PROMISES

Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

CHAPTER 1 : LOVE

Seorang kakak terkadang tidak mengerti kenapa rasa sayangnya pada adiknya begitu besar.

.

.

Ketika umurnya baru 5 tahun, Itachi sering melihat Sasuke terkapar tak berdaya di ranjang rumah sakit, tampak menyedihkan dengan banyak selang yang terpasang di tubuhnya, ia terlalu kecil untuk paham apa yang sebenarnya terjadi, namun hatinya selalu sakit tiap kali hal itu terulang, lagi dan lagi.

Suatu siang ketika ia dan sang ibu tengah menjaga Sasuke yang masih tak sadarkan diri, ibunya berkata, "Kau tahu sayang? Sebenarnya Sasuke tak pernah lahir ke dunia ini, andai itu terjadi ibu pasti tidak akan memiliki malaikat kembar seperti kalian," dia mengusap linangan air matanya, sementara si kecil Itachi mengerutkan kening tak mengerti, "Kemauannya untuk hidup melampaui prediksi para dokter, dia lahir sebagai adikmu. Ibu cuma minta satu hal darimu sayang, lakukan yang terbaik untuknya, buat dia bahagia di hidupnya yang singkat ini, karena dia bisa mati sewaktu-waktu."

Ia agak keberatan dengan permintaan itu, namun si pria kecil mengangguk, mengulang kembali janjinya di dalam hati, bahwa ia akan berusaha semampunya untuk membuat adiknya bahagia.

Waktu bergulir, mengubah hari menjadi bulan dan bulan menjadi tahun, mereka tumbuh dalam cinta kasih dan lingkungan yang sama, namun kepribadian mereka agak berbeda, Sasuke menjadi si kecil yang manja, suka mengeluh tiap kali apa yang ia inginkan tak ia dapatkan, namun orang-orang di sekitarnya selalu berusaha menuruti keinginannya, di sisi lain kepribadian Itachi berkembang luar biasa baik, ia menjadi dewasa di usianya yang masih kanak-kanak.

Si sulung Uchiha itu masih ingat, ketika ulang tahun ketujuh mereka, ibu dan ayahnya terpaksa merayakan ulang tahun mereka di rumah sakit, ulang tahun sederhana yang tak dihadiri orang lain kecuali mereka, saat itu keadaan Sasuke kembali memburuk, ketika menyanyikan lagu selamat ulang tahun air mata ibunya terus mengalir, sementara Itachi terdiam, ia merasa kasihan pada sang adik yang tertidur nyenyak dengan begitu banyak penderitaan.

"Tiup lilinnya, dan katakan permohonanmu," sang ayah dengan senyum yang dipaksakan mendekatkan diri ke arahnya.

Dengan helaan napas yang terasa menyakitkan, pria kecil itu mulai bicara, "Aku tidak akan meniupnya, sebeum Sasuke meniupnya duluan."

Kedua orang tuanya agak terkejut, alih-alih memaksa, mereka membiarkan kue dengan lilin yang masih menyala itu tergeletak tak tersentuh di meja dekat Sasuke.

Malam itu Itachi berharap Sasuke akan terbangun agar mereka bisa merayakan ulang tahun bersama seperti tahun kemarin, tapi hingga lilin di atas kue mulai padam, adiknya tak kunjung sadarkan diri.

.

.

Tiap kali melihat keadaan Sasuke yang lemah, Itachi akan berpikir bahwa dunia itu terlalu kejam, kenapa Tuhan menyiksa adiknya sedemikian rupa, apa dosa yang pernah dilakukannya? Namun pertanyaan-pertanyaan semacam itu tak perah ia ungkapkan pada siapapun, meski selalu merasa Tuhan tak pernah adil dalam mengatur hidup makhluknya namun ia percaya ada saat di mana Sasuke akan sembuh dan menjadi normal seperti dirinya.

.

.

