpikir kalau sang kolonel berubah pikiran dan memaafkannya. Pikiran naif yang hanya berlangsung sesaat karena sesaat kemudian suara tembakan terdengar bersamaan dengan rasa sakit yang luar biasa di kakinya.
"Arggh! AAAAH!" si pemuda menjerit sejadi-jadinya melihat darah segar keluar dari kaki kirinya. Rasa terkejut bercampur kesakitan membuatnya tak bisa berpikir jernih. Matanya menatap sang kolonel muda itu dengan tatapan tak percaya. Kenapa?
Tatapan yang sama menghiasi kapten muda bawahannya serta rekan-rekan gadis itu. Beberapa terlihat membiarkan mulut mereka menganga tanpa suara sedikit pun. Tetapi, Armin tak menanggapi tatapan-tatapan itu. Ia hanya melihat adegan yang ada di hadapannya itu dengan sorot mata monoton, seolah itu sudah kerap terjadi dan bukan hal yang luar biasa.
"Ko...Kolonel, kenapa Anda— Kenapa Anda melukai pekerja?!" kapten berkepang dua di belakang Armin akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Guratnya tampak takut-takut dengan masih tersisa rasa terkejut atas apa yang telah terjadi di hadapannya. Alih-alih menjawab, yang ditanyai hanya diam seribu bahasa. Dan Mina Carolina tak berani mengulang pertanyaannya lagi setelah itu.
Tak menunggu menit berlalu, Armin berbalik menghadap para pekerja yang segera mundur selangkah lebih jauh. Jelas terlihat sinar ketakutan dari mata mereka pada sosok yang ada di hadapan mereka saat ini. Sebagian besar para pekerja itu terkesiap ketika kolonel muda itu mulai berbicara kembali.
"Kalau itu tidak cukup sebagai peringatan," mata birunya menyusuri para pekerja itu satu-persatu. "Mungkin ada baiknya aku memberi contoh sekali lagi. Hm?"
Tanpa perlu menunggu lagi, para pekerja itu segera kembali ke tempat mereka masing-masing dan mulai melakukan pekerjaan mereka kembali. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan ketekunan yang luar biasa. Seolah nyawa mereka berada di ujung tanduk. Beberapa dari mereka membawa pemuda yang tertembak tadi ke ruang kesehatan yang berada di bagian belakang gedung.
Puas dengan apa yang ia lihat, Armin beranjak pergi dan meletakkan pistolnya kembali ke pinggangnya. Kata-kata yang diajarkan ayahnya sejak ia masih kecil, terngiang di telinganya dengan jelas.
'Kau bisa mengendalikan manusia, jika kau bisa memunculkan rasa takut dalam hati mereka.'
.::arucaru::.
"Pergerakan para pemberontak semakin mengkhawatirkan."
Armin sedang bersandar di kursi kantornya di lantai dua pabrik saat berita itu dilaporkan kepadanya. Temaram lentera menyelimuti ruangan itu karena cahaya mentari sudah tak nampak lagi dari jendela.
Tanpa terasa, sudah sebulan ini ia berada di situ. Peristiwa pada hari pertamanya bekerja memberikan efek hebat yang tak terbayangkan. Api perlawanan yang muncul sebelum ia datang, redup saat rasa takut terhadap sang kolonel muncul di hati para pekerja pabrik. Tak ada yang berani—bahkan berpikir—untuk melarikan diri dari sana, membuat segalanya menjadi lebih mudah baginya.
Para pekerja itu tersentak kaget setiap kali suara sepatu boots militer milik Armin terdengar di dekat mereka. Mereka tak berani menatap sang kolonel dan berusaha menghindari tatapan dingin dan kejam atasan baru mereka itu. Kecuali, seorang pemuda yang terang-terangan tidak takut dengan Armin.
Jean Kirschtein—pemuda yang Armin tembak di hadapan semua orang saat itu.
