Chapter 1

Let's Find New Love Hinata

Disclaimer: Naruto is only Masashi's own. i just own this fic

Warning: OOC, School life, and little Gaje-ness

Hallo semuanya. . . perkenalkan saya Cieru cherry, author baru di Fic Naruto dan ini adalah Fic pertama saya. I can't hope more, Just Happy reading . . . ^_^

Hinata, gadis kecil mungil yang hampir setiap hari selalu diganggu beberapa anak nakal yang sebaya dengannya. Hinata tidak pernah tahu apa kesalahannya sehingga membuatnya mengalami hal-hal sial seperti itu. Apa karena matanya yang berbeda dari orang lain, karena warnanya yang putih keperakan dan tanpa pupil? Ataukah karena memang sifat penakutnya ditunjang tubuh mungilnya, yang membuat anak-anak lain gemar menjahilinya? Ah, Hinata rasa kedua alasan tersebut sudah cukup untuk menjelaskan mengapa sekarang ini ia dihadang oleh segerombolan anak badung yang sudah memblok seluruh akses jalannya.

"Hei, mata aneh. Kalau lewat sini kau tahu kan konsekuensinya?" Ujar seorang anak lelaki berambut coklat bertubuh gempal yang Hinata yakini sebagai pemimpin genk anak berandalan itu. Hinata menelan ludah dengan susah payah. Seingatnya, ia sudah berusaha mencari jalan alternative lain yang sekiranya tidak akan bertemu dengan komplotan semacam didepannya, tetapi kenapa nasib begitu senang mempermainkannya?

"Ta-Tapi. . . aku kan tidak lewat gang kirishi. K-kenapa s-sekarang kalian berada di sini?" ujar Hinata dengan sedikit takut, namun mencoba berargumen.

"Jangan banyak tanya! Sekarang jalan yang kau lewati ini juga daerah kekuasaan kami yang baru. Dan kalau melewati daerah kekuasaan kami, berarti kau harus membayar upeti kepada kami!" sentak cowok gendut didepan Hinata sambil sedikit menggeram.

"T-tapi, uangku sudah habis untuk membeli es krim." Timpal Hinata dengan jujur sambil berdo'a dalam hati agar ada orang yang menolongnya atau setidaknya komplotan ini membiarkannya lewat dan mencari mangsa baru. Namun, kelihatannya harapan Hinata tidak terwujud. Meski disekitarnya terkadang terdapat lalu lalang siswa SMP maupun SMA, orang dewasa maupun orang tua, tidak ada seorangpun yang tampak peduli dengan keadaanya, bahkan menolehpun tidak. Hinata menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air matanya agar tidak keluar. 'mengapa tidak ada yang peduli padaku?' batin Hinata sambil menunduk dalam.

"Hei siapa yang menyuruhmu menunduk?! Kurang ajar, jangan-jangan dari tadi kau tidak mendengarku, ya?!" si anak bertubuh gempal mendekati Hinata dengan kilat mata nyalang. Tangannya yang besar tampak terkepal seakan bersiap hendak memukul Hinata. Hinata hanya menatapnya pasrah. Toh, kaburpun juga percuma, dia sudah terkepung. Mungkin saat ini, Hinata harus mencari alasan lagi, seandainya ia nanti ditanyai keluarganya kenapa pipinya sampai membengkak merah. Hinata memejamkan mata, ia sudah terlalu lemah untuk melawan. Baginya, pukulan adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan.

"Hei, apa yang kau lakukan? Jangan pasrah seperti itu." Ucap sebuah suara yang membuat Hinata membuka matanya.

Mata lavender itu membulat. Sesosok anak yang berambut pirang cerah dengan tubuh hampir sama dengannya tiba-tiba berdiri di depannya, membelakanginya, berhadap-hadapan dengan beberapa anak yang bertubuh lebih besar darinya.

"Dasar! Beraninya Cuma sama perempuan. Huh." Nada mengejek terlontar dari anak cowok berambut pirang dengan mata biru yang berpijar menantang. Hinata hanya dapat melihat si anak blonde itu berkacak pinggang, seakan membela dan melindunginya. Ia terhenyak. Baru pertama kali ini ada seseorang yang membelanya, ada seseorang yang tidak mengacuhkannya saat ia ditindas. Selama ini, orang-orang akan pura-pura tidak melihat saat hinata ditindas atau dianiaya anak – anak lain. tapi, anak blonde itu berbeda, begitu pikir Hinata.

"Hei, bocah! Minggir kau atau kau akan kami hajar!". Wajahnya sudah merah padam Menahan amarah apalagi saat dilihat musuhnya yang ceking itu hanya menyeringai lebar tanpa mengurangi pancaran keberanian dari mata birunya.

"Ya, itu kalau kau bisa mengalahkanku." Ucap si bocah blonde dengan santai.

"UAPAA?! Kurang ajar rasakan ini!"si gemuk mengepalkan tinjunya dan melayangkannya kuat-kuat ke arah anak berambut pirang dihadapannya.

"AWASS! Pekik Hinata berusaha mengingatkan pahlawan kuning yang sudah membelanya. Hinata benar-benar takut, jika hanya karena sudah membelanya, anak itu justru akan mendapatkan luka memar bekas tonjokan. Tapi ternyata, ketakutan Hinata tidak terbukti.