Usia Itachi baru 22 tahun ketika ia lulus dari bangku kuliahnya, dan ketimbang mencari pekerjaan sesuai dengan jurusan yang pernah ia ambil selama kuliah 4 tahun, ia malah memilih membantu ayahnya bekerja di toko roti milik keluarganya, toko roti yang telah berdiri sejak zaman kakek buyutnya, dan sekarang berkembang pesat hingga memiliki banyak cabang di Jepang.

Ia memilih membantu sang ayah bukan tanpa alasan, ayahnya sudah semakin tua tiap harinya sementara Sasuke tak akan mampu menggantikan pekerjaan sang ayah suatu saat nanti, otomatis segala tanggung jawab berat itu bertumpu di pundaknya.

Meski banyak teman-temannya yang menyayangkan keputusan itu, toh Itachi tak pernah mendengarkannya, dia akan selalu menjawab dengan nada datar, "Hidup itu pilihan, lagipula jika aku menuruti apa yang menurutmu baik, apakah kau akan menjamin semua akan berakhir sebaik yang kau perkirakan?" dengan begitu teman-temannya akan bungkam seribu bahasa.

Ia bangga bekerja di sana, melihat para pekerja yang begitu bersemangat membuat adonan roti, bernyanyi ria melupakan masalah yang tengah menimpa hidup mereka, kemudian bau harum roti akan tercium di seluruh sudut ruangan, itu semua membuatnya tersenyum.

Pada pertengahan musim semi tahun itu, seorang gadis datang ke tokonya dan membeli banyak roti, dia bilang roti tersebut akan digunakan untuk acara hanami keluarganya, namun dengan bodohnya si gadis lupa membawa uang.

"Ya Tuhan... maafkan aku, bisa tolong tunggu sebentar, aku akan pulang mengambil uangnya," katanya dengan panik.

Itachi tersenyum melihatnya, "Tidak masalah, kau bisa mengambilnya, anggap ini sebagai hadiah untukmu," senyumnya terkembang begitu sempurna, entah kenapa memandang gadis itu menimbulkan perasaan lain yang belum pernah hadir di hatinya.

Gadis itu terkejut, mata hijaunya yang sempurna nyaris membulat, "Apa?"

"Ambil saja, ini gratis untukmu," tangannya mulai mengulurkan sebuah tas kertas yang penuh roti pada pembelinya tersebut.

"Ah.. kau baik sekali," tak bisa dipungkiri, gadis itu tak pernah melihat orang sebaik ini, "Terima kasih untuk rotinya, terima kasih banyak."

Melihat betapa berapi-apinya semangat dan kebahagiaan si gadis membuat Itachi tak mampu membendung rasa senangnya, kepuasan pembeli adalah bagian tersendiri yang begitu ia sukai.

Setelah kejadian itu, setiap menjelang sore ia akan melihat gadis itu datang ke toko rotinya dan membeli roti kemudian tak akan meminta uang kembaliannya, dia bilang untuk mengganti kebaikan hati Itachi waktu itu, dari sini ia mulai mengenal gadis itu, gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai Haruno Sakura, seorang gadis pintar lulusan seni, keceriaannya mengubah hidupnya yang kosong menjadi penuh dengan rasa yang sulit untuk dijelaskan, demi Tuhan semua berjalan begitu lancar tanpa masalah, waktu yang ia habiskan bersama Sakura adalah saat terbaik dalam hidupnya yang akan selalu ia ingat, anugerah terindah yang tiada tandingannya.

.

.

Bagi Itachi, Sakura adalah gadis paling cantik yang pernah ditemuinya, gadis paling sempurna yang akan selalu ia cintai sampai kapanpun, dan seorang ibu yang tepat untuk anak-anaknya nanti, senyum manis si gadis akan selalu terbayang dalam mimpi malamnya yang tidak pernah berhenti hadir, serta bayangan rambut merah jambu gadis itu membingkai wajah sempurnanya dalam keindahan serupa bidadari.

Itachi bersyukur lebih dari apapun ketika gadis itu menerima permintaannya, permintaan untuk menjalin hubungan lebih dekat lagi, gadis yang selama ini dikaguminya telah berhasil ia dapatkan, ia cuma harus bekerja lebih keras lagi agar uangnya cukup untuk melamar gadis itu, ya... sebentar lagi.