Beberapa hari setelah insiden penembakan itu terjadi, Jean kembali bekerja di pabrik. Meskipun sudah tidak ada lagi pekerja yang kabur, namun mereka masih kekurangan tenaga sehingga pemuda itu harus ikut bekerja meskipun keadaannya belum pulih sepenuhnya.
Sejak saat itu, Jean selalu menyempatkan dirinya untuk menatap garang ke arah sang kolonel. Walaupun Armin sama sekali tidak peduli dan hanya menganggap tatapan itu sebagai angin lalu. Pemuda rambut pirang itu lebih peduli bagaimana dirinya bisa segera menyelesaikan pekerjaan ini dan kembali ke Trost.
Armin mengenyahkan pikiran tentang pemuda berambut coklat itu dan kembali ke masa kini. Ia mengamati Mina yang berdiri dengan sedikit kaku di hadapannya. Ia mengangguk sedikit, mengisyaratkan gadis itu untuk melanjutkan laporannya.
"Kemarin Nic diserang di kediaman pribadinya pada tengah malam," Mina berkata dengan gugup. "Beruntung dia tidak sedang tidur, jadi dia tidak mengalami luka yang berarti. Hanya rumahnya rusak berat setelah serangan itu terjadi."
Sang kapten menatap kolonel muda di hadapannya dengan tatapan khawatir, "Kami khawatir mereka akan mulai menyerang pabrik ini lagi. Mengingat sebelumnya mereka tidak pernah menyerang kediaman pribadi seorang prajurit."
"Pemberontak itu tidak akan berani untu—"
BRAAK!
Armin tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba pintu ruangan kantornya terbuka dengan keras dan menampilkan sosok Mylius yang sejak tadi berjaga di pintu gerbang pabrik. Raut wajahnya terlihat panik dan ia langsung berkata dengan cepat saat matanya menangkap sang kolonel yang berada di seberang ruangan.
"Me..mereka... Mereka datang!"
Mina segera menghampiri sang letnan yang terengah-engah kehabisan nafas itu. "Siapa? "
"Rivaille!" Mylius berteriak panik. "Dia—"
Armin tak mendengar kalimat itu selesai karena kakinya sudah berlari ke arah lorong, membuat suara pertempuran di luar terdengar dengan jelas. Ia mengutuk ruangannya yang kedap suara sehingga ia tak mendengarnya lebih cepat.
Tangannya sudah menggenggam pistol yang selalu ada di sakunya dan memposisikannya di samping telinga. Ia bersembunyi di balik tembok yang membatasi ruangannya dengan bagian pabrik dan melihat beberapa bawahannya mulai terdesak dengan jumlah pemberontak yang semakin banyak. Namun, Armin tak beranjak dari tempatnya.
Keputusan yang salah.
-klik-
"Selamat malam, Kolonel," suara berat dan dingin terdengar di belakangnya, "Jangan bergerak atau peluru ini akan melubangi otakmu."
Armin terdiam kaku di tempatnya. Matanya melirik ke samping dan melihat sesosok pria dengan postur tak terlalu tinggi di sudut matanya. Ia tak mengenali pria itu. Tapi kalau rumor yang ia dengar benar maka pria yang sedang mengancamnya saat ini adalah—
"Rivaille," Armin berdesis keras. Wajahnya berkerut muram menyadari fakta bahwa pemimpin pasukan pemberontak sekarang ada di depan matanya dan sedang mengancamnya. Jadi, penyerangan itu hanya umpan agar sang pemimpin bisa menyusup untuk menangkapnya. Hah. Sialan.
"Oh... Namaku sudah sampai juga ke telingamu. Padahal kau baru datang kemari," tangan Rivaille tidak goyah sedikit pun. "Apa kau juga mendengar tentang reputasiku juga, wahai Sang Kolonel?"
