Desah napas kacau terus mengalun. Jantungnya berdegup tidak karuan tanpa ritme. Berkali-kali cepat kemudian jadi lambat, kemudian cepat kembali. Jemarinya dingin dan berkeringat hebat, agak bergetar seiring dengan hatinya yang ketar-ketir menunggu. Ia terduduk lesu, pikirannya kacau bukan main. Tak habis-habis jemarinya ia gigit hingga kulitnya terkelupas dan berdarah. Namun ia tak mau repot peduli, sebab toh ia tidak merasakan sakit. Ia tidak peduli dengan luka di sekujur tubuhnya, ia hanya ingin keluarganya selamat, sebagaimana dirinya selamat.
"Kim Taehyung!"
Begitu namanya terdengar, pemuda itu menoleh. Ia jadi ingin menangis lagi, melihat sahabat sebayanya berlari menghampiri. Napasnya juga kacau, matanya berair dan memerah. Ia langsung memeluk Taehyung dan sesenggukkan di bahunya. Barulah Taehyung menangis tatkala melihatnya menangis dihadapannya saat pelukan mereka selesai. "Taetae –kau –kau baik-baik saja, kan? Kudengar –kudengar kau baru saja –maksudku –kau –"
"Kamu ngomong apa," Taehyung menangis, "Aku gak ngerti."
Pemuda itu tambah menangis ketika Taehyung menangis juga. "Kata Mama kamu kecelakaan, terus –terus bagaimana kamu? Kamu baik-baik, kan? Lalu –lalu Mama Taetae bagaimana? Mama Taetae kan sedang bawa adik Taetae –apa Taehyung akan kehilangan adik?"
"Jangan," Taehyung menangis lebih kencang saat Jimin menyinggung soal adiknya. Sampai akhirnya Ibu Jimin sampai dengan gurat khawatir dan suara lembut yang menenangkan Taehyung serta anaknya yang malah menangis kencang. Sedikit lelah jika mereka menangis, tidak akan berhenti. Justru lebih mirip adu kuat menangis. Jimin ikut memeluk Taehyung ketika Ibunya memeluk Taehyung yang menangis. "Aku gak mau kehilangan adikku, Jimin, Mama..."
"Iya, sayang, iya." Mama Jimin tersenyum lembut, mengeluarkan tisu dan mengelap wajah Taehyung yang basah luar biasa. Mendudukkannya dipangkuan lalu mengelus rambutnya. Jimin langsung duduk disamping Mamanya dan menatap Taehyung dengan bola mata besar yang basah. Ia sudah tidak menangis ketika Taehyung hanya terisak saja. Ia mengusap airmatanya sendiri, kemudan ikut mengelus kepala Taehyung dengan bibir yang gemetar dan mengerucut menahan tangis. Juga ikut mencium kepalanya usai Mamanya mengecup kepala Taehyung. Yang penting Taehyung tidak menangis lagi.
Tadi siang Jimin tidur, ketika bangun saat jam lima Mamanya sudah sibuk mondar-mandir dan memakai baju rapi. Kelihatan sekali akan pergi ke suatu tempat. Dan saat Mamanya bercerita, barulah Jimin takut dan menangis. Ia langsung berteriak menahan Mamanya pergi dan buru-buru ganti baju, merengek minta ikut ke Rumah Sakit bertemu Taehyung. Dan disinilah ia berusaha menenangkan sahabat baiknya.
Suasana hening sampai Mama Jimin melirik kearah ruang operasi. Matanya membulat, bersamaan dengan jantungnya yang berdetak cepat sekali. Ia menahan napas lama sekali kemudian menatap Taehyung yang sedang diusap wajahnya oleh jemari gemuk Jimin. Anaknya sedang mengecupi wajah Taehyung sayang. Perasaan kalut dan takut menyelimutinya, ia nyaris menangis. Apa yang harus ia lakukan... dan katakan pada Taehyung sekarang?
Lampunya berubah warna menjadi merah.
"T-Taehyung..."
Yang dipanggil mendongak, menatap Mama Jimin dengan bingung. Wanita itu hendak membuka suara namun terlalu sesak. Sampai akhirnya Dokter keluar dari ruang bedah tersebut. Wajahnya tidak senang, semua terlihat dari matanya. Terlebih ketika ia kaget melihat ada dua anak kecil yang memandangnya penuh harap. Mereka bertatap sebentar, saling meneguk ludah takut dan kemudian mengalihkan pandangan. Dokter itu berdeham sebentar, kemudian melangkah mendekat.
"Maaf, Nyonya..." Dokter itu berjongkok dan mengelus kepala Taehyung dan Jimin. "Maaf, nak."
"Kenapa...?"
Hanya Jimin yang tidak mengerti. Taehyung disana langsung menggertakkan bibirnya dan menangis hebat sekali. Ia berteriak kencang seolah semua orang di gedung dapat mendengarnya. Ia frustasi dan merasa kacau. Ia turun dari pangkuan Mama Jimin dan berjongkok mengenaskan, menggelamkan wajahnya kemudian berteriak macam-macam. Ia menangis tiada ampun menyuarakan amarah dan kesedihan yang membumbung dalam dadanya. Ia tidak terima dan tidak rela. Jimin melangkah pelan dan ikut berjongkok, wajahnya panik. "Taetae –Taetae kenapa? Ma, kenapa, Ma?"
