26 November
Lupine menari dalam sayatan dawai violin.
Houdini tenggelam dalam gemuruh badai terompet.
Joker tertawa di antara gigitan dengung elegi.
Requiem ini mungkin terdengar membosankan di telinga.
Namun, senandung opera kematian ini untukmu, Señor!
:Overture:
In the key of D major; the tempo marking is presto.
.
.
.
Dia adalah Opéra de Paris.
Menjulang tinggi dan megah. Menyaingi perumahan-perumahan elit di sekitarnya. Simbol keagungan bagi mayoritas kaum berada.
Kilaunya mengalahkan bulan purnama. Monumen kebanggaan bagi penduduk Paris yang kaya raya. Rumah andalan bagi para orang-orang berkasta tinggi, penikmat musik, dan berkantong tebal.
Layaknya seperti bunga pemakan insekta; sepintas memang sedap di pandang mata, namun niscaya akan mati sia-sia bagi siapa pun bila masuk ke dalamnya.
Gedung bernuansa gelap itu kembali diberi kesempatan untuk menjadi artis semalam di pusat jantung kota Paris, diresmikan oleh Monsieur Mona, wanita cantik kelahiran Monaco dengan pilinan kepang tebal di dada kiri.
Kelas interiornya jelas nampak berbeda dengan bangunan kasta menengah ke bawah. Guratan tajam khas arsitektur Moor atau yang kerap dikenal sebagai arsitektur Romawi, melumuri hampir seluruh lapisan dinding-dinding batu granit yang menyala. Perawakan dari gedungnya sendiri tidak main-main, menyerupai replika tekstur gereja katedral pada abad ke-16, lengkap dengan kontur atap yang berundak-undak dan meruncing tajam. Dikelilingi taman bugenvil beraneka warna yang luas dan dilingkupi pagar-pagar besi hitam yang tajam.
Puluhan lampu sorot dari taman yang tersembunyi di balik pagar berjeruji menari-nari menyinari molek lekukan bangunan gedung Opera Paris.
Keras dan kokoh.
Gelap abstain tak berbintang. Bulan menggantung di ujung langit dan menyinari mobil-mobil mahal yang terparkir di sepanjang pelataran jalan raya. Seluruh pengemudinya sudah mengantri anggun ke dalam gedung teatrikal sepuluh menit yang lalu.
Riuh rendah dengung percakapan ramai, gegap gempita orang ramai bertepuk tangan, diselingi gelora musik membahana, terdengar samar dan terpendam di balik jajaran jendela besar bersurai gorden merah bata di dinding muka. Seribu orang penting akan menghadiri ulang tahun istimewa gedung Opera Paris malam ini.
Jutaan aura kemilau bergelimang emas hadir di mana-mana. Kemewahan dominan akan saling bersanding kuat di antaranya. Gemerlap perhiasan yang membutakan mata. Gaun-gaun panjang modern bernuansa pastel menyapu lantai pualam. Aroma parfum semerbak beraroma magis yang mengekori. Semuanya langsung bergegas menuju serambi lantai dua.
Semakin ke dalam, suara nyanyian seorang pria dengan suara bass beserta ansambel orksetra yang mendayu-dayu terdengar semakin jelas.
Ah, para tuan dan nyonya-nyonya berkasta tinggi itu pasti tidak ingin ketinggalan sebaris melodi pun, kan?
Apalagi sandiwara yang akan ditampilkan malam ini adalah The Marriage of Figaro, alunan melodi sihir yang amat digemari oleh para penikmat orkestra di seluruh dunia.
Itulah pertunjukkan spesial dari Italia akan disuguhkan malam ini. Seluruh bangsawan terkemuka di seantero kota akan datang bersama undangan formal yang telah disebarkan jauh-jauh hari sebelumnya. Momen ini tentu saja akan diaplikasikan oleh para bangsawan berkantung tebal yang ingin memanfaatkan uang mereka untuk tujuan berkelas.
Berjalan tanpa gelagat mencurigakan bersama bangsawan lainnya yang berduyun menuju barisan kursi, mereka adalah sang Amerika dan Russia, dua perwakilan negara adidaya yang tak pernah berbagi kekompakkan apa pun selain buih persaingan semata.
Keduanya berjalan masuk ke sarang drama tanpa cela, seakan tak membawa dosa.
Dan lima menit lagi pertunjukkan sesungguhnya akan dimulai.
.
.
.
Phantom of the Opera © Raputopu
Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz
Untuk bagian Netherlands-Indonesia menggunakan universe dari fanfiksi Lupine, Rifle and Love.
Sementara porsi Bad Touch Trio memakai universe dari fanfiksi Joker, Poker, BlackJack.
Warn: Human name.Nation as person. Opera hanya sebagai latar cerita.
.
Next Page:
ACT I
