WARNING: fanfic ini dibuat berdasarkan riset yang abal-abal dan pikiran saya yang sangat terobsesi dengan benda alam gaib /slapped.

Disclaimer: I am not, in any way, take any profit from the story and that all creative rights to the characters belong to their original creator(s). Peter Pan © J. M. Barrie & Universal Studios and Coloumbia Pictures.

AS STARK AS OUR REMINISCENCE

-azureveur

© 2011

.

.

.

Chapter 1: The Missing Boy

.

.

.

Untuk suatu alasan, mungkin Wendy Darling perlu menghela napas. Perasaannya penat. Pandangannya kosong, memperhatikan kepulan asap yang bersuaka di tepi cangkir. Puntung rokok itu diapit di antara bibir, sementara tangannya teracung, menggenggam pemantik.

Asap begitu cepat menari-nari; berjulai perak.

Manik mata kelabunya terpancang, memasung kerai jendela. Sekonyong-konyong ia tersentak, kala si kecil Constance berlari menerobos kerumunan massa. Madame Julie nampak terkejut—mendapati keliman roknya ditarik seseorang.

Wendy tertawa sumringah, lekas-lekas meletakkan puntung rokoknya di atas asbak. "Conney, apa yang kau lakukan di sini?" ucapnya, sembari menarik gadis kecil itu menjauhi rok Madame Julie. Constance tersipu-sipu. Tangan kanannya menggenggam erat sebentuk boneka peri.

"Je suis désolé1, Madame." Wendy membungkuk kecil. Meminta maaf. Dengan menyesal, diseretnya Constance ke lorong pintu keluar.

"Bagaimana kau dapat kemari?" bisiknya, gusar.

Gadis mungil itu menunjuk tirai rajutan yang membatasi jendela. John di luar sana, berdiri—melambai di pelataran jalan. Mengenakan duster hitam, dengan leher dibebat syal panjang.

Senyuman rindu, sekali itu tersungging di sudut bibir Wendy. Tak banyak bicara, ia mengayuh langkah, mendorong daun pintu, dan membiarkan Constance mengekorinya dari belakang.

"John! Bagaimana liburanmu?" Dekapan itu begitu erat, mengempas tubuhnya.

"Sangat menyenangkan, Wendy. Namun sayangnya, Conney terlampau rindu padamu." Tatapannya bergulir, menatap gadis kenesnya yang tengah mematut-matut rambut si peri.

"Benarkah, Conney?" tanya Wendy dengan mata berbinar-binar, membungkuk ke arah Constance.

Gadis itu tertawa. Kikihannya begitu riang. "Aku ingin Teddy, Aunt Wendy," ujarnya.

"Teddy? Lalu bagaimana dengan boneka barumu itu?" Wendy menunjuk boneka dalam rangkupan kemenakan perempuannya.

"Teddy! Aku mau Teddy!" racaunya, menarik-narik ujung jari Wendy.

"Baiklah. Bisa kutitip Conney padamu?" sela John, memotong perdebatan mereka.

"Tentu saja."

John mengecup ubun-ubun Constance, lalu merapatkan kerah duster-nyayang menganga.

"Ucapkan goodbye untuk Daddy, Conney," bujuk Wendy, separuh melambai.

John balas menatap. Pria itu berbalik dan menghilang di antara kumparan pedestrian di sisi luar Hyde Park.

"Well, apa yang hendak kita lakukan hari ini, Conney?" sergah Wendy, bersemangat.

Constance melompat-lompat kegirangan. "Teddy!" pekiknya.

"Baiklah. Kita akan mengunjungi Teddy." Wendy tak bermaksud menipu, namun satu-satunya toko mainan terdekat adalah gerai tua milik Uncle Jones. Ia ingat pertama kali Tuan George membelikan John sekantung gundu. Mungkin mereka dapat menemukan lemari Teddy di sana.

Musim dingin hampir tiba, persis seperti tujuh belas tahun lalu—kala dirinya yang berusia tiga belas tahun hendak beranjak dewasa. Namun kini, Wendy hanya dapat meratapi nasibnya yang tak ubahnya Aunt Millicent: wanita tua, penyendiri, dan terobsesi pada roman picisan.