Whuuss! Efek angin dari gerakan tinju itu hanya menerbangkan helaian-helaian berwarna kuning keemasan karena ternyata anak berambut kuning itu dengan cekatan mampu menghindarinya. Kakinya lincah bergerak kesamping kiri untuk menghindar dan dengan satu gerakan memutar dari salah satu kakinya, ia kini berdiri membelakangi si gendut yang terperangah karena serangannya dihindari dengan sangat mudah. Dengan seringai lebar, kaki kurus si blonde terayun kedepan dengan cukup keras, mendepak bagian belakang-pantat-si anak bertubuh gendut sehingga membuat anak bertubuh gendut itu terjengkang dan ambruk ke tanah dengan wajah yang juga mencium tanah dengan mesra.

Hinata melongo, begitu juga dengan beberapa anak nakal lainnya. Mata mereka mengerjap-ngerjap seakan baru saja melihat kejadian di luar nalar manusia, mungkin. Tapi, mereka akhirnya sadar saat si anak blonde itu kemudian dengan cekatan mengulurkan tangannya ke Hinata.

"Kau tidak apa, kan?" tanyanya sambil tersenyum cerah.

"Um. ., eh, iya. Tidak apa." Ucap Hinata dengan agak terbata-bata. Semburat merah semu mewarnai pipinya yang chubby itu saat ia menerima uluran tangan penyelamatnya itu.

"Siapa namamu?" Tanya si blonde sambil menarik tubuh Hinata berdiri.

"Hi. . hinata." Jawab Hinata saat tubuhnya telah sempurna berdiri dengan kedua kakinya memijak tanah.

"Nah, Hinata. Sekarang saatnya bagi kita untuk. . ." Si anak rambut pirang tidak meneruskan kalimatnya. Ia memperhatikan keadaan di sekitarnya sejenak. si gendut yang sudah ditendangnya tadi sudah hendak bangkit lagi sementara anak buahnya yang lain masih tampak speechless dan tak tahu harus berbuat apa.

Hinata merasakan jantungnya berhenti berdetak sejenak saat mata biru di depannya kini beralih memandangnya dan memaku mata lavendernya lekat-lekat. Apalagi dirasakannya genggaman anak itu semakin erat meremas tangan mungilnya dengan lembut. Jantung Hinata seakan-akan melompat-lompat tak karuan dibuatnya.

"Hinata, kita harus. . . KABUR! Teriak si blonde dengan tiba-tiba.

"Eh?" Hinata hanya bisa membulatkan matanya kembali saat si penyelamatnya mengucapkan kata-kata itu didepan wajahnya. Lalu, dengan pasrah, Hinata harus merelakan tubuhnya yang kurus itu 'diseret' atau diajak berlari sekencang-kencangnya oleh anak laki-laki yang tadinya sudah sok seperti pahlawan. Hinata kecil sambil berlari-maksudnya terpaksa ikut berlari karena tangannya digenggam si anak blonde- Cuma bisa memasang wajah sebal di wajah imutnya. Image anak tadi yang seperti pahlawan berambut kuning dengan semangat matahari kini hilang entah kemana. Ya, tentu saja, mana ada pahlawan yang kabur, begitu pikir Hinata.

"Hosh, hosh. . aku capek." Nafas Hinata tersengal-sengal setelah ia diajak berlari ala maling selama kurang lebih 20 menit. Anak laki-laki yang yang mengajaknya berlari kini ikut menghentikan langkah kakinya. Ia memandang Hinata yang tampak kepayahan dengan wajah cemas. Hinata duduk berjongkok dengan deru napas yang masih memburu sementara bulir-bulir keringat membanjiri dahinya sehingga tampak mengkilat.

"Kau tidak apa?" tanyanya pada Hinata sambil melepaskan genggaman tangannya pada Hinata.

Anak berambut kuning itu kemudian duduk dengan posisi yang sama dengan Hinata sehingga wajah keduanya dapat berhadap-hadapan. Hinata yang melihat wajah anak itu dari dekat dapat merasakan pipinya yang memerah seperti tomat matang. Bagaimana tidak, napas anak itu menyapu wajahnya dengan lembut. Sementara beberapa helai rambut kuningnya yang mencuat bersinggungan dengan poni Hinata yang seperti sulaman tirai. Cepat-cepat Hinata mengalihkan wajahnya ke sisi lain untuk mengurangi kegugupannya.

"Kenapa tadi kita berlari?" Tanya Hinata dengan polos.

"Um. . . soalnya jumlah mereka banyak sih. Aku berpikir aku tidak bisa mengalahkan mereka semua. Jadi ya, kabur adalah cara yang paling efektif." Anak itu menjawab diakhiri cengiran lebar sehingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Hinata memperhatikan sekilas anak itu, dan tanpa ia tahu mengapa, rona merah diwajahnya semakin menghebat.

"Uh, padahal tadi kukira kau pahlawan sungguhan. Tapi ternyata kemudian mengajakku kabur." Hinata mendengus kecil sembari mengembungkan pipinya yang chubby.

"Ahaha. . . maaf ya. O, iya, kita belum berkenalan secara resmi." Anak laki-laki itu mendehem pelan sebelum melanjutkan kalimatnya lagi.

"Perkenalkan aku Uzumaki Naruto. Aku baru saja pindah ke kota ini kemarin. Aku tinggal di perumahan Konoha Barat blok 2A" Naruto mengulurkan tangannya kepada Hinata sebagai tanda perkenalan. Hinata menyambut uluran tangan itu. Mereka berdua saling bersalaman.

"Hyuuga. . hyuuga Hinata." Balas Hinata singkat.

"Nah, Hinata mulai sekarang dan seterusnya kita adalah kawan baik." Naruto tersenyum lebar diikuti anggukan kecil Hinata yang tampak malu-malu. Mereka berdua berpandangan sebentar kemudian tertawa bersama.

