Everything Has Changed
Genre : Horror, Adventure, and Gore
Main Cast : Naruto U., Sakura H., Sasuke U.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
.
.
.
.
.
.
DRAP-DRAP-DRAP-DRAP. . . .
Terdengar derap suara langkah kaki beberapa remaja yang menggema di lorong sebuah bangunan. Mereka semua tampak memakai seragam sekolah Konoha Gakuen. Keempat remaja itu entah mengapa terlihat agak terburu-buru seperti sedang terkejar oleh sesuatu. Dan jika diperhatikan dengan seksama, ada seseorang yang terluka di antara mereka. Lebih tepatnya, tengah terluka dengan cukup parah.
Ya, terdapat banyak luka di sekujur tangan dan bahu kirinya. Wajahnya pucat akibat begitu banyak darah yang terus mengucur keluar melalui luka-luka yang ia derita. Seragam yang tadinya putih bersih, kini berubah warna menjadi merah karena terkotori oleh noda darah yang masih basah. Walau telah dipapah oleh siswi berambut merah jambu sebahu di sebelahnya, tetap saja sangat susah baginya untuk melangkah.
Tidak lama berselang, gadis yang tengah terluka berambut merah tadi jatuh dengan tak sadarkan diri. Membuat siswi berambut Soft Pink yang sedang memapah gadis tersebut sontak terkejut dan memperlihatkan raut khawatir.
"Kariiinn...!" Pekiknya dengan suara yang cukup keras.
Mendengar siswi yang bernama Haruno Sakura itu berteriak, 2 siswa yang berada di dekat Sakura langsung menghentikan langkah kaki mereka.
Sakura mencoba mengembalikan kesadaran Karin dengan menepuk-nepuk pelan pipi putihnya dengan sesekali memanggil-manggil nama sang pemilik tubuh tersebut. Namun sayang, usahanya tak kunjung berhasil.
Melihat pemandangan yang ada di hadapannya saat ini, membuat pemuda berambut raven berwarna hitam kebiruan mengulurkan satu tangannya untuk memegang pundak Sakura.
"Sudahlah, Sakura..." Kata pemuda itu dengan ekspresi wajah yang cukup datar.
"Tapi... Tapi Sasuke-kun, kita tidak bisa meninggalkan Karin begitu saja disini-"
Kalimat gadis bernama lengkap Haruno Sakura itu terhenti karena kini seorang pemuda berambut kuning tiba-tiba bersuara tepat di samping gendang telinganya.
"Nadinya berhenti berdenyut... Kita tak bisa melakukan apa pun untuknya sekarang." Gumam Naruto sembari memejamkan kedua mata indah biru miliknya.
Tangan kanannya terlihat memegang leher gadis yang bernama Karin itu. Kata-kata yang keluar dari mulut pemuda berambut kuning rancung di sampingnya sungguh membuat hati Sakura bagai tertusuk oleh sebuah jarum tajam. Membuat sepasang iris hijau matanya kini berkaca-kaca karena mengetahui bahwa ia tak bisa menolong nyawa sahabat baiknya. Sekejam ini kah dunia baru mereka?. Siapa yang tahu..
"Apa yang dikatakan Naruto benar, kita tidak bisa melakukan apapun untuk menolongnya."
Pemuda berambut raven yang bernama Uchiha Sasuke, juga berusaha meyakinkan Sakura. Di saat-saat terdesak seperti ini memang dia harus secepatnya melakukan sesuatu agar mereka tidak banyak membuang-buang waktu dengan percuma. Karena di setiap detik yang bergulir, bahaya semakin mendekati mereka.
Pemuda berparas tampan itu berusaha membaca situasi yang sebenarnya tidak sedang berpihak kepada mereka. Ia tahu jika perkataan Naruto itu benar. Walau Karin adalah sepupu dari Naruto sendiri, namun pemuda berambut kuning tersebut tetap bersikap realistis dengan keadaan yang tengah mereka alami saat ini.
Untuk sekarang, mereka tidak bisa berbuat banyak. Karena situasi yang berkata seperti itu, mau tak mau Sakura harus setuju pada pendapat kedua pemuda di dekatnya. Dan menyadari bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa pun untuk menolong Karin
"Kuso..."
Terdengar umpatan pelan dari Naruto.
Menatap kesal ke arah lorong koridor sekolah yang belum lama mereka lewati tadi.
Naruto tidak bisa menyembunyikan suara gemelatuk gigi yang mengatup erat. Ekspresinya sangat kentara bila ia benar-benar kesal dan bercampur dengan sensasi tegang. Mata biru langitnya saat ini sedang memandang was-was mengingat bahaya yang semakin lama semakin mendekati mereka.