Lorong itu terasa mencekam dengan lolongan Taehyung yang terdengar memilukan bercampur dengan amukan Jimin memanggil Mamanya. Kemudian keduanya menangis bersama, lebih kencang dari sebelumnya dan lebih memilukan dari seluruh sejarah tangis mereka sejak berteman. Semua dapat mendengarnya dengan jelas, bahwa Taehyung sakit. Taehyung marah. Taehyung sedih. "Maaf, apakah Anda keluarga dari Nyonya Kim?"
Sampai suara Dokter memecah tangis dan lamunan Mama Jimin. "Ah, kami berteman dekat."
"Kami memang kehilangan Nyonya Kim," Dokter itu bangkit, disusul dengan Mama Jimin. "Tapi kami berhasil menyelamatkan bayinya. Memang jadi terlalu cepat satu bulan tetapi kami berusaha, Nyonya. Kami sebisa mungkin menyelamatkan keduanya namun kami hanya berhasil menyelamatkan si kecil. Dan kuharap itu bisa membuatnya paling tidak masih memiliki saudara."
"B-begitu? Jadi bayinya selamat?"
Gembira bukan kepalang. Separuh hatinya memang merasa kehilangan, namun paling tidak, adik Taehyung selamat. Paling tidak Taehyung memiliki satu bagian dari keluarga sedarahnya. Dan paling tidak, ia tidak kehilangan seluruh hidupnya dalam satu waktu. "Tetapi karena Nyonya Kim sudah tiada dan bayinya tidak mendapat asupan ASI maupun kesempatan untuk melakukan IMD atau barangkali skin to skin, kami harus menetapkannya di ruang bayi dengan fototerapi. Karena kami mencurigai adanya ikterus pada bayi ini, terlebih ia lahir sebelum waktunya. Badannya agak kecil, hanya dua ribu empat ratus gram. Tapi dengan fototerapi dan susu... seharusnya kami tidak memberikannya tetapi berhubung ibunya sudah meninggal, ah –atau ada orang yang bersedia memberinya ASI?"
Tanpa merasa tersinggung, Mama Jimin mengangguk. "Saya akan berusaha, Dokter."
"Baiklah," Dokter itu mengangguk. "Tapi kami akan tetap memberikannya fototerapi, untuk berjaga-jaga jika bayinya kuning. Akan kami pantau selama dua hari. Bayi memiliki toleransi kelaparan hingga tiga hari pasca kelahirannya. Jika setelah observasi bayinya sehat, Anda bisa membawanya pulang dan menyusuinya."
"Tentu. Terima kasih, Dokter."
Mereka saling membungkukkan badan menghormati. Dokter pergi dan Mama Jimin kembali fokus pada dua anaknya yang masih menangis kencang. Jimin memeluk tubuh Taehyung yang bergetar dan nampak menyedihkan. Ia melangkah mendekat, melepaskan pelukan Jimin dan mengelus rambut Taehyung. Hatinya pecah tatkala Taehyung mendongak dengan wajah pilu penuh airmata. Kemudian anak itu memeluknya sembari menangis kencang sekali –nyaris membuatnya tuli. "Mama –Mama –"
"Ssssh, Taehyung anak baik, 'kan?" Mama Jimin menjauhkan tautan mereka. Menatap sayang Taehyung yang mengusap matanya sesenggukan usai tangisnya reda. "Mama sudah pergi. Dan kalau Taehyung anak baik, Taehyung harus membiarkan Mama pergi dengan tenang, ya. Mama nanti sedih kalau Taehyung menangis terus. Jadi Taehyung harus kuat dan buat Mama bangga, bisa?"
"Mama Taetae pergi kemana, Ma?"
Mama Jimin tersenyum maklum, mengusap pipi anaknya yang basah. "Jimin nanti ya tanyanya, Mama jawab kalau sudah dirumah, oke?" kemudian Jimin mengangguk. Kemudian menatap Taehyung lagi, ia mendekat dan mengelus kepala Taehyung. Juga mengelap wajahnya yang basah dan memerah. Hatinya teriris pelan, sakit sekali saat melihatnya menangis kencang seperti tadi. Jimin takut sekali sebab ia tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Mengapa Taehyung menangis seperti tadi juga kepergian Mama Taehyung yang membuatnya bingung kehabisan akal. Tapi dipikirannya hanya ada Taehyung yang sedang sedih, jadi ia hanya diam dan menenangkannya. "Dan Taehyung, jangan sedih... Taehyung masih punya Jimin dan Mama, juga adik."
Seketika bola mata Taehyung melebar. "A-Adik...?"
Sebuah anggukan dari Mama Jimin membuat Taehyung nyaris menangis lagi. "Jungkook –Jungkook tidak pergi sama Mama, benar begitu? Jungkook tinggal disini dengan Taehyung?"
"Iya, sayang." Wanita itu mengusap pipi Taehyung. "Sekarang Taehyung akan jadi kakak. Hebat, kan?"