"Mulai sekarang aku akan selalu melindungimu, Hinata." Ucap Naruto sambil memandang ke dalam mata Hinata dengan sungguh-sungguh. Hinata hanya memandang Naruto sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang lebar, lalu ia menggeleng cepat.

"A-ada apa?" tanya Naruto melihat reaksi Hinata.

"Ti-tidak. Aku hanya tidak mau terus dilindungi. Aku akan menjadi kuat dan berani seperti Na-Naruto kun." Ucap Hinata dengan yakin, lalu mengalihkan matanya ke hamparan langit yang semakin sore.

"Ya, berjuanglah Hinata." Timpal Naruto sambil tersenyum lebar.

Langit sore di kota Konoha menjadi pemandangan yang indah bagi dua anak kecil yang kini berjalan beriringan. Kadang terdengar tawa mereka yang renyah melewati jalan-jalan Konoha yang saat itu agak lenggang. Mungkin ini adalah sebuah pertemuan dan awal persahabatan yang menyenangkan, begitu pikir mereka. namun, mereka luput pada satu hal atau mungkin mereka memang tidak menyadarinya karena pikiran mereka yang masih terlalu polos. Satu hal yang luput adalah perputaran waktu. Ya, waktu mungkin bisa merubah segalanya. merubah perasaan, keadaan, dan lain sebagainya. hari-hari esok adalah sebuah misteri yang mungkin sudah menyiapkan hal-hal baru yang tidak terduga bagi mereka.

7 tahun kemudian…

"Hinata chan!" Hinata menghentikan langkah kakinya yang bersiap masuk ke kelas saat matanya menangkap seseorang yang kini berlari cepat menuju ke arahnya. Orang itu adalah seorang gadis yang sebaya dengannya, berambut kuning lurus dan panjang yang diikat kebelakang.

"Pagi, Ino." Sapa Hinata sambil tersenyum.

"hosh. . hosh. . untung aku tidak terlambat meski bangunku tadi kesiangan. Pagi juga Hinata." Meski dengan napas sedikit tersengal-sengal tapi Ino membalas sapaan Hinata dengan semangat, sama seperti biasanya.

"Masuk kelas yuk." Ajak Hinata. Ino tidak menjawab hanya mengikuti langkah Hinata, memasuki ruang kelas mereka, kelas 2C.

"Pagi, Hinata, ino!" sapa seorang cewek berambut coklat yang dicepol ala cina.

"Pagi Tenten." Sapa Hinata dan Ino kompak. Hinata dan Ino kemudian duduk dibangku mereka masing-masing. Ino dan Tenten teman satu bangku dan duduk didepan Hinata. Sedangkan Hinata? Jangan khawatir. Dia tidak sendirian kok. Hinata duduk dengan seorang cowok berambut kuning yang sudah menjadi temannya sejak kecil. Yup, Hinata sebangku dengan Uzumaki Naruto. Namun, sayangnya, sedari tadi cowok blonde itu belum tampak sama sekali batang hidungnya.

"Naruto kemana, ya?" hinata bertanya seolah pada dirinya sendiri.

"Aih,aih. Belum apa-apa sudah kangen begini." Tenten menggoda Hinata yang sukses membuat Hinata salah tingkah dengan pipi bersemu merah.

"aku kan Cuma Tanya." Dengus Hinata berusaha mengalihkan wajahnya yang tampak malu itu.

"Ahaha. Kalau suka kenapa tidak nyatakan saja perasaanmu padanya, Hinata." Ino ikut tertawa lebar sambil menggoda Hinata. Hinata merasa sebal dengan dua temannya yang suka menggodanya ini. namun, bagaimanapun mereka berdua adalah teman terbaik Hinata yang selalu mendukungnya.

"Si bodoh itu, apa bisa mengerti." Hinata berkata agak pelan namun nadanya terdengar sarkatis. Ino dan Tenten semakin tergelak melihat ekspressi Hinata yang sebal tapi kelihatan cute itu.

"Wah,wah, Hinata sekarang bisa berkata kasar dengan menyebut si Naruto itu bodoh. Tapi memang iya sih." Tenten menimpali sambil tetap tergelak. Begitu juga dengan Ino. Hinata hanya menghela napas panjang. Pandangannya beralih pada jendela kaca di samping kirinya. Langit biru yang luas dengan sedikit awan putih berarak menjadi satu-satunya pemandangan yang membuat hatinya merasa tenang. Warna biru cerah yang mengingatkannya pada warna mata seseorang. Seseorang yang dicintainya selama bertahun-tahun dan Hinata baru menyadari perasaannya itu sekitar dua tahun yang lalu. Ya, Hinata menyadari bahwa keberadaan Naruto bukan hanya sekedar teman kecil ataupun teman dekat. Di usia remajanya, Hinata mulai merasakan debaran-debaran aneh saat berada di dekat Naruto. Gejala lain adalah wajahnya yang memanas dan pipinya yang langsung berubah warna menjadi semerah tomat saat pemilik mata blue sapphire itu menatapnya langsung. Dan setelah berkonsultasi kesana kemari dengan beberapa pakar cinta ternama, Ino dan Tenten, Hinata pun mendapatkan vonis bahwa dia sedang jatuh cinta!

Hah. . Hinata menghela napas lagi. Kali ini memorinya yang sedang melayang tinggi mengingatkannya kembali pada masa-masa penuh perjuangan cintanya.