"Ayo! Kita tak punya banyak waktu lagi. Kita harus segera ke ruang guru secepatnya." Naruto kembali mengingatkan rencana awal mereka yang kini hanya bertiga, untuk meminta penjelasan apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada para guru.
Tanpa terasa genggaman di tongkat kayu yang ia pegang untuk dijadikan sebuah senjata makin mengerat. Tragedi mengerikan seperti ini memang perlu penjelasan yang lebih lanjut, begitu pikirnya. Karena ia baru saja kehilangan nyawa Karin yang tidak lain adalah sepupunya sendiri akibat kekacauan misterius yang baru saja terjadi.
Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa ia bisa kehilangan nyawanya sendiri juga.
Sasuke yang juga melihat apa yang Naruto lihat di ujung lorong sana tampaknya membuat kedua alis matanya mengerut tajam. Raut wajahnya mengeras seketika.
'Mereka datang.' Pikirnya dalam hati.
Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, Sasuke segera menarik pergelangan tangan Sakura untuk cepat berdiri. Sakura hanya menurut saja saat kekasihnya tersebut menggandeng tangannya, atau lebih tepatnya, sedang menyeret Sakura ke arah rute yang akan mereka lalui untuk segera sampai ke ruang para guru SMA Konoha Gakuen.
Berlari adalah pilihan yang tepat untuk memangkas waktu sesingkat mungkin agar bisa segera sampai pada tempat yang dituju. Itulah apa yang ada di dalam kepala Sasuke yang saat ini menyeret tangan Sakura untuk mengikutinya. Mereka berdua berlari terlebih dahulu dan meninggalkan sosok Naruto yang masih terdiam.
'. . . . . .'
Tidak ada kata yang bisa Naruto ungkapkan ketika melihat jasad sepupunya yang kini tergolek lemah bersimbah darah. Ia hanya diam berdiri di depan tubuh Karin yang sudah tidak lagi bernyawa.
Tidak lama setelah Sasuke dan Sakura pergi, Karin yang tergeletak di lantai dekat loker sekolah tiba-tiba bergerak secara misterius. Tangan gadis yang sudah mati ini tiba-tiba memegang salah satu kaki Naruto yang tidak begitu jauh darinya.
Naruto melihat jasad Karin yang kembali bergerak dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa dijelaskan.
Ada kemarahan...
Ada juga kesedihan...
Naruto hanya menatap kosong sosok Karin berusaha mendekati dirinya. Melihat jasad seorang gadis berambut merah yang kini kembali bergerak dengan suara-suara parau yang keluar dari tenggorokannya.
"Maaf... Karin." Kata pemuda itu pelan bersama dengan air mata yang menggenang di sudut pelupuk matanya.
Naruto mengangkat tongkat kayu yang sedari tadi ia genggam. Memegangnya menggunakan kedua tangannya dengan begitu erat. Mengangkatnya setinggi kepalanya sembari menatap sosok Karin yang telah berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.
BUUAAGGHH. . . .
Suara tongkat kayu yang beradu dengan kepala seseorang terdengar menggema di seluruh sudut lorong koridor sekolah.
"Maaf..."
BUUAAGGHH. . .
"Maafkan aku..."
BUAAGGHHK. . .
Naruto terus-menerus menghujami kepala gadis itu pukulan keras menggunakan tongkat kayu yang ia genggam. Tidak henti-hentinya ia menggumam kata maaf setiap kali mengayunkan benda tersebut ke arah kepala Karin.
Naruto berhenti menggerakkan kedua tangannya saat melihat jasad gadis yang telah mati itu berhenti bergerak. Darah yang berwarna merah menggenang di permukaan lantai koridor sekolah yang putih. Menyisakan tubuh seorang siswi dengan kepala dipenuhi dengan darah.
Pandangan Naruto berpaling ke pada gerombolan para mayat dari murid-murid yang entah mengapa kembali bangkit dan bergerak di lorong koridor sekolah yang baru beberapa saat tadi ia lalui.
"Apa sebenarnya semua ini..." Gumam Naruto pelan saat menatap para murid yang saling memakan jasad murid yang lain.
Pandangannya begitu horror memandang mereka yang saling membunuh dan memangsa satu sama lain. Dan sekolah di mana ia berada saat ini, telah menjadi sebuah sekolah kematian yang mengerikan.
.
.
.
.
.
.
.
- Everything Has Changed -
.
.
.
.
.
.
.
"Ayo cepatlah Chouji!"
Terlihat seorang siswi berambut hitam sebahu sedang menaiki tangga sekolah yang menuju ke lantai 2 di gedung utama Konoha Gakuen. Sepertinya ia sedang terburu-buru sambil sesekali membetulkan letak kacamata berlengan biru yang ia pakai.