Tangis Taehyung pecah. Ia mengangguk, hatinya sedikit tenang dan lega. Ada secercah perasaan bahagia dalam dirinya begitu tahu bahwa adiknya selamat. Juga tepukan girang dari Jimin membuatnya sedikit bangga mengetahui ia benar-benar akan jadi kakak. Kakak laki-laki untuk adik kecilnya yang sekarang masih bayi, hanya bisa menangis dan buang air sepanjang hari. Sejak ia tahu Mamanya hamil, ia senang sekali. Ia sudah berkoar untuk memberikannya nama Jungkook. Ia senang sekali jika memang benar adiknya hidup, paling tidak ia memiliki keluarga. Meski hanya tersisa satu saudara. Dan mulai sekarang Taehyung akan menjaga adiknya. Ia akan melindungi adiknya sebagaimana janjinya pada Mama. Ia akan jadi kakak yang baik, hidup dengan rukun dan bahagia. Ia akan hidup bersama Jungkook, dan Taehyung akan berusaha untuk memberinya kehidupan yang layak. Ia akan menjaganya sebagaimana Mama menjaganya dulu, serta merawatnya sebagaimana Mama membesarkannya dulu.
Meski ia baru berusia delapan tahun.
.
.
My Mama
.
Kim Taehyung
Jeon Jungkook – role as Kim Jungkook
Park Jimin
[Vkook. Koov. – brothership]
And The rest of Bangtan members.
.
Sejak Jungkook lahir, Taehyung lah yang merawatnya. Meski dibantu oleh Mama Jimin pada percobaan pertama. Ia belajar bagaimana caranya mengganti popok, memberinya susu, memandikan, juga menidurkannya. Bahkan sampai cara menghentikan tangisnya. Taehyung memang mengijinkan Mama Jimin menyusui adiknya, tapi ia tidak mau merepotkan keluarga Park untuk menampungnya. Taehyung mampu hidup sendiri bersama adiknya. Ia mampu merawat adiknya. Satu dua kali mungkin ia akan meminta bantuan. Tapi ia menolak untuk masuk ke keluarga Park. Taehyung yang bertanggung jawab atas Jungkook dan tidak ada siapapun yang berani menentangnya. Sebab seperti janjinya pada Mama, Taehyung akan melindungi dan membesarkan Jungkook dengan usahanya sendiri. Seperti Mama yang membesarkannya seorang diri.
"Kau tahu? Aku bisa bisulan jika terus begini."
Masih pagi, dan Jungkook sudah merengut sebal. Meski memang ia selalu sebal di pagi hari. Matanya mengekori kakaknya yang modar-mandir tidak jelas di ruang tamu. Kemudian setelah ia memanggilnya dengan nada yang ia tinggikan, barulah kakaknya datang dengan tergopoh. "Kenapa?"
"Aku bosan dengan telur," Jungkook mengeluh. Menjauhkan piring sarapan yang sudah Taehyung siapkan. Masih hangat jika melihat uap tipis yang keluar dari nasi. Hanya nasi dan telur dadar saja. Sederhana dan tidak begitu menarik, sebenarnya. "Tidak ada yang lain, memangnya? Pantas aku jerawatan tidak sembuh-sembuh. Tujuh belas tahun aku sarapan dengan telur, yang benar saja. Apa sebegitu susahnya beli roti atau sereal dan susu, mungkin?"
"B-begitu?" Taehyung memasang raut sedih. Ia tidak menyangka jika adiknya ternyata tidak menyukai sarapan yang ia buat selama ini. "Kalau begitu, Kookie mau apa?"
Suara decihan keluar dari bibir Jungkook. Nyaris tertawa. "Kau bercanda, ya? Pikirmu kau sekaya apa sampai berani bertanya begitu? Memangnya jika aku mengatakan apa yang aku inginkan untuk sarapan, makan siang, makan malam, apa kau akan membelikannya untukku? Apa kau sudi membelikannya? Maksudku, apa kau sanggup membelinya?"
Taehyung terpasung dalam diam.
"Aku bosan begini, tahu? Aku tidak menyalahkanmu atau Mama yang tidak meninggalkan secuil pun harta sampai aku sebesar ini. Aku hanya merasa kau ini kurang berguna sebagai kakak. Maksudku, astaga, umurmu berapa sekarang? Dua puluh lima, kan? Tapi lihat yang kau berikan untukku; bahkan kau tidak memberikan apapun untukku. Tidak satu pun kau memberikanku kebahagiaan bahkan alasan untuk tersenyum dan mengatakan aku baik-baik saja, bahwa aku senang hidup seperti ini. Sebab tidak, aku tidak senang hidup seperti ini." Jungkook mengusap wajahnya frustasi. "Apa kau bisa melakukan sesuatu dengan benar; kurasa sih tidak. Kau keluar masuk pekerjaan, dalam artian luas, kau ini pengangguran. Kau tidak bisa menghidupiku seperti ini sampai aku mati. Aku benar-benar bisa mati karena keracunan telur, bodoh. Aku bosan mengatakan bahwa aku benci hidup seperti ini. Aku tidak suka hidup gembel seperti ini, aku tidak bisa selamanya tidur diatas kasur tipis sembari meringkuk kedinginan. Aku tidak suka hidup dengan gunjingan serta pandangan remeh orang terhadapku. Karena aku miskin, mereka tidak suka padaku. Karena aku melarat, mereka mengerjaiku, dan kau pikir apa ini kehidupan yang layak untukku?"