FLASHBACK

Selama dua tahun Hinata berupaya menunjukkan perasaan cintanya pada Naruto tapi Naruto seakan tidak tahu atau memang benar-benar lemot dalam masalah cinta. Bayangkan saja, selama ini Hinata sudah rela menyisakan waktu untuk membuat dua bekal sekaligus hanya untuk bisa makan siang berdua dengan Naruto, tapi Naruto justru membagikan bekal special buatan Hinata itu pada seluruh teman-teman sekelasnya seperti Kiba, Chouji, Shikamaru, Sai, dan. . ah, banyak sekali temannya. Eit, tidak hanya itu saja, saat Hinata mengajak Naruto pergi berdua ke taman ria untuk melihat festifal kembang api. tanpa sepengetahuan Hinata, Naruto malah mengajak seluruh teman sekelas untuk ikut serta. Pastinya, festival kembang api yang direncanakan Hinata sebagai acara kencan itu harus berakhir tragis karena Naruto kemudian diseret teman-teman laki-lakinya untuk menyapa cewek bohai yang kebetulan lewat. Dan yang paling buruk adalah kejadian saat Valentine tahun kemarin. Saat itu Hinata sudah mempersiapkan diri untuk menyatakan cinta sambil menyerahkan coklat buatannya. ternyata Naruto malah menganggap Hinata sedang mengajaknya latihan untuk menembak pria yang disukainya. Padahal pria yang disukai Hinata itu ya Naruto itu sendiri. kenapa Naruto malah menganggap Hinata sedang latihan menyatakan perasaan? dan bahkan setelah Hinata berkata dengan sungguh-sungguh," Naruto, aku menyukaimu. Terimalah coklatku." Reaksi Naruto malah tertawa lebar, sambil menepuk bahu Hinata ia berkata."Selamat Hinata, kau lulus ujian menyatakan cinta! Nah sekarang tembaklah cowok yang kau sukai itu." Tentu saja, Hinata yang sudah sedemikian lama memendam perasaan itu langsung meledak seketika. Hinata yang biasanya kalem dan terlihat gugup itu tidak lagi terlihat canggung saat tangannya dengan lihai melempar coklat buatannya yang sudah ia bungkus dengan rapi itu dengan gaya ala spitcher handal. Dan lemparannya itu sukses mendarat kasar diwajah Naruto yang saat itu masih tersenyum. Plak! Hanya itu bunyi yang terdengar saat lemparan Hinata tepat mengenai sasaran, wajah Naruto. "Naruto bodoh! Meleleh saja kau bersama coklat tak berguna itu!" Hinata benar-benar kesal dan beranjak meninggalkan Naruto yang Cuma bengong sambil menggaruk kepalanya, "aku salah apa?" lirih naruto sambil meringis kesakitan. PIK! Emosi Hinata terpantik kembali saat telinganya mendengar perkataan Naruto barusan. "Salah apa? Aku salah apa?" batin Hinata mengulang kembali perkataan Naruto dengan penekanan di tiap katanya. Hinata membalikkan badannya dan menatap Naruto yang masih terduduk dengan wajah merah menahan marah. Dan sebagai penutup hari valentine terburuknya itu, Hinata sempat berteriak pada Naruto sebelum pergi, . . .

END OF FLASHBACK

"Naruto. . .! kau memang bodoh!" Sebuah teriakan keras Hinata di pagi yang cerah itu sukses membuat seluruh penghuni kelas 2C mengalihkan pandangan kearah paling belakang, meja Hinata. Suasana mendadak hening seketika. Hinata yang menyadari bahwa ia baru saja kelepasan bicara karena mengingat perjuangan cintanya yang tragis, hanya memandang tatapan sweetdrop teman-temannya dengan cengiran yang dipaksakan.

"Hehe. . eng , anu itu. . ." Hinata tergagap untuk menemukan cara terbaik menjelaskan pada teman-teman sekelasnya ini.

"Huahaha. . !" tidak kusangka ternyata Hinata itu lucu juga, kawan!" terdengar suara Kiba yang tertawa ngakak. Hinata merasa sangat malu mendengarnya. Wajahnya sudah menjadi sangat merah karena malu.

"ahaha. . . pagi-pagi kau kesambet setan apa Hinata? Jangan-jangan Setan pembawa virus bodoh Naruto?" Sai ikut menimpali. Dan suara-suara dari anak-anak yang lain turut menyemarakkan ruangan kelas 2C akibat dari efek umpatan Hinata secara tiba-tiba pada Naruto. Dan pagi itu, Hinata harus pasrah ditertawai habis-habisan seluruh teman sekelasnya-minus Naruto- karena selama ini Hinata dikenal sebagai sosok anggun, baik hati, bicaranya santun, dan tidak neko-neko. Dan setelah peristiwa ini, rasanya image Hinata yang baik-baik itu bakal. . . ah, hilang terbawa angin. Atau mungkin retak seperti kaca yang dipukul dengan palu, Pyar!

"KRINNNG! Bel masuk tanda dimulainya pelajaran sedikit membuat Hinata merasa lega, karena berangsur-angsur suasana kelasnya ini kembali menjadi kondusif dan tenang. Tidak ada lagi tawa ataupun ledekan yang tadi ditujukan padanya.

"Selamat pagi, anak-anak." Seorang guru berambut putih dengan masker yang selalu setia menutupi wajahnya memasuki ruangan kelas 2C. kakashi adalah wali kelas dari kelas 2C.

"Pagi, Kakashi sensei." Balas semua murid dengan kompak."