Tepat di belakangnya, seorang siswa berperawakan gendut mengikuti siswi tersebut dengan menghela nafas berat. Mempunyai tubuh yang seperti itu memang sangat menyulitkan untuk diajak banyak bergerak.
Setelah berlarian menghindari para murid yang tiba-tiba menjadi begitu brutal dan kanibal tanpa ada alasan yang jelas, cukup menguras banyak tenaga pemuda dengan nama Akimichi Chouji itu. Walau begitu, dirinya tetap tidak bisa berhenti sejenak untuk beristirahat bila memang ia masih ingin tetap hidup.
"Baiklah-baiklah... Aku akan lebih cepat sedikit." Ucapnya dengan wajah kelelahan.
"Hahh... kau ini." Sahut gadis berkacamata tadi yang tidak habis pikir dengan salah satu temannya itu.
'Lebih cepat sedikitkatanya? Dan juga kenapa harus aku yang bersama si gendut ini?!' Rutuknya dalam hati mengoceh pada kenyataan yang sedang terjadi.
Siswi tersebut hanya bisa menghela nafas karena ketidak sigapan teman sekelasnya itu untuk menyelamatkan diri.
"Toloong! Tolong aku- kyaaa..."
"Ti-Tidak! Jangan, jangan, jangaaann!"
Di hampir seluruh area sekolah yang begitu besar ini, selalu saja terdengar jeritan-jeritan para murid yang masih hidup. Walau tidak akan ada yang tersisa lagi dari mereka nantinya.
'Saling membunuh dan memakan satu sama lain. Kejadian macam apa ini...'
Sejenak siswi berkacamata tersebut menoleh kebelakang saat teriakan demi teriakan menggema di lorong-lorong koridor yang baru mereka lalui. Pikirannya benar-benar dibuat kacau hari ini. Setelah melihat langsung insiden yang baru saja terjadi di gerbang sekolah, dirinya seolah tidak dapat berpikir jernih untuk melihat sebuah gambaran penyebab kejadian berdarah yang tengah mereka semua alami.
Ia terdiam berdiri dan terus berpikir. Tetapi di detik berikutnya sebuah suara seseorang memecah konsentrasinya.
"Ano.. Sitri-san.. kenapa kita berlarian seperti ini?."
Sambil berlari menyusuri anak tangga, Chouji mencoba bertanya pada gadis yang ada di depannya. Menangkap suatu kejanggalan di dalam pikirannya, Merasa aneh saja, beberapa siswa yang selamat memilih menetap atau lebih tepatnya bersembunyi di ruang kelas. Berbanding terbalik dengan mereka saat ini.
"Hm..?" Sahut gadis tersebut.
"Kemana kita akan pergi?" Tanya Chouji yang masih belum mengetahui apa yang direncanakan gadis tersebut.
"Kita akan pergi ke lantai dua." Siswi itu menjawab singkat.
"Lantai dua? Lalu apa yang akan kita lakukan setelah itu?" Merasa bingung, Chouji bertanya kembali pada teman sekelasnya itu.
"Kita akan pergi ke gedung sebelah, lebih tepatnya, kita akan pergi ke tempat latihan kendo."
Mendengar jawaban itu, Chouji memilih untuk diam. Ia memang tidak suka banyak berpikir dan lebih memilih makan kripik kentang ketimbang memikirkan sesuatu yang ia tidak mengerti. Ia merasa itu membuatnya lebih baik.
"Dengar, mungkin di sana kita bisa dapatkan sesuatu yang bisa kita gunakan sebagai senjata. Karena berdiam diri di dalam kelas dan menunggu untuk digerogoti hidup-hidup adalah pilihan yang buruk." Ungkapnya ketika mencoba menjelaskan kepada Chouji apa yang saat ini ada di kepalanya.
"Tapi menurutku kita akan lebih aman jika kita tetap berada di dalam kelas dan mengunci pintunya." Kata Chouji yang sepertinya sedikit berbeda pendapat.
"Sudah terlambat untuk menutup dan mengunci pintunya bila ada seseorang di antara mereka yang ada di dalam kelas telah tergigit, bukan? Sekali aku tidak mau ya tidak mau." Jawab Gadis tersebut yang tetap berdiri dengan pendiriannya sendiri.
"Meskipun bila Namikaze Naruto juga ada disana?" Sahut Chouji ingin mengatakan apa yang terlintas di pikirannya.
BLUSH. . .
Sontak perkataan Chouji membuat siswi berkacamata yang bernama Sona Sitri tersebut merona seketika.
"A-A-Apa yang kau maksudmu?!"
Sona langsung menjadi salah tingkah saat mendengar kalimat itu. Walaupun Chouji memang tak ada maksud untuk menjahili Sona, kalimat itu mengalir begitu saja keluar dari mulut Chouji dengan sendirinya.