.

.

Suasana siang di musim gugur tetap terasa dingin, tidak ada hawa hangat yang melintas sama sekali, alih-alih membekukan, hati Itachi justru dibanjiri rasa hangat, sementara kakinya terus menapak di lantai ruang tamu, senyumnya terkembang begitu sempurna, baginya tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan hari ini, kencan pertama yang sukses bersama si Haruno, apa yang lebih bahagia daripada itu?

"Apa yang terjadi?" Sasuke berdiri di ambang pintu kamarnya dengan tanda tanya besar, tak pernah lebih besar dari hari ini.

Itachi menghentikan langkahnya, hanya untuk memastikan raut heran di wajah adiknya yang semakin menjadi, "Apa yang terjadi?" dia tertawa pelan, "Yang terjadi seperti biasanya."

"Ku pikir tidak, senyummu terlalu lebar jika sesuatu yang terjadi seperti biasanya," kakaknya yang lahir hanya berjarak 10 menit darinya itu memang misterius, menyimpan banyak rahasia yang terkadang tak ia pahami, "Apa ini berhubungan dengan toko roti?"

"Jika kau berpikir begitu," bahkan hari ini ia sama sekali tak datang ke toko roti keluarganya.

"Membingungkan," tak ada yang ia tanyakan lagi, kaki kurusnya melangkah ke ruang keluarga dan mulai menyalakan TV.

Lagipula Itachi tidak mungkin menceritakan kisah cintanya pada sang adik kan? Meski usia mereka sama, tapi baginya Sasuke hanyalah adik lelakinya yang kelewat polos dan tak mengerti hal-hal yang menyangkut kisah romansa, suatu hari nanti jika ia mampu menikahi gadis Haruno itu, Sasuke juga pasti mengerti, "Ibu kemana?"

"Dia ke rumah bibi Kushina, ada urusan katanya," jawabnya tanpa menoleh, "Jangan khawatir, makanan untukmu sudah tersedia di meja makan."

Itachi mengangguk, "Baguslah," tidak ada yang ingin ia katakan lagi, dan dengan ringan ia melangkahkan kaki menuju ruang makan.

.

.

Angin sore musim gugur yang dingin menerbangkan helai-helai merah maple, menyisakan serakan daun-daun itu di jalanan yang sepi.

"Aku menangkapnya," sehelai daun maple tergenggam erat di tangan Sakura, sementara pemuda di dekatnya hanya terdiam dengan dahi mengernyit, "Ada yang bilang, jika bisa menangkap daun maple kau akan jatuh cinta dengan orang yang berjalan bersamamu."

Itachi tetawa, gadis di hadapannya penuh dengan senyum ceria yang khas, selalu mampu membuat hatinya merasa bahagia, "Itu cuma mitos."

Tak terima dengan ungkapan kekasihnya, senyum Sakura mendadak pudar, "Kau tidak percaya padaku?"

Uchiha sulung itu menggeleng, menambah kekesalan gadis itu, "Ya... aku memang tidak percaya, aku bahkan jatuh cinta padamu sebelum mampu menangkap daun maple itu."

Tidak bisa dipungkiri, wajah Sakura seketika merona mendengar kalimat Itachi yang bernada datar itu, pemuda itu selalu mampu mengungkapkan kejutan dalam hal yang menyebalkan, "Begitu?"

"Ya," jawabnya masih dengan nada datar.

"Apa buktinya?"

Itachi menghela napas, "Buktinya?" dia terkekeh, merasa aneh dengan pertanyaan itu, "Kau jelas tahu tanpa kuberi tahu."

Sakura memang tahu, Itachi mencintainya, ada yang bilang cinta tak perlu ungkapan sebab hal itu tercermin lewat tindakan, dan pemuda Uchiha itu telah begitu banyak membuktikannya, terlihat bodoh dan tampak serakah jika ia masih menuntut lebih.