"Wah, sepertinya hari ini kalian sedang bersemangat, ya. Ini pasti hari yang tepat untuk mengadakan ulangan matematika mendadak, bukan?" kakashi sensei tampak tersenyum bahagia meski tidak terlihat lengkungan di bibirnya-jelas aja kan dia pake masker-

"Huu. . " hanya itu balasan dari para murid, kecuali Hinata, yang memang tidak suka complain.

"Baiklah, aku anggap itu sebagai jawaban kalian setuju untuk mengikuti ulangan. Dan sekarang, semua buku dimasukkan dalam tas dan siapkan selembar kertas. . ." belum sempat kakashi senpai meneruskan kalimatnya sebuah gubrakan keras terdengar dari pintu.

"BRAKK! Seorang pemuda tampak terengah-engah dengan satu tangan kirinya masih menyentuh pintu yang tadi sudah dibukanya dengan cukup keras. mata biru pemuda itu tampak masih memancarkan cahaya meski seragam dan kulit tan miliknya-dialiri oleh keringat.

"MAAF, Kakashi sensei. Saya telat. Boleh saya masuk?" Tanya si pemuda itu yang kita ketahui bernama Naruto.

"Tentu saja , Naruto Uzumaki. Kau kan sudah masuk." Jawab si guru nyentrik dengan santai. Naruto kemudian melangkah ke mejanya yang berada di samping Hinata. Hinata melirik Naruto sekilas lalu membuang muka sambil mendengus sebal.

"Eh, kenapa Hinata?" Tanya Naruto sambil membalikkan badan menghadap Hinata. Hinata tidak mempedulikannya dan hanya menatap langit biru dari kaca jendela disampingnya. langit biru yang tahu betul bahwa pipi Hinata sekarang sedang merona merah. Beberapa siswa cekikikan saat melihat Naruto yang garuk-garuk kepala karena tidak mengerti dengan sikap Hinata.

Kakashi sensei membagikan kertas soal pada seluruh murid. sambil menunggu murid-muridnya yang berjuang keras mengerjakan soal-soalnya, maka ia dengan santai membaca sebuah buku misterius berjudul . . ah, apalah itu. Tapi yang pasti kakashi membacanya dengan senyam-senyum yang terlihat aneh atau mesum barangkali.

Detik demi detik berlalu. Jarum jam berputar menurut putarannya, menghabiskan sedikit demi sedikit waktu di dunia. Begitu juga dengan tenggat waktu yang diberikan oleh Kakashi yang semakin lama digerogoti oleh perputaran jam. Beberapa murid mulai gelisah karena merasa beberapa soal yang diberikan Kakashi sulit beudz dan tidak selayaknya diberikan pada tingkatan anak SMA melainkan mahasiswa!

"ya, waktu selesai. Segera kumpulkan lembar jawaban kalian." Perintah Kakashi sambil menutup buku bacaannya. Semua siswa melangkah ke depan dan mengumpulkan lembar jawabannya masing-masing. Kakashi hanya tersenyum simpul dengan mata menyipit melihat murid-muridnya yang manis-manis itu.

"Nah, anak-anak selamat siang dan sampai jumpa." Kakashi melambai pada murid-muridnya dengan satu tangan sementara tangan satunya sudah dipenuhi dengan setumpuk kertas-kertas. Tapi, tidak ada satupun yang membalas lambaian tangan Kakashi. Malah sebagian dari mereka memonyongkan bibirnya dan berkata, "pergi sana! Dasar guru TP (Tebar Pesona)!"

Baru beberapa detik setelah kepergiaan Kakashi sensei. Kelas yang semula tenang kini tak ubahnya seperti pasar kaget. Semua murid dikelas melakukan aktivitasnya masing-masing. Shikamaru seperti biasa langsung tepar, tidur dengan buku pelajaran yang menutup wajahnya, chouji yang ngemil sampai terdengar bunyi 'kriuk-kriuk' di sana-sini. Sai langsung corat-coret mejanya dengan berbagai macam gambar hewan, Ino dan Tenten yang ber'kya-kya' ria saat melihat majalah boy band korea edisi terbaru, dan lain sebagainya.

"Hinata, kau sedang melamun apa?" Naruto menghadap pada Hinata yang saat ini hanya diam memandang langit dari balik kaca jendela.

"aku tidak melamun Naruto. Aku sedang melihat langit." Jawab Hinata lembut

"Apakah kau sedang membayangkan orang yang kau sukai?" naruto bertanya lagi sambil tersenyum lebar dan mata berbinar.

JLEB! Pertanyaan Naruto barusan terasa tepat menghujam ke jantung Hinata.

"y- ya , sedikit." Jawab Hinata dengan sedikit tergagap.

"Memang cowok yang kau sukai itu seperti apa Hinata? Selama ini kau tidak pernah cerita padaku siapa cowok yang kau sukai." Naruto menatap kedalam mata lavender Hinata, membuat si pemilik lavender sedikit gugup dengan rona merah yang menyapu kedua pipinya.

"Em. . cowok yang kusukai itu. . orangnya sangat baik. Dia selalu menolongku sejak kecil. Dan karena dia-lah aku yang dulu penakut menjadi Hinata yang seperti sekarang. Senyumnya cerah seperti matahari dan tingkahnya enerjik. Saat melihatnya, aku selalu merasa bersemangat dan. . hangat. Tapi, dia itu saangaaat lemot. Meski aku sudah berusaha untuk mengungkapkan perasaanku, dia selalu saja tidak mengerti." Hinata menjelaskan sambil matanya menerawang mengikuti langkah awan yang kebetulan ditangkap mata lavendernya. Sementara Naruto hanya diam manggut-manggut, benar-benar tidak menyadari bahwa yang dimaksud Hinata adalah dirinya.