Cercaan yang keluar dari belah bibir Jungkook teramat menghujamnya. Taehyung tahu benar, bahwa bukan seperti ini kehidupan yang baik untuk adiknya. Sejujurnya ia paham bahwa Jungkook tidak bahagia bersamanya. Dalam benaknya, teramat banyak penyesalan yang ia teriakkan. Ia menyesal dengan keputusan konyol yang buatnya tujuh belas tahun lalu. Ketika ia bertekad untuk membesarkan Jungkook dengan tangan dan usahanya sendiri, ia pikir bahwa ia bisa. Bahwa ia mampu. Jika Mama mampu, maka Taehyung seharusnya mampu. Dan kini, setelah sekian lama, Jungkook bersua. Mengutarakan pendapatnya bahwa ia penat. Ia benci hidup seperti ini.
"Maafkan Kakak, Jungkook." Taehyung nyaris terisak. "Jikalau aku membuatmu tidak nyaman, maafkan aku. Aku baru menyadari bahwa aku bukanlah kakak yang baik untukmu. Bahwa aku terlalu payah untuk mengasuhmu dengan benar. Seharusnya kau hidup dengan baik, bukan begini. Seharusnya kau mengikuti kelas tambahan, kau seharusnya bisa ikut les musik seperti yang kau mau. Seharusnya kau makan sereal gandum di pagi hari, juga berkencan dengan gadis cantik."
"Kau mengerti," Jungkook berdecih, "Lalu sampai kapan kau begini? Carilah pekerjaan tetap sebab aku ingin pergi ke Universitas di Amerika, supaya aku bisa pergi dari sini dan hidup sesukaku!"
Nasi telur di meja sudah dingin, bersamaan dengan atmosfir yang tercipta di ruangan tempat Taehyung terbujur kaku berdiri dalam tangisnya yang pecah. Jemarinya mengepal kuat, menangis hebat usai Jungkook menutup pintu rumahnya begitu kencang hingga telinganya pekak. Hatinya pecah, terlampau sakit dengan ribuan hantaman yang menusuk. Relung dadanya sesak bukan main, dan tubuhnya gemetar hebat. Dalam diam ia berteriak nelangsa, memanggil Mama dengan hati tersayat tanpa darah. Begitu memilukan seiring derai tangis yang tak jua reda.
.
"Apa kali ini orangtuamu akan datang, Jungkook?"
Yang ditanya berhenti mengerjakan soal matematika dihadapannya. Ia menoleh pada teman sebangkunya yang asyik mengunyah roti melon sembari meminum susu pisang. Seokmin masih setia menunggu jawabannya, sedangkan Jungkook terdiam sebentar. Belum tahu harus menjawab apa, meski sebenarnya ia tahu jawabannya. Malas jika diungkit lagi. "Kurasa tidak,"
"Mereka tidak pernah datang," Seokmin mengingat-ingat. "Setiap dua kali dalam setahun, ada pertemuan orangtua yang membahas tentang kemajuan prestasi siswa. Memang aku tidak mengerti apa yang dibicarakan, sih. Tapi memangnya orangtuamu kerja apa, mereka sesibuk itu?"
"...aku tidak tahu,"
Mendengar cicitan Jungkook yang tidak nyaman dan ragu, Seokmin mengernyit pelan. "Kau ini bagaimana, mereka kan orangtuamu. Lagipula, kau juga mengisi formulir biodata siswa, kan? Kau mengisi kolom biodata orangtua kan? Kau pasti tahu apa pekerjaan Ayah Ibumu. Oh, mungkin Ibumu hanya dirumah, lalu... Ayahmu?"
Seokmin adalah orang cerewet yang Jungkook kenal baik. Pemuda ini terlalu ingin tahu segala hal yang mengganggu pikirannya. Entah itu perihal sederhana atau rumit sekalipun. Dan ia tidak akan puas jika pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban. Merepotkan memang, tapi dia anak yang baik dan ramah. Menyenangkan dan gila di satu waktu, mudah membuat Jungkook tertawa. "Apa dia pengusaha kaya raya? Yang sering pergi dinas ke luar negeri dan tidak menetap itu? Ah, memang pasti begitu, ya. beliau terlihat sibuk. Dan menurutku, Ibumu pasti bekerja juga. Kalau Ibumu dirumah sudah pasti beliau hadir sejak kita kelas satu, begitu kan? Yah, meski aku tidak memaksamu bilang apa perkejaan mereka sih, tapi menurutku mereka adalah pengusaha sukses? Atau kau ini anak artis terkenal? Wah –"
Dan Jungkook hanya mengangguk malas, mengendikkan bahunya tidak begitu peduli. Meski hatinya merasa sedih. Sedikit perih tatkala membayangkan, apa pekerjaan orangtuanya di masa lalu. Apa benar mereka pengusaha, atau nelayan, atau petani, atau hanya pegawai kantoran. Jika saja ia tidak menahan gengsi, mungkin ia akan menangis. Menangisi hidupnya yang jadi begini konyol.
