Fanfiction kolaborasi dari tiga author #JustNaruHinaAndKibaTamaLover #AoiAysel dan #Atharu. Ini adalah ffn colab pertama kami, kami berharap readers akan terhibur dengan cerita ini. Dan untuk pairing, kami sepakat akan memakai NH sebagai pairing utama. Sedangkan pairing lain akan menjadi slight of.
Kami mengupdate menggunakan dua lapak, baik di fanfiction maupun di wattpad. Kalian bisa menemukan 'Chemical Love' di wattpad dengan akun #Aoi Aysel. Jadi kalian bisa membaca lewat apapun yang kalian suka. Jangan lupa untuk meninggalkan jejak berupa review. Kritik dan saran kalian adalah moodboaster bagi kami.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Disclamer : Masashi Kisimoto
Pairing : NaruHina slight SasuSaku
Original Story & cover : JustNaruHinaAndKibaTamaLover
Writers : Aoi Aysel, JustNaruHinaAndKibaTamaLover and Atharu
Editor : Atharu
Warning : Typo(s), AU, Soul Exchange
Rated : T(for teenager)
No copas!
.
.
.
Prolog
"Aku—Aku mencintai mu-"
Emerald hijauku melebar, terkejut dan ter-nganga? Tentu saja. Pengakuan mendadak dengan roman khas remaja jatuh cinta itu membuatku tidak bisa berpikir. Sinapsisku macet seolah terlalu tinggi menerima kejut listrik. Detak jantungku terstimulan, bertalu cepat bagai menaiki pelana kuda pacuan. Namun aku sadar bahwa sebenarnya diriku terjebak dalam kebingungan.
Tidak tahu harus bersikap seperti apa, atau lebih tepatnya harus memberi jawaban macam apa. Apa aku juga mencintanya? Ah-tidak, tentu saja jawabannya iya. Lantas, apa dia benar-benar mencintaiku. Mencintai diriku yang sebenarnya?
"-Sakura-chan," Naruto melanjutkan kalimatnya yang terpotong.
Senyumku berganti tatapan sendu. Pernyataan cinta yang seharusnya membuatku tenggelam dalam kebahagiaan roman picisan nyatanya berubah bentuk menjadi hujaman penuh sayatan luka.
Seharusnya sudah kuduga dan kuantisipasi.
Nyatanya yang dicintai Naruto adalah tubuh dan wajah teman masa kecilnya ini, bukan diriku yang sesungguhnya, bukan seorang Hyuga Hinata.
Untuk sesaat aku mulai membenci orang lain tanpa sebab yang jelas. Aku tidak menyukai kenyataan bahwa yang dicintai Naruto adalah gadis lain. Lalu, buat apa aku harus bertahan dengan tubuh palsu ini?
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 1
Konoha
Uzumaki Naruto masih tertidur diatas tumpukan kertas laporan, tugas proposal yang seharusnya dalam satu jam lagi sudah berada di atas meja kerja Kakashi-sensei nyatanya menjadi bantal penjemput mimpi.
Air liurnya menetes membasahi hasil kerja kerasnya semalaman. Dia butuh sedikit waktu untuk mengistirahatkan badan setelah menahan kantuk hingga menghabiskan lima cup kopi Arabica pahit agar matanya tidak terpejam. Namun Naruto tidak keberatan dengan efek memunculkan lingkar panda di kantung mata.
Bahkan jika harus ditempu dengan begadang sampai pagi menjelang pun bakal Naruto relakan demi nilai yang lebih baik dari tugas sebelumnya. Huruf E di indeks pretasinya bisa menghambat rencana lulus tepat waktu di semester delapan.
Suara ketukan keras dari pintu kamarnya membuat pemuda itu terlonjak. "Naruto," suara berspeaker itu berasal dari Sakura Haruno, tetangga sekaligus sahabat sejak mereka balita. Sudah bisa dipastikan suara keras di pintu tadi bukan ketukan, tetapi tendangan. Hampir setiap pagi selalu dimulai dengan rutinitas seperti ini.
"Cepat keluar pemalas, kita sudah terlambat." Gadis pemilik rambut musim semi itu berkacak pinggang. Membangunkan rubah tidur tidur macam Naruto butuh tambahan kekuatan. Tak akan mempan hanya dengan suara panggilan, terkadang Sakura sampai terpaksa melakukan tindak kekerasan.
Dan Naruto akan mulai aktivitas paginya dengan berlari ke kamar mandi, melesat ke lemari pakaian, menyambar tas dan tumpukan buku dari meja belajarnya, kemudian menemui Sakura dengan cengiran rubahnya.