"Menyebalkan juga sih. Tapi aku tetap menyukainya." Ucap Hinata kemudian sambil tersenyum manis pada Naruto.

"Yo, Hinata. Kau memang tidak boleh menyerah!" Naruto menepuk bahu Hinata pelan. Hinata merasakan wajahnya yang kian memanas.

Apa kau sudah pernah menembaknya?" Tanya Naruto lagi. Hinata hanya membalas Naruto dengan senyum yang dipaksakan sementara ingatannya kembali pada peristiwa valentinenya yang berakhir nahas.

"baiklah Hinata. Ayo coba latihan lagi denganku. Padahal saat valentine tahun kemarin kau sudah bagus saat menyatakan cinta, tapi coklatmu malah kau lempar padaku dan kau langsung pergi. Kalau cara menembakmu seperti itu, bisa-bisa cowok yang kau tembak langsung kabur, Hinata." Naruto terus mengoceh tanpa menyadari bahwa kini dahi Hinata sudah memunculkan siku-siku empat. Pensil yang digenggam Hinata sudah patah menjadi dua bagian, efek dari genggaman tangan Hinata yang terlalu kuat karena mendengarkan ocehan Naruto yang benar-benar membuatnya jengah dan kesal setengah hidup.

"bagaimana kalau nanti sore sepulang sekolah, Hinata? Kau latihan menyatakan cinta denganku?" tawar Naruto dengan senyum lebarnya seperti biasa.

"A-aku tidak ingin latihan lagi Naruto kun. Aku ingin serius." Hinata menatap Naruto lurus, berusaha menyampaikan keinginan hatinya pada pemilik blue sapphire didepannya kini. Naruto menelan ludah melihat Hinata yang memandangnya dengan serius. Wajah Hinata yang tampak bersungguh-sungguh memenuhi bola mata blue sapphire miliknya.

"pasti Hinata. Latihan nanti aku juga pasti serius." Ujar Naruto sambil tersenyum pada Hinata sementara tangannya menepuk kepala Hinata dengan pelan.

"Nah, Hinata aku pergi dulu ya?" Naruto masih melemparkan senyum pada Hinata saat melangkah menuju kearah Kiba yang memanggilnya. Hinata diam. Mata bulatnya yang lebar mengerjap beberapa kali sehingga tampak seperti boneka yang benar-benar cute. Yang benar saja, masak Naruto masih mengajak Hinata latihan menyatakan perasaan. Aku serius Naruto! Batin Hinata sambil menghela napas panjang.

"Aku benar-benar harus bersabar. . perjuangan cintaku benar-benar berat. . " desah Hinata sambil menenggelamkan wajahnya ke kedua lengan yang ia sandarkan di atas meja. Hinata merasa agak pusing, Mungkin cukup pusing karena menghadapi Naruto yang tidak sadar-sadar juga dengan perasaan Hinata.

"Nyaa! Kau mau menembak Naruto lagi, ya?" suara Ino yang tiba-tiba membuat Hinata hampir terjatuh dari tempat duduknya.

"Aduh, Ino jangan keras-keras." sergah Hinata yang merasa malu. Untung saat itu, suasana kelas sedang ramai sehingga ucapan Ino tadi tidak sampai terdengar telinga lain selain telinga mereka sendiri tentunya.

"Um. . ya." Jawab Hinata dengan malu-malu. Pipinya menyiratkan warna merah merona yang indah. Ino hanya tersenyum melihatnya. Ino mengambil tangan Hinata dan meremasnya pelan.

"Berjuang ya, Hinata. Aku akan mendukungmu." Ucap Ino dengan lembut dan senyum yang manis.

"Iya, Hinata. Aku juga mendukungmu." Ten-ten yang baru bergabung rupanya ikut mendengarkan percakapan mereka dari tadi. Hinata tersenyum manis. Dia merasa beruntung memiliki kawan-kawan baik yang selalu menyemangatinya. Ya, meskipun Tenten dan Ino sering menggodanya, tapi mereka selalu menemani Hinata. Mendengarkan curhatan Hinata yang dari dulu gagal mengungkapkan perasaanya pada Naruto, lalu menghibur Hinata, dan mengajak Hinata melakukan sesuatu untuk melupakan kesedihannya.

"Terima kasih teman-teman." Ucap Hinata dengan tulus yang hanya dibalas anggukan dan senyum oleh Ino maupun Tenten.

Selama pelajaran berlangsung, Hinata tidak terlalu berkonsentrasi pada pelajaran. Pikirannya melayang membayangkan latihannya nanti dengan Naruto. Tidak! bagaimana caranya agar Naruto tidak menganggap itu sebagai latihan? Dan benar-benar menyadari bahwa selama ini Hinata menyimpan rasa yang lebih untuknya. Rasa yang lebih dari sekedar teman masa kecil. Rasa yang membuat Hinata merasa nyaman sekaligus berdebar-debar dalam waktu yang sama. Ah, kenapa cinta begini rumit, begitu pikir Hinata.

"TENG! TENG! TENG!" bel tanda berakhirnya pelajaran terdengar membahana di seluruh penjuru Konoha's Senior High School. Beberapa siswa sekolah elite itu sudah banyak yang melewati pintu gerbang dan berjalan kerumah masing-masing. Di kelas 2C tampak Hinata dan beberapa temannya yang masih tersisa, sibuk membereskan buku-buku dan peralatan tulis lainnya yang berserakan di meja masing-masing.