Kerabatnya tak pernah mengimbaunya untuk menikah. Wendy masih menunggu seseorang. Begitupun John yang telah lama merindukan Tiger Lily, tapi sayang, semua orang menganggap bahwa anekdot itu tak ubahnya kisah negeri impian.

Tidak ada Neverland di ujung pelangi. Tak ada Hook—si bajak laut—ataupun gerombolan mermaid yang berpesta di pinggir laguna.

"Aunt Wendy?" Lagi-lagi si kecil Constance berungut.

"Yes, Conney Darling." Wendy hampir saja melupakan bahwa genta di pucuk jalan telah berdentang. Para wanita sibuk menyongsong anak-anak mereka, menyusuri zebra cross.

Bayu musim dingin berdesir meletup-letup. Membuat Wendy berjalan agak meringkuk, berlari ke pojok gerai kelontong. "Conney, apa kau merasa dingin?" tanya Wendy, membenahi scraf merah jambu yang melingkari leher gadis itu.

Constance mengangguk pelan. "Apakah rumah Teddy masih jauh?"

Wendy nampak bersemburat. "Tidak, Dear. Sebentar lagi kita akan sampai." Ia mengulurkan tangannya, sejajar dengan telapak tangan Constance yang teracung.

Satu langkah. Dua langkah. Dan kanopi jelaga milik gerai Tuan Jones pun terlihat di pelataran jalan. "Ayo, Conney lebih cepat!" pekik Wendy, menggebu-gebu.

Constance berlari beriringan. Tertawa-tawa, sembari mendaratkan sepasang sepatu loafer-nya di atas permadani biru. Kedua kerai pintu terbuka. Sayup-sayup keramaian terdengar ingar-bingar, memekakkan telinga.

"Kita sudah sampai, Conney. Mari kita cari tempat tinggal Teddy."

Constance tak lagi mendengar pesan sang bibi. Manik safirnya telah berbinar. Bergelimpung bersama siluet lemari mainan. Kakinya menandak-nandak, berlari—tak mengacuhkan pekikan Wendy.

"Conney!"

Constance telah raib. Entah mungkin ia tersesat atau pun mengenali rumah Tuan Teddy di tempat yang tepat.

"Miss Darling?"

Wendy terkesiap. Tak diduga namanya dipanggil dari balik konter. Seorang pria berusia senja menyeringai ramah.

"O, Sir …" Alis Wendy berjingkat, membusur.

"Aku senang kau bertandang kemari. Rasanya baru kemarin aku mengenalimu sebagai gadis muda, Wendy. Dan kini, tinggimu bahkan sudah menjulang seperti para wanita ningrat," tukas Tuan Jones.

Wendy terkekeh.

Sayang, sapaan singkat itu lekas berlalu. Pengunjung anyar terlanjur mendorong daun pintu. "James, aku akan menunggumu di konter itu. Jangan terlalu lama memilih," ujarnya, membiarkan seorang anak laki-laki berlari ke arah lajur lemari pajang.

Wendy kembali terdiam. Jemarinya masih sibuk mencukil-cukil bidal tua yang terpajang di pinggir mesin kasir.

"Morning, Tuan Jones," sapa sang pemuda, menanggalkan topi fedora-nya.

Wendy tak ayal mengerling.

"Moring, Mr—"

"—Peter?" Mata Wendy membeliak, tatkala mengenali wajah pemuda itu.

Tuan Jones terlonjak, mendengar Wendy yang memekik terlalu keras. Khalayak mulai mengira dirinya sinting. Namun, pemuda itu malah menatapnya dengan pandangan tak biasa.

"Yes?" jawabnya, gugup. "Apa aku mengenalmu, Miss?"

Napas Wendy tercekat. Hatinya bagai bertabur bunga. "Peter Pan?" tandas Wendy, tanpa rasa ragu.

Tak ada suara. Semua kehebohan itu bak menyusut menjadi sebuah kerutan yang tertambat pada dahi sang pemuda.

"Kau mengenal Miss Wendy, Tuan Roland?" tanya Tuan Jones, menatap gusar. Peter tak mengangguk.