"Ehh? Apa ada yang salah dengan kata-kataku...?" Tanya pemuda tambun itu dengan wajah yang tak berdosa.
"T-Tentu saja salah! Yang pasti aku tidak mau menjadi seperti mereka. Untuk saat ini itulah rencanaku, Mengerti?!."
Sembari masih dengan sikap yang terlihat salah tingkah, Sona mengarahkan topik pembicaraan mereka ke topik yang lain. Tentu saja ini hanya akal-akalan Sona agar Chouji berhenti berbicara tentang siswa yang bernama Naruto Namikaze itu.
Chouji mencoba mencerna semua yang dikatakan oleh gadis itu. Mendengar dengan seksama tentang rencana tersebut. Dan entah bagaimana sekarang ia merasa telah paham. Di dalam ruang latihan kendo memang terdapat alat-alat untuk latihan para anggota klub kendo. Karena sekolah terbesar di Kota Konoha ini selalu memfasilitasi ekstra kulikuler tersebut. Seperti pedang kayu contohnya.
"Aah... begitu ya." Gumam Chouji mengusap belakang kepalanya.
"Hahh..."
Sona menghela nafas sembari kembali berjalan di tengah-tengah jembatan penghubung dua gedung yang sekolah ini miliki.
'Karena Naruto tidak disini, aku jadi harus bersama dengan orang ini.' Sona bergumam dalam hati. Merutuki nasib sialnya karena sudah berdampingan dengan orang yang sama sekali tidak bisa diandalkan.
Kembali... Dia masih memikirkan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Namun berlarian menyelamatkan diri bersama seorang seperti Akimici Chouji memang terasa menghambat laju sinyal syaraf otaknya.
Melihat Sona yang semakin menjauh, Chouji pun segera berlari menyusul Sona.
.
.
.
.
.
.
.
"Menjauhlah! Menjauh dariku!"
"Tidak! Jangan aku.. kumohon jangaaann!"
"Pedebah kalian! Pergi! Jangan dekati aku!"
"Berhenti menggigit tanganku bodohh!"
Itulah teriakan-teriakan yang terdengar dari para murid SMA Konoha Gakuen. Suara-suara mereka begitu menggema di seluruh sudut-sudut sekolah.
Hanya mereka yang
terlampau bodoh untuk tetap memilih tinggal di dalam kelas setelah tragedi yang benar-benar mengerikan datang. Beralasan agar mereka tidak terluka bila tetap di dalam ruang kelas dan terus menunggu penyelamat akan datang menyelamatkan nyawa mereka.
Tetapi fakta berkata lain. Sesuatu yang masih misterius menyebar begitu ganas menguasai seluruh sekolah ini. Mereka yang memilih untuk bertahan di kelas mereka masing-masing, tidak tahu apakah ada di antara murid yang bersama mereka telah tergigit atau belum.
Tepat seperti apa yang Sona pikirkan, tetap bertahan di dalam kelas tanpa tahu siapa saja yang sudah terinfeksi merupakan pilihan terburuk untuk bertahan hidup.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sasuke dan Sakura tiba di depan sebuah pintu yang bertuliskan 'Ruang Guru'. Mereka berdua begitu terengah-engah dengan nafas yang tersenggal sehabis berlarian menyusuri lorong-lorong dan menaiki semua anak tangga yang ada di sekolah ini.
Memang, Konoha Gakuen adalah sebuah sekolah menengah atas yang dibangun dengan begitu besar nan megah dengan dua gedung terpisah. Dan memiliki dua bangunan yang saling menyudut berhadapan membuat sekolah ini tampak begitu unik jika di lihat.
Kedua gedung besar tadi dihubungkan dengan semacam jembatan yang berada di lantai dua. Di gedung utama Konoha Gakuen yang merupakan gedung untuk proses belajar ini mempunyai tiga lantai dengan banyak kelas yang sedikit lebih besar dari kelas sekolah lain pada umumnya. Dan gedung di sebelah gedung utama itu adalah gedung untuk mengadakan kegiatan ekstra kulikuler. Ruang-ruang untuk kegiatan klub sepulang sekolah. Bahkan sebuah lapangan basket di lantai dasar menjadi sebuah pelengkap tersendiri untuk sekolah megah ini.
Konoha Gakuen juga memiliki sebuah perpustakaan yang bisa dibilang cukup luas dengan ratusan buku yang tertata rapi di setiap raknya. Mereka juga mempunyai aula yang sepertinya sanggup untuk menampung jumlah murid dalam lima kelas sekaligus.
Tetapi untuk sampai ke ruang guru, mungkin kalian butuh sedikit waktu untuk ke sana. Terletak di lantai ketiga, sebuah tempat dimana semua guru bisa berkumpul, beristirahat atau sekedar mengerjakan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan.