"Hinata, sudah selesai?" Tanya seorang cowok yang kini berdiri membelakangi Hinata. Tanpa menoleh pun Hinata sudah tahu siapa cowok itu. Naruto.

"Ya. Sudah. " ucap Hinata sambil tersenyum setelah ia mencangklongkan tasnya ke pundaknya.

"oke. Ayo kita latihan!" Naruto berteriak dengan semangat sementara tangan kanannya terkepal ke atas. Hinata hanya tertawa kecil melihat tingkah Naruto yang seperti anak kecil itu. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah yang tampak mulai minim siswa. Hinata berjalan menunduk sembari menenangkan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasa. Padahal, pulang bareng Naruto adalah hal yang biasa, tapi tetap saja jantungnya ini terus memacu darah lebih cepat dari biasanya saat Hinata hanya berdua dengan Naruto. Dan langkah mereka berdua pun akhirnya terhenti di sebuah taman yang berada di tengah-tengah sekolah. Taman itu sudah sepi. Hanya terdengar gemericik air yang mengalir dari sebuah kendi yang dipanggul oleh patung seorang dewi yang berada di tengah sebuah kolam. Angin musim panas berhembus pelan menggerakkan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang mekar di pinggir kolam yang di penuhi ikan Koi beraneka warna.

"Nah, Hinata. Sudah siap?"

"Um, i-iya." Hinata menjawab dengan gugup.

"Nah sekarang bayangkan aku ini adalah cowok yang kau sukai. Dan sekarang kau memanggilku untuk membicarakan sesuatu yang penting." Naruto memberi penjelasan pada Hinata. Hinnata hanya diam mendengarkan.

"Ada apa, Hinata?" Naruto bertanya dengan acting dia adalah cowok yang akan ditembak Hinata.

"Na-Naruto kun." Hinata menyebut nama Naruto dengan terbata. Ia gugup dan tidak dapat menyembunyikan warna merah yang muncul begitu saja di pipi putihnya "A-aku. Maksudku, ini bukan latihan." Hinata menatap mata Naruto. Lavender bertemu blue sapphire. Naruto diam memperhatikan Hinata yang hanya berjarak sekitar 1,5 meter didepannya.

"Naruto kun, a- aku. . aku tidak bisa lagi hanya menganggapmu sebagai teman masa kecilku, karena a-aku. . .." Dag! Dig! Dug! Jantung Hinata berdetak semakin cepat. Keringat dingin mengalir membasahi tangannya yang meremas-remas rok seragamnya. Wajahnya terasa memanas dan semburat merah menjalar sempurna menutupi seluruh permukaan kulitnya yang putih mulus.

"Aku. . ." Hinata baru akan melanjutkan kalimatnya namun terpotong oleh teriakan heboh Naruto.

"Ya, ampun, Hinata! Ternyata kau memang demam!" Naruto menempelkan tangannya pada dahi Hinata lalu menempelkannya lagi ke dahinya sendiri.

"Sudah kuduga, kau demam, Hinata. Tubuhmu panas. Dari tadi wajahmu memerah dan tanganmu berkeringat. Kau pasti tidak tahan dengan musim panas kan?" Naruto terus mengoceh sambil membandingkan suhu tubuh Hinata dengan suhu tubuhnya. Sementara itu Naruto tidak menyadari bahwa tangan Hinata kini sudah mengepal erat dengan garis siku-siku empat. Hinata menunduk hingga sebagian wajahnya tertutupi poninya. ekspressinya saat itu terlihat misterius.

"Hinata, kau tidak apa, kan?" Tanya Naruto dengan wajah blo'onnya.

"Naruto." Panggil Hinata sambil tersenyum misterius.

"Ya, ada apa Hinata?" Naruto berjalan lebih dekat kearah Hinata. Begitu Naruto sudah tepat berdiri dihadapanya, Senyum Hinata berubah menjadi sebuah seringai lebar.

"JYUUKEN.. !"

Suara teriakan Hinata yang cukup lantang rupanya memberikan berbagai macam efek di radius sekolah Konoha. Beberapa siswa yang sedang rapat di ruang OSIS tampak cengo' mencari sumber suara. Sementara itu, seorang cowok berkuncir jabrik yang tengah asyik tertidur di ruang kelas langsung terlonjak dari mejanya, menggaruk-garuk rambut jabriknya, lalu rebah lagi di atas meja. Bahkan burung-burung gagak yang biasanya ber'koak-koak' saat langit semakin merah, kini langsung diam mematung di atas dahan pohon.

Kembali ke taman, tempat Naruto dan Hinata saat ini. BRUKK! Tubuh Naruto sukses terjengkang ke tanah dengan keras, sampai debu-debu berhamburan disisi kanan kiri tubuhnya. Sementara dihadapannya, Hinata masih tetap dalam posisi kuda-kuda menyerang. Byakugan mode on diaktifkan!

"Aduh, Hinata. . kau kenapa sih..?" Naruto bertanya sambil meringis kesakitan. Tangannya mengelus-elus pinggangnya yang barusan bergesekan dengan tanah, debu, kerikil, dan teman-teman bumi lainnya. Hinata menghadiahi Naruto death glare terbaiknya sebagai jawaban pertanyaan Naruto tadi. Tatapannya horror, berbeda dengan tatapan penuh cinta yang diperlihatkannya beberapa menit yang lalu.

"Kau Tanya kenapa?" Hinata mengulang pertanyaan Naruto dengan penekanan di tiap katanya.