"Sorry, Miss. Aku mungkin mengenalmu di kehidupan sebelumnya, tetapi namaku bukan Peter Pan." Ia menekur, sembari menempelkan topi pendek itu di dadanya—sebagai tanda hormat.

Mulut Wendy masih menganga. Apa ia tengah berkhayal?

Memang tak mungkin menemukan seorang pemuda yang mirip dengan bocah laki-laki cinta pertamanya dulu, tetapi wajah itu—Peter seperti terlahir kembali. Sebagai seorang pemuda tampan yang berbelahan dagu memesona dan wangi tubuh yang mirip pria dewasa.

"O, sorry Tuan Roland." Wendy benar-benar membungkuk. Tak sadar beberapa butir air matanya jatuh.

Peter menatapnya salah tingkah. Ia tak menyangka Wendy akan menangis seketika itu. "Miss, apa kau baik-baik saja?" ujarnya, berjalan mendekat.

Wanita itu gegas mengelak.

"Tidak. Maafkan aku, Tuan," tukasnya, berjalan terhuyung. Menyeret langkah ke arah peti-peti penyimpanan barang.

.

.

.

Gedung itu tak dihuni seorang diri, Adeline Foster sengaja meluangkan kamar kosong di paviliunnya untuk menampung kawanan orang asing. Sejak kepergian adik lelakinya—Jonathan, ia membiarkan segala hartanya berduli di tengah rembulan. Dan kini, apa yang ia lakukan tak lebih dari sebuah kesia-siaan.

Saban hari, segelas wine dari perkebunan terbaik mewarnai meja pualam di ruang hidang. Ditambah dengan soneta indah dari petikan harpa. Piringan hitam itu selalu terputar, tak pernah berhenti kendati malam kian kelam dan dunianya berhenti berkumpar.

"Kau sudah pulang?" tanya Adeline, terkejut di depan pintu.

"Kau rupanya Adele," sapa seseorang, sembari menanggalkan cloak beledunya, tergantung di tonggak kayu.

"Ke mana saja kau seharian ini, Peter?"

"Seperti biasa, aku melakukan kunjungan ke St. Dominic," ujarnya, melengos ke arah ruang tengah.

Api nampak telah berkobar di tungku perapian. Peter gegas menarik onggokan surat kabar dari ceruk birai tangga. "Ada apa kabar terbaru apa hari ini?" gumamnya.

Adele tak menjawab. Tubuhnya berlenggak-lenggok layaknya seorang putri, mengikuti alunan musik yang mendayu.

Seluruh antariksa seolah miliknya. Tak ada rembang purnama di awal Desember, hanya ada sisa-sisa roman Thanksgiving yang terselip di antara semarak menjelang pesta Natal.

"Pete!" rapal Christopher, melirik pelik di sela kantuk.

"Hey, Chris. Kau baru saja tiba?"

Seluruh penghuni paviliun tahu, Christopher Lawrence—sang pujangga muda—baru saja mendarat di tanah Britania, setelah sebelumnya terdampar di negeri rempah.

"Iya, sekitar pukul tiga dini hari."

"O, mengapa kau harus memaksakan diri untuk kembali? Bukannya kau memiliki keluarga di Ipswisch?"

"Entahlah, kurasa mereka takkan mengizinkanku untuk tinggal di sana." Ia berjalan gontai ke arah meja refektori, lalu menegak segelas susu di sambil kudapan senja.

"Bicara soal keluarga. Setidaknya kau bersyukur mengetahui tempat keluargamu berada, Chris," Peter kembali melirik deretan kata pada lembar surat kabarnya. "Tadi siang aku baru bertemu seseorang, kurasa ia mengenaliku."

Seluruh mata tertuju padanya—khususnya Adeline yang tengah tertelungkup di atas leretan tuts piano. Tubuh ramping itu secepat kilat menegak dan menjatuhkan diri di permukaan sofa.

"Seseorang?" Manik zamrudnya berpendar. Ditambah dengan kedutan tipis di dahi.