Armin tak menjawab pertanyaan itu dan hanya menatap pria yang sekarang ada di sampingnya dengan tatapan menantang. Mata birunya berkilat benci saat Rivaille membalas tatapannya dengan tak acuh
"Buang senjatamu dan ikut aku," ujar Rivaille tanpa melepaskan pandangannya dari sang kolonel. Ia berdecak kesal melihat Armin sama sekali tidak mengindahkannya. "Aku sudah membunuh selusin orang dan tak keberatan menambahmu dalam daftar itu, Armin Arlert."
Sebenarnya Armin tak peduli dengan ancaman pria itu—ia sudah membunuh lebih banyak. Tapi, mata obsidian Rivaille yang sangat dingin membuatnya tanpa sadar mulai menurunkan senjatanya. Ia mengenali tatapan itu. Tatapan seseorang yang telah membuang segalanya.
"Kelihatannya kau mulai mengerti," Rivaille mendekatkan moncong pistolnya dan melirik ke arah senjata Armin. "Buang benda itu dan segera jalan ke luar lewat jendela ini," Rivaille mengedikkan dagunya ke arah jendela besar di sampingnya yang sudah pecah entah sejak kapan.
Pemuda blonde itu menuruti perintah dan berjalan perlahan ke arah yang dikatakan Rivaille. Otaknya berpikir keras untuk memikirkan cara agar dia bisa melepaskan diri dari situasi ini. Ia sudah akan berada di depan jendela ketika terdengar suara sorak-sorai dari tengah pabrik.
Selama sepersekian detik, perhatian Rivaille teralihkan oleh suara itu.
Waktu yang cukup untuk membuat sang kolonel segera melompati jendela dan berlari ke arah hutan yang mengelilingi pabrik itu. Armin tak membuang waktu dan terus melangkahkan kakinya menjauhi tempat yang sudah pasti telah dikuasai oleh para pemberontak itu. Ia bisa melihat dari sudut matanya sosok Rivaille yang mengejarnya dari jauh. Beberapa orang terlihat menyusul sang pemimpin sambil berteriak entah apa ke sekitarnya. Armin berlari tanpa peduli, sampai tiba-tiba ia merasakan nyeri yang hebat di tungkainya.
Sial. Kakinya tertembak.
Armin meringis kesakitan sambil terus masuk jauh ke dalam hutan dengan langkah tertatih. Beberapa dahan dan ranting menggores wajahnya, menambah luka di tubuhnya. Kegelapan pekat mengelilinginya membuat tak bisa melihat posisi siapa pun. Namun, pemuda itu bisa merasakan suara pemberontak yang semakin mendekat.
Langkah kakinya terhenti ketika Ia merasakan bahwa tanah yang ada di bawahnya telah habis. Suara gemericik air terdengar dari bawah kakinya. Tanpa melihat pun, ia tahu dari suara aliran air yang cukup tenang, mengalir di sungai tepat di dasar jurang yang ada di hadapannya sekarang.
"Kau sudah terjebak, Kolonel Muda," suara Rivaille terdengar tepat di belakangnya. "Berhentilah melawan dan menyerahlah."
Tak ada yang bergerak. Kebisuan menyelimuti tempat itu. Begitu menyesakkan.
Tapi, semua berakhir ketika sang kolonel mulai membuka mulutnya.
"Bukan hanya kau yang telah membuang segalanya, Rivaille."
Armin mengambil langkah ke depan.
Suara deburan air sungai menggema di kegelapan hutan malam itu.
.
.
.
.::end of Prologue::.
Prolog panjang. Wokay.
Pertama-tama, GOMEN KALO GAK SESUAI BAYANGAN READERS SEKALIAN! TERUTAMA PERSONALITI SI PIRANG UNYU *ngek*
Karena kami hanya bekerja sesuai delusi absurd kami! *ketawa krispi*
Jadi, kalo kalian merasakan ada semacam uhukharemuhuk terselubung (?) di sini...
berarti otak dan nalar kalian masih bekerja dengan sangat baik *melipir*
Aaand...thanks for the visit kaka-cece xD
Mind to staying tune?
Review please? _(:3_