Di depan pintu ruangan ini lah telah berdiri Sasuke dan Sakura untuk menjalankan tujuan awal dari rencana mereka. Memegang gagang pintu ruangan tersebut, Sasuke segera menggerakkan pergelangan tangannya untuk membuka pintu itu.
KRIIEETTT. . . .
Pintu itu terbuka lebat-lebar.
Tetapi hanya gelap yang menyapa Sasuke di sana.
Bulatan matahari sore yang terlihat bagai sudah menyentuh lautan. Hari sudah beranjak sore senja, yang entah mengapa membuat suasana suram di dalam ruangan tersebut semakin terlihat mengerikan.
"Sensei...?" Panggilnya dengan suara yang begitu pelan seraya menggerakkan satu kakinya selangkah memasuki ruangan gelap nan sunyi tersebut.
SRAAKKK. . . .
Gendang telinga Sasuke dengan sangat jelas mendengar sebuah suara yang seperti beberapa tumpukan lembar kertas di atas meja terseret berjatuhan di tengah-tengah kegelapan sana.
Bulu roma pemuda itu dibuat merinding seketika. Degup jantungnya berdebar-debar saat mendapati tidak ada satupun hal yang bisa ia lihat di ruangan ini. Kegelapan pekat begitu mendominasi.
"S-Sensei...?" Panggilnya lagi dengan perasaan yang sudah bercampur aduk.
Perlahan, Sasuke memberanikan dirinya untuk melangkah lebih dalam lagi. Tetapi sebelum ia melangkahkan kakinya ke langkah yang kedua, Sasuke mendengar derap langkah cepat yang tiba-tiba menuju ke arahnya dari dalam kegelapan tersebut.
"S-Sense-..."
"GRRRAAHHKK!"
Muncul seorang wanita bersimbah darah yang langsung berlari menerkamnya. Membuat Sasuke terdorong dan terhempas dari ruangan itu.
"SASUKE-KUN..!" Teriak Sakurakeras yang sangat terkejut dengan seorang wanita yang tiba-tiba saja menyerang kekasihnya itu hingga terhempas jatuh.
Setelah terjatuh membentur lantai dengan keras, kedua mata Sasuke pun dibuat melebar ketika melihat wanita tersebut mencoba untuk menggigitnya.
Pemuda itu kesulitan menahan rahang bawah dari wanita yang sebenarnya adalah salah satu guru di sekolah mereka. Tetapi tidak ia sangka bahwa para guru pun juga sudah berubah menjadi kanibal seperti ini.
Gerakan kepalanya terlampau gesit untuk Sasuke tahan. Berulang kali wanita berwajah mengerikan itu sudah mencoba untuk menggigitnya. Air liurnya menetes ke bawah pada setiap gerakan-gerakannya. Begitu frontal ingin memakan Sasuke hidup-hidup.
BAAATTTTSS. . . .!
Sebuah pukulan keras dari benda tumpul mengarah pada tubuh guru yang sudah berubah menjadi gila itu, hingga membuat wanita tersebut terpelanting kesamping di dekat Sakura berdiri.
"Apa kau tidak punya hobi lain selain bermain dengan tante-tante, huh?" Ucap seseorang yang sudah membuat guru kanibal tadi terhempas menggunakan tongkat kayunya.
Sasuke yang sudah hampir kehabisan nafas menoleh ke arah sosok pemuda yang sudah selamatkan nyawanya. Seorang pemuda berambut kuning yang baru saja datang dengan senyum miring di sudut bibir kala melihat pose Sasuke dan wanita itu tadi yang seperti posisi Women On Top.
"Aku hampir saja mati dan kau bisa datang seenakmu dengan senyum yang seperti itu?" Oceh Sasuke yang sedikit kesal dengan kedatangan Naruto yang nampak sedikit terlambat.
"T-Teman-teman..."
Sakura menatap horror guru wanita yang telah terkena sabetan keras tongkat kayu milik Naruto. Karena kini dia bangkit kembali tepat di hadapan Sakura yang tidak membawa apapun untuk dijadikan sebuah senjata.
"Cihh! Sakura, cepat menyingkir dari sana!" Kata Naruto saat melihat gadis itu berada di jarak yang sangat dekat dengan mayat hidup tersebut.
Naruto segera berlari sembari memegang tongkat kayunya erat-erat kembali. Diayunkannya tongkat itu keras membentur ke kepala guru yang kini sedang mencekik leher Sakura.
BUUAAKKHH!
Kejadian itu berlangsung cepat tepat di depan kedua mata hijau gadis tersebut. Ia dapat melihat bagaimana tongkat Naruto meremukkan sisi kepala wanita gila tadi hingga terpelanting jatuh melewati pagar pembatas gedung ini.