Sementara gadisnya diam, Itachi mulai menatap dalam wajah di hadapannya, mengaguminya dengan berbagai ungkapan syukur pada Tuhan yang telah mempertemukan mereka.

.

.

Pada minggu ketiga musim gugur, Sasuke memaksakan diri menggantikan Itachi yang baru saja mengalami kecelakaan ringan dan membuat tulang kakinya patah, awalnya tak ada yang mengizinkannya namun Sasuke terus memohon dengan alasan ia sudah dewasa, mereka semua seharusnya tak perlu khawatir lagi dengan keadaannya karena ia akan baik-baik saja, tak ada lagi yang berusaha menghentikannya.

Ayahnya sedang pergi ke Kyoto untuk mengunjungi cabang toko rotinya yang ada di sana, sementara sang ibu sibuk dengan urusan rumah tangganya, Sasuke ditemani beberapa karyawan di toko roti, namun tampaknya keadaan hari ini memang cukup baik dibanding hari-hari biasanya.

"Itachi kau tampak pucat," Sakura datang dengan wajah sumringah seperti biasanya, tak menyadari jika pemuda yang berdiri di meja kasir itu menatapnya heran setengah terkejut, "Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Maaf aku bukan Itachi."

Sakura tertawa, tak percaya dengan ungkapan Sasuke, "Hanya karena wajahmu lebih pucat kau berpura-pura menjadi orang lain?"

Kening si tampan itu mengernyit, "Aku memang bukan Itachi, aku Uchiha Sasuke, saudara kembarnya," mendapat keterkejutan yang aneh di wajah gadis cantik itu, Sasuke tersenyum, "Kami kembar identik, kau tidak bisa membedakan kami?"

Sakura diam beberapa saat, baru sadar jika nada bicara pemuda itu saja sudah beda dengan cara bicara Itachi, tapi kenapa kekasihnya itu tak pernah memberi tahunya jika dia sebenarnya memiliki kembaran, "Oh maafkan aku," katanya terlalu malu dengan tidakannya yang agak keterlaluan.

"Tidak masalah," dalam hati ia mengagumi betapa cantik gadis itu, senyum si gadis membuat hatinya terasa damai, "Mau datang untuk membeli roti?"

Haruno muda itu mengangguk, kakinya melangkah pelan menuju jajaran roti yang menjadi favoritnya, setelah membayar ia buru-buru meninggalkan toko tersebut dengan berbagai pertanyaan yang membludak di dalam benak, mau bertanya pada pria yang tadi tapi sikap kalemnya membuatnya urung, Sasuke begitu irit senyum dan raut wajahnya terkesan kekanakan jika dibandingkan dengan Itachi.

Sakura sempat mengirim pesan pada Itachi, menceritakan tindakan bodohnya di depan Sasuke sambil bertanya kenapa hari ini bukan dia saja yang menjaga toko roti, Itachi menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.

.

.

Sakura datang ke kediaman Uchiha di hari minggu pagi, buah-buahan segar menggantung dalam kantung plastik besar yang tergenggam di tangannya.

Yang membukakan pintu adalah sang ibu, agak terkejut memang dengan kehadiran gadis itu, namun setelah Sakura mengungkapkan maksud kedatangannya, Mikoto mempersilahkannya masuk, tak ada perbincangan di ruang tamu karena gadis itu malah dipersilahkan masuk ke kamar Itachi.

"Ya Tuhan... bagaimana kau tak memberiku kabar jika kau baru saja terjatuh," Haruno geram bercampur khawatir, Itachi terkadang suka menutupi masalahnya.

"Ini tidak parah kok, aku hanya tidak mau membuatmu khawatir," dia mengakhiri ucapannya dengan tawa pelan.

"Kau ini selalu seperti itu, aku bahkan jauh lebih khawatir," ia mendengus, berusaha memahami karakter Itachi, "Apa sekarang sudah tidak apa-apa?"

"Ku pikir begitu," atau mungkin tidak, kakinya memang agak terasa sakit meskipun tidak sesakit ketika pertama kali terluka.