"Andai aku punya orangtua,"
"Hm?" Seokmin menukikkan alisnya, "Kau bilang apa tadi? Aku tidak dengar, sorry, sorry. Apa tadi?"
Jungkook menggelengkan kepalanya, "Bukan apa-apa. dan jangan bermimpi kau bisa bertemu mereka, orangtuaku tidak akan pernah datang sekalipun aku terlibat masalah di sekolah."
.
Pagi ini cuaca sedikit mendung. Tapi Taehyung sudah berpakaian rapi siap bekerja. Dia sudah membereskan rumahnya. Semua sudah rapi dan bersih, aroma jeruk florida bercampur pinus terhirup ke seluruh penjuru ruangan. Ia baru selesai mengepel lantai. Ia tersenyum kala membayangkan Jungkook tersenyum di pagi hari dengan seragam sekolahnya yang nampak sesak. Mengingat aroma segar ini adalah aroma favorit Jungkook. Taehyung mendudukkan dirinya di futon hendak memeriksa ponselnya, ketika matanya mendapati sebuah amplop putih ukuran sedang di meja kecil di hadapannya. Ia ingat betul logo sekolah Jungkook, dan tulisannya memang tecetak jelas dan cukup besar. Tanpa ragu, ia membuka suratnya. "Pertemuan orangtua?"
"Kau tidak usah datang."
Suara Jungkook yang berat membuyarkan kebingungannya. Taehyung nyaris memekik kaget sebab adiknya datang tiba-tiba. Ia menatapnya yang segera terduduk di meja makan dengan lesu, kemudian memutuskan untuk mendekat dan duduk disampingnya. "Aku bisa datang, Jungkook. Di sini tertulis pertemuan ini adalah yang kelima, lalu mengapa kau tidak pernah bilang?"
"Memang kau orangtuaku?"
Ada sebuah pisau imajiner yang menusuk jantung Taehyung. "P-Paling tidak... aku bisa datang sebagai walimu. Barangkali ada hal penting yang harus kuketahui. Aku Jadi tidak enak kalau kau ditanyai orang-orang soal absensi di pertemuan orangtua, Jungkook-ah. Dan... seingatku, aku belum pernah datang ke sekolah, kecuali saat aku mengantarmu mendaftarkan diri."
"Dibilang tidak usah datang, ya tidak usah!" Jungkook memijat keningnya, nyaris frustasi. "Tidak ada hal penting yang dibicarakan disana. Hanya perbincangan orang-orang tua yang tidak jelas apaan, dan kau, maksudku wali? Yang benar saja, kalau pun kau datang, mana bisa kau memahami apa yang mereka coba rapatkan, kau ini tidak tahu apa-apa, hyung. Jika boleh dibandingkan, dan jikalau kau ingat, sekarang pun status pendidikanku lebih tinggi ketimbang kau. Hanya aku yang sekolah dengan benar, dan dengan kapasitas berpikirmu yang payah, kau akan nampak bodoh. Maka dari itu, tidak perlu hadir."
"Tapi yang kali ini wajib," Taehyung mengelak, mengajukan suratnya ke hadapan Jungkook. "Disini tertulis kalau orangtua maupun wali diwajibkan datang untuk rapat, bukankah wajib berarti harus? Dan aku harus datang sebagai wali, kan? Kau sudah kelas tiga dan mana bisa aku tidak hadir satu kali pun dalam rapat orangtua? Nanti kau dikira menyembunyikan informasi sekolah,"
Jungkook menghembuskan napasnya kasar. "Kan memang aku sembunyikan. Untuk yang satu ini, lupa aku buang ke tempat sampah. Kemarin aku kelelahan main basket dengan Seokmin dan Mingyu."
"Selama ini kau membuang surat dari sekolah untukku?"
"Hah?" Jungkook memasang raut annoyed. "Itu semua untuk orangtuaku, bukan untuk Kakak. Sebab mereka tidak ada, jadi buat apa aku simpan-simpan? Membuat kotor dan berantakan saja, kan. Aku juga kasihan melihatmu membereskan rumah sendirian tapi, aku juga tidak mau membantu. Anggap saja pemusnahan pemberitahuan dari sekolah itu bantuan tak langsung dariku. Toh, tidak ada yang penting."
Taehyung menggeleng, melipat kembali surat itu. "Aku harus datang dan ikut rapat, Kookie."
"Kubilang tidak usah!"