Sakura hanya bisa shock mendapati dirinya menatap semua itu dengan kedua mata kepalanya sendiri. Nafasnya sesak akibat cengkraman tangan dari guru wanita tadi pada lehernya.
"A-... Apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka semua ini..." Gumam Sakura yang entah kepada siapa ia bertanya saat dirinya menengok keadaan di bawah sana melalui pagar pembatas gedung.
"Aku pun tidak tahu secara pasti," Sahut Sasuke yang dibantu oleh Naruto untuk berdiri kembali.
"Tapi yang pasti, kita tidak boleh sampai tergigit oleh mereka. Itu saja." Lanjut sang Uchiha muda itu lagi sambil menyingkirkan debu-debu yang menempel pada celana sekolahnya.
Sedangkan Naruto menatap tajam ke arah ruangan gelap yang ada di hadapannya. Entah bagaimana saat ini Naruto merasakan sesuatu yang tidak enak mengenai ruangan tersebut.
"Sepertinya, masih ada lagi." Ucapnya pelan dengan masih terus memandang ke arah yang sama.
"Jika begitu menjauhlah dari ruangan itu, Naruto!" Sahut Sakura sangat khawatir dengan salah satu teman yang sudah dirinya kenal semenjak kecil tersebut.
"Tidak. Ada sesuatu yang ingin kucoba dan pastikan terlebih dahulu." Jawab datar pemuda pemilik sepasang iris sebiru safir di kedua matanya itu.
"Tunggu! Apa maksudmu?!" Sasuke terbingung saat sahabatnya tersebut berkata bahwa ia akan mencoba dan memastikan sesuatu yang masih tidak Sasuke mengerti.
Seakan tidak memghiraukan perkataan dari kedua temannya, pandangan Naruto saat ini terfokus kepada apa yang akan mucul di depannya. Gendang telinga itu dapat mendengar setiap derap langkah yang berlari menujunya.
"GGRRRAAHHKK!"
Tiba-tiba muncul seorang pria berpakaian jas abu-abu dengan wajah yang rusak dari kegelapan itu. Berlari menerjang ke arah Naruto berdiri saat ini.
". . . . .?!"
Sasuke maupun Sakura sangat terkejut dengan kemunculan yang secara tiba-tiba dari makhluk itu. Mereka berdua menatap bagaimana mayat hidup tersebut mencoba untuk menerjang Naruto yang bahkan sampai saat ini belum bergerak sedikitpun dari tempatnya.
'Bodoh! Naruto!'
Kedua kaki Sasuke terangkat untuk segera melangkah ke arah sahabatnya yang masih saja berdiam diri di ujung bahaya. Tetapi di detik selanjutnya, ketika mayat hidup di sana hampir mencengkram kedua bahu Naruto, pemuda berambut kuning tersebut menghempaskan seluruh beban tubuhnya ke arah kiri.
'A-Apa...?!'
Sasuke cukup terkejut oleh manuver secara tiba-tiba yang Naruto lakukan di sana. Pemuda bermata biru itu menghindar cepat dari guru laki-laki tadi setelah mereja berdua berada di jarak yang benar-benar sangat tipis.
CRRAAAATTTSS. . . .
Darah merah bermuncratan ke udara saat tangan kanan Naruto dengan cepat mendorong kepala mayat hidup itu tepat ke pagar pembatas gedung ini.
Sasuke seketika menghentikan langkahnya, sedangkan Sakura hanya bisa tercengang dengan apa yang baru saja Naruto lakukan kepada mantan guru mereka tersebut.
Tubuh pria itu berhenti bergerak, sedang darahnya terus mengalir keluar dari kepala yang habis pecah terbentur. Suatu pemandangan yang benar-benar sangat mengerikan bagi anak-anak kecil.
"Dia... Mati..." Gumam Sakura dengan suara pelan yang masih bisa terdengar oleh kedua pemuda di depannya.
Sedangkan Naruto sibuk mengambil nafas dalam-dalam setelah cadangan oksigen di dalam paru-parunya dihabiskan oleh pacuan adrenalin yang memuncak. Jika boleh jujur, dia sudah mempertaruhkan satu-satunya nyawa yang ia miliki untuk melakukan hal seperti tadi.
"Kepala..." Ucap Naruto singkat sembari terus memompa paru-parunya untuk menghirup oksigen.
"...Jadi begitu." Sahut Sasuke yang sepertinya mengerti apa yang sedang Naruto maksud dan bicarakan.
"Ehh? K-Kepala? Aps yang sedang kalian bicarakan?"
Sementara untuk Sakura yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka berdua maksud, bertanya dengan raut wajah yang begitu kebingungan.