"Benar. Seorang wanita. Entah siapa dirinya, namun ia salah mengenaliku dengan panggilan Peter Pan." Pemuda itu bukam, lalu memandang langit utara dengan raut sentimentil. Tak ada secercah kepuasan yang tergurat di sana, hanya tersirat sekelumit rahasia dari kehidupan yang mungkin pernah menjadi miliknya.

"O, kurasa ia salah mengenali orang. Namamu 'kan bukan Peter Pan," tandas Adeline, menyadarkan kepalanya di bahu Peter.

"Mungkin saja," ujar pemuda itu, mengedik. "Tapi apakah kau percaya pada negeri dongeng?"

Wanita itu mendengus. "Dongeng? Bodoh! Tak ada yang percaya pada anekdot konyol itu di usiamu, Pete." Ia lekas terlonjak dengan mata membeliak.

"Hey! Mengapa kau marah? Aku 'kan hanya bertanya. Tak bermaksud memaksamu untuk percaya."

"Terserah katamu. Namun, aku tak ingin kau membahas soal dongeng itu."

"Baiklah. Tapi aku tahu, Adele. Kau menyembunyikan suatu hal dariku. Dari semuanya. Aku tidak sepandir yang kau kira."

Adeline tak lagi berdebat. Wajahnya berpaling, disusul sepasang kaki mungilnya yang beranjak ke arah mud room. "Giliranmu untuk menjaga paviliun. Aku hendak pergi, jangan tunggu aku," ucapnya datar.

Peter hanya sanggup menghela napas. Membiarkan bunyi entakan nyaring itu membahana di seantero ruang.

Dari ujung dapur, Christopher menatapnya. "Hey, Bung. Kau jangan terlalu sering membuatnya marah." Ia terkekeh. Meniup-niup cangkir teh camomile-nya yang dikeriapi uap.

"Aku tak membuatnya marah," sangkal Peter, memutar tubuh. Menghampiri setoples ginger cookies yang terjajar di lemari penyimpanan.

"Aku mengerti apa yang hendak kau bela, namun kurasa, kau nampak tertarik pada gadis asing itu."

Gerakan Peter terhenti. Jarum jam seolah terputar kembali ke saat di mana ia menyebrangi setapak bersalju bersama James O'Connell. Anak yatim itu terus saja berceloteh tanpa henti. Entah mengenai masa lalunya begitu mengharukan atau pun kejadian konyol lainnya—yang tak sepatutnya diceritakan.

Peter tak pernah mengira bahwa penampilan bersahaja itu bisa memikatnya. Seorang wanita tanpa nama, hidup dalam kenangan masa lalu yang tak pernah dapat ia lupakan, mungkin. Namun, lekuk wajah itu laksana terpatri mati di dasar pikirannya. Membuat ia selalu mengingat senyuman salah tingkah yang mencuat di bibirnya.

"Saranku, sebaiknya kau melupakannya. Kita tidak dapat memprediksi kapan ajalnya jika kau tetap terlena dengan gadis itu. Entah Adele atau dirimu sendiri yang membuatnya kehilangan reputasi dan para rekan sejawat."

Kalimat itu ada benarnya. Christopher tak hanya berwejang—atau sekadar membela saudara sepupunya di hadapan Peter. Bukan kodrat mereka untuk dicintai atau saling mencinta. Di antara mereka, hanya dirinya seorang yang memiliki kehidupan bebas. Tanpa tuntutan alpha dan beta, sedang Amerie dan Aiden memiliki hubungan kekerabatan yang tak terdefinisi. Saudara sekandung? Mungkin, lama sebelum mereka saling bercumbu di bawah siluet lampu jalan—namun, fakta itu terlanjur menjadi berita usang setelah keduanya mengaku tentang talian imprint tak kasatmata.

"Entahlah, Chris. Aku tak pernah mengecap rasa aneh itu sebelumnya. Seperti ada ruang hampa pada masa lalu." Bunyi kunyahan itu berkeruk-keruk di mulut Peter.

Chris masih menggenggam gelas rampingnya. Bibirnya menyerngai. "Aku tahu perasaan itu, tetapi aku berbicara soal keselamatan bukan meluhurkan prioritas cinta masa lalu."