"Rekormu membaik Naruto, kurang dari lima menit." Sakura melirik jam di pergelangan tangannya.
"Cepatlah Sakura, kita akan ketinggalan kereta." Naruto menyeret sahabatnya melintasi ruang makan dimana Minato dan Kushina, orang tua Naruto dengan tenang menyantap sarapan paginya. Sudah biasa, pasangan suami istri itu sudah terbiasa melihat interaksi dua anak yang beranjak dewasa itu.
Kushina bukannya tidak peduli pada sang anak semata wayang sampai tidak membangunkan Naruto. Tapi karena karakternya sendiri yang mudah meledak, Minato harus mengganti pintu kamar Naruto setiap minggu karena Habanero akan menghancurkan pintu itu jika putranya itu tidak lekas bangun. Bukan karena masalah keuangan, tapi demi kesehatan jiwa dan raganya.
.
.
"Kami berangkat Ayah, Ibu," Naruto menyambar selembar roti dari piring ayahnya, kemudian melambai ringan pada mereka. Roti panggang ber-toping madu sudah bisa dijadikan sarapan bagi Naruto.
"Naruto, kau tidak sopan pada orang tuamu," Sakura menjitak kepala kuning itu.
"Terimakasih Sakura-chan, setiap hari kau mau bersusah payah demi anak kurang ajar itu," Kata Kushina sambil mengelus dada. Seingatnya sewaktu mengandung Naruto dulu, ia rajin ke kuil untuk berdoa. Ngidam pun tidak sampai membuat Minato keluar malam-malam hanya untuk membelikan ramen kuah ayam.
"Tsuma, dia itu anak mu," kata Minato, yang langsung disusul dengan tatapan tajam dari istrinya.
"Tidak usah dipikirkan paman, bibi. Kami berangkat," Sakura membungkukan badannya dan berpamitan.
"Ittekimasu," teriak Naruto.
.
.
Perjalanan ke stasiun Konoha memakan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan mereka berpapasan dengan warga Konoha yang disibukkan dengan persiapan festival yang akan diadakan dalam waktu dekat.
Sudah banyak lentera yang dipasang. Batang pohon sakura pun tak luput pula dari hiasan kertas warna-warni. Stan-satan makanan tradisional juga telah dibangun sepanjang jalan utama.
"Paman Minato pasti sibuk," Sakura melihat poster yang dipasang di depan taman. Wajah Namikaze Minato, Walikota Konoha tersenyum lebar di atas sebuah papan reklame untuk memeriahkan festival Hanami yang merupakan acara tahunan.
Dari kecil sampai sekarang, Sakura setiap tahunnya akan ikut menikmati Hanami. Entah ikut dalam menjaga stan atau sekadar menikmati suasana ramai festival. Dan tentunya Naruto lah yang selalu menemaninya. "Naruto, kau tidak bisa selamanya seperti ini," kata Sakura tiba-tiba.
Lelaki berwajah campuran itu menoleh ke Sakura sekilas. "Apa maksudmu Sakura-chan?" Tanya Naruto tidak mengerti. Lelaki itu sibuk membalas sapaan warga yang berpapasan dengan mereka.
"Apa kau akan membuat orang tuamu khawatir terus. Menaikkan tensi darah bibi Kushina karena tingkahmu? Kau sudah dewasa Naruto, bersikaplah lebih bertanggung jawab."
Naruto tidak terlihat mendengarkan perkataan Sakura. Dia hanya terus menatap ke depan, namun mata safir teduhnya melirik Sakura. "Ada kamu disampingku, kau nanti jadi istriku kan?"
Sakura jengah, setiap ia berkata serius Naruto akan balas dengan perkataan konyol. "Berhentilah bermimpi Naruto." Sakura meninju bahu Naruto keras. "Jangan keterusan menggombal."
Bukannya merasa sakit, alih-alih Naruto justru tersenyum lebar tanpa beban. "Aku menyukaimu, sungguh." Naruto merangkul bahu Sakura. Mengusak sayang helai mahkota merah jambu yang menguarkan harum chery.
Bukan rahasia lagi bahwa Naruto Uzumaki menyukai gadis musim semi itu sejak kecil. Dia akan selalu berusaha untuk menjadi kekasih gadis itu, tidak peduli berapa kalipun ia ditolak, Naruto akan terus mengatakan kalimat cinta.