"Aku merindukanmu," Sakura berucap pelan, semburat merah terlihat jelas di pipinya, "Padahal cuma 2 harikan kau tidak ada di toko roti, tapi rasanya seperti setahun."

"Oh ya?" tawanya kembali terdengar, sejujurnya ia lebih merindukan gadis itu.

Di dekat pintu kamar Itachi yang terbuka, Mikoto sedang berdiri di sana dengan kerutan di kening, dia mulai memahami hubungan mereka berdua, lebih dari sekedar teman, ia tahu sebab rasa cinta seolah terekspos jelas tiap kali mereka bertatapan.

.

.

Sasuke begitu bersemangat tiap kali pergi ke toko roti, alasannya sederhana karena Haruno Sakura akan selalu datang ke toko roti tiap siang menjelang sore, meski gadis itu hanya datang sebentar, namun gelombang rasa hangat akan memenuhi hatinya tatkala senyum sang gadis terkembang begitu sempurna.

Tubuhnya yang lemah akhirnya memberontak di pertengahan musim dingin, ketika angin yang berhembus tak pernah lagi bersahabat, dingin seolah membekukan bumi dengan kekuatannya yang luar biasa.

Sasuke masuk rumah sakit, sementara Itachi kembali memaksakan diri untuk menjaga toko roti dengan kaki yang belum sembuh sepenuhnya, beberapa hari terus berada di rumah membuatnya cukup jenuh, dan kembali ke toko roti serasa kembali merajut kebahagiaan masa kecilnya.

"Kau belum menjenguk adikmu sejak kemarinkan?" ayahnya bertanya dari balik etalase yang berisi penuh roti.

"Ya, meskipun aku ingin aku belum sempat datang ke sana," matanya kembali mengecek roti-roti yang tersusun rapi tersebut, kemudian berjalan ke arah lain, memastikan bahwa roti pesanan para pelanggan sudah disiapkan dengan baik.

"Pergilah ke rumah sakit setelah ini, kau harus tahu keadaan Sasuke," permintaan sang ayah selalu menjadi sesuatu yang mutlak dan Itachi hanya mengangguk tanpa membantah.

Sekitar pukul 4 sore ia benar-benar datang ke rumah sakit, Sasuke menyambutnya dengan senyuman lebar ketika ia baru saja membuka pintu ruang kamar inapnya.

"Itachi kau datang," dalam kalimatnya terselip rindu dan rasa sayang yang tersembunyi.

Itachi tertawa pelan melihat senyuman saudara kembarnya, "Tentu saja aku datang, bagaimana mungkin tidak?"

Mikoto tersenyum dalam wajah sayunya yang diliputi lelah, "Sasuke kira kau begitu sibuk dengan toko roti sampai melupakannya."

Mereka semua tertawa, tawa singkat yang sedikit mengobati luka hati masing-masing.

"Kau tahu tidak, selama 3 hari kau tidak datang ke toko roti Hanabi selalu menanyakanmu," Hanabi adalah gadis kecil berumur 8 tahun yang begitu menyukai Sasuke, "Dia bilang rindu dengan senyumanmu."

Sasuke terkekeh pelan, tubuhnya yang bertumpu pada sandaran ranjang terlihat begitu ringkih, "Gadis kecil itu selalu mengingatkanku pada Hinata," iris hitamnya menatap intens sang kakak, "Kau masih ingat dengan Hinata?"

"Ya."

"Ku harap hal semacam itu tak akan pernah terjadi lagi," wajah Sasuke sedikit meredup, "Karena aku tidak suka."

Ia paham betul apa yang dimaksud Sasuke, dulu ketika masih SMA mereka pernah menyukai gadis yang sama, namanya Hinata, gadis itu sangat cantik dengan rambut hitam panjang yang mempesona, kekecewaan Sasuke tampak jelas ketika ia menyatakan cintanya pada si gadis namun gadis itu lebih memilih Itachi, biarpun Itachi memiliki perasaan yang sama ia tak menerima gadis itu, sadar bahwa ia tak mungkin melukai Sasuke, jadi ia nekat melukai hatinya sendiri dengan cara seperti itu.