Benarkah Peter mencintainya? Lalu, bagaimana ia dapat memetakan perasaan itu terhadap Adeline? Tak ada seorang pun yang tahu apakah hati Peter sungguh terketuk.

.

.

.

Malam begitu kelam. Ranting-ranting berbonggol kayu mulai berderak. Mendendangkan simpang-siur bayu penghulu musim dingin. Hanya berbalut mantel kasmir biru, Wendy Darling memberanikan diri. Melongokkan kepalanya di jendela. Menatap pemandangan riuh yang telah lama tak berkelebat di korena matanya.

Apakah mereka terlalu lama melupakan Peter Pan?

Agaknya baru kemarin kapal Hook tertambat di sisi luar jendela. Keenam anggota The Lost Boys satu per satu melompat dari pemburit kapal dan bercengkerama bersama Tuan Geogre—layaknya ayah baru mereka.

Wendy tak pernah lupa, bagaimana kebahagiaan menggelimangi raut Aunt Millicent. Slightly yang bertingkah layaknya bocah buangan, tak menyangka akan mendapatkan ibu barunya malam itu. Aunt Millicent terharu, bahkan ia berteriak kesetanan seperti memenangkan undian lotre tahunan.

Tanpa disadari bibir Wendy meringis. Menertawakan kejadian konyol sekaligus memilukan itu. Petang terakhir di tengah bulan Desember adalah rembang purnama, di mana sebuah lingkaran raksasa terukir pada petala langit. Dan terakhir kalinya ia menatap manis Peter di bawah siluet keperakan. Hatinya seolah dirajam rindu.

"Wendy?"

Wanita itu hampir saja terjungkal dari birai jendela.

Nyatanya, Michael Darling telah berhasil merangsek masuk ke kamar kakak perempuannya. Tubuh jangkungnya terhuyung. Berusaha menyeimbangkan diri, sembari membawa pinggan tembaga bertatahkan teko dan cangkir porselin.

"O, hello Michael," ucap Wendy, agak terkejut. "Apa itu untukku?" Lehernya berjengit.

Michael menyeringai tipis. Dengan cekatan tangan gagah itu meletakkan pinggan di atas meja. Bunyi carakan teh berlindap-lindap, mengisi kesenjangan malam. Wendy masih terlena, memandangi surai pucat bulan yang terlukis di angkasa.

"Kau masih ingat Peter, Michael?" tanya Wendy, menerima sugguhan cangkir teh dari adiknya.

"Peter Pan?" Michael separuh menyahut. Wajahnya masih tertunduk, sibuk memerciki permukaan teh dengan herba penangkal dedemit.

"Iya. Peter Pan. Apakah kau masih ingat padanya?"

"Entahlah. Kukira itu hanya anekdot belaka. Bukankah kau sering menceritakannya semasa dulu?"

Wendy menghela napas panjang. "Memang. Tetapi ia pernah—"

"—hentikan itu, Wen. Kurasa kau hanya bermimpi. Sebuah dongeng hanyalah dongeng."

"Hanya dongeng?" Wendy tak ayal berkacak pinggang. Alisnya menikung. "Lalu bagaimana dengan kisah gaib dan papan oujia-mu. Bisakah kita menyebutnya hanya mitos?"

"Jelas semua itu berbeda. Mereka lebih menganggap bahwa mitos gaib adalah sebuah kultur urban."

Wendy tak lagi menjawab. Emosinya terlanjur mencelos. Dan itu bukan 'lah permulaan yang cemerlang untuk membahas konfrontasi antara negeri dongeng dan alam gaib.

"Bicara soal mitos. Apa kau mendengar bahwa London tengah mengalami teror serigala?" tanya Michael, menyesap teh herba di cangkirnya.

Wendy bersikap acuh tak acuh.

Serigala bukanlah sesuatu yang harafiah bagi penduduk London. Hutan mereka berada di tenggara—dekat Essex, lalu apa yang perlu ditakutkan. Takkan ada seekor serigala yang mungkin mengusik peradaan manusia di Kensington Garden.

"Hey, Wen! Apa kau mendengarkanku?" gerung Michael, menatap sinis.

"Entahlah, aku tak ingin menghabiskan malam ini dengan mendengarkan kisah horor klasikmu."