Sedang Sakura hanya menganggap peryataan cinta Naruto sebagai kata yang tidak berarti, perasaannya pada pemuda itu hanya sebatas teman, ah lebih dari teman sebenarnya. Perbedaan bulan lahir antara dirinya dan Naruto membuatnya lebih menempatkan perasaan pada Naruto sebagai adik yang manja. Adik yang akan selalu ia bangunkan tiap pagi.
Tidak terbersit sedikitpun perasaan romantis ketika Naruto memeluknya atau mencium pipinya. Rasanya memang penuh kasih sayang, namun hatinya tidak tergerak untuk membuka perasaan.
Sakura tersenyum memandang pohon-pohon sakura yang sebentar lagi akan mekar, kuncup-kuncup bakal bunga bernama latin Prunus serrulatayang akan menandakan kebahagiaan akan datangnya musim semi, semangat baru, mungkin juga kehidupan baru dimana dia akan menemukan cintanya.
"Sangat indah ya, Naruto." Gadis itu tidak tahu, mungkin esok, dia tidak melihat pemandangan yang sama lagi.
.
.
.
.
Suna
Sebuah apartemen dengan fasilitas dua kamar tidur, satu ruang tamu dan sebuah kamar mandi serta cooker counter termasuk tempat tinggal yang terbilang sederhana untuk ukuran keluarga bangsawan sekelas Hyuga dan Uchiha.
Meskipun mereka berasal dari pinggiran kota, tetapi mereka adalah feodal. Seorang tuan tanah yang menguasai seluruh kota kecil. Mereka bersyukur karena masih bisa menyewa satu unit apartemen. Apalagi di tempat dengan indeks meningkatnya arus urbanisasi seperti pusat kota Suna ini.
Sulit untuk mendapatkan tempat tinggal yang dekat dengan kampus sementara hunian lain selalu terisi penuh oleh mahasiswa dari seluruh penjuru negri, banyak juga yang berasal dari luar negri.
Sebenarnya bisa saja keduanya yang masih tersambung hubungan darah itu menempati apartemen sekelas hotel bintang lima dengan jarak ke kampus tidak terlalu jauh. Namun mereka sudah sepakat, uang bulanan yang telah diberi oleh orangtua akan ditabung sebagai cadangan bila terjadi keadaan urgent.
Hinata datang setahun yang lalu dalam rangka menambah pundi ke-akademikan. Hiashi Hyuga sebenarnya tidak mengizinkan putrinya tinggal sendirian di kota besar dengan ancaman tindak kejahatan yang bisa saja terjadi kapanpun. Putrinya meski berkelakar sudah dewasa dan mampu hidup mandiri namun tetap akan menjadi seorang anak kecil di matanya.
Jadi dia terpaksa menitipkannya pada Sasuke, keponakannya yang sudah terlebih dahulu kuliah di Suna. Ya, itu masih lebih baik daripada harus membiarkan Hinata tinggal sendiri di kosan.
Meskipun sebagian besar daratan Suna berupa padang pasir, tidak menjadi halangan untuk pembangunan infrastruktur skala global. Buktinya gedung-gedung bisa dibuat sangat tinggi dan mewah, berbagai macam kantor dari perusahaan-perusahan Internasiaonal, tempat perbelanjaan terlengkap juga telah disiapkan di pusat kota. Salah satu kampus terbaik di negeri ini pun ada disana, Suna Institute of Tecnology yang hanya menerima mahasiswa dengan kecerdasan diatas rata-rata.
"Paman jangan terlau khawatir, aku selalu menjaga Hinata," Sasuke meyakinkan orang tua dengan pakaian tradisional itu dengan pandangan lelah.
Untuk ketiga kalinya dalam satu bulan Hiashi Hyuga berkunjung ke apartemen mereka. Bilangnya cuma kebetulan menghadiri sebuah pertemuan di pusat kota, kenyataannya pria baru baya ini dirundung rasa kangen ditinggal putrinya kuliah.
"Kami akan baik-baik saja, Tou-sama. Betulkan Nii-san?" Hinata sudah sering menelpon ke kediaman utama. Aturan sehari tujuh kali memberi kabar –mengalahkan kebutuhan makan– sebagai syarat agar diperbolehkan untuk kuliah jauh dari rumah benar-benar dilaksanakan Hinata dengan patuh.
"Hn."
"Saya akan mengantar paman ke Stasiun, Hinata masih ada kuliah lima belas menit lagi." Sasuke berjalan di depan pamannya mengantar ke tempat parkir.
"Kita akan menaiki benda ini?" Hiashi memandang tak suka pada motor sport kebanggaan Sasuke. Rangka besi body macho dengan dominasi cat gelap mengkilap sama sekali tidak membuat Hiashi ingin merasakan sensasi kecepatan mirip sirkuit balap.