"Hei, Kookie –"
Telapak tangan Jungkook yang besar menggebrak meja begitu kesar hingga Taehyung terkejut. "Apa, sih? Tidak usah sok begitu. Kalau aku bilang tidak usah datang, ya menurut saja kenapa, sih? Aku sudah menyelamatkanmu dari gunjingan orang yang akan datang padamu nanti. Kau itu bodoh dan tidak akan paham apa yang akan dibincangkan di rapat itu. Sudahlah, kau diam saja dan biar aku urus sekolahku sendiri. Fokus saja dengan pekerjaanmu dan cari posisi yang tetap, aku tidak mau dengar kau dipecat dan ribet melamar sana-sini,"
Merasa jengkel, Jungkook mendengus dan bangkit. Mengenakan tas ranselnya dengan suara gemerusuk yang terdengar menyebalkan dan mengenakan sepatu yang hampir terkikis. "Jangan berani-berani kau datang ke sekolah atau aku akan marah denganmu. Selamanya."
.
.
Semakin dipikir, Taehyung semakin ragu.
Ia ingin sekali datang ke sekolah Jungkook untuk menghadiri pertemuan orangtua. Ia selalu teringat dengan surat yang ia temukan tadi pagi. Sejujurnya hatinya sakit saat mengetahui ternyata selama ini Jungkook menyembunyikan sesuatu darinya. Ia tidak menyangka jika selama ini ia membuang semua surat yang seharusnya datang padanya. Entah itu pembayaran, pembelian buku, administrasi ujian, jadwal, acara sekolah, dan rapat. Sekali lagi merasa hidupnya terlalu payah, dan lalai menjadi seorang kakak yang baik untuk adiknya. Jungkook benar; Kim Taehyung hanyalah kakak yang bodoh.
"Berhenti melamun," suara cempreng menggelitik telinganya. Ia segera tersadar, dan mengelap meja dengan kecepatan maksimal. Bahaya jika ia ketahuan bengong saat kerja. Ini adalah kelemahannya, terlalu sering melamun saat bekerja. Yang menjadi satu dari sekian alasan mengapa ia kerap dipecat oleh atasannya. Sampai pundaknya ditepuk pelan, ia mendongak. Mendesah lega saat yang menegurnya adalah sahabat baiknya, meski ia tetap takut dipecat. "Kau sudah bosan dipecat, kan? Bekerjalah dengan baik, Taetae. Kau bisa kujadikan pelayan kalau kinerjamu meningkat di tahun pertama."
"A-ah, ya, tentu."
Pemuda itu tertawa dan mengusak surai Taehyung. Merangkulnya dan mendudukkannya di bangku yang kosong, semakin kencang tertawa saat Taehyung mengaduh dengan lucu. "Hei, jangan serius begitu. Aku bisa menjadikanmu manajer kalau saja kau berkata ya. Sekarang juga," Taehyung merengek sebal kala pemuda itu terus mengacak rambutnya dan tertawa nyaring seolah ini lucu. Meskipun memang menyenangkan untuknya, paling tidak, ia bisa tertawa sebentar. "Tidak perlu, Jimin. Aku bodoh soal manajerial dan keuangan, kalau kau belum mau kafe ini bangkrut di tahun kedua maka jangan pernah berani kau jadikan aku pejabat disini."
"Astaga," Jimin terpingkal. "Kau tidak sepayah itu, tahu?"
Taehyung menggeleng dengan tatapan polos. "Nyatanya aku memang payah, 'kan? Jika bukan karena kita saling mengenal, aku akan jadi pengangguran sampai mati. Adikku tidak akan sekolah dan makan dengan baik. Bahkan bisa membelikannya susu setiap hari saja aku sudah senang, jika bukan karena kau masih bermurah hati padaku, aku tidak tahu lagi." Ia menurunkan suaranya, merasa sedih. "Terima kasih sekali, Jimin. Aku berhutang banyak hal padamu sejak dulu. Aku tidak bisa janjikan uang atau warisan untuk membayarnya tapi kau bisa datang padaku jika ada masalah, atau aku bisa menjadi tempat untukmu berkeluh kesah. Aku juga siap dua puluh empat jam kalau kau minta bantuan."
"Hei, kau bukan polisi." Jimin tertawa. Beralih tersenyum lembut dan mengelus rambut sahabatnya. Terasa sama halus dan lebat, wangi yang tidak berubah, serta efek yang ditampilkan Taehyung ketika siapapun mengelus kepalanya; diam dengan wajah manis dan mengerjap pelan. "Kau juga keluargaku, aku punya hak untuk membantumu dan aku tidak pamrih, sebenarnya. Tapi... benar kau akan ada dua puluh empat jam untukku? Setiap harinya?"
Taehyung langsung mengangguk seperti anak anjing manis.
"Oke, akan kuingat baik-baik." Jimin merangkul Taehyung dan menariknya mendekat. "Lalu kenapa dengan pagi ini? Kau tidak terlihat baik, dan melamun membuatmu nampak bodoh, loh."
"Mm, aku ingin ke sekolah Jungkook,"
Jimin mengernyit lalu menatap Taehyung bingung. "Tetapi...?"
Diam sebentar, Taehyung tidak langsung menjawab. Dia masih berpikir untuk memberikan jawaban yang baik untuk Jimin. Ia masih terpekur dalam diam, menerawang merangkai kata yang baik untuk dijadikan jawaban yang terdengar menyenangkan. "Tetapi mungkin aku tidak bisa hadir. Maksudku, aku tidak pantas berada diantara orang-orang hebat. Mereka orangtua dari siswa yang jelas-jelas berpendidikan, dan mungkin, aku tidak akan mengerti apa yang mereka katakan nanti saat rapat. Kalau sampai aku membuat Jungkook malu, 'kan kasihan."