"Tentu saja tidak akan terjadi lagi," ia berpikir begitu karena hatinya sudah jatuh pada gadis yang tepat sekarang dan selera Sasuke pasti masih sama seperti dulu, menyukai gadis yang super kalem dan kelewat sabar.

Beberapa saat tak ada yang mulai bicara, sementara Itachi mulai duduk di sofa dekat ibunya ia mulai khawatir dengan keadaan wanita setengah baya itu, "Jika ibu lelah, ibu bisa pulang dan beristirahat, biar aku saja yang menjaga Sasuke."

Sang ibu menghela napas, menatap ke arah putra bungsunya yang tersenyum tak keberatan, "Baiklah, ibu akan kembali 3 jam lagi," wanita itu melangkah dengan berat hati setelah memberikan nasehat pada Itachi, semua nasehat itu berisi serentetan kalimat tentang Sasuke, tampak sekali bahwa sang ibu sangat sayang pada adiknya tersebut.

.

.

Malam itu, suasana tampak hening dan salju di luar makin tebal tiap jamnya, ibu mereka tidak kembali lagi ke rumah sakit setelah menelepn dan mengatakan bahwa cuaca sedang buruk, badai salju tengah terjadi dan tak seorang pun berani keluar.

Sasuke membuka pembicaraan dengan topik Sakura, Itachi agak terkejut namun ia tidak mengatakan apapun sebagai respon, dalam hati ia tidak berhenti khawatir ketika percakapan mereka berlanjut lebih jauh.

"Ku pikir aku mencintainya," kalimat itu lolos dari mulut Sasuke, menyisakan keterkejutan tak terhingga dalam raut tampan sang kakak, "Bukankah dia begitu cantik?"

Tapi pikiran Itachi tak lagi berada di sana ketika pertanyaan itu terlontar, sebab ia ketakutan bukan main, kenapa harus Sakura? Kenapa harus Sakura? Berkali-kali hatinya mengulang kata tak bermakna itu sementara Sasuke mengernyitkan kening melihatnya melamun dalam ruangan remang-remang.

"Itachi kau dengar aku kan?"

"Ha?" ia akhirnya sadar dari lamunan, menatap Sasuke dengan senyum dipaksakan yang tampak datar, "Kau mengatakan apa tadi?"

Pria bungsu itu mendecak kesal, biarpun begitu ia tetap mengulangi pertanyaannya, "Temanmu itu, Sakura, dia cantik sekali kan?"

Sakura memang cantik, namun cara bicara Sasuke yang menunjukkan ketertarikannya pada si Haruno itu membuat hatinya tak tenang, "Ya... ya... Sakura memang...cantik."

"Kau mau melamarkannya untukku?"

Kalimat itu membuat jantungnya nyaris berhenti dan dunia tiba-tiba terasa tak menyenangkan, ia berharap itu cuma mimpi atau jika tidak begitu, ia berharap Sasuke hanya bercanda, "Apa?"

"Aku ingin melamar Sakura."

Detik berikutnya ia sadar, Sasuke tidak main-main dengan keinginannya, malam itu menjadi titik balik segalanya, bahwa mimpi-mimpinya yang pernah ia rajut dengan begitu teliti untuk membangun rumah tangga bersama Sakura harus kandas, keinginan yang begitu menjanjikan untuk memiliki anak bersama gadis itupun cuma tinggal kenangan yang tak akan pernah terwujud, lagipula ia tidak bisa membela diri untuk bersikap egois, ibunya akan lebih memilih menuruti keinginan Sasuke daripada keinginannya, dan lagi ia sudah berjanji bahwa apapun yang terjadi ia harus berusaha membahagiakan Sasuke, namun hatinya begitu sakit mengingat skenario Tuhan yang keterlaluan ini.

TBC

Saya hanya menulis berdasarkan ide yang muncul di dalam benak, maaf jika banyak yang ga suka sama jalan ceritanya

Selain itu maaf juga kalau banyak typo dan kesalahan

Tinggalkan kritik dan sarannya ...