"Paman akan berjalan kaki saja," Hiashi melenggang pergi dengan santai, kedua tangannya berada di dalam lengan kimononya. Dia masih sanggup berjalan jauh tanpa sokongan tongkat kayu. "Jangan lupa aku dulu pernah menjadi pendaki gunung."
"Tapi bukan gunung pasir kan yah?" Hinata berucap tanpa beban, membuat Hiashi hampir kehilangan keseimbangan. Tega sekali putrinya menurunkan kelas kewibawaannya. Dulu-dulu sewaktu muda dia adalah ketua karang taruna.
Bola mata Sasuke memutar malas. Meski pamannya menggemari hal-hal yang bersifat konvensional namun juga harus lihat-lihat keadaan. Bahaya nanti jika tiba-tiba keseleo di tengah padang pasir. "Tapi paman, jaraknya cukup jauh dan cuaca masih belum bersahabat, BMKG meramalkan akan ada badai. Nanti jika tiba-tiba ada badai gurun bagaimana? Kasihan tim SAR jika harus menyisir luasnya gurun pasir hanya untuk menemukan paman."
Hiashi mendelik tajam. Mulut anak Fugaku ini memang keterlaluan pedasnya, bukan level cabe tapi sudah boncabe, untung bukan cabe-cabean. Sekali ucap bisa langsung membuat hati mendidih ingin menyumpahi. Andai bukan keponakannya sudah Hiashi kubur jauh di dasar laut atau dikutuk jadi batu.
"Turuti Sasuke-kun ayah, nanti kalau terjadi apa-apa pada ayah aku akan merasa paling bersalah." Bujuk Hinata halus. Dia ingin agar ayahnya sampai rumah dengan selamat. Umur Hiashi sudah tak muda lagi, meski secara penampilan masih jauh dari keriputan namun Hinata tahu terkadang ayahnya akan mengeluhkan rasa sakit asam uratnya.
"Jika ayah bersikeras ingin jalan kaki, ayah juga akan terlambat kalau berjalan dengan sendal itu." Hinata menunjuk geta di kaki ayahnya.
Dengan berat hati Hiashi menuruti keinginan dari dua orang yang usianya lebih muda dari dirinya. Hiashi melangkah angkuh mendekati motor besar yang sudah ditunggangi Sasuke. Baginya masih lebih baik jalan kaki daripada harus duduk di atas mesin beroda dua. Belum lagi dirinya yang bakal duduk di belakang.
Sudah banyak berita yang menayangkan kecelakaan maut berkendara sepeda motor dengan statistik korban meninggal lebih banyak yang dibonceng.
Adakah sabuk pengaman yang harus ia pakai?
"Ayah tungguh." Buru-buru Hinata mencegah ayahnya naik. Hiashi tersenyum, mengira ia akan menerima pelukan perpisahan dari anaknya atau ucapan agar sering-sering berkunjung. "Aku akan meminjami ayah celana training agar tidak kesusahan naik."
". . ."
Hiashi menggeleng dengan senyum kecut. "Biar nak, biar. Memakai sarung pun ayah tidak peduli. Kau baik-baik ya di sini. Kalau berasmu sudah mau habis, jangan sekalian memasakkan Sasuke ya. Cukup buat dirimu saja."
Hinata terkikik, Sasuke mendecih. "Aku mencintamu ayah." Ucap gadis bersurai biru gelap dengan tulus. Ia lalu memeluk ayahnya. "Titip salam untuk Hana-chan."
Setelah Hiashi menaiki boncengan motor berwarna monokrom merah-hitam, Sasuke memakaikan helm dan kacamata padanya. Berkendara di Suna harus selalu dengan pelindung mata karena angin yang berhembus bisa membawa pasir dan debu. "Berpegangan yang erat paman."
"Huh?"
Karena tidak mengerti bagian apa yang harus dijadikan pegangan, orang tua itu hampir saja terjungkal ke belakang ketika Sasuke melajukan mesin motor bertenaga turbin.
.
.
Kata menakutkan sekaligus mencekam belum cukup untuk mendeskripsikan orang macam Orochimaru-hakase. Penampilannya yang tidak biasa dengan rambut panjang sepunggung dan penggunaan eyeliner yang salah tempat disekitar matanya membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik merasa jiwanya dihantui.
Biarpun sudah menapaki usia senja namun dosen itu masih berkulit selayaknya anak muda usia awal remaja. Wajah awet mudahnya sering disangkah sebagai hasil percobaan illegal dengan menambahkan bubuk anti-aging berbahan formalin. Gendernya pun diperdebatkan bahkan sampai pernah diangkat sebagai judul disertasi.