Mendapat jawaban nyeleneh, Jimin melepas rangkulannya. Menatap Taehyung sangsi. "Kau serius berpikiran seperti itu? Maksudku, astaga, selama ini kau ingin melihat Jungkook di sekolah, kan? Kau tidak mungkin berpikiran sempit seperti itu, kau sudah dua puluh lima. Itu hanya rapat orangtua biasa, bukan membahas politik di Korea Selatan yang rumit dengan kasus korupsi dan sengketa. Mereka hanya akan membahas tentang prestasi siswa, juga beberapa acara sekolah yang akan datang beberapa bulan kedepan, hanya seperti itu." Jimin mengingat masa sekolahnya dulu. "Dan bukankah Jungkook sekarang kelas tiga? Biasanya mereka akan membahas tentang ujian kelulusan dan ujian masuk Universitas, semacam pembayaran mungkin. Juga motivasi yang harus diberikan siswa untuk memilih Universitas sesuai keinginan, bukan paksaan. Dan mungkin akan ada jadwal pelajaran tambahan sehingga siswa akan pulang lebih larut untuk persiapan ujian."
Penjelasan panjang lebar membuat Taehyung menggaruk kepalanya. "Oh, jadi itu yang orangtua bicarakan saat pertemuan?"
"Aku baru tahu," Taehyung nyengir. "Yah... karena Mama tidak pernah hadir di pertemuan orangtua, jadi aku tidak tahu. Bukan masalah, sih. Tadinya aku hanya takut nampak bodoh di dalam sana. Dan sebenarnya aku tidak mengerti sih apa yang kau bilang barusan. Jungkook bilang –"
Taehyung langsung menutup mulutnya, membuat Jimin menautkan alis. "Jungkook bilang... apa?"
"Bukan apa-apa,"
Mencoba percaya, Jimin mengerjap kemudian tersenyum. Jemarinya mengelus tengkuk Taehyung sayang dan menepuknya dengan hangat. Bercanda dan tertawa seperti biasa, sesekali mengerjai Taehyung dengan mengatakan betapa manis dirinya saat beranjak dewasa. Kadang bernostalgia tentang masa kecil mereka yang semakin diingat semakin menggelikan. Tapi mereka hanya tertawa konyol mengingat dimana mereka adu menangis. "Jadi, kau akan datang ke pertemuan itu?"
Aku ingin datang, Taehyung bilang. Tapi ia mengingat ucapan Jungkook tadi pagi. Adiknya selalu serius dengan segala yang dikatakannya. Jika ia bilang akan melakukan sesuatu maka akan benar terjadi. Jika ia mengancam sesuatu, maka hukuman dari pelanggaran akan sungguhan ia lakukan. Tapi jika pertemuan ini penting untuk Jungkook, dia akan sangat menyesal dan merasa bodoh untuk membuat keputusan. Ia ingin yang terbaik untuk adiknya. Dan mungkin dengan pertemuan ini, ia bisa menemui guru pembimbing Jungkook dan menanyakan minat bakat adiknya. Sehingga ia bisa mempersiapkan uang untuk biaya kuliah Jungkook. "Taehyung?"
"Uh? Oh –" Taehyung menggigit bibirnya takut. "Aku –entahlah,"
.
Keras kepala adalah sifat yang mendarah daging pada Taehyung. Meski banyak ancaman maupun masukan yang diberikan, akan sangat sulit membuatnya jera. Pemuda itu akan tetap melakukan apa yang ingin ia lakukan. Sedikit banyak membuat Jungkook dongkol bukan main. Seperti siang ini, tanpa peduli soal perutnya yang meronta kelaparan, ia menyeret Taehyung menjauh dari keramaian. Wajahnya dungu sekali untuk pria usia dua puluhan, membuat Jungkook semakin kesal. Tatapan geli dari semua orang membuat darahnya mendidih hingga meletup-letup. Ia marah luar biasa, sebab kakaknya sangat sulit untuk mengerti dirinya. "Buat apa datang kemari?!"
"K-Kookie..."
Tubuh Taehyung terhuyung oleh guncangan dari lengan kekar Jungkook. "Sudah kubilang tidak perlu datang, 'kan? Kau itu tidak tuli ataupun idiot; kau tidak autis untuk sekadar menangkap maksudku kemarin, kan? Sudah kukatakan untuk tidak kemari dan membuat masalah, kau hanya akan membawa masalah jika kemari; aku tahu. Lalu kenapa kau kemari?!"
"A-aku –aku mengerti apa yang mereka bicarakan, Kook." Taehyung menggigit bibirnya ragu. "Aku sudah bertanya kepada Jimin dan sudah banyak membaca, bahkan Jimin membantuku mencari informasi Universitas yang bagus untukmu, jika nanti ditanya. Aku sudah belajar dengan baik, Kookie."