"Itu bukan sekadar cerita horor, Wendy. Mereka bahkan memang nyata," ucap Michael, menggebu-gebu. "Ini! Kau harus minum ini sekarang." Tak banyak bicara Michael lekas-lekas menaburkan kelopak ungu ke dalam cangkir saudara perempuannya.

"Apa yang kau lakukan, Mike?" Wanita itu beringsut menjauh.

"Bukan hal yang menakutkan. Aku hanya menaburkan aconitum."2

"A-aco?" Wendy berusaha mengeja, namun sepertinya kata itu terdengar seperti kajian taksonomi.

"Aconitum. Wanginya tak jauh beda dengan rooibos. Kau pasti menyukainya."

"Tapi… untuk apa kau melakukan itu?" Wendy nampak gusar, melirik-lirik ke dalam teh pekatnya.

"Untuk berjaga-jaga. Terhadap serigala."

Wendy mendengus. "Tak ada serigala di Kensington Garden. Kau tahu itu 'kan?"

"Bukan hanya serigala biasa, Wendy. Ini perkara werewolf dan komplotannya."

Entah apa yang terbersit di kepala Michael. Ia mulai berperangai aneh semenjak menghadiri sebuah camp berburu. Berbulan-bulan lamanya mereka perpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, layaknya penduduk nomaden. Dan kini, Michael seperti mendedikasikan separuh jalan hidupnya untuk meneliti makhluk gaib.

.

.

.

Adeline Foster tak kunjung datang sejak semalam. Pintu kayu paviliun masih terkunci rapat. Dan Peter Roland mulai kelimpungan, tak mendapati selaksa aroma mawar tertoreh di sisi samping tempat tidurnya.

Wanita itu belum pulang. Entah ke mana perginya. Apakah ia sefrustasi itu sampai-sampai ia melupakan alamat paviliunnya untuk sekadar bertandang?

"Peter?" tanpa dibayangi deritan, pintu kamarnya sekonyong-konyong terbuka. Amerie menyembulkan kepala.

"Morning, Amerie," erangnya, masih terbelenggu kesunyian fajar.

"Sorry, tak sengaja membangunkanmu. Ke mana Adele?" tanyanya, meringis.

Peter hanya mengedik. Manik biru lapiz lazuli-nya mengerjap. Membiarkan seluruh inderanya memeka.

"Bukan aromanya yang biasa," edus Peter, tersenyum kecut. "Bicara soal Adele, untuk apa kau mencarinya?"

"Aku hanya ingin bertanya mengenai malapetaka yang terjadi di kota." Amerie mendorong kuat-kuat daun pintu, sambil menyeruak masuk ke dalam kamar.

"Apa yang terjadi?" desah Peter, menyalang.

"Perkara pembunuhan."

Peter berusaha meyakinkan diri bahwa itu bukan ulahnya. Bahkan bukan ulah salah satu dari mereka. "Dan—"

"—kuharap, itu bukan Adele," potong Amerie lekas-lekas.

Peter masih membungkam di atas tilam. Kancing kemejanya tertaut asal-asalan dengan wajah menengadah ke sisi tirai. Tidak seharusnya ia mendengarkan kabar yang menggundahkan di pagi-pagi buta.

Raibnya Adeline tak dapat serta-merta menjadi acuan untuk menentukan sang pembunuh. Ia bukan pengidap lycanthropy3 kelas amatir.

"Sebaiknya aku memeriksa keadaan," ujar Peter, gegas membenahi pakaian. Kakinya melonjak turun dari atas tempat tidur, dan menyambar coat panjangnya di pasak penggantung.

"Ingin English Breakfast tea?" tawar Amerie, mencuatkan seulas senyum.

"Sorry, Amerie. Kurasa aku tak dapat makan bersama." Pria itu lekas menyelinap ke arah lorong panjang.

.

.

.

to be continued…

.

.

.

1 (Bahasa Perancis) maaf

2 sejenis tanaman herba yang sering disebut 'wolfsbane', yang menurut mitos dalam melemahkan gejala lycanthropy

3 kekuatan atau kutukan manusia untuk bisa bertransformasi menjadi werewolf