"Coba pikir baik-baik Naruto. Pikir dengan hati dan perasaanmu." Hinata memasang senyum manis dengan kedut kebal yang masih setia menempel di dahinya.

"Um. . . aku salah lagi ya?" Naruto seakan bertanya pada dirinya sendiri. aduh, lemot banget sih Naruto ini. masak ga' sadar-sadar juga!

"Hinata, bagaimana cara berpikir dengan perasaan? Apakah aku harus meditasi?" Naruto kembali bertanya dengan muka innocent. Posisi Naruto yang masih terjengkang kemudian berubah. Naruto duduk bersila, seolah-olah ia adalah pertapa yang melakukan ritual meditasi. Melihat Naruto yang berpose seperti itu, justru menambah kedut sebal di kepala Hinata. Sebuah botol mineral kosong sukses menimpuk kepala si rambut kuning jabrik. Naruto meringis kesakitan sementara Hinata sudah berbalik dan ngeloyor pergi.

"Cho-chotto matte, Hinata!" panggil Naruto namun Hinata tidak mengindahkannya.

"Meditasi saja disitu sampai kau jadi batu, Naruto!" teriak Hinata sarkatis, tanpa sedikitpun menoleh.

"Naruto bodoh! Bodoh! Bodoh!" batin Hinata terus mengumpat sosok laki-laki yang sudah mengecewakannya lagi. Ya, bagaimana tidak kecewa. Beberapa menit yang lalu Hinata sudah mempersiapkan mental dan kata-kata penuh perasaan ia keluarkan. Namun sebelum kata terakhir terucap, yaitu, "Aku mencintaimu." Naruto sudah memotongnya duluan dan mengira Hinata sedang dilanda demam akibat musim panas. Padahal yang membuat wajah Hinata memanas dengan pipi yang berubah semerah tomat serta tangan yang berkeringat dingin itu bukan dikarenakan oleh angin musim panas, melainkan jelas karena rasa gugup dan debaran jantungnya yang berdetak berkali-kali lebih cepat saat hanya bersama orang yang sangat dicintainya, yaitu Naruto. Tapi Naruto malah. . . ah, sudahlah. Hinata mempercepat langkahnya agar tidak terkejar oleh Naruto yang berada di belakangnya. dalam hati, Hinata merutuki kebodohan Naruto. Mengapa Naruto tidak pernah sadar bahwa Hinata bersungguh-sungguh dengan perasaannya. Seandainya cinta adalah sesuatu yang mudah datang dan pergi, kenapa Hinata harus merasa sesakit ini. kenapa harus sesakit ini saat menyadari bahwa mungkin cintanya. . . bertepuk sebelah tangan. Tanpa sadar bulir air mata menetes dari mata purple lavender indah miliknya, mengaliri pipinya yang putih mulus. Namun, Hinata mengacuhkannya dan menyekanya dengan kasar. Langkahnya semakin cepat dan ia tidak memperhatikan sekitar, sampai kemudian sesosok tubuh yang didominasi warna hitam tiba-tiba muncul begitu saja di depannya. begitu mendadak, hingga. . .

"Bruk! Tubuh kedua manusia yang berbenturan itu sama-sama terjatuh ke lantai koridor yang dingin

"Aduh." Hinata mengerang kesakitan sambil memejamkan mata. Saat mata lavendernya terbuka, dia melihat seorang cowok berambut hitam yang masih dalam keadaan duduk terjangkang memandangnya dengan datar. Wajah stoic dan mata hitamnya yang sinis itu seakan berkata, "dasar bodoh." Pada Hinata, membuat Hinata menyadari bahwa di sekitar mereka terdapat banyak kertas yang berserakan bahkan ada sebagian yang masih melayang-layang di udara.

"Ma-maaf." Ucap Hinata dengan kikuk. Wajahnya tiba-tiba memblush dengan sempurna karena malu. Hinata segera bangkit dan membereskan semua kertas yang berserakan-yang pastinya milik orang itu. Setelah semua kertas terkumpul dan tertata rapi, Hinata segera menyerahkannya pada cowok itu yang sudah berdiri tegap.

"Aku benar-benar minta maaf." Ucap Hinata sambil menunduk sementara rona merah di pipinya tidak kunjung menghilang. Cowok hitam itu menerimanya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya memandang Hinata dari ujung kaki sampai ujung rambut, dengan raut muka datar. Hinata merasa risih juga dipandangi oleh cowok bermodel rambut harajuku itu.

"Hinata!" sebuah suara yang sangat akrab membuat Hinata membalikkan tubuhnya. Seorang cowok rambut kuning jabrik berlari menuju kearahnya. Naruto. orang yang saat ini, entah kenapa tidak ingin ia lihat wajahnya. Cowok berambut hitam itu melihat perubahan ekspresi Hinata yang tiba-tiba tampak terluka. Sebulir air mata masih tampak menggenang di sudut kiri mata lavendernya. Membuatnya tampak seperti . . malaikat cantik yang sedang bersedih. Hinata membalikkan tubuhnya lagi menghadap cowok yang sudah ditabraknya tadi. Menundukkan kepala dalam-dalam sebagai tanda bahwa ia benar-benar minta maaf pada cowok itu. Setelahnya Hinata melangkah lagi tanpa menunggu Naruto. Mata onyx cowok itu masih menangkap sosok tubuh mungil Hinata yang menjauh darinya, sesungging senyum misterius menghiasi bibirnya yang pucat. "Manis. . " gumamnya.

TBC

Would you like to Review and keep reading my fic?

I hope you do ^-^