'TABIR JATI DIRI SEORANG OROCHIMARU. LELAKI ATAU PEREMPUAN KAH? ATAU JUSTRU GENDER BENDER!'
Penampilannya yang aneh ini berbanding lurus dengan kepribadiannya yang agak-, bagai mana saya harus menyebutnya. Gila? Sinting? Ah, tidak-tidak. Orochimaru-hakase hanyalah orang dengan tingkat kewarasan melampui ambang batas kenormalan.
Rekan-rekan sesama pengajar pun berusaha menjaga jarak, mengusakan sedikit interaksi dengan dosen yang masih lajang ini. Tapi, ada satu hal yang pasti dan tidak terbantahkan dari seorang Orochimaru. Siapapun tidak ada yang meragukan kejeniusannya.
.
Untung saja Hinata tidak terlambat, sedikit ngos-ngosan jauh lebih baik dari pada mendapatkan detensi. Mahasiswa yang mengambil mata kuliah Orochimaru-hakase akan hadir setegah jam sebelum dia datang. Selain perilakunya yang sering menyimpang, dosen itu juga terkenal karena leluconnya yang mengerikan.
Tidak ada unsur humornya sama sekali. Malah sering dikira sedang merapal mantra.
Menurut rumor yang beredar di kalangan kouhai, seorang mahasiswa senior bernama Suigetsu pernah dijadikan objek penelitiannya hanya karena tidak mengerjakan tugas. Setelah seminggu tidak terlihat, Suigetsu datang dengan rambut putih dan giginya yang meruncing.
Tidak ada yang tahu praktek macam apa yang dijalankan. Rumor mengatakan bahwa itu hasil sebuah percobaan mutasi genetik -silang antara beda spesies. Karena hal itu pula tidak ada yang mau menjadi asistennya. Mana ada yang suka rela menjadi tumbal.
"Ku kira kau akan terlambat." kata Tenten, sahabatnya yang berasal dari Konoha.
"Syukurlah The Snake Head belum datang." Hinata menghembuskan napas lega. Masih dengan napas naik-turun, Hinata segera duduk di salah satu bangku kosong.
Ruangan tiba-tiba menjadi sunyi, hawa dingin mirip pemakaman sudah terlebih dahulu sampai di dalam kelas mendahului sang pemilik tubuh yang muncul beberapa detik kemudian.
Pakaian jas lab dengan bau kloroform sudah pasti menjadi trademark Orochimaru. Dosen dengan gelar professor itu tersenyum lebar nyaris melewati setengah dari kontur wajah. "Hari ini, saya akan memilih asisten praktikum yang baru, menggantikan Uchiha Sasuke."
Sebenarnya bukan benar-benar fakta jika Orochimaru tidak memiliki asisten pribadi. Uchiha Sasuke merupakan satu-satunya mahasiswa yang tercatat menjadi kebanggaannya dalam berpatner di setiap penelitian. Otak jenius lelaki Uchiha tersebut selalu bisa mengimbangi cara berpikir Orochimaru yang kadang sukar dimengerti.
Namun karena Sasuke telah memegang proyek sendiri, maka Orochimaru harus mencari pengganti asistenya tersebut.
Hinata pun juga sudah tahu bahwa sepupunya itu merupakan asisten dari sang dosen nyetrik ini. Pernah Hinata bertanya tentang kebenaran dari prilaku Orochimaru, Sasuke dengan santai menjawab –Orochimaru bukannya gila, namun nalar manusia terkadang tidak bisa menyelaminya. Jika penasaran kau bisa menjadi asistennya–
Suasana mencekam, setiap orang merapal doa dalam hati. Semoga bukan mereka yang terpilih. Menjadi Asisten professor Orochimaru artinya mengikis separuh dari umur kehidupan. Hampir setiap hari akan menghabiskan waktu berkutat di laboratorium. Ber-eksperimen tidak mengenal kata lelah. Bahkan kegiatannya cenderung menabrak batas-batas teoritika.
Kata Orochimaru sendiri sih untuk membangun jalinan keakraban antar dosen dan mahasiswa.
Tapi siapa yang peduli. Hidup masih banyak pilihan, menjadi rekan seorang Orochimaru adalah sebuah kesialan.
.
"Hinata Hyuga."
Tbc
RnR
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Jangan lupa untuk mengisi kota review.
JustNaruHinaAndKibaTamaLover
Aoi Aysel
Atharu
3/3/17