"Kelemahan mereka. Kita hanya perlu menyerang di bagian kepala untuk membuat mereka tidak lagi bergerak. Dengan kata lain, kita hanya bisa membunuh mereka dengan cara menghancurkan kepalanya." Ujar Sasuke yang mencoba untuk menjelaskan tentang hal itu kepada kekasihnya yang masih belum mengerti.
Entah mengapa Sasuke kini menatap sosok Naruto yang sedang menenangkan deru nafasnya. Tindakan yang pemuda itu lakukan tadi benar-benar sangat ceroboh. Tetapi dengan apa yang sudah Naruto lakukan, mereka bertiga kini tahu di mana titik vital para mayat hidup itu.
Dan memikirkan hal tersebut, membuat Sasuke tersenyum picing ke arah sahabatnya itu. Mau tidak mau, harus ia akui bahwa apa sudah Naruto lakukan dapat berguna bagi mereka semua nanti.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di dalam suatu ruangan, terdapat beberapa siswa yang tengah duduk meringkuk di lantai. Mereka memasang wajah ketakutan dan keputus asaan. Namun lain halnya dengan seorang pemuda berambut jabrik yang menjadi satu-satunya yang berdiri di ruangan ini.
Banyak barang-barang usang yang terlihat. Serta beberapa tumpukan kotak kardus yang tersusun tidak terlalu rapi memenuhi ruang yang sebenarnya adalah gudang ini. Rongsokan seperti meja-meja rusak dan kursi-kursi yang patah juga tersimpan di tempat berdebu ini. Bahkan jaring laba-laba terkadang dapat menempel dengan sendirinya di ujung helai rambutmu.
Pemuda berambut jabrik berwarna hitam itu menghela nafas panjang setelah sekian lama mereka berhasil mencapai tempat seperti ini.
"Untuk sementara waktu, Kita bisa aman disini." Ucapnya kemudian
". . . . . . ."
"Kita akan mati.."
". . . .?" Pemuda itu memasang ekspresi bingung di wajahnya ketika mendengar kata-kata dari seorang gadis yang duduk di bawah lantai berdebu di sebelah sana.
"Kita akan mati... Saat mereka berhasil masuk kemari, kita semua akan mati..." Kata siswi berambut hitam panjang itu lagi dengan suara yang parau nan sumbang. Bagai suara yang mencerminkan keputusasaan.
Kiba Inuzuka, satu-satunya murid yang mampu berdiri dengan kedua kakinya walau setelah semua kengerian ini terjadi, mendekati sosok gadis berparas begitu menawan tersebut.
Ia melangkah perlahan menghampiri Hyuuga Hinata yang sedang memandang lantai berdebu dengan tatapan sayu di sana. Kiba merasakan keputusasaan yang pekat melalui cara mata indah itu memandang. Hal yang sama juga terjadi kepada ketiga murid lain yang berada bersama dengan dirinya di gudang sekolah ini.
Namun meski begitu, Kiba tidak dapat menyalahkan mereka yaang menyerah dengan begitu mudahnya. Rentetan peristiwa mengerikan yang sudah terjadi di sekolah ini, serta para murid di luar sana yang tiba-tiba berubah menjadi sangat agresif dan kanibal, adalah penyebab yang membuat mereka telah menyerah untuk bertahan hidup.
"Terdampar di gudang sekolah seperti ini, kurasa tidak terlalu buruk menurutku." Gumam Kiba kemudian.
"Kau bercanda? Kita bisa mati kehabisan nafas disini!."
Tiba-tiba seorang siswa bersuara dan memberikan responnya atas perkataan pemuda itu.
"Ya! kita tak mungkin bisa bertahan lama disini!." Siswa yang lain juga sependapat.
Memang benar, bila di tempat ini banyak sekali debu yang menempel di mana-mana. Menimbulkan kesan tidak nyaman pada mereka. Belum lagi udara yang pengap dan panas begitu menyelimuti. Dikarenakan jalur keluar-masuknya udara hanya mengandalkan lubang-lubang ventilasi kecil di atas sana.
"Jika kau tak menarik kami kesini, mungkin kami bisa melarikan diri ke rumah sekarang!" Lanjut mereka kembali mengoceh.
Belum sempat Kiba untuk mengatakan sesuatu, tetapi mereka sudah seenaknya menyalahkan dirinya. Mengoceh tentang ini dan itu. Dan selalu menyangkut-pautkan tentang kematian.
Membuat pemuda itu mengepalkan kedua tangannya saat mendengar semua celoteh mereka, tanpa mengingat kembali, bahwa Kiba lah yang sudah selamatkan nyawa mereka. Namun Kiba tidak ingin termakan oleh emosi begitu saja. Lalu mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Karena tampaknya rasa takut dan keputusasaan sudah menjalar hingga ke otak mereka, membuat mereka tidak bisa berpikiran jernih sekarang.