"Kau tahu apa yang terjadi padamu tadi, hyung." Jungkook mendesis. "Apa yang kau pelajari dengan susah payah tidak ada artinya jika kau memalukan seperti tadi, bodoh. Kau tidak tahu aku sampai lari dari kelas kimia padahal Guru Song itu kejamnya bukan main hanya untuk apa; kebodohan kakakku yang tidak ada batasnya. Terlepas dari kemampuan berpikirmu, aku melarangmu kemari untuk semua alasan! Dan kau melanggar janjimu; kau membuatku marah!"
Disana Taehyung gemetaran, ribuan penyesalan singgah di hatinya. "Aku –aku tidak sengaja, aku hanya membantu Nenek Kang mengurus pekerjaannya. Kau tahu dia tinggal sendirian, kan... aku –aku kasihan padanya yang sudah bungkuk seperti itu."
"Dan kau tidak mengasihani aku yang akan dapat decihan geli besok sampai aku lulus, begitu?"
"Jungkook,"
Jungkook menghembuskan napasnya kasar. "Setidaknya, perhatikan penampilanmu saat akan kemari. Kau membuat ruangan itu bau, ibu-ibu muntah geli, karena sepatumu yang menginjak taik ayam. Demi Tuhan, memangnya kau tidak sadar sudah menginjaknya dan paling tidak, apa kau tidak mencium baunya? Kau ini kalau mau kesini paling tidak kabari aku, bodoh! Kau membuat semua orang menatapku remeh dan menggelikan; aku benci. Aku marah padamu!"
"J-jangan begitu, Kookie," Taehyung menggengam jemari Jungkook, matanya membulat takut. Dadanya sesak tatkala Jungkook mengatakan kemarahannya. "Maafkan Kakak, iya, Kakak memang bodoh dan payah. Tapi maafkan Kakak, ya? Kakak tidak sengaja dan tidak tahu, Kakak benar-benar tidak tahu kalau sepatu Kakak ada kotorannya. Atau –atau aku sekarang harus kesana dan membersihkan ruangannya?"
"Hei –hei –!"
Belum sempat menjawab, Taehyung sudah lari. Jungkook menyalang marah, ia mendengus sebal dengan pemikiran bodoh Kakaknya. Dan berlari mengejarnya, menarik lengan kurusnya pergi dari sekolah. Menghentaknya kasar ketika sudah keluar gerbang. "Pergi sana, urus saja pekerjaanmu. Cari uang yang banyak supaya kita bisa hidup lebih baik. Bukan begini. Cepat kerja yang benar, dan jangan berani hyung datang kemari dengan alasan apapun!" Jungkook berteriak marah, menyuarakan kepenatan yang telah lama membumbung didalam dadanya. Ia memijat keningnya frustasi kemudian pergi, meninggalkan Taehyung yang termangu dengan wajah konyolnya yang mampu membuat Jungkook dongkol.
"Aku akan membantumu, hyung." Jungkook berhenti sebentar, kemudian berbalik. "Aku akan merahasiakan status tentang siapa kau bagiku. Aku tidak akan mengatakan siapa itu kau. Dalam artian lain, dan jikalau aku boleh kurang ajar –"
" –akan kuanggap kau bukan siapa-siapa; bukan Kakakku."
.
.
.
To Be Continue
.
.
Edisi: sesi panjang lebar.
Noun; cuap-cuap.
...
Terinspirasi ketika nonton mv Day by Day-nya T-ara dan Sexy Love drama version.
Disitu kepikiran buat menulis cerita kakak beradik, mengingat hubungan saya dan adik tidak begitu baik sejak kecil. Hanya masalah sepele, sebenarnya. Tapi kami lebih sering perang dingin sampai sekarang, meski kami bisa pula berubah jadi seolah dekat. Tapi tetap saja, hubungan Kakak Adik itu begitu membuat saya baper. Seperti yang saya cuap-cuapkan kemarin, kalau saya sedang fase baper. Ditambah lagi senang membaca fanfiksi baper. Oh, jika boleh kurang ajar, saya terinspirasi usai membaca (plus menangis alay) fanfiksi dari kak Alestie yang bertajuk Standstill. Dimana Taekook memiliki hubungan Ayah dan Anak. Asli, itu fanfiksi kedua yang bertema keluarga dan membuatku menangesh.
Hanya merasa jika saya tidak menulis lagi, rasanya... kangen. Dan karena notifikasi reviews, favs, dan follows saya kurang ramai jadi agak sedih kalau saya tidak update sesuatu... mungkin akan berlumut. Dan mumpung jadwal kuliah saya tidak begitu padat seperti sebelumnya, yah...
Dan memang lagi rajin denger lagu ballad dan menguras emosi semisal; day by day nya T-ara, Davichi – T-ara we're in love, Davichi This Love dan Beside Me, Painkiller, Ost-nya Kill me Heal me – Hallucinations. Lah pokoknya baperan saya mah. Lagi gak bisa buat yang lawaq lawaq. Dan semoga ini bisa membuat kalian setidaknya, senang membaca ini. dan bisa menghargai saudara lebih baik lagi. Semoga.
..
Happy reading~!
[copyright – sugantea]