"Lalu apa mau kalian?" Setelah beberapa saat bungkam, Kiba mulai membuka suara.
". . . . . ."
Mereka yang mendengar pertanyaan Kiba hanya terdiam, Bingung ingin menjawab apa. Membuat suasana di ruangan ini menjadi hening kembali.
"Jika kalian menyalahkanku karena telah membawa kalian kesini, Kenapa kalian tidak keluar saja sekarang? Apa kalian bisa melakukan sesuatu untuk merubah keadaan saat ini dengan semua ocehan kalian?" Kata Kiba panjang lebar.
Setelah Kiba mengatakan itu, salah satu dari mereka berdiri, menatap Kiba dengan tajam. Di matanya jelas tersirat rasa kesal saat pandangan siswa itu bertemu dengan mata Kiba.
"Oh... Jadi sekarang kau sudah sok berlagak jadi pahlawan setelah menolong kami, begitu?" Kata siswa tersebut bertanya dengan nada mengejek pada Kiba. Membuat suasana yang tadinya hening kini berubah menjadi menegang.
Kiba hanya menghela nafas berat karena siswa yang ada di depannya ini benar-benar sangat menjengkelkan. Bila bukan karena keadaan mencekam di area sekolah seperti ini, bukan tidak mungkin kepalan tangan Kiba akan dengan sempurna mendarat ke wajah siswa tersebut.
"Kalian ini... benar-benar tidak bisa membaca keadaan. Sebaiknya kalian diam dan berpikir bagaimana caranya agar kita bisa mengatasi masalah ini." Ujar Kiba mencoba bersikap setenang mungkin. Karena ia tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bersitegang dengan teman sendiri.
"Cihh! Berhentilah memerintah kami!"
"Bukan maksudku untuk memerintah!"
"Huh? Jika bukan, lalu apa?!"
"Kalian berempat, tolong berhenti membuat keributan!."
Gadis berponi yang sedari tadi diam melihat perseteruan mereka kini berdiri dari tempatnya duduk tadi, ingin dia menengahi masalah mereka. Namun...
"Uhh..."
Belum sedetik dirinya berdiri, Hinata langsung terperosok jatuh ke lantai. Beruntung kedua siku tangannya masih mampu menahan sebagian beban tubuhnya.
"Hinata!."
Kiba segera berlari menghampiri gadis pemilik sepasang iris Amethyst di kedua mata indahnya tersebut.
"Maaf, aku hanya ingin menyadarkan mereka bahwa saat ini bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan." Ucap pemuda itu sembari membantu Hinata dengan hati-hati.
"Cih! Jangan sok menjadi yang paling benar disini Kiba."
"Baiklah kami akan keluar dari sini seperti katamu!."
"Kami akan buktikan bahwa kami bisa bahkan tanpa bantuanmu sekalipun!"
Ocehan demi ocehan keluar dari mulut ketiga siswa tadi. Kiba memandang mereka dengan tatapan sinis, menandakan kesabarannya telah di ujung batas sekarang.
"Terima kasih telah mengembalikan keberanian kami dengan semua ocehan konyolmu. Ayo teman-teman! Kita pergi dari sini, orang tua kita telah menunggu di rumah." Lanjut siswa berambut cepak itu yang melangkah mendekati pintu.
Kedua siswa yang lain juga mengikutinya dari belakang. Tetapi mata Kiba terbelalak saat melihat mereka memutar daun pintu gudang ini lalu membukanya.
"Bodoh! Jangan keluar!" Teriak Kiba kepada mereka.
Terlambat..
Mereka sudah melangkah keluar dari ruangan ini. Melenggang pergi dari hadapan Kiba dan berlari menuju ke gerbang sekolah yang ada di sana.
"Sial! Kalian bertiga, cepat kembali!" Lanjutnya lagi yang entah mengapa merasa khawatir dengan mereka.
Tetapi tenggorokan Kiba serasa tercekat kala melihat salah satu dari ketiga siswa itu tertangkap oleh kerumunan mayat hidup di sana. Mereka langsung menggigit tubuhnya. Dan menggerogoti apa saja yang ada padanya. Jerit-jerit kesakitan darinya begitu menggema di gendang telinga. Membuat para mayat hidup yang lain datang mengerumuni siswa naas itu.
Kiba dan Hinata hanya bisa melihat pemandangan tersebut dengan ekspresi horror. Tidak ada yang bisa mereka berdua lakukan untuk menyelamatkannya. Karena terkena gigitan oleh mereka, maka seluruh sisa hidupmu akan berakhir sampai di situ.
.
.
.
To Be Continue. . .
